Hal pertama yang Raline lakukan begitu kembali ke unitnya di East Tower adalah mencari buku milik Diana yang ia sambar begitu saja tanpa menelitinya dulu Jumat lalu.
"Daily & Simply Hunting Treasure Games!" seru Raline gemas ketika membaca judulnya. Ia mengempaskan tubuh ke atas tempat tidur dengan perasaan kesal, tidak peduli dengan pakaiannya yang masih kotor. "Ral, lo asli bodoh banget! Bisa-bisanya nggak kelihatan judul sebesar ini!"
Dalam posisi terlentang, Raline melembari isi buku itu dan menyadari kalau perkataan Diana benar. Buku ini berisi kegiatan sederhana tetapi menarik yang akan membuat pembacanya dipaksa bergerak dan melakukan aktivitas fisik di sekitar tempat tinggal mereka. Sayangnya, Raline tidak menyadari itu saat membacanya dalam pengaruh alkohol.
"Tapi orang yang bikin buku ini juga kurang kerjaan banget, deh! Nggak ada yang lebih berguna apa?" Dibantingnya buku itu ke lantai. Buku pembawa petaka yang membuatnya terjerumus masalah.
Sejak resmi berpisah dari Kamal lima bulan lalu, seorang Raline Carina Blanchard memang kerap bertingkah di luar kebiasaan. Raline yang biasa ceria kini sering terlihat murung. Raline yang senang hangout kini lebih banyak mengurung diri di kamar, menghabiskan waktu memandangi galeri foto penuh kenangan manis, lalu berakhir stalking akun media sosial Kamal Ekadanta yang membuatnya menangis semalam seolah dirinya adalah Audy sang pelantun lagu hits pada masanya. Konyolnya, Raline tidak terima jika dikatai dirinya terjebak di ruang nostalgia. Raline menolak mengakui kenyataan itu karena katanya dia bukan Raisa.
Kalau saja Raline tidak bebal dengan terus mencuri lihat perkembangan kehidupan Kamal sejak pindah ke Birmingham, pastilah ia baik-baik saja. Namun, sayangnya Raline tidak bisa menahan godaan itu. Apalagi ketika melihat betapa bahagianya tawa Kamal bersama teman-teman barunya di sana yang dipamerkan dalam postingan stories milik pemuda itu. Meski berpisah, mereka memang sepakat untuk tidak putus kontak. Keduanya masih saling menyimpan nomor dan mengikuti akun sosial media satu sama lain. Putus bukan berarti jadi musuh. Mungkin itulah yang membuat Raline susah move on.
“Kamu kelihatan bahagia banget di sana,” gumam Raline lirih. Niatnya untuk lembur dan menenggelamkan diri dalam pekerjaan hari itu malah berakhir kacau. Ketika waktu sudah menunjukkan pukul tujuh malam, ruang kerja sudah sepi dan hanya tinggal Raline tersisa sendiri saja, tanpa sadar tangan gadis itu bergerak menyambar ponsel dan mengintip stories milik Kamal. Perasaan Raline yang sudah buruk, semakin tidak karuan. Akhir pekan selalu jadi waktu yang berat, pikiran Raline akan terus kembali pada kenangan saat mereka masih bersama.
“Percuma lembur di sini, mending balik ke kamar terus tidur,” gerutu Raline pada dirinya sendiri. Sebelum berlalu meninggalkan ruangan, Raline tiba-tiba teringat pada saran Diana untuk membaca buku berisi kiat-kiat bagi orang yang ingin melupakan kenangan bersama kekasih. Jadilah Raline mampir dulu di meja Diana, merogoh laci kerjanya, lalu menyambar buku bacaan yang dimaksud.
Kembali ke unit residence yang disewanya, Raline bergegas menyambar persediaan minuman beralkohol miliknya, hasil suplai dari Jett sang kakak. Raline suka menikmati minuman yang bisa memberinya sensasi rileks itu, tetapi hanya sendirian. Dia tidak suka melakukannya bersama orang lain, apalagi di kelab malam. Cukup sendiri, sambil berendam di kamar mandi, menikmati sepi yang menggigit. Setelah menenggak tiga gelas whiskey tanpa campuran, kepala Raline mulai terasa ringan. Merasa cukup untuk malam ini, Raline menyudahi acaranya berendam, mengeringkan tubuh, kemudian menyambar pakaian tidur model terusan selutut bertali satu.
Raline membawa buku bacaan milik Diana ke tempat tidur bersama segelas whiskey lainnya. Dilembarinya buku itu kemudian merasa tertarik mengikuti kiat-kiat di dalamnya.
“Angkat tubuhmu dan berjalanlah menuju pintu keluar.” Raline membaca kalimat pertama sambil mengikutinya. Namun, sebelum benar-benar meninggalkan kamar, Raline kembali mengisi gelasnya dan menenggak habis isinya. Sampai di luar pintu unitnya, Raline melanjutkan membaca. “Berjalanlah lurus hingga menemukan persimpangan. Tentukan pilihanmu sendiri, ke kiri atau kanan, keduanya akan membawamu pada petualangan yang sama menariknya.”
Raline menyusuri lorong lantai tiga hingga berakhir di persimpangan, kiri lift, kanan tangga. Kakinya bergerak melangkah ke kanan dan menaiki tangga. Perlu diketahui, East Tower hanya terdiri atas lima lantai. Lantai satu untuk area sport center, laundry, dan dining. Lantai dua untuk unit dengan tipe studio, lantai tiga untuk tipe one bedroom, lantai tiga untuk tipe two bedroom, dan lantai lima untuk tipe three bedroom.
Tiba di lantai empat, Raline kembali membaca instruksi di buku. “Kembali lanjutkan perjalananmu hingga menemui pintu pertama yang terlihat olehmu di sisi kiri. Jika tidak ada, kamu bisa mencoba ….”
Raline tidak lagi melanjutkan bacaannya karena kepalanya sudah terlalu berat dan langkahnya semakin goyah. Di pintu pertama yang terlihat olehnya, Raline berhenti dan menggedor. Tidak perlu menunggu lama sampai pintu itu terbuka. Begitu pintu terbuka, seketika Raline menangis bahagia. Ada Kamal di sana, menatapnya kebingungan. Kekasih yang dirindukan kini berada di hadapannya, bagaimana Raline tidak bahagia?
Tanpa ragu Raline melemparkan diri ke pelukan Kamal hingga mereka terhuyung masuk. “Kamu kenapa nggak bilang kalau ada di sini? Kamu nggak tahu aku kangen banget sama kamu?”
“Raline, kamu kenapa?” Sesungguhnya yang saat ini berdiri di hadapan Raline bukanlah Kamal melainkan Noe. Pria itu kebingungan melihat kondisi Raline yang kacau. Pakaian tidur seadanya, mata sembab, tubuh berbau alkohol, dan kini melemparkan diri ke dalam pelukannya. Noe tahu Raline, gadis ini biasanya sopan dan tidak pernah macam-macam.
“Lama nggak ketemu, kamu makin cakep.” Raline tidak peduli dengan pertanyaan Noe. Ia malah menatap pria itu penuh kekaguman.
Jangankan dalam keadaan mabuk dan sedang berhalusinasi, dalam keadaan sadar pun Raline memang mengakui Noe itu tampan. Senior Designer yang menjabat sebagai Display Manager di IDEA itu memang cukup banyak dikagumi dan menjadi idola para karyawan wanita. Sikapnya yang santun dan penuh perhatian membuat pria berusia 30 tahun ini semakin memiliki nilai lebih. Ditambah posturnya yang tinggi, wajah bule dengan hidung tinggi, mata biru terang, rahang tegas, dan rambut tembaga, membuat Noe nyaris sempurna.
“Ral, are you okay?” tanya Noe bingung. Dia terus memegangi tubuh Raline yang siap ambruk kapan saja. “Is there anything I can help you with?”
Tiba-tiba saja Raline mendorong tubuh Noe hingga punggung pria itu membentur dinding. Dipandanginya Noe sedemikian rupa sambil menangkup wajahnya. Sesaat kemudian Raline bertanya lirih, “boleh aku cium kamu?”
Noe membeku. Apa yang salah dengan gadis ini? Namun, belum sempat Noe bereaksi, Raline sudah berjinjit dan mengecup bibir pria itu. Bukan kecupan ringan melainkan cumbuan penuh hasrat. Untuk beberapa saat Noe terhanyut. Bagaimanapun dia hanya lelaki normal yang punya hasrat. Katakan bagaimana caranya agar Noe tidak tergoda jika gadis secantik Raline tiba-tiba menjatuhkan diri ke dalam pelukannya?
Sejak awal Raline bergabung dalam timnya, Noe menyadari bahwa gadis itu bukan sosok yang mudah diabaikan. Eksistensinya terlalu nyata untuk tidak disadari. Gadis berwajah blasteran itu terlihat sangat menonjol di antara para pendatang baru seangkatannya. Tingginya yang di atas rata-rata, kulit pucatnya yang kontras dengan rambut cokelat terang bergelombang, dan mata hijau cerah yang sangat cocok dengan hidung bangirnya, semua itu menjadikan Raline sorotan tanpa perlu gadis itu mencari sensasi. Bahkan Raline sempat menjadi pergunjingan di antara karyawan lain, baik lelaki juga perempuan. Namun, gadis itu berhasil membuktikan bahwa otaknya secemerlang penampilannya.
Perlahan kesadaran menghinggapi Noe. Mereka harus berhenti sebelum terjadi sesuatu yang lebih jauh. Noe berusaha melepaskan tautan bibir mereka dan bernapas terengah setelahnya.
“Ral, stop it, okay?” pinta Noe sambil berusaha mengendalikan diri. Sejujurnya, hasrat Noe sudah tersulut. Penampilan Raline saat ini menggoyahkan keteguhan Noe. Pakaian tidurnya yang hanya selapis itu begitu tipis, mencetak jelas lekuk indah tubuh Raline. Panjangnya memang mencapai batas lutut, tetapi potongan bagian atasnya begitu rendah, memperlihatkan sudut indah yang seharusnya tertutup rapat. Belum lagi ketika tali tipisnya meluncur turun ke samping, sesuatu yang seharusnya tertutup itu menjadi semakin tersingkap nyata. Noe sungguh tidak paham bagaimana bisa Raline berkeliaran di East Tower dengan pakaian seperti ini?
“Kenapa harus berhenti?” tanya Raline keberatan.
“Kalau diteruskan, ini akan berakhir dengan cara yang salah,” ujar Noe dengan suara parau. Jemari Raline yang terus membelainya membuat Noe hilang akal.
“Aku nggak ingin berhenti,” gumam Raline.
***