1. Demand

1035 Words
Sinar mentari pagi yang menyembul malu-malu dibalik cela tirai jendela yang masih tertutup, Relline merenggangkan otot-otot tangannya seraya mengucek kedua matanya. Kesadarannya belum sepenuhnya pulih akibat tidur nyenyaknya malam ini, wanita itu dengan kesadaran setengah berjalan menuju kamar mandi tak lupa sebelumnya meraih handuk putih yang tergantung rapi didekat lemari pakaiannya. Relline berjalan santai dengan handuk yang menggulung rambutnya, hari ini ia keramas agar kulit kepalanya terasa lebih segar. Diambilnya hair dryer yang terletak diatas meja riasnya, ia bersenandung ria sambil mengeringkan rambutnya. Ia mencatok ujung rambutnya agar bergelombang kemudian memoles make-up diwajah cantiknya. Setelah selesai dengan segala urusannya, Relline menuruni anak tangga lalu berjalan menuju dapur. Nampaklah Pak Handoko tengah duduk di bangku sambil menikmati kopi hitam yang disediakan Bi Sum. Relline hanya tinggal berdua dengan Papanya saja, ia merupakan anak tunggal sedangkan Mamanya telah lama meninggal saat Relline masih menyelesaikan S1 nya di New Zeeland. Setelah kematian mendiang istrinya Handoko lantas tak memutuskan untuk menikah lagi karena ia sudah berjanji kepada dirinya sendiri untuk setia kepada almh. Istrinya dan juga hanya tinggal bersama Relline. Ia juga tau pasti kalau Relline pasti tidak akan menyetujui jikalau ia akan menikah kembali, mengingat kecintaan Relline akan mendiang Mamanya. "Pagi Pa.." Relline mendekati Handoko dan mencium pipi kanan dan kiri sang Papa. "Pagi... Sepertinya ceria sekali putri Papa hari ini, apa Papa ketinggalan sesuatu?" Ucap Handoko ketika mengamati binar bahagia dari Relline. "Iya dong Pa, setiap hari kan kita memang harus bahagia." Relline mengambil selembar roti tawar dan mengolesinya dengan selai strawberry kesukaannya. "Baguslah kalau sekarang kamu merasa lebih baik." Relline hanya diam, ia tau betul apa yang Papanya ucapkan namun ia hanya mengulas senyum tipis. Relline mengunyah rotinya sesekali melirik Papanya yang tengah menyeruput kopi hitamnya, Relline bertanya-tanya apakah ia harus mengatakan permintaannya kepada sang Papa. "Hhhmmm Pa..." Panggil Relline agak ragu. "Iya?" "Mmm Relline mau bicara." Relline menatap Handoko serius. Melihat keseriusan di wajah putrinya, Handoko menaruh cangkir kopinya diatas meja kemudian menatap Relline dengan kernyitan didahinya. "Ada apa? Apa ada masalah di kantor?" Tanya Handoko yang dibalas gelengan kepala oleh Relline. "Bukan masalah kantor, Relline cuma minta satu permintaan." Relline menggigit bibir bawahnya. "Katakanlah, kalau Papa mampu Papa pasti akan menuruti permintaanmu." Mata Relline berbinar mendengarnya. "Benar Pa?" Handoko mengangguk. "Iya katakan saja." "Relline... Mau menikah." Handoko yang baru saja menyeruput kopinya menyemburkannya dengan tiba-tiba, untunglah tak mengenai Relline. "Hah?! Serius?!! Siapa yang melamar putri Papa? Apakah dia orang yang baik? Apakah dia mencintai putri Papa?!!" Tanya Handoko bertubi-tubi dengan penuh keterkejutan. "Dia baik, salah satu pegawai kantor Relline." "Papa tidak mempermasalahkan pekerjaannya, asalkan dia menyayangimu Papa setuju-setuju saja." Handoko mengelap noda kopi yang mengenai sedikit wajahnya. "Tapi masalahnya Pa dia gak ngelamar aku." "Tapi kalau Papa tadi tidak salah mendengar barusan kamu bilang ingin menikah kan? Apa kalian sudah memiliki hubungan yang lama?" Handoko mengernyit bingung. "Kami sama sekali gak ada hubungan Pa, dia bahkan tidak melamarku. Tapi aku ingin menikah dengannya, untuk itulah Pa bantulah aku menikah dengannya. Lamarkan dia untukku." Relline berkata seakan merengek meminta dibelikan permen oleh sang Papa. Handoko terdiam, ia bingung ingin menanggapi permintaan Relline seperti apa. Selama ini apa yang putrinya inginkan pasti akan ia kabulkan, tapi mendengar permintaannya yang satu ini ia jadi ragu apakah ia bisa mengabulkan permintaan Relline atau tidak. Handoko hampir saja jantungan ketika suara kaca dipecahkan disusul dengan Relline yang memegang serpihan gelas kaca itu dan mengarahkannya kearah urat nadinya. "Sayang apa yang mau kamu lakukan?" Panik Handoko melihat kelakuan Relline. "Kalau Papa tidak mau menuruti permintaanku, lebih baik serpihan gelas kaca ini mengenai urat nadiku." Tukas Relline. "I-iya... I-iya Papa akan menuruti segala keinginanmu, Papa akan melamarkan dia untukmu. Tapi Papa mohon, jauhkan serpihan itu dari tanganmu." Pinta Handoko yang hampir saja jantungan. Relline tersenyum senang, ia menghampiri Handoko yang masih saja mematung lalu mengecup pipi kanan kiri Papanya dengan penuh sayang. "Makasih Pa, Papa emang Papa yang terbaik. Aku pergi dulu ya Pa, aku tunggu kabar baiknya." "Namanya Bayu, pria berkacamata dan dia manager keuangan di perusahaan kita." Bisik Relline lalu menjauhkan wajahnya. Setelah itu Relline melangkahkan kakinya meninggalkan Papanya yang tengah mengelus dadanya berusaha sabar akan kelakuan putri satu-satunya, ia memang tidak bisa jika tidak menuruti permintaan putri cantiknya itu. Bersegera Handoko meraih ponselnya lalu menelfon orang kepercayaannya untuk bisa membuatnya bertemu dengan pria yang akan menjadi menantunya. "Buat pertemuanku dengan Bayu Setiadji manager keuangan, sekarang!!" Setelah itu sambungan pun terputus. Seorang pria berkaca mata memasuki restoran dengan langkah tergesanya, sesekali ia membenarkan letak kaca matanya yang sedikit melorot. Ia menghampiri seorang pria paruh baya yang duduk disalah satu bangku restoran sambil meminum kopinya. "Maaf Pak, saya terlambat." "Tidak apa-apa, silahkan duduk Bayu." Ucap Handoko mempersilahkan Bayu duduk sambil menyunggingkan senyum ramahnya. "Ada apa Bapak mengajak saya bertemu disini? Apakah ada masalah?" Handoko cukup mengenal Bayu dengan sangat baik, ia pun kaget ketika Relline memintanya untuk melamarkan Pria yang telah lama ia kenal dan kerap kali ia bantu dulu. "Iya ada masalah, ini menyangkut putri saya Relline." "Ada apa dengan Bu Relline?" Handoko tersenyum, ia menatap serius Bayu. "Saya ingin melamar kamu menjadi menantu saya, suami putri saya Relline." Bayu begitu terkejut mendengar ucapan Handoko. "M-maksud Bapak?" "Saya ingin kamu membawa keluarga kamu ke rumah saya untuk melamar Relline." "Tapi Pak? Kenapa saya?" "Saya percaya kamu pasti akan menjaga putri saya dengan baik, saya sudah mengenalmu cukup lama dan Relline yang ternyata juga sangat menginginkanmu. Saya rasa usia kalian sangat cocok untuk menjalin hubungan pernikahan." "Tapi Pak.. S-saya merasa kurang pantas bila disandingkan dengan Bu Relline, saya hanya seorang manager sedangkan Bu Relline..." Ucapan Bayu terhenti ketika Handoko menyela ucapannya. "Anggap saja ini sebagai balas budi atas jasa saya kepadamu." Bayu tak dapat berkata apa-apa lagi. "S-saya..." "Saya mohon, tolong kamu mau menikah dengan putri saya. Karena saya tau hanya kamulah yang pantas dan bisa menjaga Relline, saya ingin memberikan putri saya kepada orang yang tepat. Dan menurut saya kamulah orangnya." Bayu menatap Handoko dengan guratan kegelisahan yang sangat terlihat, pria itu tengah berpikir keras apakah harus ia menerima tawaran dari Handoko. "Baiklah Pak, saya akan menerimanya." Putus Bayu akhirnya yang membuat senyum Handoko mengembang. "Saya percayakan putri saya kepadamu." Handoko menepuk bahu Bayu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD