Prolog
Suara tangisan bayi menggema di setiap sudut ruangan. Seorang lelaki bertubuh tegap, berambut pendek berwarna pirang kecokelatan yang berpakaian layaknya seorang raja, menghampiri bayi tersebut. Tangannya segera meraih tubuh bayinya yang mungil kemudian menggendongnya dengan penuh kasih sayang.
Sang raja menatap puterinya itu lamat-lamat. Kepalanya yang diselimuti sedikit rambut pirang kemerahan sama persis seperti ibunya. Kelopak matanya masih terpejam namun bergerak-gerak seperti berusaha membukanya agar dapat melihat dunia, juga sosok yang menggendongnya.
“Pa-panas.” Terdengar rintihan dari arah dipan, tempat dimana sang ibu berbaring.
Sang raja menoleh cemas. Ia segera menghampiri permaisurinya itu, lalu berkata, “Apa yang terjadi padamu, Layla?”
“Pa-nas. Tubuhku ... terasa sa-ngat pa ... -nas,” jawab Layla tertatih.
Sang raja, atau sebut saja namanya Edward, segera menghampiri Layla dengan raut cemas namun masih tetap sambil menggendong puterinya. Ia segera memanggil para pelayan untuk segera mengecek kondisi permaisurinya.
“Suhu tubuhnya sangat panas, Yang Mulia,” ucap seorang pelayan. Terdengar nada khawatir pada ucapannya. “Aku tidak tahu berapa, tapi sepertinya suhu tubuhnya sudah mencapai lebih dari angka maksimum yang ditunjukkan oleh alat pengukur suhu ini.”
Raja Edward melihat ke arah termometer yang digunakan untuk mengukur suhu tubuh Ratu Layla. Dan benar saja, angka yang tertera di sana terlihat berkedip-kedip seolah berusaha menembus angka-angka berikutnya yang sudah tidak bisa terdata lagi.
Raja Edward panik. Ia segera menatap puterinya khawatir sekaligus penuh tanda tanya. Kemudian, seiring terbukanya kelopak mata sang puteri, aura panas mulai merambat ke sekujur tangan juga tubuh Raja Edward secara cepat.
Refleks, Ia meletakan putrinya itu diatas dipan tempat Layla berbaring. Matanya menatap mata sang puteri tidak percaya. Lihat saja, bola mata puteri kecilnya itu berwarna oranye menyala. Dan sekujur tubuhnya mengeluarkan api yang membara. Semua pelayan dan tabib yang menyaksikannya juga sama terkejutnya dengan Raja Edward.
Tatapannya kembali beralih pada Layla. Napasnya mulai menderu dengan cepat. Kulit pada tubuhnya mulai menghitam secara perlahan. Ia mulai panik dan tidak peduli lagi pada puterinya. Sesaat, ia menatap benci bayi mungil yang tidak berdosa itu.
“Cepat lakukan sesuatu!” serunya pada setiap pelayan yang ada di ruangan megah itu.
Seorang tabib berkata, “Apa yang harus kulakukan, Yang Mulia? Menyentuhnya saja aku tidak bisa. Tanganku langsung terbakar. Seperti menyentuh panci yang berisi air mendidih.”
“Air, ambil air! Cepat!”
Semua pelayan segera melaksanakan perintah Sang Raja. Namun ternyata sebelum mereka kembali, deru napas Layla berhenti. Juga detak jantungnya. Kulitnya perlahan kembali seperti semula, namun nyawanya tidak terselamatkan.
Semua menatap kaku.
“Maafkan hamba, Yang Mulia. Sepertinya kita telah kehilangan Ratu Layla,” ucap tabib itu lemah.
“Tidak. Tidaaak!!!” Raja Edward berteriak pilu. “Layla, kumohon buka matamu. Kembalilah! kumohon Layla aku sangat mencintaimu!”
Ia mulai mengeluarkan air mata. Ia tidak peduli lagi dengan wibawanya yang harus dijaga di depan rakyatnya. Ia tidak peduli lagi dengan jabatannya saat ini. Ia benar-benar sedih dan terpukul. Begitu pun dengan semua mata yang menyaksikannya. Mereka benar-benar berduka karena telah kehilangan sang Ratu yang begitu dicintai.
Sang penasihat, Hasya, menghampirinya perlahan. Ia mengisyaratkan agar semua pelayan dan tabib yang telah menyaksikan kejadian ini untuk meninggalkan mereka disini dengan mulut yang tertutup sangat rapat. Lalu ia menatap pilu kepada rajanya itu. Biasanya, disaat seperti ini, seorang penasihatlah yang paling berperan untuk membimbing sang raja. Tapi kali ini, Hasya benar-benar tidak tahu apa yang harus dikatakannya. Ia pun sama sekali tidak menyangka kalau akan kehilangan ratunya secepat ini.
Beberapa menit berlalu. Suara tangis Raja Edward mendadak berubah menjadi geraman kecil. Itu benar-benar aneh. Tidak biasanya beliau semarah itu. Dan lagi pula, ia marah karena apa?
Ia lalu menatap putri kecilnya itu dengan tatapan bengis.
“Hasya, kuperintahkan kau untuk membunuhnya sekarang juga!” serunya sambil menunjuk puterinya dengan mata yang melotot murka.
Hasya membelalak terkejut.
“Tapi Yang Mulia, ia hanya seorang bayi yang tidak berdosa. Ia tidak bermaksud membunuh ibunya. Tidak ada yang tahu elemen apa yang akan dimiliki oleh seorang anak, terutama bagi keturunan kerajaan. Ratu meninggal karena kecelakaan, Yang Mulia. Bukan salahnya. Kumohon jangan kau suruh aku melakukan tindakan k**i itu,” jawab Hasya dengan sedikit tegas.
“Aku tidak peduli! Siapa pun yang telah membunuh istriku harus disingkirkan!” serunya. “Cepat lakukan atau kau yang akan kubunuh, Hasya!”
“Ba-baik, Yang Mulia,” jawab Hasya tergagap.
Kemudian, Hasya membawa bayi itu, yang tentunya sudah tidak berkobar lagi, ke suatu tempat yang jauh dari peradaban. Sang raja tidak tahu kalau Hasya, penasihat kerajaan yang menjadi orang kepercayaannya sejak lama itu, untuk pertama kalinya tidak melaksanakan tugasnya dengan benar. Ia tidak pernah membunuh bayi mungil yang tidak berdosa itu.
•••