Episode 2

1296 Words
Aku sedang membalas email salah satu supplier kain, ketika nertraku melihat bayangan sosok Anyelir. Aku mengikuti arah jalan sosok itu. Postur tubuh dan cara jalannya memang sangat mirip dengan Anyelir. Untuk memastikannya aku keluar dari area restoran dan mengikutinya. Anyelir tidak sendiri. Dia bersama dengan seorang wanita namun tidak berkerudung—yang kuyakini dia adalah Marta—sahabat Anyelir. Saat mereka memasuki sebuah toko perhiasan lah, akhirnya aku bisa memastikan jika sosok itu adalah Anyelir. Meskipun aku hanya bisa melihat sisi samping wajahnya, namun bisa kupastikan dia memang Anyelir dan sahabatnya—Marta. Aku tidak turut masuk ke toko perhiasan tersebut. Melainkan masuk ke toko pakaian di depannya, agar bisa mengawasi Anyelir dari jauh. Sungguh aku merindukan sosoknya. Aku merindukan kelembutan tutur katanya dan sikap manjanya padaku. Gerimis hati ini bisa menyaksikan senyum indah itu lagi. Anyelir di seberang sana tengah tertawa bersama Marta. Meski jarak kami cukup jauh, namun aku masih bisa melihat senyumnya dengan jelas. Entah membeli jenis perhiasan apa Anyelir di sana, tiga puluh menit kemudian, Anyelir dan Marta keluar dari toko perhiasan tersebut seraya menenteng paper bag. Aku kembali mengikuti mereka dengan mengenakan topi yang baru saja kubeli, agar tidak terlalu kentara oleh mereka. Anyelir dan Marta masih terus berjalan di antara barisan outlet terkenal. Gamis yang dikenakannya terayun indah mengikuti irama kakinya. Anyelir masih sangat cantik, tentu saja. Tubuhnya masih langsing dan dia juga terlihat bahagia. Aku yakin secara finansial, Anyelir memang tidak kekurangan. Karena belakangan kudengar bisnis pastry-nya yang dirintisnya pasca perceraian kami cukup sukses. Selain itu, untuk nafkah bagi Lathif dan Reza, aku juga rutin mentransfer setiap bulannya dengan jumlah yang kuyakin sangat cukup. Jadi wajar saja penampilan Anyelir tetap modis dan cantik. Justru aku yang khawatir dengan penampilan Anyelir yang seperti itu akan menarik lawan jenis untuk mempersuntingnya. Rasanya, aku tidak akan sanggup jika harus menyaksikan Anyelir bersanding dengan pria lain. Meskipun Anyelir pantas mendapatkan suami yang hanya fokus dan mencintai dirinya seorang. Tidak sepertiku yang sibuk mengurusi Kinanti hingga berujung perceraianku dengan Anyelir. Anyelir dan Marta masuk ke dalam sebuah restoran cepat saji. Aku yang masih merindukan Anyelir turut masuk kedalam restoran dengan posisi membelakangi Anyelir dan Marta. Sesekali aku menoleh untuk bisa melihat wajahnya lagi. Wajah yang selalu kurindukan selama dua tahun belakangan ini. Rupanya, Anyelir menunggu kedatangan Lathif, Reza dan anak-anak Marta. Mereka segera memesan menu dan kemudian berbincang diselingi tawa. Anyelir nampak tertawa lepas, begitu pun dengan kedua putraku. Aku pun turut tersenyum dengan posisi yang masih membelakangi mereka. Sejujurnya, sedih hati ini karena hanya bisa memandangi mereka dari jauh. Tapi mau bagaimana lagi, tidak mungkin juga aku mendatangi mereka dan muncul di hadapan Anyelir yang sudah sangat membenciku. Setelah menghabiskan makananku, aku berdiri dan berniat meninggalkan restoran ini. Aku harus kembali ke restoran untuk melanjutkan pekerjaan. Namun saat hendak mencapai pintu restoran, sebuah panggilan untukku membuat langkahku terhenti. “Papa.” Suara Reza terdengar nyaring memecah keheningan restoran ini. Aku menoleh pada sumber suara dan kudapati Reza yang kini berlari ke arahku. Manikku dan manik Anyelir sempat bertatapan sekejap, sebelum akhirnya Anyelir yang membuang muka lebih dulu. “Papa ada di sini juga? Kenapa nggak makan bareng kita di sana?” Reza berusaha menarik tubuhku menuju mereka yang ditempati Anyelir dan lainnya. Aku tersenyum kaku pada adik dari Lathif ini. “Papa sudah selesai makan, Nak. Papa harus lanjut kerja. Lain kali saja ya, kita makan bareng lagi,” kataku berusaha memberi pengertian padanya. “Ya, masa Papa nggak bisa sih, Pa.” Reza nampak cemberut dan kecewa karena aku tidak bisa mengabulkan permintaannya. Mau bagaimana lagi, Reza meminta hal yang sulit untuk kulakukan. Tidak mungkin aku ke meja mereka, karena aku tidak ingin mengusik ketenangan Anyelir di sana. “Maaf ya, Nak, Papa harus pergi sekarang. Nanti hari Minggu Papa jemput ya, kita jalan-jalan lagi.” Lagi, aku berusaha membujuknya. “Nggak mau!” Reza berteriak kencang yang membuat seluruh pengunjung restoran menoleh kea rah kami. “Reza nggak mau jalan-jalan sama Tante Kinan terus. Reza maunya jalan-jalan sama Papa dan Mama!” Aku tersenyum sungkan pada pengunjung yang masih menatap kami. Lantas aku berjongkok, dan menyentuh d**a Reza. “Iya, nanti kapan-kapan kita jalan-jalan sama Mama juga ya,” dustaku, karena hal itu tidak akan pernah terjadi. “Jangan membuat janji yang tidak akan bisa Bang Adi tepati,” ucap Marta yang sudah berada di depanku. “Aku cuma ….” Ucapanku terhenti ketika Lathif juga datang mendekat. Dia menyalamiku lantas menggendong Reza yang menangis. “Sudah, jangan nangis lagi. Sekarang kita ke Mama aja ya,” bujuknya pada sang adik. Reza mengangguk lemah dan tak memberontak ketika Lathif mengajaknya kembali ke meja mereka. Aku hanya bisa menatap kepergian mereka dengan perasaan campur aduk. Sekali lagi, jika hubunganku dan Anyelir baik-baik saja, tentu aku akan menyusul mereka ke sana. Sayangnya aku harus tetap berada di sini dan segera meninggalkan tempat ini. “Kita bicara di luar!” ajak Marta dengan suaranya yang sama sekali tidak terdengar ramah. Aku mengangguk setuju. Dan sebelum benar-benar meninggalkan tempat ini, sekali lagi kutatap Anyelir yang sedang berbicara dengan Reza yang duduk di pangkuannya. Anyelir benar-benar tidak ingin melihatku lagi. Dia benar-benar sangat membenciku. “Aku tahu Abang mengikuti kami dari tadi!” kata Marta terlihat marah, begitu kami sudah keluar dari restoran. “Ya, aku memang mengikuti kalian karena aku merindukannya,” jujurku pada Marta. Marta terkekeh pelan sebelum kembali berbicara. “Sudah lah, Bang. Kalian sudah pisah. Jadi tolong jangan ganggu sahabatku lagi. Kasihan dia, sudah dua kali cerai dari Abang.” “Aku nggak bermaksud menganggunya. Kamu lihat kan, dari tadi aku cuma mengamatinya dari jauh?” tanyaku. “Tetap saja itu membuat Anyelir terganggu. Tolong lah, Bang, kalau memang tidak ada jadwal ketemu sama Lathif dan Reza, Abang jangan muncul di hadapan Anyelir. Kasihan dia, susah payah selama ini berusaha melupakan Abang.” “Aku juga susah payah menahan diri untuk tidak muncul di hadapannya, Marta. Tapi aku tidak bisa. Aku terlalu merindukan dia.” “Halah, bulshit!” Marta mengibaskan tangannya. “Rindu, rindu. Makan saja tuh rindu. Makanya Abang jangan bodoh jadi laki-laki. Dulu nikah minta izin saja Anyelir pilih pisah. Eh sekarang malah diulangi lagi, malahan nikah diam-diam. Ditambah lagi, nikahnya sama adiknya Almarhumah. Double kill, Bang, sakitnya Anyelir. Aku mengangguk lemah. “Aku tahu.” “Kalau sudah tahu, ya sudah, jangan ganggu dan muncul lagi di hadapan dia, kalau tidak ada janji ketemu sama anak-anak. Abang fokus saja sama pekerjaan Abang supaya tetap bisa menafkahi anak-anak. Dan pastikan juga Kinanti jangan jadi istri baru yang drama.” “Apa maksudmu, Marta?” tanyaku penasaran dengan ambigu. “Pantau terus istri Abang itu, supaya nggak ganggu orang lain,” jawab Marta yang membuat mataku membeliak. Apakah Kinanti pernah menemui Anyelir setelah aku berpisah dengan wanita itu? “Kapan Kinanti menemui Anyelir, Marta?” tanyaku geram, jika benar ternyata perempuan itu menemui Anyelir, apa pun alasannya. “Tanyakan saja ke istrimu itu, kenapa harus tanya aku. Tanyakan yang benar, sampai dia jujur. Syukur-syukur kalian berantem deh, jadi makin romantis dan lahir lah anak kedua kalian.” Marta tersenyum mengejek. “Satu hal yang perlu kamu tahu, selama pernikahan kami, aku tidak pernah menyentuhnya,” jujurku akhirnya. Marta cukup terkejut mendengar pengakuanku, namun kemudian ekspresinya berubah seperti biasa lagi. “Terus aku harus bilang Abang luar biasa atau bagaimana?” Lagi, Marta tersenyum mengejek padaku. “Lagian, kalian bermain atau tidak juga tidak akan merubah hubungan Abang dengan Anyelir. Kalian sudah bercerai dan Anyelir tidak akan pernah mau bertemu atau berbicara dengan Abang lagi. Apalagi sampai rujuk. Jangan mimpi deh, Bang!” “Ya, akau paham soal itu.” Aku paham. Aku sangat paham mengapa Anyelir teramat sangat membenciku. Tapi aku benar-benar masih sangat mencintainya. Tapi aku harus bagaimana dan berbuat apa, agar Anyelir bersedia memafakanku? Bersambung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD