Dua Gelas Kopi

1067 Words
Hazel masih memandangi layar ponselnya, berselancar di media sosial NiceBook yang di rekomendasikan oleh sepupunya. Terdapat beberapa notifikasi di pemberitahuan, pesan dan pertemanan. tetapi dia mengabaikan. Dia hanya membuka profilnya melihat postingannya tentang restoran dan dive rentalnya yang telah ia promosikan, apakah menarik peminat orang-orang. Dan ya, terlihat jumlah likes-nya lebih banyak dua kali lipat dari sebelumnya. Ada komentar juga, Hazel tertarik membacanya. Terdapat beberapa komentar dari orang terdekatnya, salah satunya sepupu perempuannya, kekasih sepupu perempuannya yang kadang berselancar di laut bersama dengan Hazel. Hazel hanya tertawa, Karena itu pasti ulah sepupunya. Tak ingin berlama-lama Hazel berselancar dengan sosial media, sebab itu dapat membuat dia terlena. dia keluar dari NB dan membuka WithApp aplikasi pesan daring yang sekarang digunakan banyak orang bahkan pamannya yang sudah cukup umur juga menggunakan ini. Hazel mulai menggeser layar ponselnya itu dan melihat beberapa pesan dari pelanggan dive rental dan beberapa turis yang pernah memaksa meminta nomornya. Mereka basa-basi melempar pesan ke dirinya, dari yang sejak setengah tahun lalu bahkan terbaru, belum satu pun Hazel balas. Hazel hanya akan membalas jika mereka memberitahu akan mengunjungi pantainya lagi. Mereka semua bagai pohon uang bagi Hazel untuk restoran dan dive rental miliknya. Bukan hanya itu mereka juga pohon uang bagi mereka pemilik bisnis pariwisata di pantai ini dan pemerintahan yang telah memiliki setengah tanah di pariwisata ini. Tinggal di tanah pariwisata berarti kau harus setuju untuk membagi setengah tanah yang telah dimiliki untuk pemerintah, tentu saja dengan imbalan yang pantas. Kita dapat fasilitasnya, mereka dapat pajaknya. Itu hubungan yang saling menguntungkan. Bosan dengan menggeser pesan daring, Hazel keluar dengan mengabaikan pesan-pesan mereka. Ia sangat enggan membalasnya kecuali itu dari pamannya atau Nadya. Hazel beranjak dari duduknya dengan masih terbalut handuk. Tetapi ia tidak tahu pesan masuk dari sepupunya. Hazel menuju lemari dua pintu, lemari yang di mana semua pakaiannya bersembunyi tak tertata rapi. Belum semua terbuka, satu persatu baju, celana dan pakaian dalamnya yang tidak berbentuk jatuh menimpa kakinya. dia berjongkok membolak balikan tumpukan pakaian bersih yang baru kemarin kering dari laundry, untuk mencari satu set pakaian yang bisa dia pakai hari ini. Dan memasukan kembali sekenaknya. Karena hari ini dia berencana hanya di rumah saja, dia mengambil celana boxer bergambar spiderman yang memudar dan kaos big-size bertulisan I LOVE BEACH yang sablonnya mulai terkelupas dan bolong di bawah ketiaknya. dia juga mengambil sepasang pakaian dalam santai yang ukurannya saja sudah melonggar dari tubuhnya. Setelah mengenakan di tubuhnya, dia bergeser sedikit tepat di pintu lemari satu lagi yang memiliki kaca. dia berdiri di depan kaca bergaya dan sekali berbalik membelakangi kaca untuk melihat pantulan dirinya. dia tersenyum seolah memuji dirinya yang sedang memakai gaun anggun. Tak sampai disitu, dia juga mengangkat baju lengan kanannya, mengangkat tangannya dan memperlihatkan otot tangannya yang tak seberapa. Kemudian berlagak seperti binaragawati di depan kaca. dia juga mengikat baju sampai memperlihatkan perutnya yang rata tanpa ada tanda six-pack. Sekali lagi bergaya bak binaragawati di depan kaca. Tak jauh dari tempat Hazel berdiri, seorang gadis berkulit lebih putih dari Hazel, dengan wajah manis, berambut cokelat panjang sepunggung yang berbalut dress krim, melipat tangannya di d**a, memandangi Hazel dari depan pintu. Hazel masih bergaya bak binaragawati tanpa memperhatikan kehadiran seorang gadis tersebut. Ketika dia mengganti posisi menyamping untuk melihat otot perut sampingnya, dia terkejut melihat sepupunya yang berdiri dengan raut wajah sinis mengejek. Hazel melepas ikatan baju di perutnya dan merapikan kedua lengan bajunya. “eh, Nadya. Maksudku Kakak?” dia menggaruk-garuk kepalanya yang masih lembab meski tidak gatal sembari terkekeh canggung. Perempuan manis yang masih sinis itu keluar tanpa sepatah katapun. Hazel mengikutinya, “Kau seharusnya datang membawakan aku makanan bukannya wajah sinis itu” Pinta Hazel sekenaknya, dia sadar sepupunya tersebut sedang marah, terlihat dari raut wajahnya tetapi dia tidak tahu mengapa. “Kau ini masih saja seperti ini. Rumahmu ini…” Nadya menghela nafas panjang dan melirik sana sini, ia mengabaikan ada pasir di sofa depan TV dengan lembabnya, sudah pasti ia tahu itu pasir pantai yang Hazel bawa dan tidak ia bersihkan sama sekali. “Aku benar-benar frustasi melihat keadaanmu, lebih lama lagi aku bisa gila! Dasar adik serampangan!” gerutunya dengan nada tinggi agar didengar oleh Hazel. Nadya mulai mengambil penyedot debu dan membenarkan jam dinding yang mati tergeletak di sambaing bekas lembab sofa. “Aku tidak bawa makanan apapun, karena ibu sedang tidak memasak, aku kesini untuk memeriksa lukamu. Tadi ku dengar kau terluka. Jadi aku berniat membawamu ke depan ibu, kau tunggu saja diomel,” ancamnya sembari sibuk sendiri memungut beberapa pakaian dan sampah chiki yang tergeletak di samping sofa biru yang usang. “Kau gila ya!” Hazel meninggi, “Kan sudah beberapa kali ku bilang jangan mengadu. Kau ini besar mulut sekali aku jadi malas berbagi rahasia lagi.” Nadya hanya melengos, “Terserah saja sialan!” Hazel dengan kesal menghidupkan Tv dan mengeraskan volumenya. Ia ke dapur yang tak jauh dari tempat menonton, memasak air panas untuk membuat kopi untuk dirinya, “Mau kopi?” tawarnya kepada Nadya yang masih menggerutu dan mengoceh dengan alasan nasihat kebaikan. Ia tahu jika Nadya datang berarti ia akan bercermah panjang lebar seperti orang tua, membuatnya kesal. “Ah terima kasih sudah membetulkan jamnya, aku kesal sekali sama jam itu. Kenapa juga kita perlu tahu waktu? Membuat orang seperti dikejar oleh waktu.” tanyanya aneh dan diabaikan Nadya, dia hapal betul dengan sifat Hazel yang kadang tidak mausk akal. Nadya mengembalikan jam di tempatnya yang sudah terukir dengan bekas lingkaran tidak jauh dari televisi. Nadya lagi-lagi Menghela nafas panjang, ia telah memikirkan ini, “Kira-kira sampai kapan kau akan begini?” nada dari bicara Nadya yang membuat Hazel bingung, entah itu pertanyaan atau ia sedang bermain tebak-tebakan. “Apanya? Entahlah. Yang terpenting sekarang, kalau kau begitu khawatir kepadaku, kenapa tidak kau pinjamkan tenaga dan tanganmu untuk membantuku membersihkan kastil tua yang berserakan ini?” Pintanya memelas tapi dengan nada sombong. Nadya yang kesal mencoba menghampiri Hazel, dan berdiri di sampingnya, membuat Hazel harus mendorongnya sedikit dengan badannya agar Nadya menepi. Hazel sangat berhati-hati menuangkan air mendidih yang baru saja ia panaskan untuk kopi mereka. Dua gelas kopi panas yang mengepul, aromanya yang menyelimuti sekeliling mereka terasa sangat menyegarkan. Bahkan dua gelas kopi ini melelehkan hubungan yang membeku di antara mereka. Nadya dengan senang hati menerima gelas satunya dan satu tangan lainnya dipaksa menerima penyedot debu yang baru saja Hazel ambil dari gudang dan berikan kepada Nadya, “Tolong ya…” dengan memasak raut wajah seenaknya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD