Dua

1430 Words
Marsha mengerjapkan matanya. Ia melihat jam dinding di belakang tubuhnya. Waktu menunjukkan pukul 3 dini hari dan suara ketukan pintu yang terdengar seperti gedoran secara brutal itu mengusik gendang telinganya. Marsha bangkit dan menuju pintu utama. "Wah, calon istriku. Kau masih di sini? menungguku, hmm?" Kerutan tercetak di dahi Marsha. Andrean berdiri sempoyongan di hadapannya. Ternyata ia ketiduran di rumah ini. Rumah yang Andrean siapkan untuk wanita spesial dalam hidup pria itu. Pastinya, bukan dirinya. Ia tidak perlu bangga karenanya. Andrean mabuk, jelas sekali bau alkohol tercium sangat kuat. "Hahaha ... calon istri?" Andrean tertawa tapi Marsha tahu, dibalik tawa itu ada luka di sana. Mata tidak bisa bohong. "Kau bukan calon istriku. Bukan kau yang seharusnya jadi istriku, b******k!" Andrean membentak Marsha tepat di depan wajah. Wanita itu menutup kedua matanya. Dibentak merupakan salah satu kelemahannya. "Kau menginginkannya bukan? wanita sepertimu menginginkan ini, iya 'kan? katakan!" Marsha berjalan mundur, ia sungguh sangat ketakutan. "Ti-tidak" Andrean dengan mata dan wajah memerah tersenyum miring. "Munafik!" Ia mendekati Marsha yang berjalan mundur menghindari dirinya. "Sebagai calon istri seorang Andrean Cudson, aku butuh bukti. Kau pantas atau tidak menjadi calon istriku. Dengan cara ...." Mata Marsha membola atas ucapan Andrean selanjutnya. "... melayaniku calon suamimu. Karena aku menginginkan gadis bukan wanita tidak suci." "Ap--" Andrean memutus ucapan Marsha, mencium perempuan itu paksa. Memperdayainya dalam kungkungan, ia tak gentar meski penolakan terus Marsha lakukan sampai ia benar-benar mendapatkannya. Tujuan Andrean saat ini hanya satu, menghancurkan hidup Marsha perlahan. Perempuan yang dengan mudahnya mau menggantikan posisi perempuan yang dicintainya. Cih, tidak semudah itu. Bukan salahnya jika ia melampiaskan rasa sakitnya. Salahnya, perempuan itu ada di sini terperangkap bersamanya. Dasarnya orang jahat adalah orang baik yang tersakiti. Bukankah begitu? *** Matahari mulai meninggi. Mengusik tidur sang putri. Perlahan bangun tapi tidak bisa. Tubuhnya seolah mati rasa. Ia mengingat, bagaimana brutalnya Andrean menggagahi dirinya. Marsha menekuk kedua kakinya, menumpukan kepala di atas lutut. Ia menangis dalam diam. Hatinya hancur berkeping-keping mengingat perlakuan Andrean padanya. Ia bahkan tidak memedulikan tubuhnya yang jelas masih telanjang. Awalnya dirinya iba pada Andrean, walau ia tidak merasakannya tetapi yang jelas pasti hati pria itu hancur berkeping-keping karena ditinggal pergi si calon pengantin. Orang yang dicintai, yang dipikir akan menghabiskan waktu sampai akhir. Rasa Iba terhadap pria itu kini menghilang tergantikan oleh benci dan sakit hati. "Dasar wanita bodoh!" Suara itu mengejutkan bagi Marsha, awalnya ia mengira seorang diri di ruangan ini, nyatanya tidak. Andrean ada di sana, di depan pintu dengan setelan lengkap baju kantor. "Kau ingin menggodaku dengan tubuh telanjang mu itu, heh?!" Marsha bungkam, ia segera mengambil selimut yang berantakan di lantai kemudian melilitkan pada tubuhnya. Ia juga sempat melihat noda darah di atas seprai kasur tempatnya kini. Tidak ada yang bisa dilakukan selain merutuki dirinya dalam hati. Terlalu lemah. "Aku hanya ingin bilang padamu. Apa yang terjadi antara kita tadi malam adalah sebuah kesalahan. Kesalahan besar dalam hidupku. Jadi kuharap kau tak besar kepala dan lupakan semua yang sudah terjadi." Hati Marsha berdenyut sakit mendengarnya. "Kalau bukan karena paksaan kedua orang tuaku, aku tidak sudi akan menikah denganmu nantinya." Andrean menggemeletukkan giginya mengingat hal itu, ia lalu beranjak pergi meninggalkan Marsha seorang diri. "Tapi ku pastikan itu tak akan terjadi. Aku yakin bisa menemukan dia sebelum hari pernikahan. Jadi, jangan terlalu berharap menjadi nyonya di rumah ini. Perempuan ah salah, wanita munafik sepertimu tak pantas mendapatkannya." Harusnya Andrean tidak perlu peduli akan kondisi wanita itu. Tapi ia merasa terganggu, tangisan itu terdengar sampai ke telinganya. Membuatnya semakin muak. Mau tak mau ia menghampiri kamar yang menjadi saksi kebodohannya. Kekhilafannya atas kekecewaannya. Harusnya ia lebih bisa menahan diri. Mengejutkan, bangun tidur di samping seorang wanita dalam keadaan sama-sama telanjang. Tanpa berpikir dua kali pun orang bodoh juga tahu apa yang telah terjadi. Sama halnya dengan Andrean dan ia menyesal. Menyesal karena menyetubuhi teman dekat wanitanya, harusnya yang menjadi pertama untuknya bukan wanita. Kini ia harus rela hal terpenting dari dirinya hilang bersama wanita itu. Wanita yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya. Lagi-lagi ini semua karena kebodohannya. *** "Nona, anda ditunggu Tuan Andrean di ruang tamu. Segera bersihkan diri Anda." Seorang wanita paruh baya berpakaian pelayan membuyarkan lamunan Marsha. "Marsha, nama saya Marsha, Bibi," lirih Marsha. Sekali lihat, wanita paruh baya itu tahu. Ia cukup mengerti kondisi Marsha, cukup memprihatinkan. "Adelia, itu namaku. Aku mengerti, Marsha. Jika aku jadi kau aku tak akan sanggup melewati ini ke depannya. Kau tidak bersalah dan perlakuan buruk kau dapat dari Tuan karena emosi sesaat nya." Marsha mengulas senyum getir pada Adelia. "Aku pun sama. Tuhan telah menuliskan takdir ini untukku. Aku harus menerimanya, Bibi Adel," balas Marsha tak lagi berbicara formal. Adelia menatap punggung ringkih terlihat rapuh milik Marsha yang menghilang dari balik pintu kamar mandi. Walau berjalan tertatih, Marsha menolak bantuan darinya. Entah kenapa, Adel merasakan hatinya sesak. Terlalu menyakitkan. Sebagai sesama wanita ia mengerti perasaan wanita lain ketika sedang suka ataupun duka. Adel tahu Marsha orang baik. Tidak sepantasnya menanggung penderitaan ini. "Berdirilah dengan kokoh, Marsha. Kau wanita kuat." *** Di sinilah Marsha sekarang. Duduk berhadapan dengan Andrean dan pengacaranya. Marsha hanya bisa pasrah. Mengikuti ke mana takdir membawanya. "Langsung pada intinya, nona Marsha. Jadi apa kau mengetahui di mana keberadaan Nona Griya?" Griya, perempuan yang harusnya menikah dengan Andrean, teman baiknya. "Tidak." "Kenapa tidak, dari berbagai sumber mengatakan jika anda sudah berteman lama dengan Nona Griya? Itu benar?" Ruang tamu yang luas, tapi cukup menyesakkan bagi Marsha. Di sini ia merasa terpojokkan. Layaknya seorang tersangka yang sedang dihakimi tanpa pembelaan. "Aku memang berteman cukup lama dengannya. Yang ku tahu, dia bahagia atas pernikahannya. Pernikahan adalah impiannya. Dia sangat antusias membicarakan pernikahannya. Aku tidak mengerti jika akhirnya begini. Kalaupun aku tahu akan jadinya seperti ini, tanpa diminta pun aku akan berusaha menghalangi rencana bodohnya." "Oh ya?" Pengacara berusia sekitar 30 an itu tersenyum meremehkan, sedangkan Andrean sendiri bertampang seolah tidak peduli walau telinganya tetap bekerja. "Kita tidak ada yang tahu bukan? Anda berkata jujur atau berdusta. Bisa jadi apa yang anda katakan hanyalah bualan saja. Nyatanya, mungkin anda yang membantu Nona Griya kabur? Bisa dibilang semua sudah direncanakan termasuk pernikahan yang akan terjadi dengan anda dan Tuan Andrean." Mata Marsha membola, kedua tangan yang berada di atas pangkuannya terkepal erat. "Saya rasa penjelasan yang saya katakan pada anda cukup jelas. Saya tidak tahu apapun. Andai waktu dapat diputar saya juga tidak akan setuju untuk menikah dengannya. Lagi pula seperti kata dia, pernikahan itu bisa dibatalkan, lakukan saja. Saya akan berterima kasih andai hal itu terjadi. Terima kasih telah membebaskan ku dari permohonan tak masuk akal orang tua Griya. Dan cukup tahu saja, saya sudah tidak berkomunikasi dengannya sejak tiga minggu yang lalu saat dia hadir membawa undangan pernikahannya di hadapan saya." Bersamaan dengan berakhirnya ucapan Marsha, Andrean beranjak dari duduknya seraya menyenggol secangkir kopi di hadapannya tadi ke lantai hingga menimbulkan bunyi yang cukup mengejutkan bagi Marsha. Wajah Andrean tampak mengeras dengan mata menatap Marsha tajam. "Kau akan tahu akibatnya jika kau berbohong. Bukan dari orang lain tapi langsung dariku." Sedikit membungkuk Andrean mencengkeram rahang Marsha, wanita itu meringis kesakitan karena dipaksa mendongak. "A-aku ti-tidak berbohong," bela Marsha terbata-bata. Andrean mendecih. "Cih!" Ia kemudian menghempaskan kasar wajah Marsha lalu beranjak pergi. Bukan tanpa alasan dirinya menuduh Marsha. Sebab, surat terakhir dari kamar Griya menuliskan nama Marsha di sana. Memohon agar orang yang bernama Marsha menggantikan Griya sebagai seorang pengantin pengganti. Hal itu tentu saja tidak dapat diterima Andrean. Semudah itu Griya mengatakannya, membuatnya curiga. Ada yang direncanakan dan sembunyikan. Terlebih dari pihak orang tua Griya dan orang tuanya, memaksa jika sampai hari pernikahan Griya tidak ditemukan. Ia harus menikah dengan wanita itu. Membuatnya bertambah kalut dan emosi yang gampang meledak. Air mata Marsha tumpah, ia tak mampu lagi membendungnya. Semua ini terlalu menyakitkan. "Kurasa kau membutuhkan ini." Pengacara Andrean mengulurkan sapu tangan miliknya. "Aku tidak membutuhkan kepedulianmu. Nyatanya kau sama saja dengannya. Aku ini korban, aku tidak tahu apapun. Tapi kalian semua memandangku seolah aku telah berbuat kejahatan besar," ujar Marsha disela tangisannya, tidak ada lagi keformalan di antara mereka. "Percuma bicara dengan orang sepertimu." Marsha menghapus air matanya kasar lalu beranjak pergi dari rumah Andrean meninggalkan pengacara Andrean yang menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan. Seharusnya, dari semalam ia pulang. Pasti ia tidak akan kehilangan hal yang ia jaga selama ini untuk calon suaminya. Dan kenapa orang tua Griya pergi meninggalkannya? Kenapa tidak membangunkannya, membawanya pulang ikut serta? ke mana mereka? pergi meninggalkannya seorang diri di tempat asing, tega sekali. Selama perjalanan pulang tak hentinya Marsha menangis. Menangisi nasibnya yang kurang beruntung. Masa bodoh dengan pandangan orang lain terhadapnya, mereka tidak tahu saja dirinya telah hancur. Masa depannya hancur, ia sendirian.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD