Rahma terbangun, namun ia tak menemukan Rendra di sampingnya. Rahma turun dari ranjang, ia masuk ke dalam kamar mandi untuk membersihkan diri. Ke luar dari dalam kamar mandi, ia mengenakan pakaiannya. Lalu membuka pintu kamar.
Rendra duduk di ruang tengah, tatapannya ke layar televisi yang menyala di depannya. Rendra menolehkan kepala.
"Kenapa terbangun?" Rendra mengulurkan tangannya, Rahma menerima uluran tangan Rendra, lalu ia duduk di atas pangkuan Rendra.
"Kenapa ingin menginap di sini?" tanya Rahma, direbahkan kepalanya di atas bahu Rendra.
Terdengar helaan berat napas Rendra. Rahma menatap wajah Rendra. Rendra tersenyum, diusap bibir Rahma dengan ujung jarinya.
"Saat ini, bersamamu, di sisimu, adalah tempat ternyaman bagiku."
Rahma mengerjapkan mata, ia merasakan ketulusan dari nada bicara Rendra.
"Orang-orang pasti berpikir, betapa bahagianya menjadi diriku. Memiliki orang tua kaya raya, yang kekayaannya mungkin tak akan habis sepuluh keturunan. Orang-orang juga pasti berpikir, betapa beruntungnya hidupku, memilik tubuh sempurna, dan wajah tampan tanpa cela. Buatku, sangat mudah untuk memilih wanita mana yang aku suka."
"Itu semua benarkan, jadi salahnya di mana?" tanya Rahma.
"Di sini.... " Rendra menunjuk dadanya.
"Ada apa dengan yang ada di sini?" Rahma menempelkan telapak tangan di atas d**a Rendra.
"Orang tidak pernah tahu, semua yang aku miliki tidaklah membuat aku bahagia."
"Itu hanya karena Bapak kurang bersyukur."
"Jangan panggil aku Bapak, Rahma."
"Ehmm," Rahma menggelengkan kepala, menolak untuk merubah panggilannya pada Rendra.
"Kenapa?"
"Saya takut salah panggil nanti kalau di kantor."
Rendra kembali menarik napas, lalu menghembuskan perlahan.
"Hidupku hanya dipenuhi oleh kepentingan. Pendidikanku di arahkan sesuai keinginan orang tuaku. Pernikahanku, diarahkan sesuai kepentingan bisnis orang tuaku juga. Hari-hariku hanya disibukan oleh kepentingan perusahaan milik ayahku. Tidak ada kepentinganku di dalamnya."
"Tidak ada kepentingan, tapi Bapak pasti mengambil keuntungan dari hal itukan?"
"Maksudmu?"
"Bapak menggunakan kekayaan untuk menggaet wanita yang Bapak suka, iyakan?"
Rendra tertawa.
"Jujur saja, saat aku pergi ke luar kota, aku memang sering mencicipi berbagai jenis wanita, untuk menghibur diriku."
Rahma menundukan kepala, tak bisa dipungkiri ada rasa cemburu di dalam hatinya. Rendra seakan menyadari hal itu. Diangkat dagu Rahma dengan ujung jarinya.
"Kenapa?"
"Ehmm, tidak apa-apa."
"Wajahmu langsung berubah saat aku bercerita tentang wanita-wanita yang aku tiduri. Itu hanya sekedar tidur Rahma, hanya nafsu belaka. Tidak ada perasaan lebih, dan kau harus tahu, wanita yang tidur denganku, tidak diijinkan melihat wajahku. Mata mereka harus ditutup."
"Kenapa begitu?"
"Ya Tuhan, kau ini lihai sekali di atas ranjang, masa hal seperti itu tidak mengerti. Tentu saja karena mereka tidak boleh tahu, kalau seorang Rendra Setiawan yang meniduri mereka."
"Iya, iya, aku bodoh!" Rahma merajuk, ia ingin turun dari atas pangkuan Rendra. Tapi Rendra mendekap erat tubuhnya.
"Lepaskan, nanti dilihat bibik, malu."
"Bibiknya aku suruh liburan di kampungnya satu minggu."
"Apa!?"
"Hmmm, tadi aku minta supirku menyewakan mobil rental, terus aku beri uang saku untuk selama di kampung."
"Iih, kenapa?"
"Biar kita bebas berduaan saja, bebas melenggang di rumah ini. Bisa bercinta di mana kita inginkan."
"Bapak ini, benar-benar mesum."
"Biar saja m***m. Sekarang jawab dulu, kenapa ngambek saat aku bercerita tentang para wanita yang tidur denganku?"
"Siapa yang ngambek?"
Rendra tertawa, dicubit puncak hidung Rahma yang mungil, namun bangir.
"Itu dulu, Sayang. Sebelum aku bertemu denganmu, dan tergila-gila padamu. Sekarang hanya tubuhmu yang ingin aku nikmati. Kau harus tahu, dari sekian banyak wanita yang sudah aku tiduri, milikmu yang paling nikmat bagiku."
"Rayuan gombal," sungut Rahma.
"Itu yang sesungguhnya."
"Ehmm, sejak kapan suka meniduri wanita?"
"Lupa.... "
"Apa semua sudah tidak gadis lagi, atau ada yang gadis juga yang Bapak tiduri?"
"Ya, ada beberapa gadis yang menjual keperawanan mereka, dengan alasan ekonomi pada umumnya."
"Apakah semua suka rela?"
"Tentu saja suka rela, aku tidak suka main paksa, apa lagi pada wanita."
"Ooh, yah siapa tahu, saat napsu Bapak di puncak kepala, mencari pelampiasan tidak ada, akhirnya asal main seret gadis untuk Bapak nikmati." Suara Rahma terdengar sedikit bergetar saat mengucapkan hal itu.
"Tidak Rahma. Aku bukan seorang pemaksa, aku hanya menggauli wanita, atau gadis yang dengan suka rela membuka kedua pahanya demi uangku." Rendra menggelengkan kepala. Rahma menatap bola mata Rendra, ia berusaha mencari kejujuran di sana, dan ia menemukannya. Hal itu membuat hatinya bingung.
'Apakah dia lupa? Atau peristiwa itu bukanlah hal penting baginya?'
Rahma akhirnya hanya bisa tersenyum, meski kebimbangan merasuki perasaanya. "Senyumanmu menentramkan perasaanku. Berada di dekatmu, aku merasakan kenyamanan, ketenangan, dan kedamaian, yang belum pernah aku rasakan." Rendra memeluk Rahma lebih erat lagi. Dikecup sisi kepala Rahma dengan lembut.
"Kita tidur lagi, Pak. Besok harus ke kantor. Bapak ada meeting besok pagi." Rahma mengusap bahu Rendra.
"Kau tahu, aku ingin sekali berlari, berlari ke suatu tempat di mana tidak ada lagi rutinitas yang mengikatku."
"Lari dari kesulitan hidup, adalah tindakan pengecut, Pak. Hadapi dengan ikhlas, pikirkan tentang sisi baiknya, jangan hanya memikirkan yang tidak nyaman terasa." Rahma membelai pipi Rendra dengan jemarinya. Rendra menatap bola mata Rahma. Bibirnya tersenyum, digenggam jemari Rahma, ia bawa ke bibirnya, dan ia kecup dengan mesra.
"Bicaramu seperti motivator saja." Rendra mencubit pipi Rahma, Rahma tersenyum saja. Ia merasa dimanja.
"Ehmm, saya hanya mengatakan sesuatu berdasarkan pengalaman hidup saya, Pak."
"Hidupmu sangat berat, ya?"
Rahma hanya menjawab dengan senyuman. Belum waktunya ia membuka semuanya. Belum waktunya Rendra tahu siapa dirinya.
"Saya ingin melupakan saat penuh derita itu, Pak. Jangan lagi tanyakan pada saya. Kita tidur sekarang, Pak."
Rahma ingin turun dari atas pangkuan Rendra, tapi Rendra menahan tubuhnya. Rendra bangkit dari sofa, dengan Rahma di dalam bopongannya. Rahma menyandarkan kepala di atas bahu Rendra. Tak bisa ia pungkiri, ia nyaman berada di dalam dekapan Rendra.
Rendra membaringkan Rahma di atas ranjang, dikecupnya kening Rahma lembut.
"Aku ke kamar mandi dulu ya, siapkan dirimu untuk ronde berikutnya." Rendra tersenyum menggoda ke arah Rahma. Rahma membalas senyuman Rendra. Rendra beranjak menuju kamar mandi.
BERSAMBUNG