Bab 4 Gelang Seharga 10 Juta

1740 Words
Hari berikutnya, Risa menjalani kegiatan kantornya dengan hati berbunga-bunga. Wanita ini bagaikan terbang ke sana ke mari seperti manusia bersayap, sangat penuh tenaga dengan wajah terus tersenyum lebar. Ini membuat para rekan kerjanya kembali terheran-heran. “Dia kenapa lagi, sih? Bukankah kemarin dia terlihat seperti mau mati saja?” celutuk seorang wanita di depan meja Vera. Vera, teman Risa hanya memiringkan kepalanya bingung, menatap Risa yang sibuk menggandakan setumpuk dokumen sambil bersenandung riang di ruang fotokopi. Dari sejak datang ke kantor pagi ini, temannya itu sudah diberi banyak tugas, dan sama sekali tidak menolak atau mengeluh sedikit pun. Malahan, dia bertanya kepada yang lain apakah ada yang bisa dibantu olehnya? Sambil bersandar, sambil melipat tangan di kursi melihat kelakuan ajaib Risa. “Apa ini ada hubungannya dengan perjodohan yang disebutkannya itu?” Vera membayangkan kembali kejadian kemarin. Dia memang setuju jika Risa menikah cepat. Tapi, kalau menikah dengan cara yang membuatnya melamun seperti orang bodoh hanya gara-gara putus asa karena cinta, bukankah itu terkesan menyedihkan? Kening Vera mengencang kuat, berdiri dari kursi dan bergegas menuju Risa yang dengan tampang sedikit bodoh dan bahagianya sibuk mengganti-ganti kertas di mesin fotokopi. “Risa, bisa bicara sebentar?” “Oh! Vera! Ada apa?! Apa perlu bantuanku juga?” tanyanya dengan wajah berseri-seri, sedikit cengegesan dan sikapnya sangat jinak. Wajah Vera mengerut tak suka. Temannya ini memang sungguh aneh. Dengan perasaan bingung, Vera menghentikan kegiatan fotokopi lawan bicaranya. “Sini! Jelasin dulu, ada apa sebenarnya denganmu?” Risa ditarik ke sudut ruangan dekat jendela yang terbuka. Senyum Risa tak hentinya lepas dari wajahnya, sudah mirip iklan pasta gigi berjalan! “Bagaimana? Bukankah kamu bertemu dengan calon suamimu? Kamu yang begini aneh, apa mungkin gara-gara pertemuan itu?” Risa memiringkan kepalanya, masih tersenyum dalam mabuk cintanya. Kekehan puas seperti anak kecil terdengar di udara. “Aku menang lotere kali ini!” pekiknya dengan nada penuh antusias, lalu memeluk Vera dengan sangat kuat, wajah begitu bahagia. “Ri-Risa! Kamu mau membunuhku, ya? Sesak tahu!” Risa melepaskannya dan minta maaf dengan kedua bahu dikedikkan santai, bersiul-siul dengan wajah tak berdosa, kedua tangan berada di belakang punggung. Wanita bersifon biru gelap ini melirikkan matanya menatap langit-langit ruangan. “Soalnya, aku terlalu senang sampai rasanya seperti mimpi!” lanjutnya dengan senyum yang menunjukkan deretan gigi-gigi putihnya, mata melengkung indah bagaikan bulan sabit kecil di langit malam. Sangat silau sampai Vera mengerjap-ngerjapkan matanya muak. “Ya, ampun! Kamu begitu senang menang lotere. Apa sekarang kamu telah menjadi milyarder muda secara instan, alih-alih akan dijodohkan? Ayahmu tahu kamu punya hobi main hal buruk begitu? Tidak takut kena semprot darinya? Memangnya dia bersedia menerima uang kotor darimu?” Vera memucat, mengelus-elus dadanya yang sempat tertekan kuat oleh pelukan Risa sebelumnya. Rusuknya mungkin sudah ada yang patah! Risa menggeleng cepat, dengan mata terpejam khidmat sambil telunjuk kanan bergerak-gerak di depan wajah, dia menjelaskan, “ckckck! Salah besar! Siapa bilang aku ikut lotere beneran?” “Lalu, apa, dong?” “Kesialan sepertinya sudah meninggalkanku, Vera! Kyaaa!!! Aku suka sekali dengan calon suamiku ini!” jerit Risa kegirangan kecil, langsung memeluk kembali lawan bicaranya sekali lagi. Kemeja putih lengan pendeknya sampai kusut bukan main. Vera sedikit bingung, tapi begitu Risa melepas pelukannya, dia pun mulai menunjukkan sinar-sinar ketertarikan di kedua bola matanya. “Benarkah? Kamu yakin? Bukankah kamu belum mengenalnya dengan baik?” “Huh! Kemarin, kamu bilang ‘lama waktu kenalan’ itu bukan masalah? Kalau bisa merasakan getar-getar cinta sejati, langsung ke pelaminan saja, bukan?” Vera kehilangan kata-kata, terlihat gelisah. Memang benar dia berkata begitu kemarin, tapi bukankah ini terlalu mulus? Tanpa diketahui oleh Risa sendiri, Vera sudah mendengar julukan untuk temannya ini: Sang Penjaga Jodoh Orang. Entah siapa yang memberikan julukan itu kepadanya, tapi semua orang kantor tahu hal ini. Sungguh aneh Risa sendiri tidak mengetahuinya sampai sekarang. Risa mendapat julukan itu, karena semuanya tahu kisah cintanya pasti akan gagal terus, sudah mirip sebuah mini series di TV. Bahkan, mereka di kantor suka bertaruh berapa lama hubungan wanita itu akan bertahan lama. Namun, siapa sangka, kalau dia tiba-tiba akan menikah? “Kamu yakin, Risa? Dia sepertinya sesuai seleramu, ya? Kamu benar-benar bercahaya seperti lampu neon raksasa.” Vera menarik Risa yang masih saja tersenyum-senyum bahagia untuk duduk dengan baik di meja terdekat. Risa hanya mengangguk-angguk penuh kegembiraan. “Malahan dia benar-benar di atas standarku, loh!” Dengan cepat Risa mengeluarkan ponselnya, menunjukkan foto Adnan Budiraharja dari hasil chatting mereka berdua sampai begadang semalaman. Mata Vera langsung mengerjap-ngerjap tak percaya, tercengang luar biasa melihat calon suami Risa! Ponsel diraih dengan cepat, dan menggulir beberapa foto selfie pria itu. “Gila! Kamu benar-benar menang lotere, Risa!” pekik Vera dengan kedua pipi merona merah. “Apa kubilang, kan?” Risa terkekeh bangga. “Semua kesialanku selama bertahun-tahun, akhirnya terbayar lunas dengan perjodohan misterius ini!” Risa terdengar pongah, mengelus-elus bawah hidungnya dengan gaya yang begitu percaya diri. “Jadi, kamu sungguh serius dengannya?” Vera menggulir percakapan di ponsel Risa. Pria itu sepertinya sangat sopan dan baik. Rasa iri langsung menyentak hati Vera, tapi wajahnya tiba-tiba serius. “Kamu yakin dia tidak menyembunyikan apa pun darimu?” “Hah? Apa maksudmu?” Risa terbengong dengan mata membulat hebat, terbodoh mendengar pertanyaan aneh Vera. “Risa, tidak ada yang sempurna di dunia ini. Aku tahu, ehem, kalau aku tak memungkiri ada sedikit rasa iri dengan calon suamimu ini,” ungkapnya pelan, memejamkan mata salah tingkah, lalu menatap tajam pada wanita bersifon biru gelap di depannya, “dia terlalu sempurna, Risa. Bagaimana kalau dia punya hal buruk yang disembunyikannya darimu?” Risa mengulum bibirnya dengan tampang bodoh terkejut, kedua alisnya naik. ‘Hal buruk yang disembunyikan?’ batinnya dengan pikiran yang mendadak kosong. Vera langsung meraih kedua bahunya, sangat serius. “Risa! Kamu selidiki dulu pria itu! Aku tahu kalau ini adalah perjodohan bisnis, tapi kalau kamu sampai jatuh cinta padanya tanpa persiapan dan waspada, kamu mungkin akan berakhir sakit hati! Lebih para daripada yang sudah-sudah!” Risa tertawa lepas. “Eiii...! Kamu ini paranoid sekali. Adnan orang yang baik, kok! Hal buruk apa?” Ponselnya langsung direbut dari tangan Vera, sedikit menahan kesal, lalu melanjutkan dengan nada tidak senang, “teman tercintamu ini akan segera menikah setelah perjuangan bagaikan perang dunia ketiga, kenapa sekarang malah bersikap begini, sih? Lagi pula, aku sudah tanya dia, kok, seperti apa kisah cintanya, dan dia berkata tidak punya waktu memikirkan soal cinta. Sibuk kerja terus, dan kami cocok karena memang sudah waktunya menikah. Kamu senang, ya, melihatku jadi perawan tua?” Sudut bibir Risa berkedut kesal, sebelah kening bergerak-gerak dengan tatapan mendatar dingin. Vera menghela napas berat. “Bukan begitu. Aku hanya berpikir ini terlalu bagus, Risa. Coba, deh, pikir-pikir dulu sebelum benar-benar menyukainya. Kalau ada yang membuatmu tiba-tiba patah hati setelah menikah, bagaimana?” Risa terdiam. Dia juga sebenarnya memahaminya dengan baik. Tapi, sikap Adnan yang begitu gentle membuat sisi hatinya yang kesepian dengan cepat mudah menerima kehadiran pria itu. Mana tampan lagi! Semua pria yang sudah berpacaran dengannya, jika digabung menjadi satu, tidak akan bisa mengalahkan ketampanan Adnan! “Orang-orang bilang, kekecewaan mendalam datang dari harapan yang mendalam juga. Aku senang kamu akhirnya akan menikah, tapi jangan terlalu senang dengan perjodohan yang terkait bisnis, Risa.” Wajah Vera terlihat sedih dan prihatin. Risa bungkam selama sesaat, lalu menimpalinya dengan nada riang menyembunyikan kekecewaan dan kesedihan hatinya mendengar hal logis temannya itu. “Kamu ini bisa saja!” Wanita itu terkekeh sebentar, melanjutkan cepat, “jangan cemas. Adnan bukan pria seperti yang lainnya, kok. Aku percaya kepadanya.” Vera melengos melihat kebulatan tekad Risa, dan memutar bola mata malas. Senyum paksa hadir di wajah gelisah Risa menanggapi reaksi itu. *** “Kamu suka?” tanya Adnan, melihat Risa yang sedang mencoba gelang di dekatnya. “Kami ambil yang ini,” lanjutnya pada wanita di balik meja kaca sebuah toko perhiasan mewah. Dengan malu-malu, Risa menoleh ke arah pria berkemeja biru gelap di dekatnya, “tapi, ini, kan, mahal, Adnan!” Pria itu tersenyum kecil, mata sangat ramah. “10 juta rupiah itu sama sekali tidak mahal bagiku.” Syok! Risa langsung merasa seolah tertembak jantungnya dengan anak panah cinta saat melihat senyum pria itu! Benar-benar sangat dewasa dan berkelas! Juga keramahannya membuatnya memberikan aura pria berbudi luhur yang mengagumkan! Benar-benar pria idaman! “Tidak jadi saja. Aku tahu uangmu banyak, tapi kalau ini hilang, kan, gawat,” tolak Risa malu-malu, membuka gelang yang dicobanya dengan perasaan canggung. “Tolong jangan begitu, Risa. Nanti setelah menikah, aku mungkin akan memberikan sesuatu yang lebih daripada ini. Jadi, terimalah. Anggap saja hadiah pertemuan dariku karena sudah bersyukur mendapat calon istri yang sangat mengagumkan.” Adnan menghentikan Risa membuka gelang di tangan, senyumnya sangat manis dan teduh. ‘Mengagumkan? Bukankah dia yang mengagumkan?’ batin Risa terpana, merona kecil dengan pujian barusan. “Um? Kamu sedang memikirkan apa?” tanya Adnan, memajukan wajah hingga sangat dekat, membuat kedua bola mata Risa membelalak kaget. “Bu-bukan apa-apa! Ini benar-benar mahal, Adnan!” jelasnya dengan nada tawa canggung, menghindari tatapan menarik sang penjaga toko yang tersenyum-senyum manis ke arahnya. Sebagai putri dari keluarga kaya, harga itu sebenarnya tidak mahal-mahal amat. Dia juga bisa membelinya sendiri. Tapi, Risa sudah hidup sebagai rakyat biasa untuk waktu yang cukup lama, dan mengetahui nilai uang dengan sangat baik. Terlebih lagi yang berniat membeli gelang itu adalah Adnan. Hatinya jelas merasa tidak nyaman berapa pun harganya. Risa merasa seperti wanita penggali emas. Benar-benar perasaan yang tidak nyaman mengingat perusahaan keluarganya juga sudah mau jatuh bangkrut. Dia bukan tipe wanita yang suka menempel kepada pria hanya karena materi semata. Yang dia inginkan adalah cinta sejati. Kalau bisa, dia bahkan berniat menafkahi suaminya sendiri jika berhasil menemukan cinta sejatinya. Dia tidak keberatan menjadi tulang punggung keluarga, asalkan mereka saling mencintai dan percaya satu sama lain. Itu sudah cukup. Pria yang sangat setia dan rendah hati adalah impian ideal Risa. Jika harus bertukar peran selama menikah, maka dia tidak keberatan sama sekali. Cinta sejati tidak bisa diukur dengan materi, bukan? Salah satu alasan Risa tidak mau mengumbar identitasnya, karena tidak mau menarik pria jahat dan mata duitan. Dia ingin percintaan yang normal dan sederhana. Sayangnya, selama bertahun-tahun, dia belum pernah mendapatkan keinginannya tersebut. Dia malah terjerat dengan banyak pria aneh dan jahat. “Ini untukmu. Tolong jangan tolak. Kumohon,” bisik Adnan lembut, mendekatinya dengan gerakan anggun yang memikat, dan terkesan sangat menggoda bagaikan serigala liar yang akan menerkam mangsanya. Tubuh Risa menegang dengan kedekatan sang calon suami. Kaget dengan sikapnya yang tiba-tiba di luar perkiraannya. Tidakkah pria ini sebenarnya sangat agresif?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD