Penerbangan ke Jakarta

1165 Words
Sesaat kemudian petugas polisi berbalik, dan mengajak Iksan bicara. Ia mengabarkan kepada Iksan bahwa keponakannya barusan baru saja siuman, perlahan kesadarannya mulai pulih, kondisi kesehatannya pun berlangsung menunjukkan ke arah positif. Namun tetap masih harus dipantau, karena ada sedikit cedera otak di kepalanya. Dokter tersenyum ramah ke arah mereka, dokter itu hanya bisa berbahasa Jepang sehingga agak sulit berkomunikasi dengan keluarga pasien. Untung saja ada petugas polisi yang mendampingi sebagai jembatan komunikasi antara mereka. Perlahan Ayaka mengedip-ngedipkan mata, agak sedikit memicing karena silau. Ia bingung, masih tidak menyadari keberadaannya. Geger otak di kepalanya membuat ia sedikit linglung, ia tak ingat apa yang terjadi, yang ia tahu ia tengah bersiap-siap akan berangkat ke Tokyo, bertemu kerabat Sang Ibu sambil merayakan ulang tahunnya yang jatuh tepat di hari keberangkatan pesawat menuju Jepang. Ia pun tidak ingat saat pramugari menghadiahinya kue ulang tahun saat di pesawat, padahal kue dengan topping fondant berwarna pink berbentuk kuda unicorn di atasnya itu sangat ia sukai. Ia juga tak ingat saat hendak turun dari pesawat segenap awak kabin memberinya rupa-rupa permen sebagai hadiah. Sangat manis, semanis rasa Loli Pop. “Tante,” ucap Ayaka pelan dan lemah. “Stttt...” respon Dila. “Aku di mana?” tanyanya. “Beristirahat lah! Nanti kalau sudah pulih Tante ajak jalan-jalan lagi ya,” kata Dila menghibur sambil mengusap kepala Ayaka yang sebagian masih diperban. “Mama di mana?” Ayaka benar-benar bingung. Sebelum pertanyaannya sempat terjawab, Iksan menyambar. “Bagaiman kabarmu, Sayang?” tanya Iksan pada keponakannya, mengalihkan pembicaraan. “Baik, Uwa,” Ayaka mencoba tersenyum. “Kepala kamu sakit, Nak?” tanyanya lagi. Ayaka mengangguk. Setelah itu Iksan berbalik dan mencoba berkomunikasi dengan dokter dalam bahasa Inggris, kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Jepang oleh petugas yang mengantarkan mereka tadi. “Kapan Ayaka boleh pulang, Dok?” tanya Iksan. Dokter itu mengernyitkan dahi, karena terlihat kebingungan, petugas polisi langsung menerjemahkan pertanyaan Iksan. “Karena kondisi kesehatan Ayaka yang pesat, maka jika kondisi Ayaka sudah stabil, ia sudah boleh pulang besok atau lusa,” “Baik, terima kasih. Terkait cedera otaknya, apakah Ayaka akan kehilangan ingatannya?” “Tidak, itu hanya bersifat temporary, sebulan atau dua bulan pun akan kembali pulih seiring kondisinya yang semakin membaik. Namun diharapkan bagi keluarga untuk tidak memaksakan pasien mengingat semuanya. Pelan-pelan saja! Jika tidak akan berdampak serius pada kesehatannya,” “Kalau pasien menanyakan soal orang tuanya bagaimana?” tanya Iksan sangat serius. Sang Dokter terdiam sejenak. Kemudian memberikan jawabannya. “Berikan jawaban yang sesungguhnya, tapi dengan cara yang halus. Jika pasien diberikan jawaban yang tidak sebenarnya hanya untuk menjaga perasaan pasien, ia akan baik-baik saat itu, tapi akan mengganggu proses pemulihan, ingatannya kembali akan semakin lama, dan di saat pasien mengetahui hal yang sebenarnya malah akan menimbulkan masalah baru nanti, misal pasien jadi terguncang, atau hal lain yang lebih buruk lagi,” “Tapi kami tidak tega, Dok, jika harus mengatakan kejadian yang menimpa kedua orang tuanya. Kami saja sudah sangat sedih apa lagi anak itu?” “Kalau begitu untuk saat ini yang bisa Anda lakukan adalah mengalihkan perhatian pasien pada hal yang membuatnya bahagia,” Dokter memberi anjuran. “Baik kalau begitu, Dok, terima kasih,” “Sama-sama. Dan satu lagi jangan lupa minum obatnya tepat waktu!” “Baik, Dok,” Setelah dokter yang merawat Ayaka memberikan lampu hijau dan mengizinkan Ayaka pulang besok atau lusa, maka Iksan segera membereskan urusan rumah sakit, yang ternyata sudah ditanggung oleh asuransi pemerintah, karena termasuk ke dalam kecelakaan lalu lintas. Sedangkan perkara peradilan terkait mobil yang menabrak kendaraan adiknya, Iksan tidak lagi memperpanjang, namun jika memang harus terus diusut, semua diserahkan pada proses hukum yang berlaku. Takdir kadang tersembunyi niat awal menikmati indahnya kota Tokyo, jantung negara Jepang itu. Yang terjadi adalah kecelakaan maut yang harus merenggut kedua orang tua Ayaka. Untunglah Ayaka kuat menghadapi cobaan ini, jika menimpa anak lain belum tentu sanggup. Ayaka bersama kerabatnya kembali ke tanah air dengan penerbangan pertama, ia masih belum ingat apa pun, selain saat dirinya akan bersiap-siap berlibur dan tiba-tiba sudah terbaring di sebuah rumah sakit di Jepang. Kadang kepala Ayaka terasa pusing jika memaksakan mengingat apa yang terjadi, jadi jika tidak kuat menahan rasa sakit itu ia memilih untuk tidak berpikir apa pun. Atau kadang bertanya pada Dila atau Iksan, saudara ayahnya. Meski pun kadang Ayaka tanya apa mereka jawab apa. Sudah lah, mungkin waktu yang akan menjawabnya. “Kamu baik-baik saja?” tanya Dila. “Iya, Tante,” jawab Ayaka singkat. “Mau minum?” tanyanya lagi penuh perhatian. “Nggak, Tante,” jawab Delina sambil menggeleng. “Perasaan kamu gimana hari ini?” tanya Dila lagi. Mendadak orang-orang menjadi lebih sering menanyakan kabar, aneh sekali, padahal sebelum-sebelumnya tidak pernah. “Baik, Tante. Cuma sedikit sakit di bagian ini,” jawab Ayaka sambil menunjuk pelipis sebelah kiri. “Gak apa-apa, lama-lama juga tidak, asal Ayaka rajin minum obat ya,” nasihat Dila. Kemudian Ayaka terdiam memandang ke luar. Kebetulan ia duduk tepat di samping jendela bersebelahan dengan Dila. Penerbang kali ini sedikit berbeda, bukan karena menggunakan business class, tapi karena terbang tanpa kedua orang tuanya menjadi terasa sangat sepi dan hampa. Ke mana-mana mereka bertiga, Ayaka dan orang tuanya selalu bersama. Meskipun terbilang tidak sering, karena Sang Ayah sibuk, namun momen liburan selalu berkesan. Adnan selalu membeli tiket penerbangan yang paling nyaman, kalau tidak first class, bahkan kadang sengaja menyewa Jet pribadi jika memungkinkan. Tentu tidak murah, tapi waktu bersama itu jauh lebih mahal dari sekedar harga tiket penerbangan. Dan penerbangan kali ini sedikit berbeda. Mungkin selamanya tak akan pernah sama. “Nanti Ayaka tinggal sama siapa, Bang?” tanya Dila pada Iksan yang duduk di belakangnya. “Nanti kita bahas di Jakarta!” jawab Iksan. Ia masih terlihat sangat terpukul dengan kabar meninggal adik dan iparnya dalam kecelakaan. Perjalanan dengan pesawat ini adalah perjalanan yang paling menyedihkan untuk keluarga besar Adnan khususnya Ayaka, tidak ada wajah bahagia atau gembira sedikit bun di wajah mereka, sampai-sampai pihak awak kabin merasa khawatir jika ada service mereka yang kurang baik. Beberpaa kali pramugari menengok untuk menanyakan kebutuhan mereka. “Maaf Pak, ada yang dibutuhkan?” tanya pramugari itu pada Iksan dan Edrik yang duduk bersebelahan. “Tidak, terimakasih,” “Maaf, Bu, mungkin ada yang dibutuhkan?” giliran Dila yang ditanya. Ia hanya menggeleng dan membri kode terima kasih dengan telapak tangan. Pristiwa kecelakaan itu memang peristiwa yang tidak terduga, awalnya mereka pamit untuk berlibur selama dua minggu, baru saja berangkat sudah dapat kabar bahwa mereka mengalami kecelakaan, siapa yang tidak syok?. Tapi keluarga sudah pasrah dan menerima takdir ini dengan lapang d**a. Kemarin malam sebelum mereka pulang ke tanah air, mereka sempan mengunjungi keluarga Aiko, istri Adnan. Keluarga Aiko menawarkan diri untuk mengurus jenajah ayah dan ibu Ayaka, karena jenazah yang sudah hangus itu tampaknya sedikit repot jika dipaksakan di bawa ke Indonesia, belum lagi Polisi setempat masih memerlukanya untuk kebutuhan penyelidikan. Maka ketika mereka pulang, jenazah-jenazah itu masih tetap berada di tanak kelahiran Aiko, dan mungkin jika tidak memungkinkan di bawa ke Jakarta, mereka akan dimakamkan di sana.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD