Scandal Reza 3

1254 Words
Setelah berada di kamar aku segera memakai celana kolor dan kain sarung lalu melaksanaku shalat dzuhur. Setelah itu dilanjut dengan tiduran santai sambil bermain medsos. Tiba-tiba pintu kamar ada yang mengetuk dengan sangat pelan. "Rez, teteh bawa gorengan dan martabak telor, mau gak?" ucap Teh Wulan dari luar kamar. Tanpa menjawab ajakannya, aku langsung keluar dan terlihat Teh Wulan membawa makanan di piring menuju kamar depan, kamar ayah. Aku pun segera di duduk di kursi ruang keluarga dimana sudah tersaji martabak dan aneka gorengan, lengkap dengan dua gelas besar air putih. "Ayah lagi baca buku," ucapnya tanpa ditanya saat dia sudah kembali dari kamar ayah dan duduk di sampingku. "Dari kemarin panas udaranya panas banget ya" tambahnya lagi. "Iya, Teh, saya yang udah mandi aja tapi sekarang udah keringatan lagi," jawabku santai. "Hmmm, tadi kamu pasti nimbanya bugil lagi ya, kaya kemarin itu?" tanya Teh Wulan tiba-tiba. Dan aku hanya membalasnya dengan mengangguk serya cengengesan. "Kamu kok gak malu ya waktu kepergok bugil begitu sama teteh?" tanyanya lagi seolah penasaran dengan sikapku waktu itu yang mungkin dia pikir biasa-biasa saja. “Malu lah, hanya kan itu insiden, artinya sama-sama tidak sengaja. Tapi gak masalah juga sih, teteh kan bukan orang lain juga, udah saya anggap kakak sendiri. Dulu saya malah sering mandi telanjang bulat di depan Teh Warti, hehehe." balasku asal. Teh Warti Kakak kandungku yang nomor tiga dan dia memang paling dekat denganku, sayang dia sekarang tinggal dengan suaminya di Jawa Tengah. Sejak masih balita aku senantiasa dijaga dan dirawat oleh Teh Warti. Sampai kelas dua SMP aku masih berani mandi telanjang di depan dia. Tiba-tiba tangan Teh Wulan mengusap-usap pundakku. "Teteh juga sekarang mau mandi, air di bak penuh gak?" tanyanya kemudian. "Tadi sih masih ada setengahnya, ya kalau teteh mau mandi, nanti saya isiin lagi," jawabku sambil menyuap gorengan. "Ya udah, sekarang habiskan aja dulu makanannya. Biar badanmu makin kuat dan cepat besar. Sekarang sih udah makin berisi ya, gak kaya waktu kelas satu dulu," katanya sambil mengelus-elus punggungku dengan lembut. Setelah itu dia beranjak, lalu masuk ke kamarnya. Tak sampai sepuluh menit, Teh Wulan sudah kembali keluar dari kamarnya dengan hanya memakai celana super pendek dan tanktop yang belahan daadanya sangat rendah. Kedua mataku yang masih polos, kembali disuguhkan tontonan yang makin mendebarkan. Lekuk tubuh dan keindahan kulitnya kini benar-benar terekspose sempurna. Dia membawa handuk dan pakaian ganti. Aku menduga dia akan langsung ke kamar mandi, namun ternyata duduk justru kembali di sampingku. Dan mataku makin terbelalak menyaksikan kemulusan bentuk dan kulit kakinya yang berjarak tak lebih dari satu meter dariku. "Duh, panas banget hari ini, ya Rez!" ucapnya sambil mengipas-ngipaskan handuk di depan lehernya. Aku tertegun beberapa saat. Mulutku seakan terkunci tak bisa lagi bicara dan mataku seolah terhipnotis hingga tak bisa berpaling dari dua bukit kembar yang membusung tepat di depan mataku. Kakak iparku ini sepertinya sedang benar-benar menguji imanku. Selama ini aku tidak terlalu peduli dan tidak pernah berpikiran macam-macam pada kakak ipar ini. Bahkan saat dia mengajakku bicara dengan topik yang sedikit menjurus dewasa, aku pun selalu menanggapinya biasa-biasa saja. Namun jika ditambah dengan godaan fisik secara frontal begini, lama-lama pertahanku bisa jebol.    "Rez, kamu udah punya pacar belum?" tanyanya tiba-tiba. "Belum," jawabku sambil menggelengkan kepala dan mengalihkan pandangan ke dapur. Ada perasaan malu saat tertangkap basah mataku sedang fokus memperhatikan kemolekan tubuhnya. “Gak usah buang muka juga kali Rez, biasa aja,” goda Teh Wulan. Namun justru leherku semakin terasa berat hingga seolah tak bisa lagi digerakkan. Kulit wajahku mendadak terasa sangat panas. Aku benar-benar berada dalam situasi yang susah untuk digambarkan dengan kata-kata. "Eeeeh, tapi kamu udah pernah mimpi basah kan?" tanyanya lagi seraya menarik lembut tanganku hingga mau tidak mau, aku kembali menolehkan wajah menatapnya. Lalu aku membalas pertanyaanya dia dengan mengangguk kepala kemudian menunduk malu. "Kapan kamu mimpi basah pertama?" Sepertinya Teh Wulan makin penasaran dan aku sedikit heran. Apakah sesuatu yang aku rasa merupakan rahasia dan aib seperti itu wajar ditanyakan? Haruska aku menceritakan hal demikian dengan lawan jenis. Sedangkan dengan sesama lelaki saja aku tidak berani membicarakannya. “Kapan?” Teh Wulan mengulangi pertanyaannya ketika aku tidak menjawabnya. "Lupa lagi, kalau gak salah awal kelas tiga SMP, hehehe," jawabku dengan sedikit ragu. Sejurus kemudian aku tiba-tiba didera perasaan yang tak menentu hingga membuatku salah tingkah tak karuan. Apalagi mata kakak iparku terus tertuju pada bagian bawah tubuhku yang mulai sedikit menyembul. Entah mengapa si jalu jadi ikut-ikutan bereaksi dengan pertanyaan yang sedikit seronok itu. "Mimpinya sama siapa? Hayo, pasti sama cewek kamu ya atau jangan-jangan mimpinya sama teteh, hehehe," goda Teh Wulan makin membuatku gelagapan. "Nggak tahu, saya udah lupa, Teh, namanya juga mimpi, hehehe," balasku malu-malu dan mungkin saja dia melihat rona wajahku memerah karena kulit wajahku semakin terasa panas membara. “Gak apa-apa, Rez. Kamu gak usah takut atau malu, karena itu sangat normal. Semua lelaki yang masuk masa pubertas akan mengalami hal itu. Jadi biasa aja. Justru kamu harus bangga, itu tandanya kamu sekarang sudah mulai dewasa.” Sebenarnya aku juga tidak malu dan takut mengalami mimpi basah. Guru Agama saat di SMP pun sudah menjelaskan hal itu. Namun yang membuatku risih dan agak sedikit jengah jika membicarakannya. Apalagi dengan lawan jenis. Dengan Ibuku atau dengan Teh Warti sekalipun belum tentu aku berani membahasnya. "Enak gak mimpi begituan, Rez?" tanyanya lagi dan pertanyaan ini benar-benar membuatku hampir tersedak hingga tak bisa berkata apa-apa untuk beberapa saat. "Gak tahu, lupa lagi. Pokonya gitu aja deh. Tahu-tahu udah basah, hehehe. Udah ah jangan bahas yang gituan, Teh," pintaku dengan wajah yang terasa semakin panas hingga aku harus meneguk air di gelasku. “Ya udah teteh mau mandi dulu, kamu udah bereskan makan martabaknya, tolong dong timbain air dulu.” Teh Wulan mengakhiri perbincangannya. Setelah menelan kudapan terakhir dan meneguk air hingga tandas untuk mendorongnya masuk dalam tenggorokanku, aku pun segera masuk ke kamar mandi dan menimba air. Baru saja dua timbaan ember, tiba-tiba Teh Wulan masuk ke kamar mandi dan dengan cueknya dia membuka pakaiannya lalu berjongkok dalam keadaan telanjang bulat tepat di depanku dan bersiap untuk mandi. Untuk beberapa saat aku tertegun dan terpana. Seumur hidup sejak aku memasuki akil baliq, baru kali ini melihat aurat wanita secara langsung seutuhnya. Walau itu aurat kakak iparku, namun tetap saja sukses membuatku blingsatan dan kelimpungan. “Kenapa Rez, kok kaya orag yang kesambet, terusin aja nimbanya,” goda Teh Wulan sambil menyiuk segayung air dari bak mandi yang baru saja aku isi. “Katanya biasa, kan udah nganggap kakak sendiri, masa sih kamu malah bengong gitu, Rez?” Teh Wulan semakin berani menggodaku bahkan kali ini dia sedikit mengangkat tubuhnya agak berdiri sehingga bagian tubuhnya yang paling pribadi sedikit terlihat. “Teh….” Suaraku tercekat. Maksud hati hendak membentaknya namun kerongkonganku seperti mendadak kering. Aku benar-benar tak percaya kakak ipaku benar-benar berani melakukan ini semua. Walau aku adik iparnya tapi kan tetap saja aku lelaki yang sudah masuk masa puber. “Kenapa, kamu mau ikut mandi lagi sekalian?” Teh Wulan makin berani menggodaku dan aku yakin dia bisa melihat sesuatu yang bergerak dan berubah bentuk di balik celana kolorku. “Sa…sa…saya keluar dulu, a…a..airnya cukup segitu kan?” balasku dengan suara bergetar. Tanpa menunggu jawaban darinya, aku langsung ngacir ke  luar kamar mandi dengan setengah berlari. Lalu masuk ke kamarku dan langsung tiduran telentang seraya menatap langit-langit. Jantungku berdebar tak karuan, suhu tubuhku berubah panas dingin tak menentu dan kulit wajahku terasa panas membara sementara napaskku naik turun tak beraturan. ‘Gila mengapa dia jadi seperti itu!’ makiku dalam hati.  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD