CHAPTER-1. MIDNIGHT.

2352 Words
CHAPTER-1. MIDNIGHT. MIDNIGHT Emmaline Winters duduk manis di belakang kemudi sebuah Aston Martin Vanquish berwarna biru mlik mendiang kakaknya, Drake Winters. Midnight memejamkan mata rapat-rapat sebelum menginjak gas dan membawa serta dirinya serta Dalton dari area parkir club sialan itu. Setelah perburuannya selama berbulan-bulan akhirnya ia berhasil menemui Brady Smith, laki-laki yang sudah membunuh kakaknya. Midnight masih ingat bagaimana pria itu menghadiri pemakanan Drake dengan wajah penuh kemenangan. Sejak saat itu, ia bersumpah akan membalaskan dendam Drake. “Apa yang kau pikirkan?” Dalton di sisinya bertanya. “Dan apa yang sudah kau katakan pada Brady?” Dengan amarah yang masih menggelayut di dadanya, Midnight menginjak gas lalu membawa mobil itu melaju menembus jalanan malam. Mereka harus segera sampai di rumah sebelun ada  yang melihat kepergian mereka. Terutama orangtua mereka. Kekesalannya bertambah kala mengingat adik kecilnya itu mencampuri segala urusannya. “Mid…” cicit Dalton menyebut nama panggilannya. “Katakan sesuatu.” “Kau tidak akan mengerti, Dalton.” Ia mendesah lesu. Sejak kematian Drake, semuanya berubah. Termasuk dirinya. Tidak ada lagi pria yang selalu mengirim pesan jenaka, tidak ada yang tiba-tiba memberinya hadiah atau pria yang secara sengaja memanggilnya Quenn of The Darkness hanya karena dirinya lahir di tengah malam. “Sebaiknya kau tidur.” Sambungnya. Dalton seolah tahu apa yang saat ini ia pikirkan. Pria itu menyentuh bahunya dan berkata, “Drake sudah tenang di syurga, Mid. Kau tidak boleh seperti ini.” Senyum mencemooh menghiasi wajah Midnight. “Dia masih di sini seandainya Si b******k Brady tidak membunuhnya. Kau tahu mereka selama ini bersaing untuk menjadi pemenang.” Terdengar desahan panjang dari Dalton. Pria itu menyingkirkan tangan dari bahu Midnight. “Kau keras kepala. Sudah berapa kali kubilang padamu? Itu kecelakaan. Murni kecelakaan. Brady tidak sengaja menabrak Drake.” “Dalton Winters,” Midnight tidak ingin lagi menanggapi sang adik. “Tolong diam dan tidurlah.” Karena lelah berdebat dengannya, Dalton akhirnya memilih untuk menutup mata. Ia  menyandarkan kepala di kursi dan menutup mulut rapat-rapat. Midnight yang melihat pemandangan tersebut hanya bisa menggeleng. Sampai kapan pun, Dalton yang masih kecil dan kenak-kanakan itu tidak akan pernah mengerti apa yang selama ini terjadi pada Drake. Lagi-lagi ingatan Midnight seolah dipaksa untuk kembali pada kenangan bersama Drake. Saat Drake masih hidup, pria itu selalu menyempatkan untuk membawanya ke lintasan. Drake mengajarkan Midnight bagaimana mengendarai sebuah motor dan memperlihatkan trik-trik khusus yang selama ini dipakainya saat balapan. Tawa pria itu memenuhi benaknya. Bahkan semangat Drake yang tinggi pun seolah masih berkobar dalam dadanya. Hal, itulah yang akhirnya memicu Midnight untuk menemui Brady. Sampai kapan pun, ia tidak akan pernah membiarkan Brady menikmati kemenangan di atas kematian kakaknya. Tidak akan! Tanpa ia sadari, mobil yang mereka tumpangi hampir sampai di rumahnya. Midnight melajukan benda beroda empat itu menuju area parkir setelah seorang petugas keamanan mambuka pintu gerbang. Sesampainya di halaman, ia menoleh ke arah Dalton dan memandangi adiknya dengan perasaan kagum. Meski terkadang menyebalkan, Dalton menyikapi kepergian Drake jauh lebih baik di banding dirinya.  “Dalton, kita sudah sampai.” Katanya seraya mengguncang-guncangkan bahu sang adik. Kelopak mata Dalton bergerak lambat. Pria itu membuka matanya lebar-lebar sembari menguap. “Mid?” “Kita sudah sampai di rumah. Sebaiknya kau turun dan lanjutkan tidurmu di kamar.” Midnight menepuk pelan pucuk kepala sang adik. “Ayo! Kalau kau mau, aku akan mengajakmu ke sirkuit besok siang.” “Sirkuit?” ulang Dalton tidak percaya. Midnight mengangguk. Senyum simpul menghiasi wajah cantiknya. “Aku menantang Brady balapan. Jika dia kalah, dia harus mengakui kalau dialah yang telah membunuh Drake dan mundur selamanya dari dunia MotoGP.” Mendengar penuturannya, kedua mata Dalton melebar sempurna. “A-apa maksudmu?” Midnight tak mengindahkan pertanyaan sang adik. Dia membuka pintu dan bergegas turun dari mobil. “Tidurlah. Kalau kau bisa bangun pagi, aku akan mengajakmu.” Ia melihat adiknya ikut turun dan mengikutinya dari belakang. “Mid!” Dalton menyerukan namanya. Midnight enggan menghentikan langkah. Sebaliknnya, ia justru mengangkat kedua tangan pertanda ia tidak akan menjawab pertanyaan apa pun yang akan dilontarkan oleh Dalton. Sikap itulah yang selalu ia ambil saat menghadapi keluarganya. Terutama Dalton. “Temui aku besok pagi kalau kau berniat ikut denganku.” Katanya sambil lalu. Sesampainya di dalam kamar, Midnight melepas jaket jeans miliki Drake yang sengaja ia pakai. Ia menggantungkan benda itu di tembok lalu memandanginya selama beberapa saat. Ia menyimpan benda-benda kesayangan Drake dengan baik selama ini. Termasuk jaket tersebut. Tiba-tiba saja air mata menggenang di pelupuk matanya. Midnight buru-buru menyeka sebulir air mata yang terjatuh di pipi. Tidak, ia hampir membuat Brady menebus kesalahan-kesalahannya. Midnight bersumpah dia tidak akan menjadi lemah. Membuang jauh-jauh kesedihannya, Midnight mengambil ponsel yang tergeletak di nakas. Ia segera menghubungi salah satu orang kepercayaan Drake. “Hai…” sapanya begitu panggilan tersambung. “Mid,” sahut suara dari seberang. “Maaf mengganggumu malam-malam seperti ini.” “Tidak masalah. Kau bisa menghubungiku kapan saja.” “Aku butuh bantuan.” Katanya lagi. Midnight menajamkan pendengarannya, berharap seseorang yang saat ini berbicara dengannya mengucapkan sesuatu. Setelah beberapa saat tidak ada balasan, ia melanjutkan. “Aku butuh sebuah motor. Bisakah kau membantuku mendapatkannya?” “Tentu.” Ucap suara dari seberang. “Kapan kita bisa bertemu?” “Besok pagi.” “Setuju.” Ucap pria itu akhirnya. “Katakan di mana aku bisa menemuimu.” “Kita bertemu di tempat biasa.” katanya. Sambungan telepon terputus. Midnight melempar benda pipih itu ke ranjang dan membiarkannya tergeletak begitu saja. Ia melepas sepatu dan celana panjang yang melilit paha dan kakinya. Midnight lalu merangkak di atas ranjang dan menyembunyikan tubuhnya di bawah selimut tebal pemberian Drake. Malam ini ia akan melewati malam panjang dengan memimpikan kakaknya lagi. Sama seperti malam-malam sebelumnya, bayangan Drake tidak akan pernah mau meninggalkannya meski hanya sedetik pun. “Aku tidak akan membiarkannya menang atas apa yang terjadi padamu, Drake. Aku akan menghancurkannya.” Gumam Midnight sebelum memejamkan mata rapat-rapat. ** Brady melihat punggung Midnight menghilang di tengah kerumunan. Midnight, mulai sekarang ia akan memanggil gadis itu dengan nama yang cukup untuk membuat siapa pun merasa aneh. Bagaimana mungkin sahabatnya Drake memiliki adik bernama Midnight dan dia sama sekali tidak tahu? Brady tidak berniat mengejar gadis itu karena dia datang bersama seorang laki-laki. Ia tidak mau menjadi pengacau hubungan seseorang. Midnight dan pria itu pasti memiliki hubungan khusus. “Di sini kau rupanya.” Lamunan Brady terputus saat mendengar sebuah suara yang tak asing di telinganya. “Ada masalah?” tanya Bright. Brady menggeleng. “Tidak.” “Tidak ada gunanya kau berbohong padaku, Kawan.” Bright menepuk bahu Brady dengan cukup keras. “Aku mendengar semuanya.” lanjut sang adik. Brady memijit pelipisnya yang mulai pening akibat pengaruh alkohol. “Itu bukan apa-apa. Jangan terlalu dipikirkan.” “Kau harus meyakinkan padanya kalau apa yang terjadi antara kau dan Drake adalah sebuah kecelakaan.” Bright memberi saran. “Jangan hanya diam saja. Brady menggeleng. Kali ini ia tidak sependapat dengan ucapan adiknya. “Dia tidak akan mempercayaiku sama halnya aku tidak mempercayai diriku sendiri.” Seolah memahami apa yang ia rasakan, Bright hanya bisa mengangguk. “Sebaiknya kita kembali ke dalam. Shopie menunggumu.” Ia lalu menarik sang kakak keluar dari ruangan tersebut. Shopie. Ah, bagaimana Brady bisa melupakan gadis itu? Sejak pertemuannya dengan Midnight, ia tidak lagi tertarik bergabung gadis itu dan juga teman-temannya. Ketertarikannya dengan Shopie yang semula ia rasakan mendadak musnah. Brady tidak lagi memikirkan bentuk tubuh dan bibir penuh milik wanita itu. Ia jauh lebih tertarik dengan…. “Kalau kau terus berdiri dan mematung di sana aku tidak akan segan-segan menyeretmu!” ancam Bright saat ia tak kunjung bergerak meski hanya satu langkah pun. Brady meneguk salivanya kasar. Ia tidak berminat menghabiskan sisa malam ini dengan Shopie. Keinginannya untuk meniduri gadis itu tiba-tiba pupus. Brady membayangkan Mid… ia menggeleng. “Aku ingin pulang.” Katanya pada Bright. Seolah baru saja ditampar oleh kenyataan yang cukup pahit, Bright membuka mulutnya lebar-lenar. “Apa?” “Aku harus pulang, Bright. Nikmati saja sisa pesta kalian. Aku…” Brady memilih kata-kata yang tepat sebelum adiknya bertanya lebih lanjut. “aku harus menyiapkan balapan besok.” Sebelah alis Bright terangkat, “Kau yakin menerima tantangan dari gadis itu?” “Ya.” Brady mengedikkan bahu. Ia tidak bisa mundur sekarang. “Jika aku tidak menerimanya, aku punya firasat kalau dia akan terus mengejarku sampai aku mau mengakui semuanya. Kau tahu aku terikat kontrak dengan mereka tim.” Senyum cemooh menghiasi wajah Bright. “Kalau begitu, aku akan melihatmu bertanding melawan seorang gadis.” Brady memutar bola matanya. “Aku tidak sepenuhnya menginginkan balapan ini. Aku harus pulang, Bright. Jangan menyetir saat sedang mabuk.” “Aku tahu. Hati-hati di jalan, Kak.” Bright melambaikan tangan dan meninggalkan Brady seorang diri di tengah ramainya pengunjung club. Sepeninggal sang adik, Brady lalu membawa kedua kakinya keluar dari tempat itu dan bergegas menuju mobilnya. Ini kali pertama ia meninggalkan club lebih cepat di banding teman-temannya. Jika sebelumnya mereka pantang pulang sebelum mabuk, malam ini Brady melanggar peraturan tersebut hanya karena seorang gadis bernama Midnight yang entah bagaimana berhasil menyita perhatiannya. Sepanjang perjalanan menuju rumah, Brady kembali teringat dengan sosok Drake yang selalu mampu membuatnya tertawa. Midnight memiliki banyak hal yang dimiliki oleh Drake. Semangatnya, kobaran matanya dan bahkan warna rambutnya. Mereka seperti kembar identik tetapi memiliki jenis kelamin yang berbeda. Seandainya Drake yang menantangnya untuk balapan, Brady tidak akan berpikir dua kali untuk menerimanya. Tapi bagaimana dengan Midnight? Sanggupkah ia menerima tantangan itu? Sambil terus memikirkan jawaban atas pertanyaannya sendiri, Brady menurunkan kaki dari mobil dan berjalan gontai menuju rumahnya. Ia melewati satu per satu anak tangga sebelum mencapai pintu utama. Rumah yang nyaris tidak pernah berpenghuni itu tampak suram tanpa kehadiran ketiga adik atau kakaknya. Sama seperti hari-hari sebelumnya, rumah besar itu hanya ia tempati saat ia sedang tidak memiliki jadwal balapan di kota atau Negara lain. Sesampainya di dalam, Brady lantas berjalan menuju kamarnya dan merebahkan tubuh di atas ranjang. Bayangan kebencian di mata Midnight yang dilempar padanya ternginang di kepala Brady. Ia ingin menghapus perasaan benci itu dari Midnight. Namun rasanya semua itu mustahil. Sejauh ini, Brady sama sekali belum berhasil memaafkan dirinya sendiri akibat kecelakaan yang menimpa Drake. Seolah dipaksa mengingat semua kenangan bersama Drake, Brady melihat tubuh sahabatnya terkapar tidak berdaya di tengah lintasan balap sedangkan dirinya hanya diam berdiri tak jauh dari Drake. Brady melihat darah di mana-mana, lalu sebuah motor dengan sengaja melintas di atas tubuh Drake. Ia seketika menjerit, tubuhnya menggigil dan jantungnya seolah diremas oleh seseorang hingga ia tersungkur di atas aspal yang dipenuhi oleh darah Drake. Brady mencoba meraih pria itu tetapi usahanya sia-sia… Dan sebuah suara yang begitu familiar memaksa Brady kembali pada kenyataan. “Brady…” ucap suara itu. “Brady…” “Brady…” sepasang tangan kokoh menggoyang-goyangkan tubuhnya. “Sadarlah! Kau bermimpi.” “Drake!” seru Brady sebelum ia membuka mata dengan napas terengah. Ia melihat wajah sang adik menatapnya pilu. Tatapan yang senantiasa ia dapatkan dari orang-orang yang selalu melihat keadaan terburuknya. Sungguh, mimpi-mimpi itu benar-benar telah mengusik harinya. “Ini aku…” Bright meremas bahu sang kakak kuat-kuat. “Tenang, itu hanya mimpi.” Brady menolak untuk tenang. Kematian Drake bukanlah sebuah mimpi buruk. Drake telah pergi bersama dengan segala kenangan yang pernah mereka miliki bersama dan tidak akan pernah kembali ke sisinya sampai kapan pun. “Drake…” gumam Brady lagi. “Kau tertidur.” Bright duduk di sisi Brady. “Apakah mimpi buruk itu masih menghantuimu sampai sekarang?” tanya sang adik. Karena tidak punya alasan untuk mengelak, Brady hanya bisa mengangguk. “Ya.” akunya. Brady melihat jam di dinding, waktu sudah menunjukkan pukul delapan pagi. Itu artinya ia sudah punya banyak stok tenaga untuk menghadapi balapannya dengan Midnight. Apa pun yang terjadi, ia harus menghadapi gadis itu. “Aku harus pergi, Bright.” Bright bangkit dari duduknya. “Sebaiknya kita berdua mandi. Kau pasti tidak percaya,” pria itu melangkah menuju pintu. “Ada seorang pria mendatangi rumahmu pagi ini.” Kening Brady mengerut mendengar penurutan sang adik. “Siapa?” “Dalton namanya.” Sahut Bright tenang. “Dalton?” Brady mengingat nama tersebut dan tidak menemukan apa pun yang berkaitan dengan Dalton. “Siapa dia?” Bright berhenti di ambang pintu. “Mandi dan bersiaplah, setelah itu temui dia.” “A-“ “Aku akan mengurusnya, Brady. Tenangkan dirimu!” Bright lalu menutup pintu dan membiarkan Brady bertanya-tanya mengenai Dalton. Setelah semalam ia bertemu dengan gadis asing bernama Midnight, pagi ini Brady dikejutkan dengan kehadiran laki-laki asing yang entah bagaimana berhasil masuk ke rumahnya. Pasti ada sesuatu yang membuat penjaga rumah dan Bright mengijinkan pria itu menginjakkan kaki di kediamannya. Tanpa pikir panjang, Brady bergegas menuju kamar mandi dan membersihkan dirinya di sana. Setengah jam kemudian dia telah keluar dari kamar dalam keadaan yang jauh lebih baik. Brady menemukan sosok laki-laki berjalan mondar-mandir di ruang tamu saat ia hendak menuju dapur. Pria itu menghentikan langkah saat menyadari kehadirannya. Ia berdiri terpaku dan menatapnya dengan penuh keraguan. Brady berdeham saat pria itu tak kunjung mengucapkan sesuatu. “Kau…” pria bernama Dalton itu meneguk salivanya. “Ya?” Brady mengangkat sebelah alis. Ingatannya kembali terlempar pada sosok Midnight. Ah, akhirnya dia mengingat laki-laki yang kini berdiri di hadapannya. Dalton lah pria yang datang ke club bersama Midnight semalam. “Kau yang semalam, bukan?” Dalton mengangguk. “Ya.” katanya singkat. Setelah jeda beberapa saat, akhirnya dia kembali berkata. “Kalau hari ini kau berniat menghadapi Midnight di lintasan balap, tolong urungkan niatmu. Kumohon jangan pedulikan dia. Dia…” pria itu berhenti lagi, seolah mencari kata yang tepat untuk diucapkan. “Mid hanya belum bisa melupakan kepergian Drake. Itulah alasannya menantangmu. Aku minta maaf atas apa pun yang pernah dia ucapkan. Jangan ganggu kami lagi.” Brady membuka mulut, hendak menanggapi Dalton tetapi kata-katanya tertahan karena pria itu buru-buru menerima panggilan yang masuk ke ponselnya. “Hai, Mid.” Ucapnya. “Aku di-“ Melihat keraguan di mata Dalton, Brady bergegas merampas ponsel milik pria itu dan berbicara dengan gadis yang ia yakini adalah Midnight. “Hallo, Midnight. Brady di sini.”                    
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD