AliSya dan TaSya

2050 Words
"Saya benar-benar tidak bermaksud seperti itu, saya cuma takut kalau nanti baju adik anda kotor" Suara Alisya membuat Gerald sadar dari lamunannya, menatap ke arah Alisya yang kini mendongak ke arahnya dengan tatapan yang penuh ketakutan. Gerald menoleh kebelakang sebentar untuk tersenyum, hanya butuh waktu tiga detik, hingga akhirnya Gerald kembali berdehem dan menoleh ke arah Alisya yang kini masih menatapnya dengan pandangan yang sulit di artikan. "Ambil salah satu, terus kamu ganti" kata Gerald menatap Alisya sedikit lembut. "Tapi," "Aku tunggu di ruang makan, kita makan bersama" potong Gerald seraya berjalan keluar, meninggalkan Alisya yang kini menghela nafasnya pasrah, mengambil salah satu baju yang menarik perhatiannya dan mengganti baju miliknya dengan dress cantik yang kini ia kenakan. Alisya melihat sekitar, ia kembali bingung mencari sesuatu untuk menaruh bajunya, ia membutuhkan kantong untuk pakaian kotornya. **** Gerald membuka pintu kembali, ingin memberitahu Alisya sesuatu, namun ia malah terkejut saat melihat Alisya sudah melepaskan bajunya, memperlihatkan belakang Alisya yang hanya tertutup dalaman tipis yang di pakainya. Dengan gugup Gerald menutup pintunya pelan, bisa berabe jika Alisya sampai tahu kalau dirinya kembali memergoki Alisya seperti itu. Gerald memejamkan matanya, mencoba mengingat-ingat bagaimana indahnya Alisya dulu, pikiran kotornya kembali melayang bebas tanpa bisa ia cegah. Gerald menatap ke arah Alisya yang tengah berjalan ke arahnya dengan tas yang terlihat mengembung, wanita itu masih saja sibuk merapikan tas miliknya dengan pelan. Penampilan Alisya yang menggunakan dress beda sekali dengan Alisya yang menggunakan baju kerja, Alisya terlihat lebih cantik dan elegan, belum lagi dengan rambut yang tergerai dengan indah, hitam, panjang, dan lurus. Gerald berdiri dari duduknya saat melihat Alisya masih saja berjalan tanpa fokus, membuat wanita itu hampir saja menabrak kursi jika saja Gerald tidak menahan langkahnya dengan memeluk Alisya dari belakang. Alisya terdiam, dirinya tiba-tiba saja merasa jadi batu, tubuhnya terasa kaku untuk digerakkan, kecuali bola matanya yang kali ini bergerak, melihat ke arah tangan yang melingkar di perutnya. "KAMU INI BODOH ATAU GIMANA? KAMU NGGAK LIHAT ADA KURSI DI DEPAN?" teriakan dari Gerald berhasil membuat Alisya sadar, memutar lagi bola matanya untuk menatap ke depan, melihat kursi kayu yang ada di depan perutnya. Tiba-tiba sekali, Alisya menoleh ke belakang, menatap ke arah Gerald yang masih terlihat marah ke arahnya. "Pak, tadi belum kena kan? Si Beo nggak papa kan pak?" Tanya Alisya menatap berkaca-kaca ke arah Gerald yang kini menampilkan wajah bingung. "Beo?" Tanya Gerald membuat Alisya mendongak, menatap ke arah Gerald dengan berani, ia lupa jika di depannya itu adalah bosnya di kantor. "Janin yang ada di dalam perut, Beo nggak papa kan pak?" Tanya Alisya lagi. Gerald menggenggam jemarinya erat, tiba-tiba saja dirinya merasa di bodohi oleh Alisya, belum lagi kenapa wanita di depannya jadi seperti itu?. "Dia nggak papa, tapi itu panggilannya bisa di ubah nggak sih? Jelek banget" kata Gerald meninggalkan Alisya untuk kembali duduk di kursi. Alisya kembali menoleh, gerakan bola matanya mengikuti ke arah ke mana laki-laki itu pergi. "Duduk dulu, terus makan" kata Gerald datar, membuat Alisya sesegera mungkin duduk di sebrang Gerald. "Kenapa bapak nggak minta tolong saya kalau mau pesan makanan? Kan bisa saya pesankan" kata Alisya tanpa sadar. Gerald menggenggam sendok dan garpunya erat, tiba-tiba saja dirinya merasa jika wanita di depannya sudah melupakan bagaimana kesedihannya tadi. "Bapak mau saya ambilkan nasi?" Tanya Alisya lagi-lagi memanggil Gerald layaknya bos yang ada di Perusahaan. "Dari pada itu, lebih baik kamu tolong rubah panggilan kamu sama aku" kata Gerald berhasil membuat Alisya terkejut mendengarnya, emangnya dirinya salah ya?. "Gimana?" Tanya Alisya masih tak mengerti maksud Gerald. "Sya, kita akan menikah, sampai kapan kamu mau panggil saya bapak? Pak?" Jelas Gerald diikuti pertanyaan yang berhasil membuat Alisya mengerti. "Tapi," "Kamu juga sudah mengundurkan diri dari perusahaan, kenapa kamu masih manggil aku seperti itu?" Potong Gerald lagi seraya diikuti bantingan sendok dan garpunya. Alisya menatap ke arah piring yang sudah pecah di atas meja, matanya beralih menatap Gerald yang kini menatapnya dengan marah. "Saya ambilkan piring lagi" pamit Alisya seraya berdiri dari kursinya. Belum sempat kabur, Alisya sudah kembali mendengar suara gaduh lainnya, kursi yang ada di samping pak bosnya sudah berantakan karena di tendang oleh pak bosnya itu. "Pak, nggak boleh marah-marah loh di depan rejeki" kata Alisya pelan, menatap ke arah makanan yang masih tertata rapi di atas meja. "Siapa yang mulai, kamu tahu nggak" bantah Gerald tak mau kalah, apalagi panggilan Alisya masih saja tak berubah. Gerald berdiri dari kursinya, berjalan menghampiri Alisya yang juga berjalan mundur untuk menghindar dari Gerald, ia ingat betul bagaimana jika bosnya marah, kalau nggak pecat ya berarti bakal mati kelelahan karena perintah yang tidak ada habisnya, belum lagi dengan perintah tak masuk akal yang bosnya lakukan seenaknya. Alisya berlari memutari meja makan saat Gerald hampir saja menangkapnya. "Sya, jangan lari. Kan udah saya bilang jangan lari" teriak Gerald marah, panggilan yang mulanya aku-kamu pun berubah seketika. "Enggak, bapak pasti akan menghukum saya kan?" Bantah Alisya masih saja berlari, karena pak bosnya itu juga berlari untuk mengejarnya. Alisya menoleh ke arah pintu kamar yang masih terbuka, ia benar-benar akan tertangkap jika terus berlari memutari meja makan. "Saya bilang berhenti Sya," kesal Gerald mempercepat langkah kakinya untuk mengejar Alisya yang berjalan ke arah kamar. "Buka" perintah Gerald saat Alisya baru saja ingin menutup pintu kamarnya. "Enggak akan" jawab Alisya masih saja menahan dorongan pintu yang di lakukan Gerald. "Saya hitung sampai tiga, kalau nggak minggir daya pakai cara kasar" ancam Gerald tak diindahkan oleh Alisya. "Satu," Gerald mulai menghitung, berbeda dengan Alisya yang mulai berdebar saat mendengar sebutan angka satu keluar dari bibir bosnya, itu artinya bosnya benar-benar akan. "Dua" Hitungan terus berjalan disaat Alisya memikirkan kemungkinan apa yang akan di lakukan Gerald padanya nanti, ia benar-benar berdebar mendengarnya. "Ti..." "AW" Suara Alisya berhasil mengalihkan perhatian Gerald, amarah yang mulanya sudah terkumpul jadi satu di kepalanya tiba-tiba saja musnah saat melihat Alisya yang bergerak luruh di lantai dengan memegangi perutnya. "Sya" panggil Gerald pelan seraya membuka pintu yang sudah tak di tahan Alisya. Gerald ikut berjongkok, menahan tubuh Alisya yang terlihat kesakitan. "Kan udah saya bilang jangan lari-lari" kata Gerald yang masih saja ingat untuk marah pada wanita yang kini tengah memegangi perutnya dengan raut wajah kesakitan. Gerald mengangkat tubuh Alisya, membaringkan Alisya di atas ranjangnya dengan hati-hati. "Masih sakit?" Tanya Gerald seraya ikut memegangi perut Alisya dengan tanpa sadar. Perhatian kecil yang dilakukan Gerald membuat Alisya terdiam, sebenarnya dirinya hanya berpura-pura agar tidak jadi mendapat hukuman dari pak bosnya itu. Tapi siapa sangka pak bosnya malah menunjukkan ekspresi khawatir serta mengkhawatirkan dirinya sampai seperti itu?. "Pak," panggil Alisya pelan seraya menahan gerakan tangan Gerald yang mengelus perutnya dengan ekspresi khawatir. Gerald mendongak, menatap ke arah Alisya yang kini menatapnya dengan pandangan berkaca-kaca. "Sakit banget?" Tanya Gerald lagi. "Aku panggilkan dokter ya?" Tanya Gerald seraya menggenggam jemari Alisya, ia benar-benar khawatir jika terjadi sesuatu pada darah dagingnya. "Hiks." Suara tangis Alisya semakin membuat Gerald khawatir bukan main. "Aku panggilkan dokter oke? Kamu diam saja" kata Gerald seraya berdiri untuk keluar mencari ponselnya yang ia tinggalkan di meja makan. Gerakan jemari Alisya yang menahannya diikuti dengan tangis Alisya yang semakin menjadi membuat Gerald bingung. "Cuma sebentar, Hem?" Kata Gerald mencoba membujuk Alisya pelan. Bahkan pak bosnya itu membujuknya dengan halus, ia benar-benar merasa bersalah. "Sebenarnya saya cuma bohong, saya benar-benar minta maaf, jangan hukum saya" teriak Alisya seraya menundukkan kepalanya, ia benar-benar takut jika saja pak bosnya langsung menyerangnya dengan melempar sesuatu ke arahnya. Gerald melepaskan genggaman Alisya, berjalan meninggalkan wanita itu tanpa kata, membuat Alisya semakin merasa bersalah, menatap kepergian punggung laki-laki dingin itu dengan tangisnya pelan. Gerald melangkahkan kakinya dengan pelan, memegangi dadanya dengan kesal, ia tak tahu kenapa dirinya merasa kecewa. Tadi dirinya benar-benar khawatir, ini pertama kalinya dirinya mengkhawatirkan orang luar, selama ini ia hanya peduli sama keluarganya, dia benar-benar acuh pada sekitar, tapi. Gerald menarik kursi yang ada di meja makan, memegangi kepalanya dengan perasaan yang campur aduk, antara marah dan ingin melindungi wanita itu, ia benar-benar sayang pada darah dagingnya, ia tak ingin melenyapkan apa yang akan menjadi miliknya. **** Alisya yang sudah lelah akan tangisnya jatuh tidur dengan nyaman, matanya yang memerah dengan wajah kusut terlihat begitu mengerikan di pikiran seorang wanita. Gerald memasuki kamar saat perasaannya sudah membaik, bagaimanapun juga apa yang dilakukan Alisya karena salahnya, Alisya membohonginya karena alasan takut padanya, salahkan saja dirinya yang terlihat kejam di mata Alisya. Gerald masuk dengan nampan yang ada di tangannya, sekali lagi, dirinya heran kenapa wanita itu tak merasa lapar? Padahal dirinya tidak sendirian lagi, ada anaknya yang ikut numpang makan di dalam tubuh wanita itu. Gerald menatap ke arah Alisya yang tengah tidur dengan damai, mata yang membengkak kemerahan dengan raut wajah kusut membuatnya merasa sangat bersalah pada wanita itu. Gerald menepuk wajah Alisya pelan, berkali-kali hingga membuat wanita itu membuka matanya perlahan, melihat ke arahnya dengan pandangan sendu. "Makan dulu" kata Gerald pelan seraya memperlihatkan piring yang sudah ada di tangannya. Alisya beranjak bangun, menatap ke arah bosnya dengan tidak enak. "Bapak nggak marah?" Tanya Alisya saat melihat Gerald sudah menyodorkan satu suapan kepadanya. "Panggil mas atau Gerald saja" jawab Gerald lagi seraya menyodorkan sendoknya ke arah Alisya. "Saya bisa makan sendiri," cicit Alisya pelan seraya hendak mengambil alih piring yang di bawa Gerald. "Makan Sya!" Seru Gerald memerintah, membuat Alisya mau tak mau membuka mulutnya dan menerima suapan Gerald dengan perasaan tak enak. "Sekarang kamu tanggung jawabku" kata Gerald lagi seraya menyodorkan kembali suapan keduanya. "Jangan membantah" lanjut Gerald lagi saat dilihatnya Alisya hendak membantah dirinya. Alisya diam, menerima kembali suapan yang di ulurkan Gerald padanya, ia merasa lebih nyaman. "Katakan apapun padaku, jangan takut, jangan sungkan, aku bukan bos kamu lagi, aku calon suami kamu" lanjut Gerald membuat Alisya tersedak di tengah kunyahannya. "Huft" Gerald mengambil nafasnya kasar, ia benar-benar tak suka melihat Alisya yang terus saja terkejut seperti itu. Gerald mengambil jus yang tadi di bawanya, mengulurkannya ke arah Alisya agar wanita itu meminumnya. Gerald meneruskan suapannya sampai habis dengan diam, membuat keadaan itu tiba-tiba saja terasa canggung, entah itu hanya di rasakan Gerald saja, atau Alisya juga merasakannya?. "Tidurlah, sudah malam" kata Gerald seraya beranjak, membawa kembali nampan yang tadi di bawanya, dengan piring dan gelas yang sudah kosong. "Pak," Gerald memejamkan matanya saat mendengar panggilan itu kembali terdengar, apa wanita itu tak bisa memanggil dirinya dengan sebutan lain?. "Bukan, maksud saya mas" ralat Alisya membuat Gerald membuka matanya seketika, hatinya tiba-tiba saja berdebar tanpa bisa ia cegah. "Saya ingin pulang" kata Alisya pelan, jantungnya berdetak tak karuan, perasaannya campur aduk memikirkan apa yang akan di katakan bosnya itu. Di banding menanggapi, Gerald lebih memilih melanjutkan langkahnya, membuat Alisya terdiam mengamati kepergian Gerald dengan banyak pertanyaan. Apa permintaannya di setujui? Gerald membersihkan peralatan dapur dengan pelan, ia sudah biasa melakukan hal yang seperti itu. Dirinya bukanlah anak manja seperti adiknya Tasya. Mengingat Tasya, gadis itu tengah marah-marah tak jelas karena dia suruh datang malam-malam seperti ini, yang pasti sangat ribut karena harus beradu drama dengan kembarannya yang satu itu, bahkan dirinya bertanya-tanya, kenapa orang tuanya tidak memiliki anak lain selain dirinya dan adik perempuannya itu?. Dirinya sering menanyakan itu dulu, tapi sekarang dirinya tahu kenapa itu terjadi, karena alasan itulah dirinya juga tak berharap akan mendapatkan saudara lagi. Suara kunci pintu yang terdengar membuat Gerald menoleh sebentar dan tersenyum, dirinya melepas sarung tangan yang tadi ia gunakan setelah menyelesaikan pekerjaannya. Di hampirinya adiknya yang tengah mengomel seraya memasuki appartemennya, membuat Gerald menggeleng-geleng melihatnya. "Abang bisa nggak sih? Ini udah malem banget, Tasya ngantuk" omel Tasya saat melihat abangnya yang berjalan menghampirinya dengan tersenyum tipis. "Cuma pindah tidur doang elah, sana tidur" kata Gerald yang berhasil mendapat lemparan sepatu dari kembarannya itu. "ABANG PIKIR KALAU UDAH KEBANGUN BISA TIDUR DENGAN MUDAH?" marah Tasya seraya berteriak, membuat Gerald terkejut bukan main, pasalnya di appartemennya bukan hanya ada dirinya dan Tasya, melainkan ada Alisya juga, bagaimana jika Alisya kebangun karena suara adiknya yang tidak ada anggun-anggunnya seperti itu? "Sya" panggil Gerald memelankan suaranya. "Iya" "Apaan sih bang?" Dua jawaban berbeda terdengar dari dua orang yang berbeda, membuat Gerald memejamkan matanya sebentar, menyiapkan mentalnya saat adiknya akan kembali berteriak padanya saat menyadarinya, ia berpikir akan memberitahu dengan hati-hati tapi siapa sangka akan jadi seperti ini?. Tbc
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD