Ki Sukmo

1318 Words
Pria berambut putih dengan kumis tebal senada itu bernama Ki Sukmo. Pakaiannya masih bergaya kuno dengan celana panjang gombrong hitam bertali di pinggang. Setiap pagi ia selalu berdiri dengan gaya ganjil di depan rumahnya yang paling tinggi, di puncak bukit. Dia hanya memandang secara menyeluruh, menyapu semuanya, sejauh mata bisa menjangkau. Wajahnya selalu serius dan mulutnya komat kamit melontarkan kalimat tanpa suara. Semua warga sekitar hingga ke beberapa desa yang lain, memiliki anggapan berbeda tentang siapa Ki Sukmo. Ada yang menyebut sebagai dukun, paranormal ataupun tukang santet. Tidak ada yang mengetahui dengan pasti, siapa Ki Sukmo sebenarnya. Kehidupannya sangat tertutup dan hampir tidak terjamah oleh siapa pun. Berbagai kematian selalu dikaitkan dengan kiprahnya. Ki Sukmo tidak pernah muncul dan mengklarifikasi hal tersebut. Dulu, hanya dua orang yang dekat dengannya. Cokro Amandaru dan seorang peracik tembakau yang paling terkenal, Mbah Darmo. Sejak Cokro meninggal, Mbah Darmo juga tidak pernah terlihat mengunjungi rumah Ki Sukmo kembali. Mereka seperti terputus hubungan begitu saja. Walaupun misterius, semua orang tahu bahwa Ki Sukmo memiliki putri tunggal yang teramat cantik, Sayekti. Istri Ki Sukmo sendiri tidak banyak yang tahu mengenai keberadaannya. Mereka tidak pernah bergaul, jarang ada warga yang mencari tahu. Istri Ki Sukmo terakhir terlihat sekitar lima belas tahun yang lalu. Ada yang menduga istrinya kabur, namun tidak sedikit yang menyimpulkan mati karena dibunuh suaminya sendiri. Polisi tidak pernah ikut campur dan menyelidiki karena bukti yang tidak kuat. Entah siapa yang memberitahu tentang berita yang mencuat heboh Sabtu pagi itu, namun para warga sibuk membicarakan tentang kematian mendadak warga RT sepuluh tadi malam dan Ki Sukmo kembali menjadi tertuduh. "Mas Paidi itu terbelit hutang! Pasti dia bunuh diri karena stress, bukan dibunuh karena ndak bisa cari tumbal," tangkis seorang bapak penjual penjual kelapa. "Weleh! Pakne ini kok kayak ndak tahu siapa mas Paidi aja. Dia itu dua bulan terakhir sering dateng ke rumah yang di bukit!" bantah ibu-ibu yang sibuk mengunyah sirihnya dengan mulut nyinyir. Suasana pasar pagi itu dipenuhi dengung diskusi yang berbau gosip. Dayu mendengarkan dengan seksama sementara memilih sayuran. Kejadian kemarin sore tentang penampakan dalam kaca saja membuatnya tidak betah. Apalagi dengan berita yang sangat mengganggu mentalnya tersebut? "Siapa pun juga paham, kalo yang datang ke rumah di bukit itu, pasti ada kaitannya dengan pesugihan atau minta bantuan santet," imbuh pria yang berjualan beras dengan nada yakin. “Kalian ini kok sembarang aja nuduh orang tanpa bukti. Kalo ketahuan dan dia lapor polisi, bisa di jerat pencemaran nama baik lho!” seru penjual kelapa masih mencoba mengingatkan warga semuanya. Dayu mempercepat langkahnya menjauh dari mereka diikuti Sri. “Kita pulang, Mbak Sri. Semua sudah lengkap, kan?” tanya Dayu. “Sampun, Mbak,” jawab Sri. Dia tahu alasan utama Dayu tidak mau terlalu lama berada di pasar. Semua pembicaraan warga pagi ini membuat majikannya tidak nyaman. Begitu tiba di rumah dan memarkirkan sepeda motor, Trining menyambut keduanya dan membantu membawa barang belanjaan. “Dayu, bulek pergi dulu sebentar, ya? Mau setor uang jualan kopi. Sejam lagi balik,” pamit Trining sambil membetulkan kerudungnya yang hanya tersampir begitu saja di kepala. “Siapa yang antar, Bulek?” tanya Dayu. “Totok yang ngantar,” jawab Trining dari depan. Dayu segera bergegas ke dapur dan bertemu dengan Genta yang sedang menyeduh kopi sendiri. “Mas, aku buatin sini,” tawar Dayu buru-buru. Genta tersenyum dan mengibaskan tangan di udara. “Nggak usah. Aku bisa sendiri kok, kan gampang. Kamu udah pulang dari pasar?” sahut suaminya dengan lembut. Wajahnya terlihat khawatir atas kejadian kemarin. Istrinya pingsan di kamar dan saat ia bertanya, Dayu tampak bingung serta ketakutan. Istrinya memberikan alasan yang menurutnya mencurigakan. “Temani aku ngobrol di depan, yuk! Mumpung masih bisa, ntar kalo aku mulai ngantor kan repot,” ajak Genta kemudian. Dayu tersenyum mesra dan mengangguk. Kedua pasangan yang masih menjaga kemesraan itu melenggang berdua menuju teras depan. Dayu melihat Pram yang sedang duduk di tangga teras dengan ekspresi seperti biasa. Diam dan bergeming. “Paklek, duduknya pindah nggih? Di sini panas,” ajak Dayu. Pram menurut saat Dayu menuntunnya untuk bangkit berdiri, lalu duduk bersama mereka. Genta tersenyum dan mengajak pamannya berbicara seakan-akan dalam kondisi normal. Pram hanya menatap ke depan dengan tatapan kosong dan hampa. “Aku akan bawa Paklek ketemu dengan dokter lagi. Kebetulan temanku ada yang bertugas di RSJ Magelang,” ucap Genta pada Dayu. Istrinya mengangguk dan meraih tisu meja untuk membersihkan air liur Pram yang mulai menetes. “Minta ijin dulu sama Ibu. Siapa tahu ada dokter yang sudah menangani sebelumnya,” saran Dayu. Belum sempat Genta menjawab, Pram bergumam kembali. Keduanya bungkam. “Ambil sukmoku … ambil sukmoku … ambil sukmoku,” desisnya dengan mata melotot dan pandangan lurus ke depan. Dayu beringsut mundur, tisu yang di tangannya terjatuh. Wajah Dayu terlihat pucat. Genta menelan ludah dan mengusap punggung Pram untuk menenangkan. “Pram, masuk kamar!” seru ibunya yang muncul tiba-tiba. Ajaibnya, Pram berhenti mengoceh dan dengan patuh berdiri meninggalkan teras, masuk ke dalam rumah. Dayu makin merasa tersiksa. Dengan wajah gelisah, ia menunduk. Mertuanya berbalik kembali, masuk ke dalam tanpa bicara lagi. “A-aku takut, Mas,” bisik Dayu meremas ujung kaosnya dengan gemetar. “Sudah nggak apa-apa. Paklek cuman ngelantur aja,” hibur Genta, tapi seperti tidak yakin akan ucapannya sendiri. “Kemarin itu aku lihat sesuatu di cermin, tapi nggak berani ngomong sama kamu,” akunya Dayu dengan suara gemetar. “Lihat apa? Kamu bilang kaget lihat tokek?” tanya Genta makin merasa bingung. Dengan terbata-bata, Dayu menceritakan kejadian kemarin sore yang sesungguhnya. Air matanya bergulir tanpa bisa ia kendalikan. Bibirnya gemetar saat melontarkan kata demi kata. “Apakah mereka berambut sebahu?” tanya Genta lirih. Dayu mengangguk lemah. “Mbak Binar dan Mbak Lunar …,” desis Genta dengan nada kecut. “Kakak kembarmu?” tanya Dayu terkejut. Genta mengiyakan. Awalnya dia yang melihat sosok mendiang bapak di ruang tengah, kini Dayu yang bertemu dengan kedua arwah kakaknya. Apa yang terjadi sebenarnya? Kenapa mereka menjadi semakin mengalami teror penampakan yang sangat intens? Apakah arwah mereka tidak tenang? Ketika suasana hening sejenak, aroma tembakau terbakar tercium. Udara berhembus pelan dan bau itu semakin gencar menguar. Tidak ada satu pun yang merokok di keluarga tersebut kecuali bapaknya dulu. Berikutnya, jendela dan pintu terbuka dan tertutup sendiri dengan pelan. Dayu menoleh ke kanan dan kiri dengan mulut terbuka. Semakin lama, gerakan jendela dan pintu yang terbuka dan menutup sendiri semakin gencar. Ini baru pukul delapan pagi, namun kejadian teror sudah dimulai! Genta melantunkan ayat-ayat suci dan Dayu mengikuti dengan tangisan tertahan. Ibunya kembali muncul dan menghentakkan kakinya ke lantai tiga kali. “Lerem!!” bentaknya dengan keras. Seketika semua berhenti. Padmi melirik pada anak dan menantunya. Kali ini bukan dengan tatapan marah ataupun sinis. “Ibu menghadapi ini selama bertahun-tahun, dan kalian dengan egoisnya tidak ingin mengikuti saranku! Arwah bapak dan kedua kakakmu tidak tenang. Sekarang Pram juga jadi sasaran. Tega sekali kamu, Genta,” ucap Padmi dengan raut wajah yang sangat sedih. Genta terpekur memandang lantai tanpa mengangkat wajah. Pikiran Dayu melayang pada semua rangkuman cerita, peristiwa yang telah terjadi. Semua tampak blur dan tidak ada kejelasannya ujung pangkalnya. Apa maksud di balik ini semua? Kenapa jadi Genta yang salah? *** Sementara itu, di suatu tempat, seorang lelaki sedang duduk bersila dalam sebuah ruangan gelap dengan peluh bercucuran, walau udara dingin menggigit. Tangannya tertangkup di d**a dan mata itu terpejam rapat. Mulutnya komat kamit mengucapkan kalimat sansekerta yang sulit dipahami. Dari langit-langit, muncul sosok hitam pekat dan merangkak turun dengan gerakan perlahan. Kepalanya menghadap ke bawah dan kaki merangkak di atas. Rambutnya terjuntai ke bawah dengan wajah terbalik yang menampilkan gurat mengerikan. Tidak jelas makhluk apa, namun desisan kemarahan terlontar dari dirinya. Berkali-kali sosok itu berusaha menyerang, namun pria itu seperti tidak tersentuh. Dengan gerakan tangan yang halus, lelaki itu mengacungkan tangan ke depan sekuat tenaganya. Makhluk itu pun terpental menghantam plafon. “Titeni kowe Darmooooo*!!!” raungnya dengan gelegak amarah, kemudian menghilang bagai asap. (*awas kamu Darmo)
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD