Tentang Gibran dan Starla

2182 Words
Gibran mengemudikan mobilnya dengan kecepatan sedang, selama ini Gibran tak pernah sekalipun mengemudikan mobilnya dengan kecepatan tinggi, dirinya selalu ingat dengan kata-kata yang di katakan oleh mamanya yang terus menerus melarangnya untuk mengemudikan mobilnya dengan kecepatan tinggi. Setelah perdebatan yang cukup panjang, Gibran pun hanya bisa menghela nafasnya pasrah dan membiarkan wanita itu ikut bersamanya. "Ini mau kemana sih?" Tanya wanita itu yang langsung saja membuat Gibran menghembuskan nafasnya panjang. "Kencan sama mama, udah di bilangin dari tadi." Jawab Gibran dengan sedikit malas. "Ah, anak mama ternyata." Gumam Starla dengan suara kencangnya, bahkan itu tak bisa di katakan gumaman. "Kenalin, gue Starla." Kata Starla yang langsung saja membuat Gibran menoleh dan menatap ke arah wanita dengan wajah cantik dan juga imut itu. "Gibran," jawab Gibran singkat. Starla tertawa mendengarnya, dirinya mimpi apa semalam hingga bertemu dengan laki-laki seperti Gibran, bahkan terlihat sekali jika laki-laki itu tak tertarik dengan wajah cantiknya. Gibran menghentikan laju mobilnya setelah mobilnya berhasil memasuki area parkiran mall yang menjadi tempat yang baru saja di janjikan oleh mamanya itu. Gibran bergerak turun, membiarkan Starla bingung sendiri dan terus mengekor di belakang Gibran, jujur saja Starla tak terlalu tahu dengan daerah sini, apalagi dirinya juga salah satu buronan di keluarga ayahnya sendiri. "Jangan ikutin gue," kata Gibran dengan suara pelan. "Gue nggak tahu daerah sini, kalau nyasar Lo mau tanggung jawab?" Tanya Starla dengan suara kerasnya, membuat semua orang menoleh ke arah keduanya dengan tatapan menyelidik. Gibran memijit kepalanya pelan, tatapannya tertuju pada Starla yang terlihat menoleh ke sana ke mari untuk melihat sekitar mall yang ramai pengunjung hari itu. "Jangan bicara macam-macam kalau ketemu mama gue nanti, gue nggak suka ribut." Putus Gibran yang langsung saja membuat Starla menoleh dan mengangguk dengan cepat. Ah, benar saja dirinya memang sangat jarang keluar kecuali untuk bekerja, apalagi dirinya bisa di katakan sebagai buronan karena masalah ayahnya itu, benar-benar sangat sial. Gibran kembali melanjutkan langkahnya, mamanya bilang menunggunya di lantai dua, sebenarnya Gibran tak tahu kenapa mamanya mengajak bertemu di mall seperti ini, apalagi hanya untuk makan bersama. Starla hanya mengekor dan terus menatap ke berbagai tempat yang ia lewati, mulai dari store baju, jam tangan, dan masih banyak lagi yang membuat matanya berkilau saat melihat semua itu, jujur saja dirinya benar-benar penggila belanja jika di lahirkan kaya seperti saudara tirinya itu. "Sayang," panggil Tasya seraya berdiri dari duduknya dan melambaikan tangannya ke arah Gibran. Gibran pun tersenyum menatap ke arah mamanya, mamanya ini tipikal orang yang sedikit menyebalkan tapi dia itu sayang banget padanya, mangkanya kadang Gibran merasa tak enak sendiri. Tasya memicingkan matanya saat melihat ke arah Starla yang sedari tadi mengekor di belakang Gibran, jika tak salah ingat, putranya itu paling anti kalau ada wanita yang mengikutinya seperti ini, apalagi putranya juga tipikal yang tak akan menyukai seseorang yang sayang padanya, dan kalian tahu lah apa masalahnya. Gibran menghampiri mamanya dan memeluknya dengan singkat, tak lupa kecupan pelan yang ia tinggalkan di kening mamanya itu. "Sudah seminggu kamu nggak pulang." Kata Tasya yang langsung saja membuat Gibran mengangguk pelan. "Rencananya Minggu depan Gibran pulang ke rumah, gimana kabar ayah sama Tony?" Tanya Gibran yang seraya membantu mamanya duduk lagi. Tasya menoleh ke arah Starla yang terlihat bingung, tak tahu harus ikut duduk atau malah berdiri seperti seorang asisten, ah bahkan dirinya tak pernah membayangkan menjadi seorang asisten. "Dia siapa?" Tanya Tasya yang langsung saja membuat Gibran memejamkan matanya pelan, menoleh ke arah Starla yang menatap ke arahnya dengan mata yang terbuka lebar. "Saya, pembantu barunya dia Tante." Jawab Starla yang langsung saja membungkukkan badannya ke depan. Tasya menoleh menatap ke arah putranya yang hanya menjawab kebingungannya dengan gelengan kepala dan juga raut wajah yang tak tahu bagaimana cara menjelaskannya. "Saya boleh duduk kan Tan?" Tanya Starla lagi. Tasya pun mengangguk, memilih diam dan tak memperdulikan masalah Starla lagi, kali ini dirinya ingin fokus pada putranya yang terus menerus berkata tak ingin menikah itu. "Sebenarnya tadi mama udah janjian sama anaknya temen mama, mangkanya nyuruh kamu datang." Kata Tasya terus terang, bagaimana pun juga Gibran pantas untuk memilih apalagi anak itu memiliki kekayaan yang tak main-main. "Ah, soal kencan buta lagi." Balas Gibran yang langsung saja membuat Tasya kesal mendengarnya. "Gibran, kamu ini udah Tua loh, umur kamu sudah 26th, pekerjaan kamu juga sudah mapan, kamu mau nunggu apalagi? Brankas mama nggak cukup tempat buat nampung uang kamu lagi." Kata Tasya sedikit gemas. Benar saja, putranya itu terus menerus bekerja dan menghasilkan uang yang bahkan membuatnya pusing untuk mengaturnya, apalagi putranya itu tak pernah sekalipun meminta uang lebih. Berbeda dengan Tasya yang melotot pada putranya karena masalah uang, Starla pun ikut menatap ke arah Gibran dengan mata berbinar, seberapa banyak yang Gibran hasilkan hingga membuat wanita paruh baya itu mengeluh hingga segitunya? Apa dirinya mencoba menggoda Gibran? Dan mengambil semua hartanya sendirian? "Nanti kalau udah ada jodohnya pasti Gibran nikah kok Ma, lagian mama bisa pakai uang Gibran untuk belanja, buat sekolah Tony juga, uang Gibran kan uang mama juga." Balas Gibran yang langsung saja membuat Tasya terdiam. "Papa kamu kan udah kerja, mama juga jadi buat apa mama pakai uang kamu?" Tanya Tasya pelan. "Kalau gitu kasih Gibran waktu, Gibran akan selesaikan dulu proyek Gibran kali ini, kali ini Gibran gabung sama Kenzo, dan semuanya sudah siap cuma kurang modelnya aja, Kenzo sedang berusaha mencari model yang tak terlalu mencolok." Jelas Gibran yang akhirnya memilih mengalah, berdoa saja agar jodohnya segera di lahirkan. "Kenapa cari yang tidak mencolok?" Tanya Starla tanpa sadar. Gibran dan Tasya menoleh ke arah Starla yang masih terlihat bingung dan bertanya-tanya, bagaimanapun juga banyak endors yang menggunakan artis atau model terkenal, apa perusahaan laki-laki itu tak terlalu terkenal? "Untuk mengurangi pembuatan, agar tak terlalu nyampah." Jawab Gibran yang langsung saja membuat Starla mendengus kesal, bisa-bisanya dirinya bertanya dengan sungguh-sungguh malah di jawab seperti itu. "Ayah, bunda, ayo kita duduk di sana." Starla menoleh, menatap ke arah tiga orang yang ia kenal. "Tante, maaf ya." Kata Starla yang langsung saja bersembunyi di bawah meja, jangan sampai ibu tiri dan juga saudara tirinya tahu dirinya menginjakkan kaki ke dalam mall, atau dirinya akan di hukum lagi dengan tuduhan mencuri uang milik keluarga bahagia di sana. Tasya dan Gibran saling pandang, banyak pertanyaan yang ingin Tasya tanyakan tapi dirinya memilih untuk diam, biarkan saja putranya sendiri yang mengurus semuanya. "Wah, Abang Gibran datang ke sini juga." Teriak Sari yang langsung saja menggandeng tangan ayahnya untuk menghampiri Gibran yang terlihat bingung. Di bawah sana, Starla mengeratkan pegangannya pada kedua bahunya, takut jika ketahuan, karena ayahnya sendiri pun tak akan mampu untuk menahan amarah ibu tirinya, jika semuanya menyangkut putri kesayangannya itu. "Maaf, anda siapa ya?" Tanya Gibran yang langsung saja membuat Sari tersenyum lebar. "Kenalin, aku Sari salah satu penggemar Abang, aku sering lihat Abang di kampus waktu Abang menjadi salah satu tokoh yang sukses setelah lulus." Jawab Sari seraya mengulurkan tangannya dengan semangat. "Ayahku seorang DPR hebat, namanya Bayu Bagus Syaputra." Lanjut Sari lagi masih dengan tangan yang ia ulurkan ke arah Gibran. "Maaf ya, aku rada alergi sama sesuatu," balas Gibran seraya menatap ke arah tangan Sari dengan terang-terangan. Sari pun menurunkan tangannya dan tersenyum lebar. Berbeda dengan Bayu dan juga Indi yang terlihat tak suka dengan sikap Gibran yang terlihat angkuh itu. "Apa Sari boleh minta foto kan? Nggak akan pegang kok." Pinta Sari lagi dengan suara yang sangat berisik dan juga manja, sangat-sangat membosankan untuk di dengarkan. Gibran pun mengangguk dan membiarkan Sari mengambil selfi dengannya beberapa kali dengan berbagai pose yang ia sukai, hingga saat barangnya tak sengaja jatuh Sari pun langsung menunduk dan tatapannya fokus pada Starla yang ada di bawah meja. Starla pun hanya bisa pasrah, apa yang akan ia dapatkan kali ini, dirinya benar-benar tak bisa menghindari semua itu. "Bunda, Starla ada di sini." Kata Sari yang bahkan tak berniat memanggil Starla dengan embel-embel kak. Indi pun mendekat dan menatap ke arah Starla yang baru bergerak keluar dari bawah meja, Tasya dan Gibran pun hanya diam melihat mereka. "Plak," suara tamparan yang terdengar begitu nyaring membuat Tasya terkejut mendengarnya. "Sudah berapa kali aku bilang? Jangan pernah mencuri uang untuk belanja ke mall, pakai saja uang ibumu untuk belanja ke pasar sana." Marah Indi yang langsung saja menjambak rambut panjang Starla. "Aku tak mencuri apapun," balas Starla seraya mencoba menahan tangan ibu tirinya agar tak terlalu menarik rambutnya dengan keras. Tatapan Starla menatap ke arah ayahnya dengan mata berkaca-kaca, selalu seperti ini, ayahnya hanya bisa diam dan menatapnya dengan iba, bahkan sebagai seorang kepala keluarga pun dia tak mampu mengendalikan dua orang yang dia sayangi ini. "Jangan bohong, hanya dengan endors kamu pikir kamu mampu belanja di sini? Kecuali kamu mencuri uang milik Sari lagi." Lanjut Indi tak mau kalah. "Sepertinya ini sedikit keterlaluan, apa tidak bisa di bicarakan baik-baik saja?" Tanya Gibran seraya mencoba melepaskan tangan Indi dari rambut Starla. "Ayo pulang." Teriak Indi seraya menarik paksa tangan Starla, membiarkan air mata Starla lirih untuk kesekian kalinya, kenapa? Kenapa dirinya di jemput jika hanya untuk di siksa? Tasya menatap ke arah Starla dengan iba, selama hidupnya tak pernah sekalipun dirinya mendapatkan perlakuan seperti itu, semuanya memperlakukan dirinya dengan sangat baik, dan bagaimana bisa seorang anak di perlakukan seperti itu? Gibran hanya bisa terdiam menatap ke arah Starla dan juga keluarganya, dirinya benar-benar tak tahu jika keluarga wanita itu begitu kejam dalam mendidik seorang anak. "Gibran, dia beneran pembantu kamu?" Tanya Tasya yang langsung saja membuat Gibran menoleh dan menatap ke arah mamanya. "Bukan, sebenarnya dia tadi di kejar-kejar banyak orang terus sembunyi di mobil Gibran, tapi karena dia nggak tahu daerah sini mangkanya dia ikut Gibran ke sini." Jawab Gibran jujur, menjelaskan semuanya pada mamanya yang saat ini terlihat berpikir. "Sepertinya dia tertekan ada di dalam keluarga itu, mama kasihan lihatnya, tadi di tampar keras banget." Kata Tasya mengingat bagaimana suara tamparan yang menggema di telinganya dengan sangat keras. "Udahlah, ayo pulang, mama di jemput Tony atau Gibran anterin?" Tanya Gibran seraya menatap ke arah mamanya dengan tatapan hangat. "Mama mau makan dulu, kamu kalau buru-buru pulang dulu nggak papa, oh ya tadi nenek nanyain kamu, katanya kangen, kalau ada waktu pulang dulu lihat rumah." Jawab Tasya yang langsung saja membuat Gibran kembali duduk, tak mungkin juga dirinya membiarkan mamanya makan sendirian di tempat rame seperti ini. "Iya, sekalian aja nanti Gibran pulang bareng mama," jawab Gibran dengan cepat. Tasya pun tersenyum mendengarnya, dirinya benar-benar sangat bersyukur karena akhirnya anak yang ada di depannya itu bisa bangkit dari keterpurukannya, mengingat bagaimana kondisi Gibran dulu setelah di tinggalkan bunda dan juga ayahnya, benar-benar membuat siapa saja khawatir saat melihatnya. Gibran seolah trauma bertemu orang-orang yang menyayanginya, anak itu terus menerus mengunci dirinya di dalam kamar, melupakan makan dan minumnya hingga beberapa kali di temukan pingsan dengan wajah yang sangat pucat. Gibran juga menolak untuk mendapatkan perawatan, anak itu semakin takut saat ada di rumah sakit, apalagi saat mendengar suara sirene ambulance, matanya terus menoleh ke sana ke mari dan berakhir dengan tak sadarkan diri. Banyak hal yang Gibran alami saat itu, hingga akhirnya Krystal dan Kai memilih membawa Gibran ke Amerika, meninggalkan tanah kelahirannya dengan terpaksa, beberapa tahun ketiganya hidup di sana, bahkan Gibran menamatkan pendidikan SMP di Amerika sedikit lebih cepat karena kecerdasan yang di milikinya. Di Amerika pun Gibran terlihat sangat linglung pada dirinya sendiri, terkadang anak itu masih sering memanggil-manggil nama bundanya ataupun ayahnya, hingga akhirnya psikiater yang di dapatkan Kai berhasil menyembuhkan luka Gibran, anak itu mulai sadar jika dirinya hidup sendiri tanpa kedua orang tuanya, saat sadar pun tangis tak terhindarkan, semuanya berlalu sangat cepat hingga saat akhirnya Gibran pulang dan memanggilnya dengan sebutan mama. Anak itu mulai melanjutkan sekolahnya, diam-diam Tasya sering melihat bagaimana Gibran yang sering menatap kosong ke arah foto keluarga yang ada di kamarnya bahkan di hari ulang tahunnya Gibran menoleh untuk merayakannya, karena anak itu akan memilih sendirian di kamar dengan pintu terkunci, selain itu semua lampu di padamkan, awalnya semua orang khawatir tapi mereka mulai terbiasa karena akhirnya Gibran baik-baik saja di pagi harinya. Gibran sendiri sudah menghindari semua orang, bahkan anak itu tak sekalipun merespon saat teman sekolahnya datang dan membawakan coklat untuknya di hari valentine, selain itu Gibran juga selalu membawa pulang berbagai hadiah yang di dapatkan dari teman-temannya itu. "Gibran, dua bulan lagi ulang tahun kamu yang ke 26 kan? Kita rayain ya?" Tanya Tasya mencoba membujuk putranya. "Hari, kepergian bunda ya." Balas Gibran yang langsung saja membuat Tasya sedih mendengarnya. Hari kelahiran anak itu tak pernah lagi ia ingat, yang ia ingat adalah hari kepergian bundanya, sebenarnya Tasya ingin memperjelas tapi Tasya tak memiliki keberanian untuk itu, sampai saat ini bunda Gibran hanya satu yaitu bunda Alisya, tak sekalipun anak itu lupa pada bundanya meskipun kadang sering bilang jika dirinya tak memiliki banyak kenangan tentang kedua orang tuanya, tapi sebagai seorang mama, Tasya tahu jika Gibran selalu menempatkan bundanya di dalam hatinya yang paling dalam. Jujur saja, jika tak ada Alisya di hati putranya, tentu saja putranya sudah menikah saat ini, katakan saja putranya akan memiliki seorang pacar meskipun belum menikah, tapi sampai sekarang putranya tak pernah mendekati seorang wanita, karena dia takut di tinggalkan sama halnya bundanya pergi meninggalkannya dengan rasa sayang yang tak terkira. Tbc
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD