Meminta Restu dengan Kacau

1874 Words
Gerald menatap tak percaya kearah Alisya yang asik menata berbagai hidangan yang baru saja di bawakan kakak iparnya, ingin sekali ia menyuruh wanita itu untuk duduk tapi sekali lagi, dirinya tak ingin pincang besok setelah mendapat tendangan yang lebih kencang dari adiknya. Berbeda dengan Gerald, keluarga Gerald lebih memilih untuk asik berbincang dengan kakak Alisya, membicarakan bagaimana Alisya saat remaja dulu. "Permisi, saya mau ke belakang sebentar" pamit Gerald seraya bangkit dan berjalan ke arah dapur, melihat bagaimana cekatannya Alisya yang tengah menata makanan cepat saji itu. "Isssh" Alisya meringis pelan, mengibaskan tangannya yang tanpa sengaja terkena air panas saat ingin membuat teh hangat. Dengan kesal Gerald mendekat, mengambil teko itu dan meletakkannya di tempat pencucian, bodo amat dengan teh panas itu. "Tepungnya di mana?" Tanya Gerald menatap tajam ke arah Alisya yang terkejut dan takut di waktu bersamaan. "Sya, tepungnya di mana?" Tanya Gerald lagi seraya berdecak pelan, wanita ini kenapa jadi lamban sekali?. "Biar aku ambilkan" kata Alisya seraya berlari untuk mengambil tepung yang di simpan kakaknya di almari dapur, membuat Gerald semakin marah melihat tingkah wanita itu. Brakkk. "Awww" Sangking terburu-buru nya, Alisya melupakan lepuh yang menghiasi tangan kirinya, membuat tepung yang ada di dalam pot itu jatuh karena kecerobohannya. "KAMU BISA DIEM NGGAK SIH SYA? KAMU LAGI HAMIL, SUDAH BERAPA KALI SAYA BILANG? JANGAN LARI-LARI," bentak Gerald membuat Alisya menangis pelan. Mendengar teriakkan itu, semua orang ikut berbondong-bondong menuju dapur, menatap dapur yang sudah acak-acakan dengan tepung yang berserakan di bawah, suara tangis Alisya yang sesenggukan membuat suasana itu semakin mencekam, di tambah raut wajah Gerald yang terlihat dingin dan marah membuat mereka semua menerka-nerka apa yang terjadi. "Ini ada sih Ge? Kenapa kamu teriak-teriak? Terus ini kenapa berantakan semua?" Tanya Krystal pada putranya. Gerald menghela nafasnya kasar, menendang pot tepung yang ada di depannya dengan kasar, membuat Alisya semakin menangis melihatnya. Gerald memejamkan matanya sebentar, mendongak menatap ke arah Alisya yang tengah menangis tersedu-sedu karenanya. Mengabaikan semua orang, Gerald berjalan mendekati Alisya, membawa Alisya ke dalam pelukannya dengan hangat, mengelus punggung Alisya dengan pelan. "Maaf" kata Gerald semakin membuat Alisya mengeraskan suara tangisnya. "Aku nggak marah sama kamu, aku cuma khawatir, Hem?" Kata Gerald lagi masih dengan elusan pelan di punggungnya. Alisya masih menangis, ia benar-benar terkejut sekaligus takut saat tiba-tiba Gerald membentaknya, ia tahu dirinya ceroboh, tapi bisakah laki-laki itu memahami situasinya? Ia tergesa-gesa karena takut pada laki-laki itu. "Aku pulang dulu, pertungannya di lanjutkan besok di rumahku, oke? Jangan kerja yang berat-berat" kata Gerald lagi seraya melepas pelukannya, memegangi wajah Alisya menggunakan kedua tangannya, mengusap air mata Alisya dengan lembut. Gerald akui, dirinya benar-benar tak tega jika sudah melihat seorang wanita menangis, membuatnya teringat bagaimana bundanya yang dulu sering menangis saat ayahnya harus tinggal di Amerika. Gerald menghadap ke arah Ayu dengan berani, menatap kakak Alisya dengan dingin. "Perkenalkan, nama saya Gerald, sebenarnya saya datang untuk meminta restu agar anda menyetujui pernikahan kami, tapi karena anda memperlakukan Alisya seperti itu, bahkan anda membiarkan Alisya melakukan semuanya sendiri tanpa berniat membantunya maka sudah saya pikirkan, jika saya akan tetap menikahi Alisya dengan atau tanpa restu anda." Kata Gerald datar, membuat keluarganya tak percaya mendengar apa yang baru saja di katakan oleh Gerald, tak begitu jauh dengan tanggapan Alisya yang kini menatap Gerald dengan tatapan yang sulit di artikan. "Saya juga ingin memberitahu jika sekarang Alisya tengah mengandung, jadi mohon perhatiannya. Hanya beberapa hari saja, karena setelah saya menikahinya saya akan membawanya pergi bersama saya" lanjut Gerald lagi membuat Ayu tercengang mendengarnya. "Besok saya akan mengirim jemputan ke sini, jika anda bersedia datang maka saya ucapkan terima kasih" lanjut Gerald lagi. Gerald memilih keluar tanpa berpamitan terlebih dahulu, diikuti oleh keluarganya yang ikut mengekor di belakangnya. Ia benar-benar tak percaya dengan lingkungan keluarga Alisya yang seperti itu. ****** Plakkkk. Tamparan keras mendarat mulus di pipi Alisya hingga membuat Alisya oleng dan jatuh ke lantai, ia tak berani bersuara, yang ia lakukan hanyalah menangis pelan. "JADI INI YANG KAMU KATAKAN KERJA? MERAYU ATASAN HINGGA TIDUR DI RANJANGNYA?" teriak Ayu marah pada adiknya. "SIAPA YANG BISA MENANGGUNG MALU SEPERTI INI? JAWAB KAKAK!" seru Ayu lagi seraya menarik Alisya dan melayangkan tamparan sekali lagi di pipinya, membuat pipinya memerah karena tamparan kakaknya. Alisya hanya menangis sesenggukan, ia juga malu dengan dirinya sendiri, ia malu pada kedua orang tuanya yang sudah meninggal, dan dirinya juga malu pada dunia. "KELUAR!" seru Ayu mengusir adiknya tanpa belas kasihan. "Kak" mohon Alisya seraya memegangi kaki kakaknya, meminta pengampunan atas dosa yang ia lakukan. "KAKAK BILANG PERGI SYA" teriak Ayu sekali lagi, membuat Alisya berdiri dengan tertatih, mengambil tas yang tadi di bawanya dan berlalu pergi ke arah pintu. Alisya berjalan dengan langkah pelan, air matanya masih terus mengalir saat mengingat keluarga satu-satunya yang ia punya pun tak bisa menerima aib seperti dirinya, lalu bagaimana dengan keluarga ayah dari bayinya?. Alisya mengelus pelan perut datarnya, di dalam hati, ingin sekali dirinya melenyapkan gumpalan darah itu, tapi ia kembali mengingat bagaimana gumpalan itu ada di perutnya. Tin tin. Suara klakson Mobil yang terdengar membuat Alisya menoleh, menatap kearah lampu mobil yang masih menyorot ke arahnya, diikuti oleh berhentinya mobil itu di sampingnya. Alisya semakin menangis kala melihat siapa itu, ia benar-benar tak akan menyangka jika laki-laki itu akan kembali menyapanya, mengetahui apa yang akan terjadi padanya. ***** Gerald menatap kearah keluarganya yang mulai memasuki rumah, meninggalkan dirinya yang masih tetap ada di dalam mobil. Ingatan tentang bagaimana dirinya tadi membentak Alisya kembali memenuhi kepalanya,ia mengkhawatirkan wanita itu. "Saya takut,"  Kata yang di ucapkan Alisya tadi saat di kantor kembali terngiang di telinganya, ingin sekali dirinya tak peduli, tapi entah kenapa dirinya ingin kembali. "Bukan untuk dia, tapi untuk anak kita" Di dalam hati, Gerald meyakinkan dirinya sendiri jika dirinya tak peduli pada wanita itu, yang ia pedulikan adalah anak yang di kandung wanita itu. Gerald menyalahkan mesin mobilnya, bergerak untuk kembali ke kediaman kakak Alisya. Perjalanan yang tak begitu panjang membuatnya tanpa sengaja melihat wanita itu jalan kaki di pinggir jalan sendirian. "Ge, kamu nggak mikir kalau seandainya Alisya di usir kakaknya?" Pertanyaan bundanya tadi saat perjalanan pulang membuatnya diam, memandang Alisya yang terus melangkah dengan menunduk, hingga dirinya membunyikan klakson mobilnya dan sengaja menyorotkan lampu ke arah Alisya. Gerald segera turun dari mobil saat melihat Alisya berhenti dan menoleh ke arahnya. Gerald mempercepat langkahnya, memeluk Alisya yang tengah menangis kencang di pelukannya. "Mereka kecewa pak, saya harus bagaimana? Orang tua saya? Saya sudah membuat mereka semua kecewa karena ulah saya yang merayu bapak, saya harus bagaimana?" Tangis Alisya membuat Gerald diam, dalam hati ia mengutuk dirinya sendiri dengan kejam. "Nggak papa, ini bukan salah kamu, ini salah saya, kamu jangan takut, saya benar-benar akan bertanggung jawab" kata Gerald mencoba menenangkan, membawa Alisya semakin dalam ke dalam pelukannya, jemarinya pun bergerak mengelus punggung Alisya dengan lembut. "Jangan takut, masih ada saya dan keluarga saya" kata Gerald lagi masih mencoba menghibur Alisya yang masih saja menangis sesenggukan. "Tapi orang tua saya, saya benar-benar sudah menyakiti mereka dengan buruk." Kata Alisya lagi yang berhasil membuat Gerald terdiam, merenungkan apa yang baru saja di katakan wanita itu. Ia tahu jika wanita itu benar-benar sayang dengan keluarganya, ia benar-benar salah karena telah menyeret Alisya ke dalam masalah yang ia perbuat. ***** Gerald membuka pintu apartemennya, masuk dan menoleh ke belakang, menatap ke arah Alisya yang terlihat bingung dengan menolehkan kepalanya ke kanan-kiri. Dengan canggung, Gerald menyuruh Alisya masuk ke dalam, membuat Alisya semakin tak nyaman dengan keadaan yang terjadi. Alisya menautkan kedua jemarinya, mengikuti langkah Gerald yang berjalan di depannya dengan keadaan yang sama canggungnya. "Apa tidak apa-apa kalau kamu tinggal di sini dulu?" Tanya Gerald mencoba mencairkan suasana, menoleh kembali ke arah Alisya yang tengah mendongak dengan tatapan terkejutnya. "Anu," Gerald menaikkan sebelah alisnya, tak mengerti dengan kata ambigu yang baru saja di katakan Alisya. "Sebenarnya saya bisa tinggal di kontrakan saya" jawab Alisya kembali menundukkan kepalanya, menggerakkan jemarinya dengan tak nyaman. "Mandilah dulu, nanti kita bahas lagi" putus Gerald kembali berbalik dan melangkahkan kakinya untuk masuk lebih dalam. Gerald membuka pintu kamarnya, menoleh ke arah Alisya yang semakin gemetar di belakangnya. Ia benar-benar brengs*k. "Mandilah di dalam, ada pakaian ganti di dalam almari, pakai yang menurut kamu cocok" kata Gerald lagi yang langsung membuat Alisya mendongak, menatap kearah Gerald yang bicara dengan santai saat menyebut pakaian wanita, apakah bos nya itu sering membawa wanita masuk ke appartemennya?. Memikirkan itu, tanpa sadar Alisya memundurkan langkahnya perlahan, pikirannya sudah tak searah lagi, pikirannya bercabang ke mana-mana, memikirkan jika dirinya akan menikah dengan laki-laki yang seperti itu, memikirkan bagaimana anaknya nanti, dan memikirkan semua keadaan buruk yang akan ia lalui bersama bos nya itu. "Itu pakaian Tasya, adikku" Seolah mengerti, Gerald mengatakan kalimat yang menjawab semua pikiran buruh yang ada di kepala Alisya. Alisya memukul kepalanya pelan seraya tersenyum ke arah bosnya dengan manis, tanpa sedikitpun rasa canggung yang tadi ia rasakan, karena saat ini ia lebih merasakan rasa tidak enak hati pada bosnya karena sudah memikirkan yang tidak-tidak. Gerald berdehem pelan saat melihat Alisya yang tersenyum, yang ia lihat, wanita itu benar-benar terlihat seperti seorang anak kecil yang masih polos, ia menjadi semakin bersalah karenanya. **** Alisya keluar kamar mandi dengan handuk yang melilit di tubuhnya, ia benar-benar lupa untuk menanyakan apakah ada handuk baru yang tersimpan, ia benar-benar takut jika bosnya itu akan marah karena dirinya menggunakan benda pribadinya. Alisya membuka almari dengan perlahan, menatap isi almari tersebut dengan kagum saat melihat satu almari penuh berisi pakaian bermerk dengan harga yang membuat dirinya kelaparan, bahkan gajinya dalam sebulan pun kurang untuk membeli satu jenis pakaian yang ada di dalamnya. Hampir semua warna pakaian ada di dalamnya, meskipun lebih banyak terisi dengan warna biru dongker ataupun abu-abu. Alisya mengulurkan tangannya, memilah pakaian itu dengan cermat, mengamati berbagai merk terkenal yang ia tahu, membuat dirinya enggan untuk mengambil salah satunya. Alisya menutup kembali almari itu, jemarinya bergerak membuka almari yang satunya dengan hati-hati, jejeran kemeja berwarna putih dan jas berwarna hitam terlihat menyapa penglihatannya, jemarinya kembali bergerak membuka laci yang tersedia. Matanya semakin melebar karena berbagai macam jam tertata rapi di dalamnya, tak lupa dengan wadah khususnya. Tok tok tok. Suara ketukan pintu membuat Alisya cepat-cepat menutup laci dan almari dengan tergesa, dalam hati dirinya mengucapkan mantra agar bosnya tak sembarang masuk ke dalam dan melihatnya yang masih menggunakan handuk milik bosnya dengan lancang. "Sya," panggil Gerald dari luar. "SEBENTAR PAK" teriak Alisya seraya berlari ke arah pintu, memutar kunci pintu agar pintunya terkunci, sekali lagi, dirinya benar-benar melupakan titah Gerald yang menyuruhnya jangan berlari. *** Ceklek, ceklek. Gerald mengernyitkan dahinya saat mendengar suara pintu terkunci, meskipun sedikit heran, Gerald lebih memilih mengabaikannya. Saat Gerald berbalik hendak kembali ke ruang tamu, suara pintu kembali terdengar, membuat dirinya kembali menoleh ke belakang, menatap kearah Alisya yang sudah berdiri di depan pintu dengan tas slempang miliknya yang sudah bertengger di bahunya. Mata Gerald meneliti Alisya, mulai dari atas ke bawah, dari bawah ke atas. Benar-benar tak berubah. "Kamu nggak ganti baju?" Tanya Gerald setelah memperhatikan penampilan Alisya yang masih sama dengan beberapa helai rambut yang masih basah. "Saya," Alisya menghentikan kata-katanya, menatap ke arah Gerald yang menggandengnya untuk kembali masuk ke dalam kamar, membuat Alisya menatap tangannya dengan perasaan yang tak karuan, antara takut dan terkejut. "Kamu nggak suka salah satunya?" Tanya Gerald seraya menunjuk pakaian yang tergantung di almari yang baru saja di bukanya. Menampilkan berbagai macam pakaian yang tadi di lihat Alisya dengan cermat. "Bukan," Kata-kata Alisya kembali terpotong saat menatap ke arah Gerald yang menatapnya datar. "Kamu nggak suka pakai pakaian yang sudah di pakai orang lain?" Tanya Gerald lagi yang langsung membuat Alisya melepaskan tautan tangan keduanya. "Bukan seperti itu" bantah Alisya seraya menggoyang kedua tangannya ke kanan kiri, menolak apa yang baru saja di katakan Gerald padanya. Berbeda dengan Gerald yang malah menatap tangannya yang baru saja di lepaskan oleh Alisya, ia baru sadar jika sedari tadi dirinya bergandengan dengan Alisya. Tbc.....
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD