Aku tidak Bodoh, Mas!

766 Words
Pagi menjelang dan aku beraktivitas seperti biasanya. Rencana membuka isi chat ponsel Mas Toha kemarin malam gagal dilakukan. Aku sudah berusaha memasukkan beberapa kombinasi angka untuk membuka ponselnya, tapi tetap tak bisa. Entah angka apa saja yang menjadi kodenya. Semua yang menjadi kemungkinan bagiku ternyata tidak juga bisa membukanya. Takut membuat ponselnya jadi tak bisa dibuka lagi, aku berhenti mencobanya. Mungkin, lebih baik kutanyakan langsung padanya daripada diam-diam memeriksanya malah membuatku jadi tak bisa tidur. "Mas, kenapa sekarang ponselmu dikunci? Nggak ada rahasia kan di dalam sana?" Aku membuka obrolan di ruang makan. Kami sedang sarapan pagi seperti biasanya. Pertanyaanku barusan telah membuat Mas Toha berhenti menyuap nasi ke dalam mulutnya. Ia mendongak menatapku terkejut. "Ekhem." Mas Toha berdeham sambil mengambil gelas minumnya dan meneguk isinya sampai tandas. Aku masih menantikan jawabannya seraya menatapnya lekat. Entah hanya perasaanku saja atau memang seperti itu, Mas Toha tampak salah tingkah. "Nggak papa kok, itu …." Mas Toha tampak berpikir. "Anu, suka kepencet sendiri terus kebuka aplikasi nggak penting, jadi nguras batrenya, Dek. Batre ponsel Mas suka drop sendiri," jawabnya menjelaskan. "Oh, gitu." Kepala angguk-angguk seolah mengerti. Padahal aku sedang berpikir mencerna ucapannya. "Iya, Dek." Mas Toha mengumbar senyum lebar ke arahku seraya menuang air putih ke dalam gelas kosongnya. "Kok bisa kepencet ya, Mas? Ponsel Mas kan mahal dan setahuku ponsel Mas itu nggak make keypad ponsel zaman dulu. Kita sekarang ponselnya layar sentuh loh, Mas. Tinggal tap-tap gini," ujarku memberi contoh dengan memainkan jemariku di udara mematahkan ucapannya. "Hm. Kamu kenapa sih, sepertinya tidak percaya sama Mas?" Mas Toha meletakkan gelasnya setelah selesai minum. Raut wajahnya menunjukkan ketidaksukaan. "Tidak percaya? Apa hubungannya? Adek kan cuma nanya, Mas." Aku tak mau kalah menyanggah, tapi masih bicara lembut, tidak kasar, apalagi meninggi darinya. Aku masih menghormatinya selama dia berlaku baik juga. Dalam kamusku tidak ada yang namanya istri diam, pasrah, tidak berani nanya, dan menerima perkataan suami apa adanya kalau suaminya salah atau dirasa mencurigakan. Seperti sekarang ini. Tampak sekali Mas Toha menyembunyikan sesuatu, dan aku harus tahu apa itu. Mas Toha menggelengkan kepalanya. "Dek, Mas lagi makan. Bisa kah Mas makan dulu?" Suaranya lembut dan terdengar memelas. Aku jadi tak tega. "Maaf, Mas. Ya sudah, makanlah dulu. Nanti selesai makan, kita bicara lagi," ujarku menyudahi pembicaraan yang belum menemukan jawaban tersebut. Aku memang salah di saat dia lagi makan, malah memojokkannya. Tentu saja ia kesulitan menelan makanannya dan bisa jadi hilang selera. Akhirnya kubiarkan ia makan dulu. Sesekali kami saling mencuri pandang tanpa kata. Kami sama-sama diam dan fokus untuk makan. Suasana sarapan pagi ini terasa berbeda. Jadi kaku dan hening. Tidak seperti biasanya yang diselingi obrolan santai dan hangat. "Jadi, Mas, gimana–" "Tunggu, Dek. Mas nelpon Pak Ridwan dulu. Lupa ada janji mau bertemu. Mau konfirmasi kalau pertemuannya di restoran kita saja," ujar Mas Toha menyela ucapanku, membuatku terdiam seketika dengan mulut menganga. Mas Toha sudah menempelkan benda pipih dengan logo apel digigit tersebut ke telinganya. Dia juga beranjak dari duduknya pergi menjauh seolah tak ingin terganggu. Aku ingin mencegahnya, tapi hati menolak. Rasanya malas dan akhirnya membiarkan saja. Mencoba percaya. Selagi Mas Toha asyik berbicara dengan Pak Ridwan, aku membereskan bekas makan kami. Kuletakkan piring di wastafel untuk dicuci dan lalu merapikan meja makan lebih dulu. Tak ada asisten rumah tangga di rumah ini meskipun sebenarnya aku mampu untuk membayar. Semua kulakukan sendiri karena selain masih bisa ditangani, aku juga ingin mengurus rumah sendiri untuk menyibukkan diri. "Dek, Mas pergi ke restoran dulu ya. Pak Ridwan katanya otewe mau ke sana. Nggak enak kalau yang punya, malah datang terlambat." Tampak tergesa mendatangiku di dapur, Mas Toha izin pergi ke restoran. Kulihat jam dinding masih menunjukkan pukul tujuh pagi. Terlalu pagi untuk mengadakan pertemuan dan tidak biasanya dia pergi ke restoran di jam begini. Biasanya jam delapan lewat karena kami mulai buka restoran di jam sepuluh pagi. "Eh tunggu Mas!" Aku segera mencuci tanganku dan mengelapnya. Kuhampiri Mas Toha yang bersiap ingin pergi. Mas Toha tersenyum sambil mengulurkan tangannya. Ia kira aku ingin salim. Namun tetap kusambut uluran tangannya dan mencium punggung tangannya dengan takzim. Tak lupa ia mencium keningku sebagai ritual tiap mau pergi kerja. "Mas ber–" "Tunggu, Mas! Jangan pergi dulu," selaku mencegahnya pergi. Ada yang ingin kuminta darinya. "Apa? Soal ponsel tadi. Iya, nanti kita sambung lagi bicara tentang hal itu tapi jangan sekarang ya, kasihan Pak Ridwan kalau sampai datang duluan, aku nggak enak, Dek." Aku menggeleng. Bukan itu maksudku. Aku menjulurkan telapak tangan ke arahnya. Mas Toha tampak kebingungan. "Salim lagi?" ujarnya sebelum kuutarakan maksudku. "Bukan! Aku mau minta kartu ATM Mas, mana? Sini! Biar aku yang pegang!"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD