bc

LANGIT DI ARAH BARAT

book_age16+
21
FOLLOW
1K
READ
revenge
friends to lovers
tomboy
dare to love and hate
drama
humorous
mystery
enimies to lovers
first love
colleagues to lovers
like
intro-logo
Blurb

Namanya Rania, seorang gadis yang tak pernah kenal takut dan pencinta senja. Kehidupannya yang semula sempurna runtuh seketika oleh orang kepercayaan keluarganya. Rasa dendam yang berlandaskan kecewa membuatnya bertahan sejauh ini demi menemukan kebenaran dibalik kehancuran keluarganya.

Ia bekerja di sebuah perusaahaan terbesar di Indonesia sebagai seorang marketing. Baginya, bertemu Elvano di jembatan, sosok lelaki berusia 26 tahun yang sedang berniat bunuh diri adalah sebuah ketidakharusan. Apalagi saat lelaki tersebut berpura-pura bekerja sebagai karyawan biasa padahal sebenarnya merupakan satu-satunya pewaris perusahaan tempatnya bekerja.

Setelah melewati banyak cobaan masih sanggupkah Rania bertahan?

Mampukah ia menemukan bukti kebenaran dibalik kehancuran keluarganya?

Apakah Rania dan Elvano nantinya akan saling memberikan rasa nyaman karena pernah sama-sama merasakan kehancuran?

Mungkinkah sosok Elvano, lelaki yang terkenal setia terhadap wanita bisa merelakan masa lalunya dan kembali membuka hati setelah kepergian sang tunangan?

Atau apakah justru Elvano akan kembali ke pelukan mantan yang kembali datang ke dalam hidupnya?

chap-preview
Free preview
PROLOG
Jakarta, 13 Maret 2020 Gadis dengan rambut hitam lurus sebahu itu berdiri dengan menatap lurus ke arah barat. Mata teduhnya yang hampir segaris tidak sedikit pun terlepas dari langit yang terlihat seperti lukisan abstrak. Namanya Rania, gadis berusia 21 tahun yang sangat menyukai langit senja. Sayangnya, ketika orang lain menatap senja dari suatu tempat yang indah, namun tidak dengannya. Ia selalu menatap langit senja dari pinggir jalan, tepat di jembatan yang kini ia pijak. Hembusan semilir angin menembus ke dalam kulit bahkan membuat helaian rambutnya menutupi mata. Sepulang kerja ia selalu singgah di sana. Tidak pernah absen, meski satu hari pun. Harusnya gadis seusianya sedang berada dalam fase bahagia dan duduk di bangku kuliah. Sayangnya semua berbanding terbalik karena orang lain merenggut kebahagian keluarganya. Tangannya merogoh sesuatu dari saku celana jeans dengan model sobekan di lutut yang ia kenakan. Jeans itu ia padu dengan baju kaos oversize serta sepatu kets berwarna putih. Sesaat setelahnya ia membuka bungkus rokok lantas mengambil sepucuk lalu menyalakannya dengan korek api. Rokok itu disematkannya di antara jari tengah dan jari telunjuk sebelum ia benar-benar menghisapnya. Kepulan asap mengelilinginya. Sesekali ia mendesah berat. Dua tahun sudah ia menjalani kehidupan seperti ini. Rasanya belum juga berubah, masih sama. Persis sejak hari itu. Karena terlalu fokus menikmati senja ditemani sebatang rokok, ia bahkan baru saja tersadar bahwa di jembatan tersebut dirinya tidaklah sendiri. Dari kejauhan matanya menangkap seorang lelaki. Lelaki tersebut nampak mengacak rambut dengan frustasi dan terus menampakan raut kecewa bahkan gelisah secara sekaligus. Beberapa menit berlalu, lelaki yang sebelumnya hanya berdiri di sisi jembatan kali ini justru beralih naik ke atas beton pembatas setelah menarik napas panjang. Rania masih saja terus memperhatikan. Namun, lelaki tersebut masih juga diam di tempat. Karena bosan menunggu gerakan apa yang selanjutnya dilakukan lelaki tersebut, Rania akhirnya berinisiatif untuk mendekat. "Mau ngapain?" Tanyanya saat ia sudah berdiri dengan jarak yang tidak begitu jauh dari lelaki tersebut. Lelaki itu menoleh. Ia mengernyitkan kening saat matanya menangkap sosok gadis yang mengajaknya bicara. Gadis yang tidak begitu tinggi, berkulit putih, memiliki mata hampir segaris, juga berambut sebahu. Rania mendapati lelaki itu memberi tatapan tanda tanya padanya. Ia terkekeh pelan lantas membuang rokok yang diisap satu kali lagi ke tanah seraya menginjaknya. Gadis itu menghela napas pelan sebelum akhirnya berbicara. "Lo mau bunuh diri?" Tanyanya datar. Lelaki itu diam, lelaki dengan perawakan yang jauh lebih tinggi darinya dan berkulit bersih serta mmemiliki paras yang berada di atas rata- rata. Kakinya sedikit bergetar karena angin yang bertiup menelisik sampai ke dalam kulit apalagi berdiri di atas beton pembatas yang jika bergerak sedikit akan langsung terjun ke bawah. Rania menyentuh pergelangan kaki lelaki itu dan membuat sang lelaki bergidik bahkan hampir saja terjatuh karena sedikit lagi hilang keseimbangan. Dengan gerakan cepat dan terhitung satu kali loncatan, lelaki itu turun ke bawah. Bukan ke sungai melainkan ke sisi pembatas jembatan, berdiri tepat di sebelah Rania. Lelaki itu mendengus sebal dan bahkan memberikan tatapan tidak suka. Sedangkan Rania yang berada di hadapannya hanya tersenyum miring lantas tertawa mengejek. "Kalo lo mau bunuh diri jangan ragu-ragu,"ucapnya sembari mengarahkan tangan ke arah depan, menjadikan beton pembatas sebagai tempat menopang tangannya. "Seberat itu ya hidup lo?" Lanjutnya lagi sembari menatap ke bawah, menatap arus sungai yang kali ini cukup deras. Alih-alih menjawab, lelaki itu menatap Rania lekat untuk waktu yang lama sebelum akhirnya ia bicara. "Nggak usah ikut campur urusan orang lain. Emangnya kamu siapa dan tau apa tentang hidup orang lain?" "Gue?" Tunjuk Rania pada dirinya sendiri dan diam sebentar sebelum kembali berbicara. "Gue nggak tau apa-apa sih sama hidup lo," jawabnya santai tanpa menatap lelaki tersebut. "Lantas kenapa kamu menghampiri saya dan seolah-olah merendahkan?" Emosi lelaki itu sudah mulai naik meskipun nada bicaranya sama sekali tidak mengalami peningkatan. Rania bergeleng kepala. "Nggak ada niat apa-apa,” sahutnya dengan tersenyum. “Tapi?” tanya lelaki tersebut yang yakin bahwa ucapan Rania masih berkelanjutan. “Tapi..." Rania menjeda kalimatnya sebentar sebelum kembali menjawab. "Tapi gue juga pernah ngelakuin hal yang sama kaya lo. Berulang kali bahkan hari ini. Makanya gue ngasih saran ke lo buat ngambil keputusan tanpa keraguan," ungkapnya dengan tenang. Lelaki itu mengernyitkan kening, menoleh ke arah Rania sebentar sebelum akhirnya ikut menatap arus sungai. "Lalu kenapa kamu masih berdiri di sini dan nggak ngelakuin hal itu?" Tanyanya bingung. Rania tersenyum tipis. "Karena gue ragu," jawab Rania cepat. "Makanya gue selalu berdiri di sana setiap hari," tunjuknya ke arah dimana ia tadi berdiri. "Buat apa kamu berdiri di sana setiap hari?" Tanya lelaki itu penasaran. Raut wajahnya benar-benar terlihat santai, tidak seperti sebelumnya. "Menikmati senja,” jawab Rania cepat dengan tersenyum tipis. "Menikmati senja?" Ulang lelaki itu dengan menaikan kedua alisnya seolah tak percaya. Rania mengangguk. "Hmm, menikmati senja.” "Menikmati senja dari jembatan?" Tanya lelaki tersebut sembari memutar tubuhnya menatap Rania. "Kamu nggak salah?" tawanya. "Nggak usah merendahkan," ucap Rania sembari ikut tertawa. Lelaki itu berdehem pelan karena sebenarnya ia tidak bermaksud merendahkan. "Selain nikmatin senja, tujuannya apa lagi?" tanyanya penasaran. Entah rasa penasaran itu berasal darimana yang membuatnya tiba-tiba bertanya dan ingin mendengar kelanjutan cerita gadis di sebelahnya. "Buat mikir.” “Mikir?” “Iya buat mikir,” ulang Rania. “Mikir apaan?” “Mikir, gimana kalo misalnya gue mati aja," lanjutnya sambil tertawa dibuat-buat. Lelaki itu membulatkan matanya sempurna. Rania menoleh ke samping. “Lo kenapa kaget gitu?” "Saya bingung aja sih, gadis seusia kamu yang mungkin berada di bawah saya sekitar tiga tahun malah mikir buat mati setiap hari," ucap lelaki itu dengan kening yang berkerut. "Kamu nggak salah bicara?" Orang gila macam apa yang menikmati senja sambil berniat bunuh diri? Aneh! Pikir lelaki itu. "Yaa... karena... setiap gue mau bunuh diri, pasti aja gue ragu." “Alasan masih mikir dan ragu?” Rania berbalik posisi. Ia menghadap lelaki tersebut yang juga ikut menghadapnya. Gadis itu menarik napas sebentar sebelum berbicara. “Keluarga gue berantakan,” jelasnya singkat. “Harusnya karena keluarga kamu berantakan, bukannya itu lebih mudah buat memutuskan pilihan pada kematian?” "Permasalahannya, gue nggak bisa terima gitu aja. Gue udah bertahan hidup sejauh ini bahkan belum sempat balas dendam sama orang-orang yang menjatuhkan dan menghancurkan keluarga gue. Menurut lo, masuk akal kalo menyerah dan mati gitu aja?" Lelaki itu diam menatap gadis yang berdiri tepat di depannya. Manik mata mereka bertemu untuk sesaat sebelum akhirnya sama-sama mengalihkan pandangan kembali ke arah barat. Senja mulai terlihat di arah barat. Perempuan itu tersenyum tipis. Namun senyumnya masih tidak bisa mengalahkan mata teduhnya yang memancarkan kekecewaan. Beberapa saat keduanya sama-sama diam. Hening dan berkelana dengan pikiran masing-masing. "Kalo lo mau bunuh diri, saran dari gue jangan kebanyakan mikir atau ragu-ragu kek tadi. Kalo emang lo ngerasa hidup lo masih berguna dan lo masih punya tujuan kenapa nggak bertahan aja?" Lelaki itu mengangguk lantas menarik napas dalam. Rania kembali merogoh rokok yang ia taruh di kantong celana lantas mengambil sepucuk lagi lalu menyalakannya. Ia menghisapnya pelan lantas menyembulkan asap dengan asal. Wajahnya tenang, seolah melepas beban yang ada dalam dirinya. "Kamu merokok?" Lelaki itu bertanya ragu dengan sorot mata tak percaya. Ia bisa memastikan bahwa gadis di sampingnya memang berusia hanya beberapa tahun di bawahnya. Ia pun juga bisa melihat sendiri, gadis berambut sebahu di sampingnya meskipun terlihat tomboi namun tetap cantik dengan kulit putih, mata teduh, pipi chuby, serta bibir yang masih berwarna pink alami meskipun ia merokok. Kejadian yang ia lihat sekarang rasanya tidak mungkin. "Mau?" Tawar Rania pada lelaki tersebut sembari menaikan kedua alis dengan mata yang ia arahkan pada rokok di jarinya. Lelaki itu menggeleng. “Saya nggak ngerokok,” jawabnya yang dibalas dengan anggukan oleh Rania. Untuk beberapa saat mereka kembali terdiam. Satu sama lain tidak ada yang berbicara. Keduanya sama-sama menikmati senja yang mulai menghilang dan tergantikan oleh langit yang mulai menggelap. Rania kembali memutar tubuh, menatap lelaki di depannya. "Gue sih cuma pesan satu hal sama lo. Karena kita sesama orang yang sedang ataupun pernah berniat bunuh diri, gue harap lo jangan ragu buat memutuskan. Mau bertahan atau mau mengakhiri," sarannya seraya menepuk bahu lelaki itu. Lelaki itu menghembuskan napas sebelum tersenyum tipis. "Tapi yang kebanyakan ragu itukan kamu. Bukan saya,"balasnya. Rania mengangguk-angguk seolah sedang berpikir sesuatu. "Justru itu! Makanya gue kasih saran, lo jangan ragu ngambil keputusan." Lelaki itu diam. Tidak merespon ucapan Rania. "Tapi kalo emang lo mau bunuh diri, saran gue terjun aja sekarang!" tambahnya dengan kepala yang digerakkan ke arah sungai ditambah senyum menyeringai sebagai tanda perintah untuk menyuruh terjun ke air. "Kamu nyuruh saya mati?" Tanya lelaki itu kesal. Rania tertawa. "Emang bener gitu kan tujuannya?" "Iya. Tapi---" "Udahlah ya, ” potong Rania dengan mengangkat kedua tangannya. “Gue mau balik. Udah hampir malam," lanjutnya dengan melirik ke arah motornya yang ia parkirkan beberapa meter di belakang lelaki tersebut. Lelaki itu mengangguk. "Ya udah balik aja." "Gue harap kita nggak pernah ketemu lagi ya," lanjutnya dengan senyum tipis sembari mengulurkan tangan untuk berjabat. "Oke. semoga kita nggak ketemu lagi," setuju lelaki itu seraya membalas uluran tangan Rania. "Bye!" ucap Rania singkat seraya berlalu meninggalkan lelaki tersebut.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Siap, Mas Bos!

read
13.6K
bc

Single Man vs Single Mom

read
102.4K
bc

Tentang Cinta Kita

read
190.6K
bc

My Secret Little Wife

read
98.7K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
206.2K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
3.6K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
15.5K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook