Sembari menahan sakit pada bagian bawah tubuhnya, Brianna berjalan keluar dari hotel dengan kepala tertunduk. Ia makin menundukan kepalanya saat beberapa orang menatapnya aneh—mungkin karena melihat penampilan Brianna yang kacau dengan mata sembab dan rambut basah. Brianna lantas mempercepat langkah menuju motornya yang kini berada diparkiran.
Ketika ia hendak menaiki motor, lagi-lagi Brianna meringis karena rasa perih yang ia rasakan. Tak kuat menahannya, Brianna langsung terisak pelan dan berjongkok disamping motornya. Ia merasa kotor karena peristiwa yang ia alami. Karena kebodohannya ia harus kehilangan hal berharga yang harusnya ia jaga. Brianna tidak tahu harus mengatakan apa pada Ayahnya nanti. Ia bahkan tidak sanggup untuk membayangkan wajah kecewa Ayahnya jika mengetahui hal itu.
"Ayah...maaf," Lirih Brianna sembari menenggelamkan wajahnya dilipatan tangan.
"Brianna?"
Suara seseorang dari balik tubuhnya dan sentuhan pelan dibahunya membuat Brianna tersentak kaget. Ia segera berdiri sambil menghapus sisa air matanya. "Ca-Carlos..." Ia sedikit lega ketika itu Carlos, bukan orang lain. Meski ia baru mengenal Carlos, tapi ia yakin jika Carlos adalah orang baik.
"Kau tidak apa-apa?" Tanya Carlos sambil mengernyit melihat penampilan Brianna. "Kau kembali untuk mengambil uang kemarin?"
Tak ingin Carlos tahu, Brianna pun mengangguk pelan. Masih dengan kepala tertunduk.
"Aku pikir kau lupa dengan uangnya. Aku bahkan baru akan ketempatmu bekerja." Carlos merogoh sakunya, mengeluarkan uang bayaran untuk kue-kue Brianna kemarin. "Ms. Davia mengatakan terima kasih untuk kue-kue yang enak itu."
"Iya, kalau begitu aku pergi dulu." Brinna hendak berbalik, tapi Carlos menahan tangannya.
"Kau yakin tidak apa-apa? Wajahmu terlihat pucat,"
Brianna terdiam sejenak. Andai saja Carlos tahu jika Brianna sedang tidak baik-baik saja. Tapi Brianna juga tidak mungkin mengatakan apa yang baru saja tejadi padanya. Itu terlalu menyakitkan untuk diceritakan. Bahkan mungkin Brianna tidak akan menceritakannya pada siapa pun.
"Aku baik-baik saja, Carlos."
"Baiklah," Carlos membantu Brianna berdiri, membersihkan telapak tangan Brianna yang sedikit kotor terkena lantai parkiran. "Jika ada masalah, kau bisa cerita padaku. Sebisanya aku akan membantumu."
"Terima kasih, Carlos." Brianna merasa sedikit beruntung bertemu dengan Carlos. "Aku pergi dulu."
Carlos mengangguk, melambaikan tangan ketika Brianna pergi. Lalu berjalan kembali ke dalam hotel
***
Sampai di depan toko roti tempatnya bekerja, Brianna terdiam sejenak untuk mempersiapkan diri menerima amukan dari Mrs. Gritte. Perlahan, Brianna pun masuk ke dalam toko roti, menatap sekitar dan menemukan Bailee tengah menatapnya syok, temannya itu langsung mendekati Brianna. "Astaga, Bri! Kau dari mana saja?"
Brianna tersenyum tipis, lebih tepatnya memaksakan senyuman agar Bailee tidak lagi khawatir terhadapnya. "Maaf membuatmu khawatir, semalam aku tidak enak badan dan langsung pulang ke rumah."
"Tapi kenapa ponselmu mati? Mrs. Gritte mencarimu, dia mengamuk karena kau tidak juga kembali." Bisik Bailee pelan, takut jika orang dibicarakan akan mendengar.
"Sekarang Mrs. Gritte ada dimana?"
"Di ruangannya,"
"Aku akan berbicara dengan Mrs. Gritte sebentar." Sekaligus memberikan uang kue kemarin.
Bailee mengangguk. Menyemangati Brianna saat ia akan masuk ke ruangan Mrs. Gritte.
Brianna kemudian mengetuk pintu ruangan Mrs. Gritte dua kali, ketika mendengar jawaban dari dalam, ia pun melangkah masuk dan sebuah gumpalan kertas langsung melayang ke arahnya ketika Brianna menutup pintu.
"Dari mana saja kau?!" Bentak Mrs. Gritte.
Brianna mendekat ke meja Mrs. Gritte, meletakan uang bayaran kemarin di sana lalu berdiri dengan jarak 1 meter dari sana. "Maafkan saya, Mrs. Gritte."
"Apa yang membuatmu tidak kembali kemarin?" Mau semarah apa pun, Mrs. Gritte akan bertanya dulu alasannya, tidak langsung marah begitu saja. Itu yang membuat Brianna mampu bekerja dengan Mrs. Gritte dalam waktu yang lumayan lama. "Apa kau tahu, keadaan toko kacau karena kau tidak kembali?"
"Saya janji tidak akan seperti itu lagi, Mrs."
Mrs. Gritte menghela nafas panjang sambil memijat pelipisnya pelan. "Baiklah, kau bisa kembali ke dapur. Dan jangan buat kekacauan lagii."
Brianna tersenyum lalu mengangguk sopan. "Terima kasih, Mrs. Saya janji akan bekerja lebih baik lagi." Dan setelah itu ia langsung berbalik keluar ruangan untuk membuat kue.
***
Ketika hari sudah semakin gelap, Brianna dengan semangat membereskan peralatan membuat kue dan meletakannya ke tempat semulas. Setelah menggantung apron miliknya, ia pun keluar dari dapur dan berpapasan dengan Mrs. Gritte. Atasannya itu tampak terkejut melihatnya masih berada di toko sedangkan jam pulang sudah lewat dari beberapa menit yang lalu.
"Kau belum pulang, Brianna?" Tanya Mrs. Gritte sambil mengeluarkan kunci toko. Brianna mengikutinya dari belakang, membantu Mrs. Gritte untuk menurunkan tirai besi sebelum mengunci bagian bawahnya.
"Hari ini saya sengaja pulang telat untuk mengganti waktu saya kemarin, Mrs." Jelas Brianna setelah memastikan seluruh pintu toko terkunci.
Mrs. Gritte mengangguk mengerti. "Kau ingin pulang bersamaku? Kebetulan aku akan melewati rumahmu." Tawarnya. Karena ia merasa sedikit kasihan dengan Brianna jika harus berjalan keujung jalan untuk mencari angkutan umum.
"Tidak usah, Mrs. Setelah ini aku harus ke rumah sakit dulu."
“"Mengunjungi Ayahmu?"
Brianna mengangguk pelan. "Iya."
“Bagaimana keadaan Ayahmu?"
“Sudah lebih baik." Ucap Brianna meski yang sebenarnya bukan seperti itu. Brianna berharap jika ucapannya akan menjadi kenyataan, dimana keadaan Ayahnya akan membaik dan Ayahnya bisa segera keluar dari rumah sakit lalu tinggal bersama dengannya.
"Sampaikan salamku untuk Ayahmu."
"Baik, Mrs. Terima kasih."
"Kalau begitu aku duluan." Ucap Mrs. Gritte sebelum berbalik pergi memasuki mobilnya.
Sementara Brianna mulai melangkah keujung jalan untuk mencari angkutan umum yang menuju rumah sakit. Disaat ia tengah menunggu, tiba-tiba saja ia melihat seorang wanita pruh baya terjatuh dan membuat belanjaan yang dipegangnya jadi berhamburan ke jalan. Brianna lantas mendekat, membantunya untuk memberekan belanjaan itu.
"Terima kasih." Wanita paruh baya itu mengucapkan terima kasih pada Brianna sambil tersenyum tulus. Membuat Brianna menyadari jika wanita di depannya ini masih terlihat sangat cantik meski usianya sudah tidak muda lagi.
"Sama-sama, Nyonya." Brianna tersenyum sopan, berniat pergi dari sana tapi wanita itu justru memanggilnya kembali. Takut merasa tidak sopan, Brianna lantas menghentikan langkahnya. "Ya?"
"Jangan langsung pergi," wanita itu mendekat, memberikan beberapa lembar uang untuk Brianna. "Terimalah, sebagai tanda terima kasihku."
"Tidak usah, Nyonya." Tolak Brianna halus. Ia kemudian mengangguk sopan sebelum berlari menjauh meninggalkan wanita tadi.
Brianna bernafas lega, bersamaan dengan angkutan umum yang berhenti di depannya. Ia menaiki angkutan umum itu, menyebutkan tujuannya lalu menyandarkan penggungnya sejenak untuk beristirahat.
***
Ayahnya sudah tertidur pulas ketika Brianna tiba dirumah sakit. Wanita itu pun hanya duduk dikursi pinggir ranjang sambil menggenggam pelan tangan keriput Ayahnya. Matanya menatap sedih pada wajah sang Ayah yang sudah tak lagi muda, dimana kini banyak guratan-guratan halus yang memperjelas jika waktu terus berjalan.
"Ayah...maaf Brianna datang terlambat," ucap Brianna pelan. Ia menelungkupkan wajahnya disisi ranjang. Ia memejamkan matanya sembari menghela nafas untuk meringankan beban yang ia rasakan. "Brianna minta maaf, Yah. Brianna sudah mengecewakan Ayah." Brianna terisak pelan. "Brianna tidak bisa menjaga diri sendiri, Yah. Brianna butuh Ayah." Ia membekap mulut saat melihat Ayahnya bergerak dalam tidurnya, tapi untungnya tidak terbangun. "Ayah harus sembuh, agar kita bisa bersama lagi. Brianna rindu Ayah."
Seseorang masuk ke dalam ruang rawat Ayahnya ketika Brianna tengah menangis. Ia lantas cepat-cepat menghapus air matanya sebelum berbalik menghadap orang itu. "Oh...ternyata kau." ucap Brianna saat tahu siapa yang masuk. Itu Ryan, salah satu seniornya sejak sekolah menengah, yang kini berubah menjadi sahabatnya. Nasib pria itu benar-benar beruntung, sukses menjadi seorang dokter diusia 30 tahun. Sementara Brianna masih bertahan dengan menjadi pegawai toko roti.
"Maaf, aku mengganggumu ya?" Ryan menutup pintu ruangan sebelum melangkah mendekati Brianna. Ia menatap Brianna dan Ayah Brianna bergantian, tersenyum sedih saat melihat jejak air mata diwajah Brianna. "Kau menangis lagi?" Ia menundukan tubuhnya untuk mengusap pelan sudut mata Brianna yang basah.
"Tidak. Tadi mataku terasa perih karena udara dari AC."
"Kau yakin? Bukan karena menangis?" Ryan berjongkok di depan Brianna, menatap langsung pada mata wanita itu. "Kau bisa percaya padaku, Bri. Ayahmu pasti akan sembuh."
Brianna tersenyum tulus. "Iya aku percaya. Aku akan selalu percaya padamu."
Ryan balas tersenyum sambil mengacak pelan rambut Brianna. "Ayo aku antar kau pulang. Ini sudah sangat malam untuk pulang dengan angkutan umum."
Brianna mengangguk. Ia membereskan barang bawaannya lalu berbisik pelan ditelinga Ayahnya. "Ayah, Brianna pulang dulu. Besok Brianna akan kesini lagi."
Setelah merapikan letak selimut Ayahnya, Brianna pun melangkah keluar kamar, menutup pintu tanpa menimbulkan suara dan menyempatkan diri untuk berdoa dalam hati untuk kesembuhan Ayahnya.