Darurat

1071 Words
Hari ini udara terasa begitu dingin, aku masih bergumul dibawah selimut tebal. Rasanya sangat nyaman, mataku terasa berat untuk terbuka. Hari ini aku akan berangkat ke rumah sakit agak lebih lambat dari biasanya, operasi kemarin membuatku merasa sedikit lega dan juga was was. Aku membuka mataku secara perlahan kemudian meraba-raba ke arah meja nakas untuk mencari remote AC, tentunya untuk mematikan AC. Aku melirik jam weker yang semalam memang sengaja tidak ku hidupkan, rupanya jam sudah menunjukkan pukul 7 pagi, biasanya di jam seperti ini aku mulai bersiap untuk berangkat ke rumah sakit. Tapi hari ini rasanya aku sangat malas, untuk masuk kamar mandi saja kaki terasa sangat berat sekali. Aku berniat untuk melanjutkan tidurku lagi, saat hendak menutup mata aku di kejutkan dengan suara ketukan pintu, dan aku sangat tau siapa orang itu. Dengan langkah gontai, aku bergegas membuka pintu untuk ibu. Saat aku membuka pintu, ibu terkejut melihatku yang masih memakai setelan piyama dengan rambut yang acak-acakan. "Kamu belum siap-siap, nak?" tanya ibu padaku. Ia terlihat sangat heran melihatku seperti ini. Aku mengangguk mengiyakan, "Aku kayak males gitu loh, Mah. Pengen tidur lagi," aduku. Ibu tersenyum mendengar ucapanku, ia kemudian memegang kedua pundakku. "Nak, mamah tau kamu pasti capek banget tapi kamu harus inget tanggung jawab kamu. Kamu udah dikasih kepercayaan loh sama Allah buat jadi dokter dan bantu orang lain, jadi kamu ga boleh lalai dari tanggung jawab itu." Ibu selalu bisa membuatku sadar ketika aku salah langkah. Ia benar-benar menuntunku tanpa berpikir bahwa aku telah dewasa. Aku terdiam cukup lama, ucapan ibu benar-benar membuatku sadar bahwa tanggung jawabku jauh lebih besar. Aku menghela nafas pelan kemudian tersenyum, "yaudah aku masuk dulu ya Mah, buat siap-siap berangkat ke rumah sakit." "Iya sayang, mamah tunggu dibawah aja ya." Aku kembali menutup pintu dan mulai bergegas menuju kamar mandi, hari ini rencana untuk malas-malasan terpaksa aku tunda karena tanggung jawabku sebagai seorang dokter lebih besar. Jam sudah menunjukkan pukul 8 pagi, aku bergegas turun dari kamar untuk berangkat, aku sudah telat 30 menit jadi aku benar-benar harus bergegas. Saat melewati meja makan, ibu menghentikan aku dan memintaku untuk sarapan terlebih dahulu. "Nak, kamu ga makan dulu apa?" tanya Ibu. Aku menoleh ke arahnya lalu menggeleng. "Enggak, mah. Aku makannya nanti di kantin rumah sakit aja, aku udah telat banget ini." "Yaudah, jangan lupa sarapan ya disana. Inget kesehatan itu lebih penting dari apapun." Aku mengangguk mengiyakan, "iya, mah. Aku pergi dulu ya, assalamualaikum." Aku bergegas keluar rumah, ketika hendak menuju garasi aku melihat ayah tengah asik menggunting rumput di halaman rumah, itu adalah kegiatan ayah setiap rumput mulai panjang. Ia menoleh ke arahku, "kamu udah mau berangkat sayang?" "Iya, pah." "Yaudah hati-hati ya bawa mobilnya, jangan ngebut." "Iya, pah. Aku berangkat ya!" seruku. Aku mengangguk sembari tersenyum ke arahnya. Sebelum berangkat aku lebih dulu menghubungi Desi untuk menanyakan apakah dia sudah berangkat atau belum. Dan seperti dugaanku ia sudah berangkat, Desi salah satu diantara semua perawat yang selalu tepat waktu. Aku kembali memasukkan ponselku ke dalam tas lalu memasang seat belt kemudian menyalakan mesin mobil dan pergi meninggalkan rumah menuju rumah sakit. Sejak aku bangun tadi hingga sekarang aku belum mengecek pesan yang dikirim Reynard untukku. Biar saja, aku benar-benar merasa malas sekarang. Dia selalu saja melakukan apapun yang dia inginkan tanpa memikirkan bagaimana perasaanku. Ia sama sekali tidak peduli dengan apapun yang aku katakan, baginya yang paling utama adalah bagaimana dirinya, bagaimana perasaannya, hanya itu saja. Dia memang sangat keras kepala tapi bodohnya aku yang terlalu mencintainya sampai buta seperti ini. Desi selalu saja menasehati ku tentang bagaimana seharusnya aku bertindak dalam hubungan yang tidak jelas ini, tapi aku terlalu takut untuk menerima sarannya. Aku terlalu takut untuk mengambil keputusan, sedangkan Reynard ia sama sekali tidak ingin mengambil keputusan apapun. Ia terus menggantungkan diriku dengan hubungan yang tidak jelas kemana arahnya. Akhirnya aku sampai di rumah sakit, aku langsung memarkir mobil ku. Suasana pagi ini terlihat sibuk, banyak orang yang berlalu-lalang, keluar dan juga masuk. Ada juga beberapa perawat yang terlihat buru-buru. Aku kemudian turun dari mobil, lalu segera menuju ke receptionist untuk melakukan absensi bahwa hari ini aku datang. Belum sempat aku mengisi absensi tiba-tiba salah satu perawat datang menghampiriku dan mengatakan bahwa ada keadaan darurat di ruang ICU. Tanpa pikir panjang aku segera bergegas mengikuti perawat tersebut. Aku bahkan tidak sempat membawa tas dan barang-barang yang ku bawa tadi, aku meninggalkannya di meja receptionist. Saat ini yang ada di pikiranku adalah tentang bagaimana aku bisa mengatasinya. Aku akhirnya tiba, ada satu perawat disana yang sudah menunggu. "Bagaimana detak jantungnya?" tanyaku sambil terus memperhatikan pasien. "Detak jantung pasien melemah dok. Dari tadi pasien kejang-kejang, kami gak bisa ngatasinnya karena masih banyak dokter yang belum dateng." Aku segera mengambil tindakan untuk memompa jantungnya serta terus memantau bagaimana reaksi pasien. Disaat seperti ini aku benar-benar merasa tegang, tapi aku tetap berusaha untuk tenang. Aku menoleh ke arah perawat. "Tolong siapkan Defribrilator secepatnya." "Iya, dok." salah satu perawat bergegas menyiapkan alat defribrilator yang merupakan alat pacu jantung. Kondisi pasien kian memburuk. "Dan kamu tolong terus pantau monitor sementara saya pompa jantungnya." "Siap, dok." Suasana menjadi sangat genting, beberapa perawat keluar masuk ruangan untuk membantuku. Dan aku berhasil. Jantungnya akhirnya berdetak dengan normal lagi, begitupun dengan nadinya. Aku menghela nafas pelan, aku melirik para perawat yang juga turut andil membantuku. "Kerja bagus, terus pantau pasien ya." "Iya, dokter." Aku keluar dari ruangan, aku langsung di sambut oleh keluarga pasien yang terlihat panik. "Dok, gimana keadaannya ibu saya? Saya panik banget tadi pas banyak perawat yang keluar masuk ke ruangan ibu, saya takut banget ibu sampai kenapa-napa." Aku menyentuh bahu anak remaja yang saat ini berada di depanku, "alhamdulilah berkat doa kamu sama keluarga ibu kamu berhasil lewatin masa kritisnya. Insyaallah ibu kamu bakalan baik-baik aja, doain ya biar cepet sembuh. Kamu tenang aja ya?" "Makasih banyak dokter. Makasih udah mau nolongin ibu, padahal aku udah takut banget." ia menggenggam tanganku dengan erat dengan air mata yang membasahi kedua pipi gembulnya. "Yaudah, kalau gitu saya pamit dulu ya. Kamu bisa masuk buat liat kondisi ibu kamu." "Iya dokter, sekali lagi terimakasih." "Iya, sama-sama. Ini kan memang tugas aku sebagai dokter, jadi gausah makasih. Aku seneng bisa jalani tugasku dan juga bisa nolong orang." Aku akhirnya pergi untuk menuju ke ruanganku. Baru sampai rumah sakit aku sudah di hadapkan dengan kondisi darurat, untung saja aku berhasil menjalankan tugasku dengan baik walaupun di selimuti oleh rasa tegang dan takut tapi akhirnya semua berjalan dengan lancar.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD