• KAMAR 02 •

1015 Words
Golden High School. 10:30 am. Seorang mayat laki-laki ditemukan dengan posisi tubuh telentang, mata membelalak, lidah menjulur keluar dan area perut penuh dengan cairan merah kehitaman. Tak lama setelahnya, kepala NYPD (New york Department Police) Paul Scoots, datang bersama dua polisi lain dan seorang detektif muda bernama Nicholas. Penyisiran TKP dan pemasangan garis polisi-pun segera dilakukan. "Setelah pengecekan darah dengan luminol, kami menemukan banyak darah kering di lantai," kata Nicholas. "Kemungkinan besar, darah yang tercecer di lantai merupakan darah korban." Sang chief, Paul lalu menepuk bahu Nicholas dengan tegas. "Kasus ini akan kuserahkan kepadamu sekarang." Nicholas bahkan tak ragu untuk mengangguk menyanggupi. Ia kemudian berjongkok, kembali mengamati mayat korban dan mencatat kondisi tempat kejadian perkara dalam jurnal pribadinya. Brittany yang sejatinya sudah ikut berkerumun dan berdiri di antara kerumunan siswa lain-pun, menjadi ikut kalut dalam rasa penasaran. Mungkin firasat, ia-pun menyalip orang-orang di depannya tersebut hingga berhasil menerobos barisan dan kini berdiri di barisan terdepan. Matanya langsung membelalak kaget saat menemukan wajah tak asing disana. Buru-buru diangkat garis kuning yang melintang di hadapannya itu dan tubuhnya-pun langsung bersimpuh jatuh, tepat di depan sang mayat. "James...," ucap Brittany dengan nada sedih. Nicholas mendekat dan dengan sigap mencegah jari - jemari lentik berpoles cat kuku ungu itu untuk menyentuh wajah korban. Ia kemudian menuntun Brittany untuk menepi dengan hati-hati. "Jangan terlalu dekat. Aku tidak ingin sidik jarimu disalahgunakan seseorang." Isak tangis Brittany pecah saat ayahnya, bersama dua polisi lain memindahkan mayat kekasihnya ke dalam ambulance untuk melewati proses otopsi di rumah sakit. Intuisi Alicia, akhirnya membawanya ke lorong. Meski tidak benar - benar tertarik, Alicia akhirnya berdiri di antara segerombolan siswa yang memerhatikan proses pemindahan korban dengan antusias. Mereka tampak penasaran, khawatir dan ketakutan di saat yang bersamaan. Lalu seorang pria dengan kumis hitam di atas bibirnya itu mendekati Nicholas. Ialah Paul scoots dengan ekspresi gusarnya. "Tuan Blake memintaku agar kita berhati-hati saat berstatement di media." Nicholas mengedikan alis, terkejut. "Cih. Siswanya tewas, tua bangka itu malah sibuk dengan pencitraan," batinnya. Tapi yang keluar dari mulutnya, justrulah hal lain, "Baik, chief." Setelah kepolisian pergi mengawal ambulance yang membawa James, siswa yang lain-pun diinstruksikan untuk kembali ke kamar mereka oleh para petinggi Golden High untuk membantu proses penyidikan. Kelas dibubarkan pada hari itu. Brittany lalu mendekati Nic. Kedua mata yang sembab itu kini menatapnya gamang. "Nic, apa yang sebenarnya terjadi pada James?" "Dari kondisi korban, diduga James mengalami penganiayaan dan pembunuhan berencana." Nicholas diplomatis. Britt menggeleng pelan, masih tidak percaya. "Siapa orang yang tega melakukan semua ini, Nic?" nada suaranya masih terdengar lirih. Alicia mendekat dan berdeham. "Britt," Britt menoleh dan tertegun sesaat saat melihat kehadiran Alicia yang katanya tidak ingin meninggalkan hall, kini malah berdiri di hadapannya. "Alicia?" "Aku turut berduka untukmu," kata Alicia yang dibalas anggukan terima kasih oleh gadis berpipi chubby itu. Sebagai seseorang yang pernah ditinggalkan, Alicia mengerti betul perasaan Brittany sekarang. Sejenak, kematian James juga membawanya pada sepenggal ingatan di masa lalu. Tapi sekarang bukanlah saat yang tepat untuk bernostalgia dengan masa-masa kelam itu. Alicia kini menatap lantai, lantas mengamati keramik gazled bercorak abu gelap di bawah kakinya. Ia kemudian sengaja  menggesek-gesekkan kaki jenjangnya yang terbalut boots beberapa kali disana, nampak ingin membuktikan sesuatu. Alicia menggumam pelan. "Permukaan lantainya agak kasar dan kesat." Britt dan Nic kemudian saling melempar pandangan heran. Keduanya diam, seolah menunggu Alicia untuk melanjutkan. "Apa darah-darah ini... Hanya milik James?" Alicia menoleh ke arah Nic. Nic melihat Alicia lalu Brittany, lalu Alicia lagi. Ia mengusap tengkuk lehernya canggung. "Melalui tes luminol, kami memang menemukan darah yang kami duga sebagai milik korban." Alicia mengusap dagunya, seolah tengah menimbang sesuatu. "Kau yakin semua darah yang tercecer disini hanya darahnya?" Nic mengangguk yakin. Sementara Britt diam memerhatikan sembari menyeka sisa-sisa air matanya. Alicia mengamati jejak darah yang membentuk sebuah pola panjang sebelum akhirnya berakhir pada genangan darah James di depannya. Rasa penasaran, membawanya melangkah mengikuti pola darah yang terbentuk seperti cipratan - cipratan darah. Ia kemudian berhenti, di depan sebuah tetesan darah terakhir. "Darahnya di mulai dari sini," katanya, lalu menunjuk tetesan merah di dekat kakinya. "Bisakah kau mengambil sampel darah ini, detektif?" Nic melirik Brittany dan mengangguk setuju. Ia segera melakukan tes luminol pada darah tersebut. Nic mengernyitkan alis heran, saat hasil pencocokan darah itu dinyatakan negatif. "Negatif," Nic memberi tahu. Britt melihat keduanya bingung. "Apa maksudnya dengan negatif?" Alicia dan Nic saling pandang untuk beberapa detik dan mengangguk sepakat, bahkan tanpa mengucapkannya. "James melakukan perlawanan disini, ia berhasil membuat pelaku terluka." kata Nic lalu menyeringai puas. "Kerja bagus, James," seolah pemilik nama itu kini ada di depannya. Alicia mendongak, mendapati persimpangan lorong-lorong asrama di depannya. "Sepertinya James sudah dibuntuti sejak keluar kamar." Mata birunya yang bercahaya, menengadah ke langit-langit lorong yang usang. Mencari sesuatu yang mungkin membantu investigasinya. Sayang, hanya ada satu kamera cctv di pojok lorong, itupun terhalang oleh debu yang cukup tebal. "Apa cctv itu berfungsi?" tanya Alicia pada Britt. Britt terkekeh meremehkan. "Memangnya, apa yang bisa kau lihat dari jarak sejauh itu?" Ia menjeda kalimatnya dan menggeleng malas. "Bahkan kameranya sudah dihalangi banyak debu." Alicia kemudian kembali memerhatikan area di sekitar lokasi ditemukannya korban. Sementara Nic, diam - diam tersenyum ke arah Alicia. Gadis yang menarik. Britt menekuk dahinya dalam dan menggumam pelan. "Nic, kenapa mayat James begitu mengenaskan? Bahkan bola-bola matanya membelalak dan lidahnya... Euh, mengerikan." Nic menuliskan hipotesa kematian James dengan hati - hati. "Kurasa korban dicekik sebelum ditusuk sesuatu," Nic terdengar tidak yakin. "Bagaimana kalau korban memang mati karena tercekik dan tusukan itu hanya sebuah alibi?" ujar Alicia tiba - tiba. Brittany dan Nicholas menoleh dengan mimik terkejut. Ekspresi heran bercampur takjub terpasang di wajah Britt dan Nic, saat Alicia mencetus dugaan itu dengan lugas. Britt menggumam pelan. Ia memandang persimpangan lorong dengan resah sekarang. Nic mengamati gerak-gerik gadis berambut pirang di sebelahnya curiga. Ia berdeham, memecah kegelisahan Britt. "Ada apa, Britt? Kau resah sekali," "Ada yang janggal disini," bisik Brittany, seolah takut seseorang menguping pembicaraan mereka. "Kenapa, Britt?" tanya Alicia. Brittany menggigit bibir bawahnya ragu. "Bukankah petinggi membagikan kamar baru yang disesuaikan dengan abjad?" Ia berhenti sejenak, lalu menoleh ke arah Alicia dan Nic bergantian. "Kalau yang dikatakan Alicia tentang James yang diikuti dari kamar benar. Bukankah seharusnya ia terbunuh di lantai dua, karena kamarnya ada di lorong 002?" Alicia dan Nic saling pandang, sebelum Britt menghela napas panjang dan menyelesaikan kalimatnya. . . . "Jadi James baru keluar dari kamar siapa?" 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD