Keluarga Amandaru

1314 Words
Sudah menjelang pagi, Genta belum juga berhasil memejamkan mata. Jarum jam mulai bergerak ke angka tiga. Dengan enggan, Genta bangun dan mengusap wajahnya. Dayu masih terlelap dengan posisi meringkuk. Udara memang sangat dingin. Desa yang terletak di lereng pegunungan tersebut terkenal dengan cuaca yang dingin sepanjang tahun. Suara tokek yang bergema membuat Genta terlonjak. “Astagfirullah,” desisnya merasa konyol. Rasa ingin buang air kecil memaksa Genta beranjak keluar. Kamar mandi di rumahnya hanya ada dua. Di ruang tengah dan di belakang. Ayahnya tidak pernah menyukai ide membuat kamar mandi dalam kamar. Menurut beliau, hal itu pamali karena kamar mandi identik dengan toilet tempat buang hajat. Setengah menggerutu, Genta menuntaskan dengan tubuh merinding kedinginan. Dia menyesal karena tidak memakai jaket. Setelah selesai, Genta berbalik dan melewati ruang tengah dengan santai. Ruang tamu tampak temaram. Entah apa yang membuatnya tertarik untuk menengok, Genta menajamkan penglihatannya. Ada sosok melintas dengan cepat. “Ibu! Bulek!” seru Genta. Tidak ada jawaban. Genta merasa curiga dan memilih untuk mendekat. Tangannya meraih saklar lampu. Klik. Seketika terang benderang. Kosong, tidak ada siapa pun di ruang tamu tersebut. Rasa mengantuk mulai menyerang Genta. Ia memilih untuk kembali tidur dan mematikan saklar lampu. Saat tubuhnya berbalik, dengan jelas ia melihat wajah ayahnya dalam kegelapan yang menatap Genta dengan tajam. “Aaahh!!” pekik Genta syok. Tidak lama, istrinya membuka pintu kamar. “Mas … mas …!” seru Dayu sembari menyalakan lampu ruang tengah kembali. Genta bersandar di tembok dengan wajah pucat. “Ada apa mas?” tanya Dayu khawatir dan menyentuh pundak suaminya. “Enggak apa-apa, dah ayuk tidur,” ajak Genta mencoba menghilangkan kesan gugupnya. Dayu terlalu mengantuk untuk bertanya lagi. Keduanya masuk kamar tanpa membahas kembali, meski Genta menoleh lagi ke belakang dengan heran. *** Cokro Amandaru, ayah Genta adalah seorang pria tegas dan keras. Semasa hidup ia menjabat sebagai camat selama dua periode. Cokro memiliki tiga anak dan Genta adalah anak bungsunya. Dua kakak kembar Genta meninggal saat remaja karena sakit. Genta masih terlalu kecil waktu itu. Ia tidak pernah mengetahui dengan pasti penyebab kedua kakaknya meninggal di usia tiga belas tahun. Namun karena hal tersebut, Genta berambisi mengambil jurusan kedokteran. Ibunya, Padmi, adalah wanita keturunan ningrat Yogyakarta. Seorang perempuan yang mandiri dan disiplin. Semasa Genta tumbuh, ia tidak pernah merasakan hidup seperti remaja lainnya. Selalu ada target dan tuntutan dari kedua orang tuanya. Namun Genta bersyukur, karena jika tidak, maka hidupnya tidak akan berhasil seperti saat ini. Selama ini Trining dan Pram selalu tinggal bersama mereka. Keduanya adalah adik ayahnya yang membantu mengelola kebun kopi dan sawah milik keluarga. Trining pernah menikah namun dua bulan kemudian suaminya pergi dan tidak pernah kembali. Pram adalah adik bungsu ayahnya yang sangat pendiam dan tidak pernah bergaul. Hingga mencapai usia empat puluh tahun, pamannya tidak pernah menikah. “Sebentar lagi panen dan kamu harus melihat serunya motong padi terus makan di sawah sambil lesehan, Nduk,” ucap Trining pada Dayu. Wanita itu tertawa dan mengiyakan. “Pasti nikmat banget ya, Bulek?” sambut Dayu. Trining terkekeh. “Tiada duanya,” balas Sri yang menimpali dari belakang. Ketiganya menyiapkan makan siang dengan riang dan tanpa beban. Ibu mertuanya sudah sedari pagi pergi dengan Totok supir mereka. “Yu, aku pergi ya?” pamit Genta yang sudah berpakaian rapi. Dayu berhenti mengulek dan menoleh. “Jadi sowan sekarang?” tanya Dayu. “Oh, nanti sore aku baru ke rumah Ki Sukmo. Sekarang mau ketemu dulu dengan Drajat. Kangen aku sama dia,” jawab Genta. Dayu mengangguk dan tersenyum manis. Trining menyenggol lengan Dayu dengan tatapan bertanya. “Aku minta Mas Genta buat nemuin Ki Sukmo, Bulek. Alangkah baiknya dia menghadap dan meminta maaf pada beliau karena telah mangkir dari perjodohan bapak dulu,” jawab Dayu pelan. Trining menajamkan pandangannya. “Kamu tahu ndak siapa Ki Sukmo itu?” tanya Trining dengan nada aneh. Dayu menggeleng lemah. “Dia itu terkenal sebagai dukun sakti, Nduk. Kita harus berhati-hati, jangan sampai menyinggung perasaan dia,” ucap Trining lirih setengah berbisik. Dayu menelan ludah dengan cemas. “Tapi niat kami kan baik, Bulek. Kalo kita diam aja, apa nggak malah membuat mereka tersinggung?” jawab Dayu mencoba menjelaskan. Trining menoleh kanan dan kiri. Ia beringsut mendekati Dayu yang berada di ujung balai bambu. “Ibu mertua kamu sudah menyampaikan permintaan maaf dengan Pram, dua bulan sejak Mas Cokro meninggal. Tahu apa yang terjadi setelah itu? Pram jadi seperti sekarang,” bisik Trining dengan mimik ngeri. Bibirnya terlihat kering dan matanya melotot seperti menahan tekanan yang menyiksa. “Bulek, itu semua karena paklek syok kehilangan bapak,” tukas Dayu menyanggah dugaan dan asumsi Trining. Bagi Dayu itu terdengar tidak masuk akal. “Kamu ndak tau, apa saja yang bisa dilakukan oleh seorang Ki Sukmo, Nduk. Dia itu mengerikan seperti monster,” keluh Trining dengan ekspresi ingin meyakinkan. Suara mobil yang memasuki halaman membuat keduanya berhenti diskusi. Padmi sudah pulang dan sebentar lagi suasana akan tidak menyenangkan. Dayu mendesah dengan resah. Kenapa harapannya untuk hidup tenang bersama keluarga Amandaru berubah menjadi siksaan? Mertuanya melongok sebentar ke arah dapur yang didesain setengah terbuka, kemudian pergi tanpa berkata-kata. Dayu menghela napas lega. Tidak ada kata-kata menyinggung ataupun sindiran yang membuat telinganya panas. Ia terus berdoa agar mertuanya berubah dan tidak lagi bersikap ketus juga dingin padanya. “Bulek mau nyuapin paklekmu dulu. Kamu bantu Sri masak lauk, ya?” pamit Trining dengan buru-buru. Dayu mengiyakan dengan anggukan samar. Begitu Trining pergi, Sri mendekat. “Mbak Dayu, jangan terlalu diambil hati, ya? Sabar-sabar, ini semua ada hikmahnya nanti,” hibur Sri pada majikannya. Dayu melempar senyum penuh syukur. “Saya hanya serahkan semua pada Allah saja, Mbak. Ini semua pasti cobaan yang bikin kita tambah kuat dan pinter,” sahut Dayu ringan. Sri mengacungkan jempolnya. “Leres itu, Mbak,” timpalnya setuju. Kedua wanita itu segera menuntaskan memasak dan menyiapkan meja makan untuk bersantap siang. Dayu menghindar tidak bergabung dengan mertuanya. Dia segera masuk kamar dan melanjutkan pekerjaan menulisnya. Lebih baik memperkecil intensitas bertemu dengan mertuanya daripada mereka tidak nyaman satu sama lain. Setelah mencoba menenangkan pikiran, Dayu melanjutkan cerita novel dan tenggelam dalam imajinasinya. Tidak terasa sudah dua jam lebih Dayu menuangkan ide dengan lancar tanpa kendala. Suara motor Genta yang masuk halaman membuyarkan konsentrasi dan menghentikan Dayu menulis. Ia segera menutup laptop dan membereskan meja kerjanya dengan buru-buru. Perempuan itu ingin menyambut suaminya dan menawarkan kopi. Tetapi ketika ia hampir sampai di ruang depan, terdengar isak tangis ibu Genta yang setengah meratap. Dayu berhenti dan mendengar dengan jelas ucapan mertuanya. “Binar dan Lunar sudah ndak ada, Genta. Tinggal kamu harapan ibu. Tapi sekarang kamu mau menghancurkan semuanya tanpa mau mendengarkan penjelasan apa pun.” “Ibu, mbak Binar dan mbak Lunar sudah tenang di alamnya. Jangan menghubungkan dengan masalah ini. Kenapa sih Ibu begitu memaksa buat Genta menikahi Sayekti? Ini tidak masuk akal, Bu.” “Kamu seperti ndak tahu asal dari perjodohan ini, Genta.” “Genta akan mengunjungi mereka dan menyampaikan permintaan maaf.” “Kamu pikir ibu tidak pernah melakukan itu?” “Maksud, Ibu?” “Lihat paklekmu Pram, jadi gila! Itu akibat ibu mendatangi mereka! Kenapa kamu ndak juga ngerti?!” Dayu merasakan tubuhnya merinding dan lututnya gemetar. Trining mengatakan hal yang sama! Dengan langkah gontai, Dayu menjauh dan masuk kamar diam-diam. Air matanya yang tadi tertahan, kini berlinang. Sekuat tenaga, wanita itu melangkah menuju meja rias dan meraih tisu. Perlahan ia duduk dan menatap kaca. Sampai kapan ia mengalami ini? Pantulan wajahnya tampak sembab dan pucat. Lambat laun Dayu melihat bayangan itu berubah. Sejenak Dayu tidak yakin hingga ia mengucak mata serta menajamkan penglihatannya. Kini bukan hanya satu, bayangan dirinya menjadi dua tapi itu bukan wajahnya. Angin semilir dari jendela berubah menjadi semakin dingin. Kabut tipis memenuhi kamarnya. “Pergi … pergi ….” Gaung dua sosok tersebut terdengar jelas, sementara menatap Dayu dengan empat rongga kosong tanpa bola mata! Dayu tidak sempat berteriak, seketika ia pun pingsan. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD