Lelaki Misterius Sangat Aneh

1097 Words
Jantungku mengentak kuat saat tanganku disambar dari belakang. Baru saja hendak berteriak minta tolong, tiba-tiba saja mulutku dibekap lalu tubuhku didorong masuk ke dalam mobil. "Ka-mu!" Aku melebarkan mata tak percaya saat menoleh ke samping kiri. Dia masuk kemudian duduk persis di sebelahku, menutup pintu mobil lantas menurunkan kaca mata hitam dari atas kepala, kini benda hitam itu menutupi matanya. "Jalan, Pak!" Perintahnya. Jelas dia sengaja mengacuhkanku. Dia menyandarkan tubuh lantas bersidekap. Mobil perlahan melaju membelah jalanan Karang yang ramai kendaraan. Aku menunduk memperhatikan jarum jam di pergelangan tanganku. Pukul 9 lewat lima menit. Hening. Aku menoleh ke kiri, berlama-lama memperhatikan lelaki gagah di sebelahku. Dia menoleh. Tapi hanya sekilas saja. Dasar lelaki aneh. Mencariku, mengataiku perempuan gak bener, lalu sekarang, dia memaksaku masuk ke dalam mobilnya. Kok ada lelaki seperti dia, sih? [Kutuliskan sebuah cerita cinta segitiga, di mana akulah yang jadi peran utama, aku tak dapat membohongi segala rasa, aku mencintai dia dan dirinya] Dering HP seketika membuatku merogoh tas tangan, aku menunduk dan mengambil HP, jari telunjukku dengan cekatan mengangkat panggilan vidio. "Halo, sayangku?" Sapaku dengan antusias sekali. Bibirku tersenyum lebar. Dadaku selalu berdebar tiap kali bertemu tatap dengan kekasihku gak peduli hanya tatapan lewat HP begini. "Halo juga, Cinta." Sambut pacarku dengan ramah. Aku tersenyum memandang wajah ganteng Mas Ferdian di layar HP. Dia balas tersenyum padaku. Saat aku menoleh ke samping, si lelaki asing tampak gak peduli. "Sayang, besok kita ketemuan, ya? Ada yang mau kubicarakan padamu." "Ketemuan? Serius?" Mas Ferdian mengangguk. "Oke, besok aku ijin gak masuk kerja sama istrimu. Ingat pesanku lho, ya, jangan coba-coba bobok sama istrimu atau kita putus." "Siap. Tapi kalau hanya cium pipinya boleh, kan? Dia akan ngambek kalau aku tidak cium dia seperti biasanya." "Kalau hanya cium, sih, bo-leeeh. Tapi lebih dari itu, sampai bobok sama dia, jangan, ya? Kamu kan udah janji gak akan sentuh dia. Dengar, Sayang?" "Dengar, dong." Lelaki di sebelahku mendecakkan lidah, sementara sang sopir senyum-senyum sendiri gak jelas. Aku menoleh, menatap lelaki di sebelahku dengan pandangan gak senang. Dia menurunkan kaca mata hitamnya, memandangku dengan tatapan penuh ejekan. Bibirnya menyeringai sinis. "Jangan lupa besok dandan yang cantik, ya, Sayang?" Pinta Mas Ferdi sambil mengedip menggoda. Aku pasti cantik seperti yang kamu mau Sayangku. I love you. Muaaah." Lalu aku mematikan sambungan telepon. Si lelaki mendecih sebal. Aku balas mengedikkan bahu dengan ekspresi gak peduli. Dasar lelaki aneh. Maunya apa, sih, sebenarnya? Tingkahnya itu gak ngenakin banget. "Menjadi simpanan suami orang, itu termasuk perempuan murahan," katanya dengan tatapan sinis. Dia tersenyum smirk dengan tatapan merendahkan. "Merusak rumah tangga orang bahkan sampai meminta pacarmu untuk tidak menggauli istrinya, itu juga termasuk perempuan murahan. Malah menurut saya, lebih murah dari pe ... la ... cur." Dia mengeja kata itu dengan gerak bibir yang menyebalkan, membuat dadaku panas bergemuruh. Aku memandangnya dengan ekspresi muak. Hatiku dongkol sekali. Apaan sih, dia. Ikut campur urusan orang saja. Suka-suka aku, laah, mau pacaran dengan siapa. Tidak salah perasaan suka mau melekat pada siapa saja. Pada bujangan atau lelaki beristri. Aku saja yang terlambat mengenal Mas Ferdi ketimbang Ana. Coba kalau aku duluan yang kenal Mas Ferdi, pasti aku yang jadi istri Mas Ferdi, bukanya Ana yang adalah bosku di toko aku bekerja. "Turun di sini! Sudah sampai!" Perintahku saat mobil melewati pasar Metro yang ramai penuh orang jualan di bibir jalan. Ada warung tenda jualan ayam bakar juga pecel lele, gerobak kaki lima yang jualan nasi goreng, ketoprak, bebek goreng dan banyak lagi lainnya. Pasar didekat terminal juga begitu ramai. "Saya tahu rumahmu bukan di sekitar sini." "Sebenarnya, Om siapa?" "Saya Reyhan." Dia menjawab singkat. Aku tertawa kecil. "Aku gak tanya nama Om. Melainkan aku hanya ingin tahu, kenapa Om cari aku? Siapa Om sebenarnya? Siapa yang nyuruh Om cari aku?" Mobil terus melaju. Si lelaki asing menoleh, menatapku dengan merendahkan seperti saat di klub tadi. "Nama panggilanmu siapa?" tanyanya. "Pertanyaanku belum dijawab," kataku. Dia diam saja. "Nama panggilanku Ana. Ya, Ana," ucapku karena dia terus diam. Tentu saja aku berbohong. Itu nama bosku, yang sekaligus istri Mas Ferdi. Dia mengernyit. "Bukannya namamu Ayu Dewi Anggraeni? Kenapa dipanggil Ana?" Sebelah matanya menyipit, terlihat heran. "Itu karena, aku malu dipanggil Ayu. Makanya aku minta teman-temanku manggil aku Ana. Suka-suka aku ingin dipanggil Ana, kek, Ayu, kek. Anggre, kek. Ani, kek." Hening. Dia bungkam saja. Mobil terus melaju "Berhenti, Pak!" katanya saat tiba di simpang kampus. Mobil pun berhenti. "Terima kasih sudah menolongku." Lalu, aku bergegas keluar, mendekat pada penjual nasi goreng, segera memesan dua bungkus. Lila, temanku yang cerewet tapi selalu peduli itu, pasti sudah menunggu dengan cemas di kontrakan. Dari awal, Lila gak menyetujui aku mencari tambahan uang dengan cara seperti ini. Aah, andai saja keluargaku mau mengerti alasanku menolak perjodohan dengan lelaki yang gak aku suka, aku gak mungkin kabur ke rumah Mas Rama, mantan kakak iparku. Mulanya, aku nyaman-nyaman saja tinggal di rumah Mas Rama. Mas Rama sangat baik. Hingga akhirnya Mas Rama menikah dengan Mbak Yana. Aku dan Mbak Yana sering berselisih pendapat karena hal-hal kecil, Mbak Yana juga cemburuan. Aku yang mulanya selalu mengalah karena tahu posisiku yang hanya mantan adik ipar Mas Rama, akhirnya meledak juga saat Mbak Yana menuduhku sengaja menggoda suaminya padahal gak sama sekali. Malam itu juga, aku berlari keluar dari rumah Mas Rama, keesokan harinya mencari kontrakan di dekat kampus. Ibuku yang tinggal di Jakarta, gak lelah terus menelepon membujukku pulang. Katanya, masa depanku akan cemerlang kalau nikah dengan lelaki pilihannya. He-yyy! Ini tuh sudah bukan jaman perkawinan paksa, aku ingin nikah dengan lelaki yang benar-benar aku gandrungi. Maka aku bilang pada Ibu bahwa aku bisa 'cemerlang' hidup enak tanpa harus menikah dengan lelaki yang gak kusuka. Kubilang pada Ibu bahwa aku dapat kerjaan yang gajinya lumayan. Ibu yang semula terus memaksaku pulang, akhirnya bungkam setelah kutransfer sejumlah uang yang lumayan banyak. Aku membayar nasi goreng, segera membawa langkah masuk ke dalam gang. Cowok-cowok yang duduk di bawah pohon yang ada di lapangan samping jalan, bersiul-siul. Suit, su-iiiit Suit, suit Aku terus berjalan dengan tatapan lurus ke depan. Karena gerbang kontrakan selalu dikunci tiap jam 9 tet, akhirnya aku melepas sandal lantas melemparnya ke dalam gerbang. Saat aku bersiap memanjat gerbang kontrakan, tiba-tiba saja rambutku ditarik kuat dari belakang. "A-uuw!" Aku menjerit sakit. PLAK!! Sebuah tamparan mendarat kuat di pipiku. Rasanya pedih dan menyakitkan. Belum juga aku sempat melihat siapa penyerangku, tiba-tiba saja tubuhku didorong kuat hingga aku tersungkur. Lututku mendarat kuat di semen, rasanya begitu pedih dan nyut-nyutan. Cairan merah terang menetes di lututku. Belum sempat aku bangun, tubuhku sudah kembali didorong lalu sebilah belati ditodongkan ke leherku. Aku menoleh takut-takut dan seketika mataku langsung melebar kaget.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD