Mari Menikah, Almond!

1403 Words
“Bu?” sapa Alamanda setelah meminta Ade pergi dengan gerakan tangan seperti saat menghalau lalat. Bu Ami tak medengar panggilannya dan masih mengeluarkan suara dengkur yang halus. Alamanda mengelus punggung itu, lalu tangannya berpindah menyentuh kulit lengannya. Suhu tubuhnya panas. Gadis itu memeluknya tanpa canggung. Bu Ami merasakan seseorang mendekapnya, lalu ia terbangun. Kemudian ia membalik tubuhnya pelahan-lahan. “Nona Alomnd?” Alamanda menyunggingkan senyum kanak-kanak. “Seharusnya Bu Ami bilang kalau sedang sakit,” katanya. “Saya tidak segalak beruang kutub lho, Bu.” Bu Ami tertawa. Lalu ia berkata: “Bukan begitu. Cuma pilek biasa, setelah seharian kemarin Ibu kehujanan.” “Sakit, ya, sakit, Bu,” timpalnya. “Sudah makan dan minum obat?” Bu Ami mengangguk. “Sore ini jangan kerja dulu. Istirahat saja.” Bu Ami mengangguk lagi. “Saya khawatir sekali, Bu. Cuma Bu Ami keluarga dekat yang saya miliki saat ini.” Bu Ami tersenyum, “Nona berlebihan sekali,” katanya. “Nona Almond sudah makan, bukan?” Alamanda mengangguk tanpa bisa menyembunyikan rona merah muda di pipinya. “Bersama Tuan Bobi, ya,” goda wanita paruh baya itu. Setelah mengobrol agak lama dengan Bu Ami dan memeriksa keadannya, ia pun pamit untuk kembali ke toko karena sebentar lagi Bobi akan kembali ke kantornya. Saat Alamanda sampai di ambang pintu, Bu Ami berkata: “Dia pemuda yang baik. Kapan kalian menikah?” Alamanda pura-pura tak mendengar dan buru-buru keluar. Jantungnya berdegup tak karuan. Meskipun telah bertahun-tahun pacaran, ia tak pernah menuntut lelaki itu agar segera melamarnya. Ia cukup yakin Bobi akan mengatakannya di saat yang tepat. Ia telah menunggu kata-kata itu keluar dari bibir kekasihnya dua tahun belakangan ketika banyak di antara kawan semasa kuliahnya sudah melahirkan bayi-bayi yang menggemaskan. Alamanda tersentak dari lamunannya, ia hampir menabrak pot jenggot musa yang tergantung di dinding di samping pintu belakang. Lalu matanya tertuju pada Bobi dan dua perempuan turis asing—mereka tampak akrab dan saling menularkan tawa. Ia agak jengah melihat kedekatan itu. Lelakinya tampan—amat tampan, dan ia yakin seluruh perempuan di dunia ini tahu itu. Alamanda mempercepat langkahnya, tiba-tiba saja ia sudah berdiri di belakang Bobi, dan menunjukkan sikap profesional seorang pemilik toko. Rasa jengah yang menyala di hatinya ia redam paksa. Seulas senyum menawan yang mematikan ia lempar pada dua perempuan itu. Bobi segera mengenalkan mereka sebagai kawan semasa kuliah di Australia, dan mereka sedang berlibur ke Bali. Mereka menyalami Alamanda dan memuji kecantikannya, seperti peri bunga, kata mereka. Dua perempuan itu berpamitan dengan mencium pipi kanan Bobi sembari memberikan tepukan lembut di bahunya. Alamanda dengan senyum yang dipakasakan mengucapkan terima kasih pada mereka karena telah membeli dua pot mawar rambat lovely rokoko, satu pot kadaka tanduk rusa dewasa, dan satu pot aglonema pride of sumatera. Setelah punggung mereka lenyap di balik pagar, Alamanda mendelik pada Bobi. Ia tak bisa lagi berpura-pura. “Teman yang sangat akrab, rupanya,” ujarnya setelah Bobi bercerita ia membayarkan tagihan mereka di kasir. “Aku pasti sudah menceritakannya saat kuliah dulu,” sahut Bobi sembari mengedipkan matanya. “Kami satu jurusan.” “Ya, ya, ya. Dua perempuan itu, ya.” Sekarang ingatan Alamanda melompat ke tahun-tahun dulu. Selain tampan, Bobi memiliki kecerdasan di atas rata-rata. Saat masih duduk di bangku SMA, ia sering mengikuti olimpiade ekonomi dari tingkat nasional sampai internasional. Dan ia selalu mengharumkan nama sekolah dengan menyabet piala juara. Ia mendapat beasiswa S1 di Universitas Sydney jurusan Ekonomi Bisins dan melanjutkan program studi S2 di sana. Ia menyelesaikannya dalam waktu empat tahun—dan selama itu ia banyak dibantu oleh dua orang perempuan baik hati—katanya. Bobi mengiriminya foto dua perempuan itu, yang kemudian menjadi kawan akrabnya di Sydney. Namun Alamanda yang rasanya seperti sekarat selama berjauhan dengan Bobi langsung membanting ponsel, menginjak-injaknya. Ponselnya rusak saat ia belum sepenuhnya lamat dengan foto dua perempuan itu. Selama berjauhan, Alamanda menelepon kekasihnya hampir setiap saat—dan Bobi dengan sabar meladeninya. Namun tetap saja Alamanda dihantui kecemasan dan prasangka. Hubungan mereka pasti sudah berakhir kalau saja Bobi ikut meledak-ledak saat itu. “Apa yang kaupikirkan?” Bobi menyentil dagu Alamanda, tepat di atas t**i lalat kecil yang menambah daya pikatnya. Alamanda tertawa kecil. “Aku sedang mengingat kekonyolanku saat itu,” ujarnya. “Aku hampir saja kehilanganmu waktu itu.” Bobi tergelak. “Kalau dipikir-pikir, kenapa kau tak meninggalkanku saat itu juga? Aku pasti sudah seperti orang kurang waras, memberondongmu dengan panggilan telepon hampir setiap jam. Berkunjung ke apertemenmu di Sydney hampir setiap tahun dan bertingkah seperti intel.” Alamanda menggeleng sembari menangkupkan telapak tangan pada wajahnya. "Dan saat aku memutuskanmu sepihak sehari setelah Ayahku meninggal. Ya ampun." “Karena kau mirip Ibuku,” timpal Bobi masih dengan sisa-sisa tawa. “Kalian sama-sama dihantui prasangka yang tidak-tidak. Berada di antara dua perempuan dengan penuh prasangka, aku merasa sangat dicintai. Kau pasti mencintaiku setengah mati, bukan?” Alamanda memandangi Bobi—tatapan itu begitu dalam. Ya, aku pasti sudah mati kalau kita berpisah saat itu. Pasti aku sudah tamat sekarang. “Aku pun mencintaimu, Almond” ujar Bobi. Gadis itu mengantar Bobi sampai di depan pintu mobil. Jendela mobil dibuka, dan Pak Gun, sopir pribadi Bobi, menyapanya ramah. Kemudian Pak Gun turun dan terlibat basa-basi kecil seputar perawatan tanaman begonia bersama Alamanda. Pak Gun membeli satu pohon begonia rex walet di tokonya bulan lalu. Dan dua hari belakangan, tanaman itu terpapar jamur. Alamanda menyarankannya memangkas tangkai daun yang berjamur dan mengangin-anginkannya di bawah sinar matahari setiap pagi. Merawat tanaman sama saja seperti membesarkan bayi, katanya. Kita harus sering mengajak mereka bercakap-cakap. Tanaman juga bisa stres bahkan depresi, masih kata si gadis. Pak Gun berterima kasih pada Alamanda lalu berkata: "Selain cantik, Nona Almond juga pandai menumbuhkan dan merawat bunga." Saat itu pukul empat sore di akhir pekan. Bobi mengatakan akan memantau proyek rumah makan di daerah Lovina. Kemungkinan besar ia tak bisa menemani Alamanda makan malam. Kekecewaan menghiasi raut wajah gadis itu. Namun sebelum mobil melaju, Bobi, dari balik jendela, memandangi wajah kusut Alamanda dengan senyum penuh makna. “Mendekatlah, Almond,” katanya, “Kupinjam telingamu sebentar saja.” Tanpa ragu gadis itu mendekat, kepalanya masuk melewati jendela mobil. “Mari menikah, Almond!” Suara itu serupa semilir angin dengan desah napas sehangat matahari pukul tujuh pagi. Hidungnya menghidu aroma mint saat Bobi mengeluarkan kalimat itu. Ia memandangi kekasihnya dengan mata membesar; antara sulit percaya dan gembira. “Ya, mari menikah!” Kata Bobi sekali lagi, kemudian ia mencium kening gadis itu. *** Sesore itu—sampai toko tutup—Alamanda lebih banyak melamun dan ia bersikap seperti orang konyol saat diajak bercakap-cakap oleh para karyawan dan beberapa pembeli. Saat seorang pembeli menanyakan stok mawar holland ungu, Alamanda memberitahunya stok bugenvil ungu muda varigata. Saat seorang pembeli menawar bonsai adenium sebesar paha kerbau, Alamanda menertawakan pembeli itu dan mengatakan tokonya tidak menjual kerbau. Saat karyawannya selesai bersih-bersih dan bersiap menutup toko, Alamanda masih terpekur, bertopang dagu, ia memandang ke kejauhan. Pikirannya dipenuhi bayang-bayang tentang hari pernikahannya. Ia memikirkan persiapan yang akan memakan hari dan tenaganya; tempat foto prawed terbaik, ah tidak, Bobi memiliki hampir semua tempat prawed terbaik di Bali. Apakah sebaiknya mereka prawed ke luar negeri? Bagaimana kalau ke Budapest? Sendai? Cordoba? Greenland? Alamanda tersipu oleh khayalannya. Itu masalah sepele, tidak perlu memperumitnya. Gaun? Ah gaun! Ia ingin gaun tradisional yang elegan dan membuat lekuk tubuhnya tampak sempurna—mungkin ia harus mendatangkan rias pengantin terbaik dari Denpasar. Atau dari Jakarta? Atau MUA internasional? Alamanda makin pusing. Makanan yang lezat dari tiga benua. Dekorasi yang elegan dan menawan. Alangkah cantik! Alamanda terkekeh dan menggeleng—ia takjub oleh buah pikirannya sendiri. Ponselnya menyenandungkan lagu milik Ruth B, Lost Boy, yang sekaligus membuyarkan dunia khayalnya. Ia membaca nama penelepon dan bibirnya spontan mengguratkan senyum. “Ya, apa?” kata Alamanda memulai percakapan. Pemilik suara di seberang sana adalah Bobi. Ia menelepon untuk mengingatkan Alamanda makan tepat waktu. Sejak Alamanda memiliki maag setelah diet yang aneh-aneh, Bobi memberlakukan jam makan yang ketat pada gadis itu. Ia sudah seperti alarm makan Alamanda; bawel dan berisik. Alamanda mengernyitkan dahi, ia menoleh ke arah jam dinding dan terkejut menyadari penunjuk jam sudah mencapai angka delapan. Ia menatap ke seliling, malam telah turun sedari tadi. Di luar pagar, seorang lelaki berdiri menatap ke dalam toko—pandangannya kelabu. Ia telah berdiri di sana sekira dua jam yang lalu, ketika para pegawai Alamanda pulang. Saat Alamanda beranjak dari kursinya seraya mematikan sakelar lampu ruangan, lelaki itu pun bergerak menjauh lalu hilang.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD