Runtuh

2331 Words
Senja pun tiba, langit biru mulai berubah menjadi gelap. Awan hitam mulai berkumpul satu sama lainnya, hembusan angin semakin membuat awan yang berkelompok itu menjadi satu kesatuan dan merubah diri menjadi awan hitam yang membesar. Matahari mulai turun ke ufuk barat dan mulai kilatan juga petir bersahutan satu sama lainnya. Sore ini, terlihat sangat damai sekali dengan angin yang terasa sangat dingin bahkan seakan menusuk hingga tulang. Biasanya keluarga Gama Gemilang itu sedang duduk bersantai di taman belakang namun karena cuaca tidak mendukung mereka memilih menghabiskan waktunya di depan tv. Beberapa saat ketika mereka sedang asik menonton tv, tiba-tiba ada seseorang yang langsung nyelonong masuk ke dalam tanpa salam. Sosok itu langsung berjalan oh bukan tetapi berlari kecil ke arah kamarnya. Mela menatapnya dengan menaikkan satu alisnya seakan paham apa yang membuatnya cemas. Pasti kau mencari ponsel yang tertinggal ya, Mas, gumamnya dalam hati. "Papi kenapa, sih, Mi?" tanya Adik. "Gak tau, Sayang." "Papi itu makin kesini makin aneh aja, Mi," gerutu Adik. "Kenapa gitu, Dik?" "Ah gak tahu lah! Pokoknya Papi seakan sudah tak sayang lagi sama kita semua, Mi!" rajuknya. Begitulah Lea, gadis mungil itu mungkin sudah mulai merasa kehilangan sosok Papinya. Deg. Mas, lihatlah, bahkan anak sekecil ini juga merasakan perubahan dari dirimu. Tidakkah kau berpikir sudah menyakiti hati anak-anakmu dengan perubahan sikapmu? ucapnya dalam hati. Aku tak pernah tahu maksud dari perubahanmu ini, tapi aku selalu berharap bahwa tak ada wanita lain diluar sana sehingga membuatmu berubah, ucapnya lagi. "Mami ke atas dulu ya. Mungkin ada yang Papi cari," ucapnya meninggalkan kedua anaknya dengan ibunya. "Iya, Mi." "Mungkin Papi banyak kerjaan, Nak. Bukan maksud berubah sama Kakak dan adik," ucap Ibunya Mela mencoba menenangkan hati kedua cucunya dan masih terdengar oleh Mela. *** Mela berlalu, mempercepat langkahnya menuju kamar. Entah kenapa langkah kakinya dibuat secepat mungkin sampai di kamar dan hatinya pun terasa sangat gelisah. Saat sampai di depan kamar, ia melihat suaminya seperti sedang bingung mencari sesuatu. Wajah Mela berubah menjadi sinis, ia tersenyum melihat suaminya yang terlihat kacau. Oh, ternyata ini yang membuat langkah kakiku lebih cepat dari biasanya, ingin memergoki kegelisahan suami tercinta, ucap Mela dalam hati. Kena kau sekarang, Mas! Pusing ya cari benda yang penuh dengan rahasiamu! "Papi," panggilnya tiba-tiba membuat tubuh lelaki kekar itu menegang, ia tak menyadari kedatangan istrinya. Terlihat jelas sekali tubuhnya yang mendadak berdiri tegak dan kaku, padahal sebelumnya ia terlihat sibuk mencari sesuatu. "Ma-Mami," jawabnya terbata. "Iya ini, Mami," balasnya tersenyum penuh arti. "Kenapa, Pi? Kok gugup? Kayak habis lihat setan saja, Papi cari apa, sih?" tanyanya berusaha untuk tenang walau hatinya bergemuruh ingin memaki. Wajahnya mulai berkeringat dan ia nampak berpikir untuk memberikan jawaban, Mela menunggunya sampai bosan, tangan Gama terulur mengusap keringat yang mulai berjatuhan. "Papi sakit? Kok keringetan begitu?" "Ah tidak kok, Mi! I-ini hanya panas saja, sepertinya ac harus sudah diservice," jawabnya mengalihkah pembicaraan. Kena kamu, Mas! Bingung 'kan mau jawab apa? Takut ketahuan, ya! Hah! Dasar durjana! "A-anu, Mi. Nyari ponsel Papi. Mami lihat gak? Papi bingung, apa ketinggalan di rumah ya? Atau hilang? Papi juga gak tahu. Soalnya dicari-cari kok gak ada, gitu," jawabnya tak berani menatap wajag istrinya. "Oh, ponsel toh, dikira cari apaan, Pi! Itu ada kok di atas nakas. Kok bisa lupa, Pi? Dan kok bisa gak kelihatan? Padahal terlihat jelas." "E-eh … anu … tadi buru-buru, Mi." "Oh buru-buru mau antar istri muda belanja, Pi?" tanyanya dengan menekan kata istri muda. "Ma-maksud Mami, apa?" tanyanya lagi dengan tergagap. "Kenapa? Kok gugup? Padahal Mami hanya asal bicara loh," kekehnya. "Apakah yang Mami ucapkan benar adanya?" tanyanya lagi menaikkan satu alisnya dengan senyum mengerikan. "Ah, Mami! Ada-ada, saja! Gak mungkin Papi selingkuh," ucapnya datar dan mengganti mimik wajahnya. "Loh? Memang siapa yang bilang Papi selingkuh?" tanya Mela semakin membuat Gama terpojok. "Memangnya ada yang mengatakan Papi selingkuh? Perasaan Mami gak bilang soal selingkuh? Atau jangan-jangan Papi memang selingkuh?" ucapnya mendelik tajam membuat lelaki itu tegang. Diam. Keringat mulai bercucuran kembali, ia tegang sekali tak tahu harus menjawab apa. Lagi-lagi hanya bisa diam sambil memikirkan jawaban apa yang pas dan masuk akal untuk dijelaskan pada Mela. "Kenapa? Bingung? Gak bisa jawab? Jelas! Karena kau memang selingkuh, Mas Gama!!" teriaknya dengan suara lantang membuat suaminya tersentak dan tertegun. Lelaki itu tak menyangka, istri yang selama ini dianggap baik, lemah lembut, bahkan mungkin bodoh bisa berteriak dengan sangat lantang seperti itu. "Kamu bicara apa, Sayang? Aku gak selingkuh, sungguh," ucapnya tenang. "Sini … sini … duduk dulu … kita bicarakan semuanya baik-baik." Gama membimbing Mela untuk duduk di bibir ranjang. "Tidak usah banyak alasan dan menipu lagi, Mas Gama!! Aku sudah tahu semuanya!! Kau selingkuh dibelakangku!!" bentaknya dengan mata melotot. "Gak, Sayang. Aku gak selingkuh, sungguh! Kamu jangan cemburu begitu, Sayang. Aku ini cuman mencintaimu, Mami," elaknya dan mencoba untuk merayu. "Halah, Basi!!" teriak Melati tak tahan lagi dengan silat lidah suaminya itu. "Siapa Mawar, Pi? Siapa!!" bentaknya mengguncangkan tubuh gagah Gama. "Ma-mawar?" cicitnya terdengar sangat panik. "Iya, Mawar! Selingkuhanmu? Atau istri mudamu? Oh atau istri siri-mu?" tanya Mela memberondong membuat Gama kalap dan panik. Ia tak ingin semuanya terbongkar secepat ini. "Jawab!! Kenapa diam saja Mas Gama Gemilang!!" teriaknya semakin menjadi. "Apa salahku, Pi? Apa kurangnya aku, Pi? Kenapa? Kenapa kau melakukan semua ini padaku, Pi? Kenapa? Hah? Apa aku kurang cantik? Apa aku kurang baik? Apa aku kurang segala-segalanya untukmu? Iya? Atau Papi yang tidak bisa bersyukur? Atau Papi yang tak pandai menikmati setiap nikmat yang Allah berikan?" "Ma-maaf," cicitnya lirih. "Maaf? Semudah itu? Setelah semua pengkhianatan ini kau lakukan? Iya? Hah?" "Papi bisa jelaskan, Mi." "Jelaskan-lah!!" "Tapi Mami jangan marah." "Cepat jelaskan!!" teriaknya. "Ba-baik." Gama menarik nafas panjang lalu menghembuskannya perlahan. Flashback on Di ruangan yang tidak terlalu besar duduk seorang lelaki yang termenung, memikirkan nasib pabrik batiknya yang hampir kolaps. Entah bagaimana ceritanya, ia bisa kecolongan, pegawai kepercayaannya membawa kabur uang konsumen yang seharusnya digunakan untuk membeli kain yang akan siap di batik dan dipasarkan. Total uang yang dibawa kabur tidak sedikit dan lumayan membuatnya pusing. Bingung apa yang harus dilakukan, bingung juga apa yang harus dikatakan pada konsumen dan juga istrinya. Lelaki itu sudah melaporkan pada polisi dan sampai saat ini masih dalam tahap pencarian. Ia berharap pelakunya bisa ketemu dan uangnya masih bisa diselamatkan. Saking pusingnya, ia merasa enggan pulang sebab istrinya itu pasti akan dengan mudah mengetahui keadaannya yang tidak baik-baik saja. Pikirannya mulai melayang, ia ingin merasa tenang malam ini. Diambilnya benda pipih di atas nakas yang tidak jauh dari tempatnya duduk dan langsung menghubungi salah satu kawannya. "Halo, Andri. Dimana?" "Biasa. Kenapa? Pusing? Sini saja, Bro." "Masih lama?" "Pasti! Aku disini aja karena memang mau kontrol tempat. Jadi gak akan kemana-kemana." "Oke. Meluncur." Gama bergegas pergi menuju tempat Andri, mobil yang ia kemudi membelah jalanan yang cukup macet karena ini jam pulang kerja. Gama mengendarai mobil dengan kecepatan sedang hingga sampai di salah satu gedung yang terlihat damai di luar namun dalamnya luar biasa. Memarkirkan mobil secara asal dan langsung masuk ke dalam tempat tersebut. Dentuman musik terdengar sangat nyaring dan sahut menyahut satu sama lainnya. Para perempuan di lantai dansa sudah melenggak-lenggokkan tubuhnya dengan sengaja dipamerkan pada para tamu. Gama melangkahkan kakinya dengan sangat ringan hingga tidak sengaja bertabrakan dengan salah satu wanita yang bisa dibilang super seksi dengan pakaian yang sangat mini. Beberapa kali Gama meneguk ludahnya susah payah, perempuan itu tersenyum dengan sangat manis sekali dan mengucapkan maaf lalu berlalu pergi meninggalkan Gama yang masih terpaku. Andri melihat kedatangan sahabatnya itu langsung melambaikan tangannya, Gama berlalu menuju tempat Andri duduk dan mempersilahkan Gama untuk meneguk habis hidangan yang sudah dipersiapkan oleh Andri. Gama menceritakan semua keluh kesahnya, Andri hanya bisa memberikan semangat dan juga minuman agar pikiran Gama cerah. Gama sudah banyak minum dan membuatnya mabuk. Andri beberapa kali menawarkan diri untuk mengantar pulang tetapi Gama menolak. Akhirnya Gama memilih pulang sendiri namun lagi-lagi ia bertabrakan dengan perempuan tadi. Gama yang sudah dikuasai dengan setan di kepalanya, segera menarik perempuan itu keluar dari club dan masuk ke dalam mobil. Mereka berdua menuju ke salah satu hotel yang tidak jauh dari klub dan menghabiskan malam dengan memadu kasih di atas ranjang hotel. Erangan mereka memenuhi ruangan kamar dan juga peluh membanjiri wajah juga tubuh mereka. Mereka menghabiskan malam dengan pertempuran luar biasa. Sedangkan di tempat lain ada seorang istri yang cemas menunggu kedatangan suaminya karena hingga larut malam belum juga pulang. Menelpon berkali-kali namun tak ada jawaban membuatnya semalaman terjaga dan menunggu di ruang tv agar tahu saat suaminya pulang. Berbeda dengan suaminya, begitu sadar dari rasa mabuknya. Ia menyadari bahwa sudah melakukan kesalahan, perempuan di dalam dekapannya terlihat sangat cantik dan menggairahkan sekali membuat gairahnya kembali naik dan mereka kembali melakukan pertempuran panas hingga pagi harinya. Mereka melakukan berkali-kali hingga rasa haus akan sesuatu luar biasa itu terasa lega. Mereka bertukar nomor ponsel dan berlanjut dengan pertemuan-pertemuan selanjutnya, hingga mereka memutuskan untuk menikah dan juga saat ini sudah punya anak. Gama meminta istri keduanya untuk berhenti bekerja di club tersebut dan fokus mengurus rumah tangga mereka. Mawar tak masalah jika dijadikan istri kedua sebab pikirannya saat itu hanya untuk harta. Flashback off "Maafkan Papi, Mi. Maaf." "Maafkan semua kekhilafan Papi." "Astaghfirullah … astaghfirullah … astaghfirullah …," ucap Mela berkali-kali untuk menenangkan hatinya yang bergemuruh. Kilatan emosi terlihat jelas dari sorot matanya. Ubun-ubunnya terasa sangat panas sekali, ia seakan tak bisa lagi untuk menenangkan pikirannya namun tetap menekan rasa emosi itu agar tidak meledak. "Papi khilaf, Mi. Papi hilang kendali saat itu, sampai … sampai …." "Cukup!! Sudah tidak usah dilanjutkan!! Aku sudah paham apa yang terjadi!!" bentak Mela penuh emosi. "Astaghfirullah … astaghfirullah … astaghfirullah … jahat kamu, Pi!! Kejam!! Bagaimana bisa saat pabrik kolaps dan kau justru mabuk-mabukan sampai tidur dengan perempuan lain yang jelas-jelas bukan muhrimmu? Hah?" "Seharusnya, kamu datang padaku! Ceritakan semua masalahmu dan kita cari jalan keluarnya bersama! Bukan malah mengambil tindakan hina seperti itu, Pi!" teriaknya lagi. Wajah Mela sudah sangat merah padam, menahan emosi yang bisa kapan saja meledak-ledak. "Ma-maaf, Mi. Papi khilaf." Gama menyeluruh tepat di hadapan kaki istrinya, ia bersimpuh di kaki istrinya. Memohon maaf atas kesalahan dan kekhilafan yang dilakukan olehnya itu. "Khilaf? Haha! Khilaf itu terjadi sekali lalu setelah itu kau tobat!! Jika dilakukan berkali-kali itu artinya kau menikmati, Gama!!" Mela bangkit dan menunjuk suaminya. Rasa hormat seakan sirna begitu saja ketika kepercayaan yang selama ini di pupuk, disia-siakan begitu saja. "Kamu, semudah itu mengatakan khilaf tapi sampai punya anak!! Kamu gila, Mas!! Gila!!" maki Mela mengeluarkan semua emosinya. "Maka dari itu, aku merasa salah. Aku sudah berdosa dan menebusnya dengan menikahi, Mawar," jawabnya lirih. "Tapi tak ada izin dariku!!" ucap Mela melemah. "Mi, jangan pernah lupa, lelaki itu diperbolehkan untuk poligami! Dengan atau tanpa izin istri pertama!" jawabnya lantang. "Astaghfirullah!! Apa hanya sampai situ pengetahuanmu mengenai bab poligami, Pi?" tanyanya dengan suara penuh kekecewaan. "Apa pengetahuanmu mengenai poligami hanya sampai bab lelaki boleh memiliki istri lebih dari satu? Iya? Hah? Dangkal sekali rupanya pengetahuanmu, Gama Gemilang!!" ejek Mela memandang rendah suaminya itu. "Jangan bersembunyi dari kata boleh memiliki istri lebih dari satu tapi tak paham dengan isinya!! Semua ini kau lakukan semata-mata hanya karena nafsu!!" sindir Mela tepat sasaran karena menohok hingga jantung. "Mi, aku bisa adil. Tenang saja. Aku pasti akan adil pada Mami dan Mawar," tukasnya membuat Mela tersenyum getir. "Adil? Haha! Adil kau bilang? Iya? Adil yang seperti apa dan bagaimana, Gama?" tanyanya melemah. "Mi, tenang! Papi pasti akan adil, sungguh, Mi. Suami boleh poligami, Mi! Ingat itu!!" "Suami memang boleh poligami, Pi. Tapi apakah kau poligami sudah sesuai dengan syariat? Sepertinya kau hanya belajar bab poligaminya saja tapi tidak paham apa isinya! Jangan sampai kau menjadikan janda sebagai istri lalu kau menjandakan istrimu!" jawab Mela tegas. "Selama ini, aku kurang apa, Pi? Aku sudah berusaha menjadi istri yang baik, Mami yang baik juga untuk anak-anak. Tapi, kau bagaimana bisa menyakitiku seperti ini? Sakit, Pi! Luka ini sangat dalam!" tunjuk Mela pada dadanya. Ya, benar! Hatinya sungguh sangat amat terluka. Hati yang selama ini dijaga baik-baik, sekarang menjadi luka. Rasanya sungguh sakit dan tercabik-cabik mengetahui hal yang sangat tidak pernah dipikirkan sebelumnya. Mela berpikir, suaminya itu adalah lelaki yang baik dan pastinya idaman, tapi ternyata tetap saja ada celah kesalahan di dalamnya. Lebih mirisnya lagi, suaminya itu bersembunyi dibalik kata poligami. "Sudahlah, Mi!! Yang jelas, aku boleh mempunyai istri lebih dari satu, dengan atau tanpa izin darimu!! Suka tidak suka, mau tidak mau, kau harus menerimanya!!" "Kau akan menyesal sudah melakukan ini padaku, Gama!!" teriaknya lantang dan terdengar sangat memendam dendam. Gama berlalu meninggalkan istrinya yang menyeluruh ke bawah, tanpa mereka sadari sejak tadi ada seseorang yang mendengarkan pertikaian mereka di balik pintu. Kedua tangannya mengepal sempurna saat mendengar semua kalimat yang keluar dari mulut Papinya. Lelaki yang selama ini dipercaya dan menjadi panutannya ternyata tidak lebih dari lelaki b******k. Lelaki itu adalah panutannya. Ia merasa menjadi anak yang sangat beruntung karena memiliki Papi yang menurutnya sangat luar biasa. Bahkan, ia bermimpi ingin memiliki suami seperti Papinya, namun semua mimpinya itu sirna dalam sekejap mata saat ia mengetahui kebusukan dari Papinya. "Ka-Kakak!" pekiknya terkejut saat membuka pintu dan melihat anak sulungnya berdiri menatapnya dengan tatapan mematikan dan gigi gemeletuk menandakan ia sangat marah sekali. Manda berlari menerjang Papinya dan sekuat tenaga melayangkan pukulan pada Papinya itu. Gama yang tidak bersiap karena terjangan tiba-tiba itu membuatnya tersungkur. Ia lupa bahwa anaknya itu atlet bela diri, sehingga tak merasa berat jika melawan papinya. Melawan Gama itu tak ada apa-apanya bagi Manda, karena gadis itu sudah memahami gerakan lawan. Bugh. Bugh. Sorot mata Manda menunjukan kemarahan, kilatan-kilatan tersebut terlihat sangat mengerikan. Dan lagi-lagi ia melayangkan tinju pada Papinya yang sudah hampir berhasil berdiri. Bugh. Bugh. Plakkk. Plakkk. "Kakak!!" seru Mela terkejut saat anaknya melayangkan tinjunya kembali pada Papinya yang tidak siap dengan pukulan tersebut dan membuatnya terhuyung lagi ke belakang. "Amanda Lilly Gumilang!!" teriak Gama dengan lantang. Emosi dengan kelakuan anak sulungnya itu. "Iya, aku! Kenapa? Hah? Aku tak akan pernah tinggal diam jika Mamiku disakiti! Siapapun itu! Sekalipun itu Papi, maka akan berurusan denganku!" teriaknya menggelegar mengundang Ibu dan Lea berlari terpogoh-pogoh mendekati darimana suara teriakan tersebut berasal.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD