Prasetya Putra Pramudya, nama yang tertera di semua data identitas resmiku. Saat ini usia sudah memasuki tahun ke tujuh belas. Statusku siswa kelas dua salah satu SMA swasta yang tidak ngetop di daerahku. Ya, banyak yang tidak tahu nama dan keberadaan sekolah swasta yang menjadi tempatku menimba ilmu.
Semua orang memanggilku Pras. Namun ada juga beberapa orang yang terkadang memanggilku Putra. Gak ada masalah, aku sih asik-asik aja mau dipanggil apapun. Ada pemeo yang mengatakan ‘apa arti sebuah nama.’ Tapi dalam kenyataannya, justru nama itu sangat penting selain sebagai identitas diri, nama juga memiliki sejuta makna yang tidak bisa dianggap remeh.
Sejujurnya, aku remaja pria yang memiliki sedikit keanehan. Bahkan bisa jadi menurut sebagian yang lain itu merupakan aib. Ya orientasi seksualku afak sedikit berbeda dengan kebanyakan teman sebayaku.
Aku memilik ketertarikan secara seksual kepada wanita yang usianya jauh di atasku. Aku sendiri tidak mengerti mengapa obsesi dan fantasi seksualku bisa seperti itu. sebenarnya sudah sejak lama aku rasakan. Mungkin sejak aku mengenal perasaan aneh itu sendiri. Namun demikian aku tetap masih bersyukur karena orientasiku masih kepada lawan jenis.
Sebelumnya kita kenalan dulu. Ada istilah yang mengatakan tak kenal maka tak mau tap love.
Jika ada yang pernah kenal dengan salah seorang selebriti Tanah Air bernama Hengky Kurniawan saat muda, maka itu artinya telah memiliki gambaran tentang ciri fisik wajah dan tubuhku. Andai aku dan dia lahir pada tahun yang sama, mungkin akan banyak yang menduga kembar.
Ya, walau kemiripan wajah dan penampilan kami tidak terlalu identik, tetapi tak sedikit yang mengatakan jika aku sangat-sangat mirip dengan pesohor itu. sejujurnya aku sendiri tidak terlalu kenal dengan dia, namun sejak banyak yang memangilku Hengky Kurniawan, mau tidak mau jadi sering melihat jejak digital dan foto-foto dia di masa mudanya. Dan bukan geer. Ternyata aku memang sangat mirip dengan Hengku, terutama bagian mata dan hidung.
Dalam dunia nyata sebenarnya raut wajah dan postur tubuhku sangat mirip dengan ayah yang sisa-sisa kegagahan dan ketampanannya masih tersimpan dengan jelas dan nyata hingga saat ini. Aku sangat yakin, walau tidak terlalu tahu banyak tentang masa muda ayah, namun bisa dipastikan mantan ayah akan sangat banyak.
Bentuk wajah dan ciri fisik aku dan Hengky Kurniawan sangat banyak kemiripan. Tetapi nasib dan keberuntungan sepertinya berbanding terbalik. Bisa jadi bagaikan bumi dan langit atau setidaknya bagai Tuan Muda dengan jhongosnya.
Hengky Kurniawan seorang selebriti bahkan sekarang menjadi Wakil Bupati salah satu Kabupaten di Jawa Barat. Sedangkan aku hanyalah anak seorang duda yang berprofesi sebagai sopir bus antar provinsi. Mamaku tinggal di Sukabumi dengan dua adikku dan suami berondongnya yang tidak terlalu ganteng-ganteng amat.
Ayahku bernama Pramudya, Mamaku Aisyah sedangkan dua adikku Prili dan Patria. Aku dan Prili anak ayah Pramudya, sedangkan Patria anak dari ayah Ardi sang brondong yang telah menghancurkan rumah tangga kedua orang tuaku.
Ketika usiaku memasuki tahun ke 14, tepatnya saat kelas dua SMP, kedua orang tuaku bercerai karena tidak ada kecocokan. Mama kembali ke rumah orang tuanya di Sukabumi dengan membawa Pricili adikku. Sedangkan aku tetap tinggal dengan ayah karena tanggung melanjutkan sekolah yang tinggal beberapa bulan lagi.
Sebulan sekali aku menginap di Sukabumi di rumah nenek sambil mengirim uang dari ayah untuk adikku. Bersama ayah aku tinggal di sebuah kota kecamatan yang cukup padat penduduknya. Menempati rumah pribadi yang sederhana di sebuah pemukiman yang kebanyakan dihuni pendatang.
Rata-rata para tetanggaku ngontrak. Ada juga yang membangun rumah secara mandiri. Tak heran jika di kiri dan kanan rumahku berjejer rumah kontrakan milik para juragan.
Lima bulan setelah menjanda, Mama hamil di luar nikah dan akhirnya menikah dengan yang menghamilinya. Seorang lelaki yang baru berusia 21 tahun, berprofesi sebagai rider ojek online.
Dari kejadian itu, aku baru tahu jika perceraian orang tuaku dulu dikarenakan Mama selingkuh dengan brondong yang kini jadi suaminya itu. Sampai sekarang Mama, adikku dan suami mudanya tinggal bersama nenek. Suami mudanya tentu saja belum mampu memberikan rumah pada Mama.
Stelah Mama menikah dengan Ardi, aku jarang datang ke rumah nenek. Ketika mengantarkan uang untuk adikku, aku lebih memilih bertemu di rumah paman yang tidak terlalu jauh dari rumah nenek. Intinya, sama sekali aku tidak mau bertemu dengan ayah tiriku yang lebih cocok jadi kakak atau teman sepermainanku.
Aku pun tidak habis pikir. Mengapa Mama yang sudah bahagia, hidup mapan berumah tangga dengan ayah, malah memilih selingkuh dengan brondong kere, hitam, kucel dan lebih cocok disebut sebagai anak jalanan daripada seorang driver ojol.
Segala apa yang ada dalam diri ayah tiriku, berbanding tebakik dengan ayahku. Ayah Pramudya walau usianya sudah mendekati kepala empat tapi tetap terlihat gagah dan ganteng.
Apa sebenarnya yang Mama cari dari brondong kucel itu?
Apa kelebihan seorang Ardi dibanding sorang Pramudya yang jelas-jelas keturunan darah biru Jogja.
Cinta dan nafsu memang selalu penuh misteri. Keduanya bukan hanya melumpuhkan logika tapi juga membutakan nurani dan mata hati.
Ayah tidak setiap hari berada di rumah. Terkadang hingga berhari-hari beliau tidak pulang. Terutama kalau sedang membawa rombongan tour ke luar provinsi. Mungkin itu yang menjadi penyebab mengapa Mama dulu selingkuh. Atau mungkin juga ada sebab dan alasan lain yang belum bisa aku pahami.
Mudah-mudahan semua akan terungkap seiring perjalanan waktu. Ya, untuk saat ini aku memilih untuk tidak terlalu peduli. Yang penting ayah tidak pernah melalaikan kewajibannya memberi nafkah pada kami anak-anaknya.
Sebagai anak yang lebih sering tinggal sendirian di rumah, aku dituntut bersikap lebih dewasa dan mandiri. Makanya sangat wajar jika aku tumbuh menjadi remaja yang sedikit kurang gaul.
Aku memang tidak terlalu punya banyak waktu untuk main atau nongkrong. Karena mau tidak mau aku harus menjaga dan memelihara rumah termasuk mengerjakan pekerjaan rumah yang biasanya dilakukan kaum wanita atau ibu rumah tangga.
Untuk urusan makan, aku tidak kesulitan karena setiap hari mendapat kiriman dari Mbak Sri, pemilik warung nasi yang tidak jauh dari rumahku. Aku tidak tahu berapa rupiah ayah membayar makanku setiap bulannya. Yang pasti aku bebas makan di warung Mbak Sri atau di rumahku sesuai keinginanku.
Untuk urusan cuci pakaian dan merapikannya, ayah juga sudah meminta Mbak Diah, tetangga sebelahku yang sememangnya dia biasa menerima cucian dari para tetangga. Mbak Diah usianya masih sangat muda, berasal dari Pati Jawa Tengah. Suaminya seorang satpam di salah pabrik yang tak jauh dari komplek perumahan kami.
Setahun setelah bercerai dengan Mama Aisyah, ayah menikah dengan seorang janda tanpa anak yang berasal dari Karawang. Mama Nina aku memanggilnya. Dia berusia 37 tahun namun masih terlihat muda dan cantik dan memang relatif jauh lebih cantik dibandingkan Mama Aisyah.
Aku sangat bangga dan bahagia karena ibu tiriku berbeda dengan yang aku perkirakan. Beliau tidak seperti ibu tiri dalam cerita-cerita yang katanya menyebalkan dan lebih kejam dari ibu jari, ibu kota dan ibu-ibu lainnya.
Sejak memiliki ibu baru, hidupku langsung berubah. Mama Nina merawat dan mengurusku dengan sangat baik. Walau ayah jarang ada di rumah namun dia tidak pernah bersikap sebagai ibu tiri yang baiknya hanya di depan suaminya saja.
Hubunganku dengan Mama Nina pun sangat dekat dan akrab. Orang yang tidak tahu pasti tidak akan mengira jika dia ibu tiriku.
Sejak saat itu pula, aku mulai punya waktu untuk bersosialisasi dan bermain dengan teman-temanku. Beberapa kegiatan di sekolah pun dapat aku ikuti dengan baik dan yang pasti nilai akademikku makin meningkat tajam nyaris tak terkalahkan.
Walau kini aku sudah menjadi anak gaul akan tetapi ada ada sifat dasar yang sulit berubah. Ialah pemalu, pendiam dan sedikit krisis percaya diri. Bukan karena wajah dan penampilanku yang kurang menarik. Justri aku selalu menjadi idola cewek-cewek sejak SMA namun entah mengapa tak pernah merasa percaya diri. Perasaan minder sepertinya sudah sangat mendarah daging dalam diriku.
Waktu terus berlalu dan tak terasa sudah setahun aku memiliki ibu tiri yang menyenangkan. Dan ssepertinya belum ada tanda-tanda bakalan punya adik baru. Aku menduga Mama Nina seorang yang mandul. Dari pernikahan dengan dua suami terdahulunya pun dia tidak dikarunia keturunana. Sangat wajar jika dia memeperlakukan aku seperti anaknya sendiri.
Ya, bagiku tak masalah Mama Nina tidak memiliki anak lagi. Aku malah merasa sangat diuntungkan karena kasih sayang dan perhatiannya beliau akan tercurah sepenuhnya pada ayah dan diriku. Jika pun Mama Nina kembali memberikan adik buatku, tentu saja aku akan sangat senang. Apalagi kalau adik laki-laki, jadi punya teman untuk berantem.
Ketika aku memasuki SMA, Mama Nina mengurusnya dengan sangat serius. Dia benar-benar menggantikan sosok ayah dan Mamaku. Hingga tanpa menemui kendala apapun aku bisa resmi memakai seragam putih abu-abu. Ayah benar-benar telah mempercayakan sepenuhnya seluruh hidupku pada Mama Nina. Sebagai kepala keluarga, ayah hanya bertanggung jawab menyediakan segala kebutuhan hidup istri dan anak-anaknya dengan sebaik-baiknya.
Hampir semua teman-teman akrab waktu di SMP, hilang ketika aku masuk SMA. Sahabat-sahabat ajaibku masuk SMA Negeri sedangkan aku memilih SMA Luar Negeri. Bukan karena otakku bodoh dan nilaiku jeblok hingga tak bisa diterima di sekolah negeri, namun aku ingin merasakan sekolah di sekolah swasta yang katanya relatif lebih santai.
Kembali lagi pada permasalah yang aku hadapi ialah susah bergaul dan sedikit tertutup. Sifatku yang pemalu dan kurang percaya diri telah menjadikan aku pribadi yang sulit menerima kehadiran orang baru dalam kehidupanku. Kecuali benar-benar sejalan dengan pikiranku. Aku termasuk orang yang sedikit keras kepala namun anti dengan segala hal yang berbau kekerasan dan pemaksaan.
Di SMA aku relatif tidak memiliki teman dekat yang satu sekolah. Aku termasuk siswa yang tidak populer. Padahal kalau dilihat dari wajah dan penampilan, mungkin aku termasuk siswa paling ganteng di sekolahku.
Alih-alih menjalin persahabatan dengan teman-teman satu sekolah, aku lebih memilih melanjutkan persahabatan dengan mantan-mantan teman SMP yang berbeda sekolah namun bertempat tinggal tidak terlalu jauh.
^^^