CHAPTER-2. THE UNEXPECTED SIN.

2465 Words
CHAPTER-2. THE UNEXPECTED SIN. DALTON memekik tertahan saat Brady mengambil ponsel darinya dan berbicara dengan Midnight. “Apa yang kau lakukan?” Sebelah alis Brady terangkat, dalam hati ia bertanya, haruskah ia menanggapi pertanyaa pria itu? Sementara dari seberang, Midnight merespon ucapannya. “Di mana adikku? Apa yang kau lakukan padanya?” Adik? Ulang Brady dalam hati. Oh, sekarang dia tahu. Pria muda yang kini berdiri di hadapannya adalah adik dari Midnight dan Drake. Lagi-lagi ia merasa bodoh karena tidak mengetahui fakta itu. Brady berdeham singkat, “Dia datang ke rumahku dan membangunkanku.” “Kembalikan ponsel Dalton. Aku harus berbicara dengannya.” Seru Midnight galak. Brady ragu sejenak. Ia menatap Dalton dengan penuh simpati. “Kakakmu galak sekali.” Anehnya, Dalton mengangguk. Menyetujui ucapan Brady. Lak-laki itu tersenyum simpul, sekilas Brady melihat kemiripan di antara Dalton, Midnight dan Drake. “Akhir-akhir ini dia memang sering marah.” Ujarnya. Brady menyerahkan ponsel milik Dalton. Hubungan antara ketiga bersaudara ini terlihat begitu dekat. Hal itu mengingatkan Brady pada keempat saudara kandungnya. “Aku menduga dia memang pemarah.” Dalton menerima ponselnya. “Terkadang kemarahan Mid yang sering aku dan Drake rindukan. Ngomong-ngomong, aku serius dengan ucapanku. Aku tidak mau melihat kakakku bertanding denganmu di lintasan balap.” Memahami kekhawatiran yang terpancar jelas di mata Dalton, Brady akhirnya menyanggupi permintaan pria itu. “Jangan khawatir. Aku tidak berniat melawan kakakmu. Apa sekarang kau merasa jauh lebih baik?” Pria itu mengangguk kecil, “Terima kasih.” Cicitnya. “Anggap saja kau tidak pernah bertemu denganku atau Midninght.” Dalton mengulurkan tangan dan langsung dijabat oleh Brady. Sekarang satu masalah telah selesai di atasi. Brady hanya perlu mengatasi masalahnya yang lain. Traumanya. ** Midnight melempar ponsel dan bergegas menuju kamar mandi untuk membersihkan diri. Kemarahannya semakin menjadi saat mendengar suara  Brady. Pria itu, kenapa tidak pernah berhenti mengusik hidupnya? Sejak kematian Drake, kebenciannya terhadap Brady semakin bertambah seiring berjalannnya waktu. Meskipun sepertinya Brady sama sekali tidak merasakan hal serupa, sialnya fakta itu justru membuatnya menderita. Dengan kesal, ia menekan salah satu tombol di dinding dan berdiri di bawah shower. Aliran air hangat yang menerpa kepala hingga ke ujung kakinya, menimbulkan kenyamanan yang sangat ia butuhkan. Midnight memejamkan mata rapat-rapat, berharap beban yang ada di pundaknya menghilang dengan perlahan. Sayang, yang mucnul justru wajah menyebalkan Brady. Tidak ingin larut dengan mengingat pria itu, ia kembali membuka mata dan menggosok seluruh tubuhnya dengan menggunakan body wash. Midnight bergegas menyelesaikan ritual mandinya dan berjalan keluar dengan hanya mengenakan bathrobe. Ia memeriksa ponsel sebelum mengambil pakaian yang akan ia gunakan siang ini untuk bertemu dengan Brady. Sebuah pesan singkat yang dikirim oleh Dalton membuat kedua matanya melebar sempurna. Brady membatalkan balapan denganmu. Kata pesan itu. Tanpa berpikir dua kali, ia menghubungi adiknya. Apa pun yang telah dikatakan oleh Dalton pada Brady, tidak boleh ada mengubah rencananya. Setelah dering ketiga, akhirnya telepon tersambung. “Apa yang telah dia katakan padamu? Kenapa dia tiba-tiba membatalkan-“ “Mid, aku tidak mau terjadi sesuatu padamu. Mulai sekarang jangan ganggu Brady lagi.” potong sang adik. “Apa dia mengancammu?” tanya Midnight tidak suka. Beraninya Brady mengancam adiknya! “Di mana kau sekarang?” Dalton tidak lantas menjawab pertanyaannya. Midnight menduga sang adik sedang menyetir. “Aku akan mampir ke rumah temanku sebentar. Setelah itu aku akan pulang. Apa kau masih di rumah?” “Tentu.” Midnight menatap pantulan dirinya di depan cermin. Ada kantung mata mengerikan di bawah matanya. “Aku bahkan belum turun dari ranjang. Jadi, apa Brady benar-benar menuruti ucapanmu?” “Untungnya, iya.” Sahut sang adik singkat. “Tunggu aku di rumah. Aku akan membawa sarapan untukmu.” Midnight memutar tubuh dan memilih baju yang cocok untuk cuaca siang ini. “Apa kau punya nomor telephone Brady? Kurasa aku harus meminta maaf padanya atas kelancanganku.” “Mid? Apa itu benar-benar kau?” Dalton berkata seolah dia tidak percaya dengan ucapannya. Midnight akhirnya menemukan sebuah celana panjang dan kaus berwarna merah muda. Ia mengambil dua benda itu dari dalam lemari pakaian dan membawanya ke ranjang. “Ya. Akhirnya aku sadar kalau semua ini bukanlah salah Brady. Kepergian Drake murni kecelakaan. Jadi, kupikir aku harus meminta maaf padanya.” Terdengar embusan napas lega dari seberang. “Akhirnya.” Kata sang adik. “Aku sudah sampai di rumah temanku dan aku akan segera mengirimkannya padamu.” “Terima kasih.” Ucap Midnight. “Aku menunggu. Hati-hati di jalan, Dalton.” “Selalu.” Dan sambungan terputus. Karena tidak punya pilihan, Midnight terpaksa berbohong pada Dalton. Ia tidak akan membiarkan Brady lolos begitu saja dari tanggungjawabnya. Dalton boleh tidak berpihak padanya, semua itu hanya karena dia tidak tahu apa yang saat ini ia rasakan. Usai mengganti pakaian dan memakai sepatu. Midnight duduk di depan meja rias untuk memperbaiki penampilannya. Ia mengeringkan rambut serta mengaplikasikan make up tipis di wajahnya. Tiga puluh menit kemudian, Midnight siap telah siap. Ia mengambil ponsel dan memeriksa pesan dari Dalton. Anak itu benar-benar mengirim nomor Brady padanya. Itulah yang Midnight butuhkan saat ini. Sembari keluar dari kamar, Midnight menghubungi Brady. Panggilannya diabaikan oleh pria itu, tapi dia tidak peduli. Midnight mencoba lagi dan lagi hingga panggilan tersambung. “Maaf, siapa di sana?” tanya pria itu dengan nada angkuh khas Brady. “Ini aku. Midnight.” Katanya setelah beberapa saat. “Kita bertemu di lintasan siang ini pukul dua. Aku menunggumu.” Brady terbatuk. “Maaf, Nona. Aku tidak bisa. Aku telah berjanji pada adikmu untuk tidak menerima tantangan darimu. Dan demi menghormati mendiang kak-“ “Jangan bawa-bawa nama Drake. Datanglah jika kau memang pria sejati, Bung. Aku menunggumu.” Midgnight tahu Brady akan menolaknya. Maka dari itu, ia akan membuat pria itu terdesak. “Kalau kau tidak datang siang ini, aku bersumpah akan mendatangimu setiap hari dan memapermalukan dirimu.” “Kau hanya akan mempermalukan dirimu sendiri.” “Itu terdengar hebat.” Midnight berhenti di sisi mobil dan membuka pintunya. “Adik kandung mendiang Drake mempermalukan dirinya sendiri di depan umum karena pembalap bernama Brady Smith tidak mau menerima tantangannya. Kurasa itu judul yang hebat jika dimuat di media.” Ia lalu naik ke mobil tersebut dan duduk di balik kemudi. “Bagaimana?” tanyanya. Brady menghela napas. “Baiklah. Berapa banyak orang yang kaubawa?” “Tiga orang. Aku, rekanku dan mekanik. Tidak ada media yang meliput pertandingan kita.” “Setuju.” Brady berdeham sebelum mengakhiri panggilan. “Berhati-hatilah, Nona. Aku takut kau menyesal nanti.” “Kaulah yang harus berhati-hati padaku.” Midnight memutus sambungan telepon. Ia nyaris kehabisan waktu. Ada banyak hal yang perlu ia persiapkan sebelum bertanding dengan Brady. Salat satunya adalah motor. Segera setelah menyalakan mesin, Midnight melajukan mobilnya menuju rumah salah satu orang yang sangat dia percayai untuk membantunya menghadapi Brady. Sekitar satu jam kemudian, Midnight mendarat dengan apik di garasi tempat di mana segala keperluannya telah disiapkan. Dia memarkirkan mobil dan bergegas turun untuk melihat sejauh mana persiapan mereka. “Hai, itu dia!” ucap sebuah suara baritone yang sangat dia kenali. “Mid!” Minight melambai pada Elliot, pria yang sudah lama dikenalnya. “Hai.” Ia lalu berjalan menghampiri pria itu. “Maaf merepotkanmu.” Elliot memeluk Midnight singkat. “Bagaimana kabarmu? Aku tidak percaya kau menghubungiku.” Pria itu mengurai pelukan mereka. “Tidak ada yang direpotkan di sini.” Midnight mengedikkan bahu singkat. “Seperti yang kaulihat. Aku sehat dan sedikit berisi kurasa.” “Senang mendengar kau baik-baik saja, Mid.” Elliot membawa Midnight menuju garasi, pria itu merangkul bahu Midnight seolah mereka adalah teman yang tak terpisahkan. “Kau bilang kau butuh motor? Benarkah?” “Begitulah.” Midnight melihat sekeliling. Dulu sekali, Drake sering membawanya kemari saat pria itu masih hidup. Karir Drake berawal dari tempat tersebut, mereka bisa menghabiskan waktu berjam-jam hanya untuk berlatih dengan motor yang hanya bisa dibeli oleh uang yang dikumpulkan oleh Drake selama bertahun-tahun. Hingga akhirnya, sang kakak entah bagaimana berhasil mendapatkan fasilitan yang mustahil bisa dia dapatkan. Setelah Drake berhasil memenangkan berbagai kejuaraan, dia membeli tempat tersebut dan tempat itu digunakan oleh rekan-rekannya. “Kau melamum.” Elliot meremas bahu Midnight. Pria itu mengirim senyum penuh simpati padanya. “Kau yakin-“ Midnight menggelengkan kepala. “Aku butuh bantuanmu, El.” Kening Elliot mengerut. Ia tidak mengucapkan sepatah kata pun, seolah menunggu Midnight melanjutkan ucapannya. “Ini hanya antara kau dan aku.” Midnight menghentikan langkah sebelum mereka sampai di tengah ruangan. “Aku ingin berbicara berdua denganmu.” Seolah memahami apa yang dibutuhkan oleh Midnight, Elliot ikut berhenti. Ia melihat ke sekeliling dan menemukan dua buah kursi tak jauh dari mereka. Elliot lalu mengajak Midnight untuk duduk di kursi tersebut. “Apa ini serius?” tanya pria itu. “Ya.” Midnight mendesah, Elliot adalah satu-satunya orang yang bisa membantunya dalam situasi seperti sekarang. “Aku akan bertanding dengan seseorang di sirkuit dan aku membutuhkan motor.” “Mid-“ “Aku tahu, kau pasti tidak setuju. Tapi, kumohon, El. Sekali ini saja. Tolong aku.” Midnight meremas kedua tangan Elliot dengan cukup keras. “Tolong.” Pintanya dengan mata berkaca. “Kupikir motor itu untuk Dalton.” Sahut Elliot mulai gusar. “Tapi, kau? Aku tidak yakin-“ “Hanya satu putaran. Aku pernah mengalahkan Drake dan aku yakin kali ini aku bisa mengalahkan lawanku. Balapan ini sangat penting untukku.” Elliot menyugar rambut dengan kasar. “Penting? Tidak ada gunanya-“ “Ada.” Potong Midnight. “Percayalah padaku, El. Aku butuh sebuah motor dan temani aku menghadapi lawanku. Hanya kau, aku dan seorang mekanik. Itu saja.” Bahu Elliot merosot kala mendengar permintaan Midnight. “Siapa lawanmu?” “Meski hanya satu putaran, aku tetap harus berlatih sebelum bertanding. Balapan akan dimulai pukul dua siang di sirkuit.” “Siapa lawanmu, Mid?” tanya Elliot tidak sabaran. “Berjanjilah kau akan mengijinkanmu mengikuti balapan ini.” “Siapa lawanmu, Midnight.” Elliot mulai tidak sabar. Ia menatap tajam manik mata Midnight. Midnight meremas jemarinya sendiri. “Kalau kau tidak mau membantuku, aku akan mencari bantuan dari orang lain. Berjanjilah padaku, siapa pun itu, kau akan membantuku mengatasi ini.” “Miidnight?” Elliot merasakan ada yang tidak beres dengan Midnight. Pria itu menggeleng lemah. “Berjanjilah, El.” Pinta Midnight untuk terakhir kalinya. “Baiklah. Aku berjanji apa pun dan siapa pun itu, aku akan selalu ada di belakangmu.” “Bagus.” Midnight menggigit bibir bawahnya. Sebelum Elliot bertanya lagi, ia berkata. “Brady Smith.” ** Midnight sempat sempat mengira kalau Elliot akan menolak permintaannya setelah mendengar nama Brady. Namun dugaannya salah. Elliot dengan senang hati mau membantunya menghadapi Brady. Sepertinya, untuk menakhlukkan laki-laki seorang perempuan memang harus melempar ancaman terlebih dahulu. Hal itu berlaku untuk Elliot dan Brady, juga Drake saat kakak laki-lakinya itu masih hidup. Setelah perdebatan sengit di antara dirinya dan Elliot, akhirnya pria itu mengijinkan Midnight menggunakan salah satu motornya. Elliot tidak segan-segan memberi pelajaran singkat kepada Midnight sebelum dirinya bertanding dengan Brady. Untungnya mereka datang lebih dulu sebelum tim Brady datang. Hal itu memberi dampak positif pada kubu Midnight. Dirinya bisa berlatih bersama Elliot terlebih dahulu sebelum mengalahkan Brady. Setelah beberapa putaran dan Elliot merasa pergerakannya sudah jauh lebih baik, mereka memutuskan untuk beristirahat. Midnight cukup puas dengan penampilannya kali ini. Jauh dari dasar hatinya yang paling dalam, ia yakin akan mengalahkan Brady dengan mudah. Midnight membawa kedua kakinya menuju paddoct area dan melepas helm yang semula ia pakai. Elliot menyusul dan memberinya secangkir kopi dingin. “Kau pasti haus.” Kata pria itu. “Terima kasih.” Ujar Midnight sembari menerima pemberian Elliot. Sebelum gelas kopinya berkurang separuh, tiba-tiba dua orang datang tanpa permisi terlebih dahulu. Keduanya asyik mengobrol hingga tidak memperhatikan keberadaan Midnight dan Elliot. Salah satu di antara mereka berkata, “Berani taruhan. Kali ini Eva akan menerima Bruce.” “Hei, kau curang!” si pria lain menyahut. “Aku yang seharusnya bertaruh untuk itu.” “Ssstttt… aku saja kalau kau akan kalah.” Pemilik suara itu memaksa lawannya untuk mengalah. “Ya… ya… ya… Siapa pun pasti tahu bagaimana hasil akhirnya. Eva dan Bruce memang tidak terpisahkan.” Tanpa ia sadari, Midnight meremas cangkir kopinya. Ia terlalu muak melihat ketenangan dalam suara Brady, seolah pria itu tidak pernah membunuh kakaknya dan melakukan dosa yang tak termaafkan. Akibat perbuatannya, cairan berwarna coklat itu tumpah dan mengenai kakinya. Midnight mengumpat lirih. “s**t!” Dari ekor matanya, ia bisa melihat Brady dan pria yang datang bersamanya akhirnya menyadari keberadaan dirinya dan Elliot. “Ups!” “Kau?” Ucap mereka bersamaan. Mau tidak mau, Midnight mengangkat wajah. Tatapannya langsung terfokus pada Brady yang telah mengenakan racing suit sama seperti dirinya. Pria itu memandangi dirinya dari ujung kaki hingga ke ujung kepala. Seakan-akan Midnight adalah alien yang baru saja turun ke bumi dan berniat menyerangnya. Midnight berdeham, “Kukira kau tidak akan datang.” Sebelah alis Brady terangkat. “Pria sejati tidak mengingkari janjinya.” Brady mengalihkan pandangannya pada Elliot. “Kau juga di sini?” tanyanya tanpa menyebut nama Elliot. “Aku datang bersamanya.” Elliot bangkit dan menjabat tangan Brady. Namun pria itu hanya tersenyum miring tanpa menerima jabat tangan dari Elliot. Benar-benar angkuh! Pikir Midnight dalam hati. Midnight mengutuk cambang halus yang tumbuh di rahang Brady. Tidak bisakah pria itu mencukurnya sebelum bertanding dengan dirinya? Pemandangan itu… sungguh mengganggu! “Bright, bisakah kau membawa pria itu pergi dari sini?” titah Brady pada laki-laki yang datang bersamanya. “Itu mudah.” Pria bernama Bright itu lalu merangkul bahu Elliot dan memaksanya untuk ikut. “Sebaiknya kita keluar, Bung!” “Tidak.” Elliot memberontak. Dia menoleh dan mendapati Brady berdiri tak jauh darinya. Brady berjalan dan berhenti tepat di hadapan Midnight. “Kita harus bicara. Berdua saja.” “Kau dengar,” Bright kembali menarik Elliot hingga keduanya keluar dari paddoct area. “Mereka hanya ingin bicara. Kau tidak perlu ikut campur.” Midnight bangkit dari duduknya. Ia mengangkat dagu tinggi-tinggi dan menatap Brady penuh permusuhan. “Waktuku tidak banyak.” Katanya dengan suara bergetar. Brady menurunkan pandangan, memindai seluruh tubuh Midnight yang terbalut racing suit. Tatapannya terhenti tepat di bibir Midnight. “Ini kesempatan terakhir untukmu. Apa kau ingin mundur atau melanjutkan balapan ini.” “Aku tidak akan mundur.” Jawab Midnight tegas. “Oh,” Brady memberinya hadiah sebuah senyum penuh penghinaan. “Jadi, kau tidur dengan Si b******k Elliot? Dia kah yang membujukmu untuk menantangku? Berapa banyak uang yang dia berikan padamu, Midnight?” Sebelum Brady melanjutkan penghinaannya, Midnight lebih dulu mengangkat tangan dan menampar wajah Brady dengan cukup kerass. “Berani kau!” katanya geram. “Akui saja.” Pria itu terkekeh. Ia mundur dua langkah dan menyilangkan kedua tangan di depan d**a sembari menggelengkan kepala berkali-kali. “Bitch.” Gumamnya lebih kepada diri sendiri.  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD