Laut Yang Berpapasan Dengan Langit

1061 Words
Pagi itu, ombak berderu tidak terlalu kencang menyapu dan menghantam batu-batu di tepi bibir pantai. Seorang gadis berkulit cokelat bersiap menari di atas ombak di pagi hari saat matahari belum lama menampakan diri. Di ujung selatan, seorang lelaki berpakaian kemeja satin putih tulang, bercelana kain hitam panjang dan berpantofel menatap jauh ke arah laut, memejamkan matanya, menyiapkan telinganya. Membiarkan dirinya larut oleh suasana pantai yang hanya dapat ia rasakan sesekali. Angin menyapu rambut, kulit, dan napas lelaki dewasa itu. Senyumnya tidak berhenti terukir di bibirnya yang indah dan tebal. Ia terus menikmati indahnya bentangan laut di depan matanya tanpa sadar matahari yang tidak terlalu terik terus menyengat kulit putih si lelaki di balik kemeja putih tulangnya. Terlihat dari ujung barat, sesosok gadis berambut cokelat, senada dengan kulit coklat eksotis telah muncul dari balik batu di bibir pantai, dengan menggendong papan selancar di pinggangnya. Papan yang masih tersambung di kaki gadis itu, dan terlihat kaki gadis itu mengalami pendarahan yang tidak terlalu hebat. Karena ia hanya mengenakan pakaian renang pendek, terlihat jelas pahanya seperti tergores benda tumpul dan mengeluarkan sisa-sisa darah yang tadinya berceceran di lautan. Gadis berambut coklat itu bernama Hazel, ia menghempaskan badannya di pasir depan bibir pantai, dengan masih membiarkan tali papan selancar tersambung di kakinya. Dia tampak kelelahan, nafasnya tersengal-sengal, suaranya mengerang menahan perih luka yang dijilati air asin. Dia menutup wajahnya yang tersengat terik matahari. Air matanya mulai mengalir dari mata kanannya. Lelaki yang sedari tadi berdiri di selatan melihat gadis itu dari kejauhan menghempaskan dirinya ke tanah. Ia ingin tahu apa yang terjadi, tapi itu tidak mengganggunya sama sekali. Lelaki itu mulai berjalan ke arah timur untuk menyusuri bibir pantai dari ujung ke ujung. Saat berjalan perlahan, ia merasa jiwa dan rohnya sangat tenteram. Sembari mengingat-ingat kapan terakhir kali ia berjalan di bawah terik matahari pagi. Ia menebak, mungkin butuh 15 sampai 20 menit untuk sampai dari ujung ke ujung. Sedangkan ia telah berjalan dari selatan ke timur selama 5 menit. Karena jarang dapat menikmati suasana ini, ia tidak ingin menyia-nyiakannya, dan mencoba melepas pantofel yang sedari tadi ia pakai. Keindahan pesisir pagi yang masih sepi dari hiruk pikuk manusia lainnya, semilir angin laut yang terus memaksa masuk di sela-sela pakaianya atau pasir putih lembut yang beramai-ramai memeluk kakinya, membuat hatinya sangat bahagia. Namun lelaki itu mulai merasa terganggu, setelah menyadari seorang gadis yang muncul dari laut ternyata membawa luka di kakinya. Terlebih gadis ini telah membaringkan badannya di atas pasir putih sejak dirinya masih di ujung dan kini mulai sampai ke pertengahan bibir pantai mendekati lokasi gadis itu berbaring. Terlihat darah gadis tersebut mulai menetes di pasir, lelaki itu mendekatinya sedikit lebih cepat. Ia tampak sedikit khawatir akan gadis itu. Ketika hanya butuh sepuluh langkah lagi, gadis yang ia khawatirkan bangkit dari tidurnya, ia mulai duduk dan buru-buru untuk berdiri. Ia tidak tampak memaksakan dirinya untuk berdiri. Lelaki yang melihat tersebut, memberhentikan langkahnya, melihat gadis tersebut mencoba berjalan dengan menyeret sebentar papan selancarnya dan kemudian menggendong di pinggangnya. Gadis itu meninggalkan lelaki yang mematung yang hanya berjarak sepuluh langkah darinya. Tanpa bicara, tanpa perlu ia lirik. Ia terus berjalan ke arah selatan, di atas sana terdapat tempat parkir, pondok-pondok kayu untuk berteduh, permukiman rumah warga asli pesisir, restoran dan tempat penyewaan alat memancing, dan alat menyelam. Juga rumah dirinya. Gadis itu terus melenggang pergi dan tidak meninggalkan jejak-jejak seperti ia pernah terluka. Ia berjalan dengan biasa meski darah tak berhenti mengalir, juga sisa-sisa air asin yang membuat lukanya tambah perih. Gadis itu pergi bukan tanpa sebab, ia menyadari seseorang yang aneh telah memperhatikan dirinya dari kejauhan, tetapi ia tidak menyangka orang itu berani mendekatinya. Di lain sisi, tertinggal rasa kesal di hati lelaki tersebut, “Padahal aku hanya berniat membantu, terlihat dari raut wajahnya sangat sombong”. Lelaki itu melanjutkan langkahnya berjalan menghindari bercak darah di atas pasir, ia tidak berhenti dari langkahnya dan mulai berjalan kearah barat yang sebentar lagi dapat ia lihat. Ia juga tidak melihat ke arah gadis yang telah mengacuhkan dirinya dengan sombong. Lelaki itu berjalan sampai ke ujung pantai sambil meyakinkan dirinya untuk melupakan kejadian tadi, dia terus berjalan sampai di ujung bibir pantai, sekali lagi melihat ke arah laut sampai puas. Sesekali melihat jam, ia menyadari telah menghabiskan 30 menit di pantai. Sudah merasa puas melihat laut dan disengat terik matahari, ia berbalik badan berjalan menuju selatan, menuju tempat parkiran. Ia menuju ke arah mobilnya yang diparkir di samping pondok pantai, namun untuk perpisahan terakhir kalinya ia membalikan badan menaruh kedua tangannya di pinggangnya. Menatap sekali lagi ombak pantai yang terus menyapu pasir putih lembut dari kejauhan. Entah apa yang laki-laki itu pikirkan, ia terdiam selama tidak lebih 30 detik, dan masuk kedalam mobilnya. Lelaki tersebut mengambil ancang-ancang dan pergi meninggalkan parkiran, makin jauh hingga punggung mobilnya tidak terlihat lagi. Dari kejauhan gadis berkulit cokelat memandangi punggung mobil yang perlahan menghilang, ia telah duduk lama di pondok yang tak jauh dari pondok di mana lelaki itu memarkirkan mobilnya. Gadis itu duduk diam di sana setelah membersihkan lukanya dan memberikan pertolongan pertama di kakinya, terlihat perban melilit di kakinya dengan tidak rapi. Diam-diam sedari tadi, gadis manis itu memperhatikan lelaki yang sudah meninggalkan pantai tersebut bahkan sejak ia berjalan sendiri di bibir pantai hingga naik ke arah pondok menuju mobilnya. Gadis tersebut bukannya tidak menyadari bahwa lelaki itu hendak ke arahnya ketika mereka sedang di bibir pantai, di benaknya ia tidak tahu entah lelaki itu ingin menolongnya atau hanya sekadar lewat saja, tetapi yang pasti ia merasa gugup jika harus dekat dengan seorang lelaki asing dan yang tampan, ia memilih bangkit dan menahan luka kemudian pergi begitu saja tanpa menoleh kepada lelaki itu. Setelah kepergian lelaki itu, perempuan manis ini merasa sedikit kesal pada dirinya sendiri setelah berlagak seperti tadi. Tapi melihat kondisinya, ia memilih pulang dan mengistirahatkan lukanya sebentar sebelum akhirnya ia harus bekerja. Butuh 10 menit untuk sampai berjalan ke arah rumahnya. Karena luka tersebut, sesekali ia menyeret papan selancar hadiah ayahnya. Mengingat itu salah satu hadiah ayahnya, ia tidak ingin memberikan banyak goresan. Ia berusaha menggendongnya hingga sampai di depan rumah bertingkat dua berwarna pastel yang tampak sepi tak berpehuni. Sesampai di rumah, gadis itu mencuci telapak kakinya yang penuh tanah, ia terbiasa berjalan tak beralas kaki, dengan masih menggunakan pakaian renang ia membanting badanya di sofa biru tua, terduduk dengan wajah mendongak ke atas, lagi-lagi memikirkan masa depannya yang buram dan tertidur dalam keadaan duduk.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD