Bunga dan Pagar Berduri

1171 Words
Sebuah sedan hitam mewah parkir di sisi kiri pagar toko bunga Alamanda, saat Danendra baru saja masuk dan melangkah tujuh kaki dari pintu pagar. Ia buru-buru merunduk, bersembunyi di belakang barisan pot-pot besar yang menampung bugenvil merah dan ungu muda. Bebunyian serangga malam begitu dekat dengan telinganya yang bersentuhan dengan tanah. Klakson dibunyikan berkali-kali oleh Pak Gun, lalu ia turun dan membukakan pintu untuk Bobi. Dari dalam toko, Alamanda melambaikan tangan dengan senyum yang tergambar indah di wajahnya. Ia masih memamakai celemek dan tangan kanannya memegang sekop kecil. Ia baru selesai memindahkan bibit adenium dari polibag kecil ke pot berukuran tanggung. Tubuh Bobi dibalut kemeja putih dan celana panjang cokelat muda. Jam tangan silver edisi terbatas dari sebuah brand elit melingkari pergelangan tangan kanannya. Ia selalu memakai jam di pergelangan tangan kanan. Hal itu memudahkannya mengingat pergantian waktu sebab tangan kanan yang lebih banyak terpakai olehnya. Saat berdiri di depan pagar—bermaksud menunggu Alamanda atau Bu Ami membukakan pintu untuknya, lelaki itu agak terkejut karena pintu tak terkunci. Tak seperti biasa. Ia masuk dan matanya meneliti setiap sudut halaman. Setiap kali Bobi melangkahkan kaki setiap itu pula Danendra merasakan sesak pada paru-parunya. Ia telah berganti posisi dari merunduk menjadi tiarap. Jemarinya mencengkeram erat rumput swiss yang mengalasi tubuhnya. Pakainnya basah menyerap sisa gerimis sore dari rumput itu. Tak ia pedulikan perih pada perut samping kanannya yang bergesekan dengan duri-duri mawar. Rumpun mawar itu merambati pagar. Dan tiga kali ia merasakan gigitan serangga di punggungnya. Namun sebisa mungkin ia tahan gatal dan panas itu. Ada sesuatu yang lebih gawat daripada sekadar gigitan serangga jika Bobi menemukannya berbaring di sana. Matilah aku! Matilah aku! Matilah aku! Bobi menuju sisi kanan halaman. Ia makin dekat dengan pot-pot besar bugenvil dan ia bisa jadi menemukan seorang lelaki dewasa bersembunyi di baliknya. “Bobi!” Sapa Alamanda di ambang pintu toko. Lelaki itu menoleh kekasihnya, lalu berjalan ke arahnya seakan ia lupa kejanggalan yang sedang terjadi. Mereka menuju halaman belakang toko. Di sana rumah Alamanda—di tanah yang sama dengan toko dan kebun bunganya. Mereka berjalan sembari terlibat obrolan kecil. Alamanda memohon permakluman lelaki itu sebab ia telat mempersiapkan diri untuk makan malam bersama. Hari itu tokonya kebanjiran pelanggan dan beberapa di antara mereka sangat menyebalkan.Waktu Alamanda habis untuk mengurusi kemaun pelanggan yang berbelit-belit itu. Saat melihat jam dinding dan memerhatikan suasana yag gelap, ia baru sadar ia bekerja begitu larut. Ia menelpon Bobi agar lelaki itu membatalkan makan malam bersama. Namun Bobi menolak. Saat pasangan itu berjalan makin jauh meninggalkan toko, saat itu pula Danendra bergegas keluar dari tempat gelap persembunyiannya. Ia melemparkan dua kerikil kecil dan kerikil itu mengenai atap mobil. Upaya itu berhasil mengelabui Pak Gun. Lelaki paruh baya itu meninggalkan kursi kemudi dan berkeliling memeriksa mobil. Danendra segera beringsut, ketika Pak Gun memeriksa bagian belakang mobil.Ia menendang pintu pagar untuk melampiaskan kekesalan. Dua puluh enam tahun. Dan ia masih saja tak terlihat oleh Alamanda. Ia serupa renik yang tak tampak oleh mata telanjang Alamanda. Barangkali oleh warga sekitar rumahnya juga. * “Kau tidak mengunci pagarmu, Almond.” ucap Bobi saat mereka sampai di ruang tamu Alamanda. Bu Ami menyambut lelaki itu dengan secangkir teh Rooibos. Jenis teh yang diolah dari fermentasi daun semak merah yang tumbuh di dataran Afrika Selatan. Cangkir itu mengepulkan uap hangat beraroma serupa bebijian sangrai. Sepiring sultana dan dua piring buah potong menemani cangkir teh itu. Bu Ami meintanya mengisi perut sebelum berangkat ke Ulu Watu. Sebab pasangan muda itu akan tiba terlambat di sana untuk sebuah makan malam. “Benarkah?” “Ya, kau sebaiknya lebih berhati-hati. Hanya ada kau dan Bu Ami di tempat ini.” Alamanda mengingat-ingat kembali sore sebelum para pegawainya pulang. Ia menguncinya setelah berpesan kepada Ade untuk datang lebih awal esok pagi karena lima pot aglonema terserang virus dan membutuhkan perhatian khusus. Kemudian Ade berpamitan dan segera setelah itu ia mengunci gerbangnya. Ia sangat meyakini kebenaran ingatannya tersebut. “Aku sudah menguncinya, Bob,” terang Alamanda. “Kau pasti lupa,” sahut Bobi. "Kau sudah mengganti cctv yang rusak?" Alamanda meringis sembari menggeleng. Tak terhitung sudah berapa kali cctv di di depan telah diganti dan diperbaiki. Selang beberapa hari, alat-alat itu pasti akan kembali rusak. “Besok aku akan meminta orangku mengganti cctv di sini, di sana, di tokomu, dan terutama sekali di pagar itu yang tak berfungsi.” “Kau mulai lagi,” Alamanda tampak tak senang. Beberapa kali Bobi menyarankannya memasang cctv baru, namun Alamanda selalu lupa. "Orang yang mencintai bunga tidak akan memetiknya sembarangan apalagi mencurinya," Alamanda yakin. Bobi menatap kekasihnya tak percaya. "Orang yang mencintai bunga." katanya, "akan melakukan apa saja. Jangan bodoh, Almond. Kegemaran orang terhadap suatu hal tidak kemudian menjadikan mereka malaikat." "Bob, ayolah... berhenti--" “Kalau begitu harus ada seorang penjaga keamanan di sini. Tidak. Dua orang akan baik," Bobi memangkas kalimat Alamanda “Aku tidak membutuhkan hal-hal aneh itu, Bobi,” timpal kekasihnya. “Aku masih bisa menjaga diriku sendiri. Setidaknya sampai saat ini aku belum pernah kehilangan bunga-bungaku.” “Astaga!” Bobi menggeleng mendengar jawaban Alamanda. “Kau pikir aku menghawatirkan bunga-bunga itu? Kau, Almond. Kau. Aku...” “Bob, bunga-bunga itu mengambil peran penting dalam hidupku.” sergah Alamanda. “Bukan begitu. Maksudku aku...” “Mengkhawatirkanku. Memedulikanku. Memerhatikanku.” Alamanda memutus kalimat Bobi dan melanjutkannya sendiri. Ia menghapal tiga kata itu dengan baik. Bobi menghela napas panjang. Ia putus asa dengan tabiat kekasihnya yang keras kepala dan lugu. Kemudian ia berkata,” Baiklah, terserah kau saja. Tapi aku akan mendatangakan orang untuk memasang cctv. Malam ini juga.” Alamanda terkekeh. Ia tak mengerti maksud kata 'terserah' kekasihnya itu. Ia lantas meraih tangan kanan Bobi dan melirik penanda waktu yang melingkar di pergelangannya. Tujuh nol sembilan. Katanya; “Sepertinya sudah sangat terlambat untuk makan malam. Aku akan bersiap-siap dengan cepat.” Sebelum beranjak ke kamar, tak lupa Alamanda mengecup kedua pipi Bobi lalu kabur begitu saja. Ia meninggalkan lelaki itu yang tertegun dan tersenyum masygul. Sepuluh tahun bersama namun ciuman kecil itu masih memabukkannya. * Danendra memandangi gambar-gambar di balik pintu kamarnya. Di sana Alamanda kecil hingga dewasa terpajang dalam kertas-kertas foto. Ia hanya memiliki dua foto Alamanda kecil; saat Alamanda bersama kawan sekelas berfoto di Taman Burung di Gianyar dan satu foto Alamanda dari album kenangan sekolah. Setelah tamat sekolah dasar, gadis itu melanjutkan sekolah di SMP swasta bergengsi. Danendra tak mampu mengikutinya. Saat ini, semenjak ponsel berkamera populer, ia bisa sewaktu-waktu memfoto gadis itu dari luar pagar. Namun jaraknya membentang jauh. Alamanda tampak sebagai siluet-siluet kecil di kemahaluasan bunga-bunga. Dan ia hanyalah lelaki pengecut yang berdiri di luar pagar yang hatinya meradang setiap kali gadis itu tertawa bersama kekasihnya. Ada beban seribu kilogram setiap kali ia akan melangkahi pagar itu. Ia mengagumi Alamanda. Ia sangat mengaguminya, sehingga baginya, Alamanda menjelma bunga antik yang dikelilingi pagar berduri di sebuah taman. Dan tak seorang pun akan membuka pagarnya. Danendra menyentuh lembut gambar-gambar itu. Esok! Ya, esok ia akan datang lagi. Akan ia buang jauh-jauh bebab seribu kilogram yang memberati kakinya. Dan pagar itu, ia akan menerobosnya. Tentu saja.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD