Cinta dalam Diam Danendra

1117 Words
Nama lelaki yang mematung di seberang toko bunga itu Danendra, punggungnya agak bungkuk dengan rona kulit gelap sebab terbakar matahari ladang sedari kecil. Ia memiliki senyum manis dengan deret gigi rapi serupa biji ketimun. Keluarganya agak tertutup dari penduduk setempat. Ada sebuah rahasia yang coba mereka tutupi rapat-rapat; sebuah sihir yang diwariskan turun-temurun dan tak sembarang anggota keluarga bisa mendapatkannya. Sihir itu memilih inangnya sendiri. Ketika usia Danendra tujuh tahun, kakeknya—inang keturunan kedelapan di dalam keluarganya—sekarat selama berbulan-bulan. Sang kakek tak akan bisa beristirahat sebelum sihir di dalam tubuhnya mendapatkan inang baru. Sebuah ritual pun dilakukan untuk memindahkan sihir tersebut pada ayah Danendra, namun upaya itu tak berhasil. Suatu malam, kakeknya didatangi sihir itu yang menjelma ngengat bersayap hitam. Katanya, ia memilih Danendra, cucunya, sebagai inang baru. Sang kakek merasa terpukul dan merahasiakan pertemuan itu. Selama berbulan-bulan ia menderita dalam sakitnya dan ngengat itu datang hampir setiap hari. Suatu saat Danendra melihat kakeknya berteriak-teriak pada ngengat itu dan mendengar percakapan mereka. Ia jatuh kasihan pada sang kakek dan bersedia menjadi inang sihir demi kakeknya. Danendra menyerahkan dirinya. “Kau tidak tahu apa yang kau bicarakan itu, Nak,” kata kakeknya. Tidak. Danendra paham betul apa yang terjadi di dalam keluarganya selama ini dan mengapa mereka enggan berdekatan dengan penduduk dan penduduk juga sepertinya enggan mendekati keluarganya. Rumahnya suram dengan dua pohon beringin merimbun di halamannya. Saat gerombulan anak-anak melewati jalan setapak di depan rumahnya, mereka akan mengintip takut-takut melalui celah pagar bambu lalu lari terbirit-b***t sembari berteriak: "Sarang iblis!" Sejak ia belum lahir pun keluarganya telah terkucil dan hampir terlupakan. Keluarganya lebih banyak bercengkerama dengan makhluk tak kasat mata. Kebiasaan menjauhi kerumunan dan orang-orang juga terbawa sampai Danendra memasuki usia sekolah. Ia lebih banyak mendekam di bangkunya di pojok kelas saat jam bermain dan ia lebih memilih bercakap-cakap dengan hantu-hantu kecil. Hidupnya seperti kutukan. Ia tak merasakan kesenangan sedikit pun dengan kekuatan yang dimiliki kakeknya. Setiap saat ilmu sihir itu digunakan, ia selalu meminta tumbal. “Kakek bisa pergi dengan tenang setelah ini. Danendra ingin sekali membantu Kakek,” kata bocah tujuh tahun itu menguatkan hati kakeknya dan hatinya sendiri. “Ada harga yang harus dibayar untuk kekuatan yang amat besar. Sihir itu akan memberimu kekuatan, tetapi sekaligus merampas satu hal dari dirimu. Lihatlah tangan Kakek.” Lelaki sepuh itu memperlihatkan tangan kanannya yang menciut—mirip tangan bayi—yang sangat kontras dengan tubuh dewasanya. Danendra mengusir gelisahnnya, dan ia berupaya terus-menerus menguatkan hatinya, ia berkata: “Hal itu juga akan terjadi padaku?” “Apa pun bisa terjadi.” Mereka terdiam cukup lama. Lantas Danendra dengan tegas berkata: “Kakek, aku siap menerima segala risiko terburuk. Kumohon pergilah dengan tenang.” *** Bocah perempuan itu memilki warna rambut kecokelatan serupa mawar kering. Ada t**i lalat di ujung dagunya yang menggemaskan dan manis. Ia telah merampas perhatian seluruh kelas saat kali pertama melangkahkan kakinya di ambang pintu kelas. Kata wali kelas, ia murid pindahan dari SD swasta di Denpasar. Namanya Alamanda, namun bunga terompet itu tak kuasa menggambarkan kecantikannya. Ia begitu sempurna dan berkilauan. Dan menyenangkannya, bocah prempuan itu adalah anak pemilik toko bunga yang berdekatan dengan rumah Danendra. Seperti bocah lelaki lainnya, ia menyukai Alamanda dan ia ingin bergabung bersama mereka untuk mencari perhatiannya. Namun ia hanyalah Danendra si Aneh dan setelah ritual pewarisan sihir dilakukan untuknya, ia kehilangan kefasihan berbicara. Yang ia lakukan adalah menyukai gadis itu diam-diam dan duduk di pojok kelas seperti sedia kala. Suatu hari saat jam istirahat, ia meliat Alamanda duduk sendirian dan tengah menekuri sebuah buku di bawah teduh pohon mangga di pinggir lapangan upacara. Saat itu matahari sangat terik dan kebetulan ia baru saja membeli minuman dingin. Ia bermaksud mendekati bocah perempuan itu untuk memberikan minumannya. Saat sampai di hadapan Alamanda, kakinya gemetar dan semakin ia mengamati wajah Alamanda semakin tubuhnya lemas. Ia berjalan terhuyung-huyung lalu rombongan anak lelaki menubruknya, minuman dingin di dalam tangannya terpental bersamaan dengan tubuhnya yang mencium tanah. Gerumbulan bocah itu menertawakannya dan salah satu di antara mereka mendekati Alamanda sembari menyodorkan minuman dingin. Danendra memandangi botol miliknya yang telah berlumur debu. Rasanya ia ingin menangis. *** Sekarang usianya 26 tahun dan ia masih mencintai (diam-diam) bocah yang telah tumbuh menjadi perempuan matang yang kecantikannya makin menyilaukan. Ia selalu berdiri di sana, di luar pagar, saat matahari tenggelam agar kemuraman wajahnya tertutupi dengan sempurna. Dari sana ia memandangi Alamanda sampai gadis itu mematikan lampu dan keluar melalui pintu belakang lalu menghilang. Kadang-kadang pikiran picik muncul di dalam kepalanya. Ia ingin menjerat gadis itu dengan sihirnya, namun mengingat tumbal itu berupa keselamatan anggota keluarganya, ia berpikir ulang. Mengingat hal itu termasuk sihir golongan berat yang mampu mengubah rajutan benang jodoh yang telah digariskan langit. Sekarang usianya 26 tahun dan perasaan cintanya makin menggebu-gebu. Sebuah firasat datang kepadanya, memberitahunnya bahwa sebentar lagi perempuan itu dan kekasih yang selama ini sudah seperti bayangannya akan disatukan langit. Hatinya amat sakit. Dia harus melakukan sesuatu! Jika tidak, perempuan yang selama ini menggerayangi bunga tidurnya akan menjadi milik orang lain. Tetapi bukankah sejak dulu gadis itu selalu menjadi milik orang lain dan tak sekali pun pernah ia miliki kecuali dalam angan? Danendra terkekeh geli. *** Fajar merekah di balik bukit dengan pemandangan bunga pecah seribu yang terhampar seperti permadani berwarna ungu muda. Danendra tak tidur semalaman memikirkan hal-hal yang ingin ia lakukan. Ia harus menemui gadis itu, mendekatinya dan menyatakan perasaannya selama ini. Tidak! sepertinya itu terlalu cepat. Gadis itu akan menjauhinya dan menganggapnya kurang waras. Ia bahkan tak ingat pernah menyapa gadis itu lalu bercakap-cakap dengannya meskipun tempat tinggal mereka berdekatan. Gadis itu jauh, amat jauh di atasnya. Danendra kemudian bangkit dari tidurnya setelah sang ibu memintanya bangun untuk kesebelas kali. Biasaanya ia bangun sebelum fajar terbit dan berangkat ke ladang sayur miliknya. Wortel dan bunga kolnya sedang dalam masa siap panen. Hari ini lumayan merepotkan dan sial dia kesiangan. Kelopak matanya masih berat, begitu pun kepalanya. Namun tekad itu sudah bulat, ia akan memberanikan diri untuk menyapa gadis itu dengan kegagapannya. Pukul setengah tujuh malam, seperti biasa, pegawai Alamanda telah pulang dan menyisakan ia seorang diri di dalam toko itu. Danendra telah menyiapkan penampilan terbaiknya, kaos biru muda dengan celana jins biru tua kegemarannya. Namun ia ragu-ragu, berdiri mematung di depan pintu pagar. Lututnya mendadak lemas dan keringat sebesar biji jagung menghiasi dahinya. Ia teringat kembali kenangan mengerikan bertahun-tahun lalu, saat mereka masih duduk di bangku SD? Apakah hal memalukan itu akan menimpanya lagi? Danendra memejamkan matanya. Ia menghela napas dalam-dalam untuk mengusir rasa gugupnya. Satu. Dua. Tiga. Ia membuka pintu yang telah terkunci tanpa bersusah payah, seakan-akan pagar besi itu tak memiliki kunci. Pagar itu berderik menimbulkan bunyi nyaring yang menambah kecemasan Danendra. Namun ia terlanjur masuk dan ia tak akan lari lagi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD