bc

Riana Dream's

book_age12+
51
FOLLOW
1K
READ
love-triangle
aloof
self-improved
student
bxg
highschool
another world
first love
friendship
naive
like
intro-logo
Blurb

Kehidupan di dunia adalah hal terakhir yang di inginkan oleh manusia yang gagal dalam menjalankan perannya sebagai manusia, kegagalan dalam berkomunikasi nyatanya mampu membuat orang menarik diri dari lingkungan sekitar, dan memilih berdiam diri melakukan hal yang menurutnya senang.

"Dunia mimpi memang fana, tapi lebih fana lagi ketika si pendiam mampu menyuarakan apa yang ia rasakan."

Rania, pendiam yang berusaha menjauhi segala bentuk keramaian.

chap-preview
Free preview
Riana Dan Ceritanya
*Membaca Al-Qur'an lebih Utama* Riana menatap sekeliling ruangan yang menjadi satu dengan kamarnya, ruangan yang hanya ia sendiri yang tahu, tumpukan buku warna-warni tertata rapi di dalamnya, menambah kesan bahwa yang memiliki ruangan ini adalah seorang kutu buku. Riana masih menimbang buku mana yang akan ia baca saat ini, hingga pilihannya jatuh kepada buku novel yang bersampul warna pastel dengan cover seorang wanita yang terduduk di taman. Kepada angin, yang membawaku. Sebuah karya tulis yang mengesankan baginya, bahkan ia sudah membacanya berulang kali, hingga dirinya hapal dengan setiap alur dan percakapan di dalamnya. Ia segera duduk dan merebahkan diri di sebuah ranjang yang sengaja dipasang tepat di sebelah rak buku tersebut. Ia hanyut dalam kalimat demi kalimat yang ditulis, bahkan beberapa kali ia meneteskan air mata karena menghayati segala cerita yang tertera di dalam lembaran novel tersebut. Hingga tidak terasa waktu sudah menunjukkan pukul 7 malam, Riana langsung berlari keluar dari ruangan rahasianya yang berada dibalik lemari kayu. Ia keluar dari dalam kamar menuju lantai dasar rumahnya, rumah yang besar namun hanya ia sendiri yang menghuni. Hanya ada kegelapan dan kesepian dalam rumah ini, kalimat rumahku surgaku sepertinya tidak berlaku pada diri Riana. Huft ! Ia Manarik nafas lelah, keadaan yang seperti santapan nya setiap hari, matanya mengedar ke seluruh penjuru ruangan, semua masih sama, tata letak benda, bingkai foto, bahkan benda-benda kecil sekalipun masih sama pada tempatnya. Hanya suasana saja yang berbeda, dulunya terasa sangat ramai dan juga hangat, seiring berjalannya waktu, tidak ada lagi kehangatan yang tercipta, kedua orang tuanya semakin sibuk tanpa perduli apapun tentang dirinya dan keadaannya. "Ma, Pa. Riana rindu, Riana tidak butuh uang dan fasilitas." batinnya. Ia memutuskan untuk ke dapur membuat makanan, kebetulan sedari pulang sekolah perutnya sama sekali belum terisi apa pun, Riana mendapatkan satu butir telur dari dalam kulkasnya, ia langsung tersadar bahwa ia belum belanja sama sekali, hal ini membuat tubuhnya langsung lemas, berada di keramaian lagi? Harus siap menerima tatapan banyak orang dan mendapatkan pertanyaan yang sama seperti sebelumnya, di mana dirinya merasa telah berada di planet yang salah. Rania menghela nafas lalu menggoreng telur untuk lauknya makan malam, sambil menatap kosong televisi di hadapannya, ia membayangkan betapa menyenangkannya kehidupan mereka di luar sana, mudah beradaptasi, memiliki keluarga yang harmonis, dan juga memiliki banyak teman yang menyayanginya. Akh, rasa iri merasuk kedalam hati Riana. Setetes air mata jatuh tanpa bisa ia cegah sama sekali. Ia makan dalam keadaan yang hening, hanya ada suara dentingan sendok yang berpadu dengan piring, Setelah membereskan bekas makannya, langsung saja ia menuju kamar tidurnya. Menatap kembali sekeliling ruangan lalu melangkah dengan pelan berharap esok pagi ia akan menikmati sarapan bersama kedua orang tuanya. ---*--- Sinar matahari nyatanya tidak mampu membangunkan seorang pemuda yang tengah asik bergelung dengan bantal guling dan 'pulau kapuknya', ia bahkan dengan spontan langsung melemparkan alarm yang sedang berbunyi, membuat jam mungil itu berakhir mengenaskan dengan bagian demi bagian terlepas. Menatap tirai yang sedikit memunculkan sinar matahari, membuat ia tersadar bahwa sekarang sudah sangat terlambat untuk datang ke sekolah. Helaan nafasnya terasa sangat berat, beginilah kalau tinggal di keramaian tapi merasa sendiri dan sepi, ia bahkan kesulitan untuk bangun pagi. Dan mungkin ini keterlambatan nya yang sudah kesekian kalinya. Afrizan, pemuda berumur 17 tahun hanya bisa meratapi nasib hidupnya yang kurang beruntung di bandingkan dengan anak seusianya yang lain, mungkin jika di telisik dari segi materi, ia bisa dikatakan lebih dari cukup, tapi pernahkah kalian mendengar bahwa materi bukan kebahagian yang haqiqi. Bagaimana pun ia juga masih membutuhkan kasih sayang orang tuanya. Kesehariannya hanya di isi dengan banyak masalah, baginya satu hari tanpa masalah adalah kemustahilan yang tidak di sengaja. Di mana ada masalah, maka di situ ada Afrizan. Dengan muka bantal ia bangun dari ranjang dan menatap tepat ke arah jam mungil yang sudah tergeletak tak berdaya, ia hanya menyisir rambutnya frustasi, mengapa susah sekali menghilangkan kebiasaan buruknya satu itu? Ia merasa telah menambah dosa dengan membunuh jam yang tidak bersalah setiap paginya. Ritual mandi ia lakukan dengan berleha-leha, bahkan untuk mengguyur tubuhnya dengan air saja ia harus berkompromi dengan sang air. "Lu gak dinginkan, ir? Kalau lu dingin, siap-siap aja gua panggang di oven biar jadi air mendidih." Lalu ia mengguyur tubuhnya secara perlahan, sambil bernyanyi dengan suara basa nya yang lumayan merdu. "Sayang.... Opo kue krungu, jerite ati ku, mengharap engkau kembali... Hok akh hok ehh.." begitu seterusnya sampai entah lagu keberapa akhirnya ia memilih menyudahi sesi konsernya di kamar mandi. Melihat jam dinding ia hanya bisa tertawa dengan keras, kehidupannya sangat tidak tau aturan, sang seberantakan ini, astaga, bagaimana ia bisa mendapatkan kekasih yang baik, kalau ia saja modelan tidak punya masa depan cerah sama sekali? "Hahahaha.... Gini banget hidup gue, suram." Dengan memakai seragam kusut, baju yang tidak dimasukkan, dan juga tidak memakai dasi, ia menuju tempat yang membuat ia mendapatkan perhatian, apalagi ketika sifat jahilnya muncul, maka salah satu sasaran dari kejahilan ini adalah gadis pendiam yang duduk tepat di sebelah kirinya. Riana. Mengingat nama itu saja, ia langsung bangga akan rencananya kali ini. Riana sendiri sudah berada di dalam kelas, setelah drama kesiangan untuk pertama kalinya tadi, untung saja ia spesies perempuan yang tergolong cepat dalam hal mandi, jadi ia bisa meminimalisir waktu keterlambatan nya. Sepanjang pembelajaran, Riana menatap jam dinding yang ada di atas papan tulis, ia merasa bahagia ketika menyadari Afrizan si anak tengil yang tidak memiliki perasaan itu sepertinya tidak masuk hari ini, ia memilih mengambil buku novel yang ditinggalkan kemarin di dalam lacinya, akan tetapi yang ia dapatkan justru membuat ia sangat terkejut. Sampah yang berbau seperti kumpulan makanan basi berada di dalam lacinya membuat ia secara spontan berteriak jijik. "ARGHHHHH...." "Ada apa itu ribut-ribut dibelakang?" Tanya guru yang sedang menjelaskan tadi. Riana langsung tersadar, ia menatap sekeliling kelasnya dan semua orang memandang dia dengan pandangan sinis, dan tersenyum miring, sepertinya ia tau siapa yang melakukan ini kepadanya. Akh, pemuda itu, meski ia tidak sekolah sekalipun, yang namanya pembullyan akan tetap berlangsung. "Tidak ada apa-apa, Bu. Maaf," ucap Riana pada akhirnya. Ia hanya bisa memilih diam, jika ingin waktu yang tinggal setahun ini tidak terbuang sia-sia, ia hanya Upik abu di sekolah ini, berbeda dengan kebanyakan temannya yang lain. Kejadian seperti ini bukan pertama kalinya, dan selama ini yang hobi mengerjainya hanya satu orang, Afrizan. Kring...kring...kring. Semua murid bergegas keluar tanpa menghiraukan guru yang mengajar belum keluar kelas, sang guru hanya bisa menghela nafas pelan, hal ini sudah menjadi kebiasaan siswa tidak pernah menghargai seorang guru. "Riana." Panggilan itu membuat Riana yang hendak membersihkan laci mejanya mendongak seketika. "Ya, kenapa,Bu?" "Kamu kenapa berteriak tadi?" "Emm... Tidak apa-apa, Bu, tadi saya hanya tidak fokus." Namun sang guru tidak mempercayai sama sekali, ia melihat gelagat aneh dari murid di hadapannya, tapi, yasudah lah. Anaknya juga tidak mau memberitahu. Guru itu lantas berjalan keluar meninggalkan kelas, meninggalkan Riana yang hanya bisa meratapi kelakuan-kelakuan orang lain terhadapnya. Kebanyakan dari mereka hanya ingin tahu, bukan benar-benar peduli, dan ini yang membuat Riana terkadang berfikir, apa gunanya berada di dunia ini, bukankah lebih menyenangkan berada di dalam sebuah dunia novel? Hidup tenang dengan kesempurnaan. Ia dengan telaten membersihkan semua sampah bau busuk ini, setelah semua bersih, ia berjalan menuju perpustakaan, tempat ternyaman nya untuk menenggelamkan diri dalam dunia khayalan novel. " Kepada angin yang membawamu pergi, ku rangkum cinta meski aku tau, kita telah bersegi, kamu berada pada poros tengah dan semakin lama semakin condong ke arah sebelah, lalu apalah aku? Hanya sebuah sisi yang tersudut sendiri." Sepenggal kalimat yang ia baca pertama kali ketika membuka lembaran, tapi entah mengapa, bagi Riana, kalimat ini sangat bermakna, padahal ia sangat tidak tahu mengapa ia bahkan harus merasakan sakit ketika membacanya ? Malah ia merasa seperti berada di posisi yang sama dengan gadis yang berada di novel tersebut, cinta segitiga? Dengan siapa? Ia bahkan tidak tau bagaimana perasaan orang yang jatuh cinta itu? Karena selama ini ia terlalu malas membahas masalah percintaan yang membuat ia pusing tujuh keliling. Lalu apa sekarang? Mengingat cinta pertama, ia sadar cinta pertamanya tidak seperti cinta pertama gadis lain, di mana sosok ayah yang seharusnya cinta pertama malah menjadi luka pertama untuk Riana, ayah yang sudah hampir 2 tahun tidak pernah bertemu secara langsung dengannya, hanya ada transferan uang yang ia terima rutin setiap awal bulan, dengan jumlah fantastis. "Cinta, yah? Kenapa terlihat sangat mengerikan," ucapnya pelan. Riana terkekeh sinis, pandanganya tentang cinta hanya sebuah beban, tidak ada kebahagiaan di dalamnya. "Riana, kamu jangan manja, ayah sedang berusaha memenangkan tender besar ini." Ucapan itu mampu membuat Riana hanya terpaku, apa tender lebih berharga dari pada dirinya ini? "Ayah, tapi besok ulang tahun Riana. " Mendengar itu, tubuh sang ayah terkejut sebentar, lalu menatap dirinya dengan penuh penyesalan. "Ayah janji, ayah akan cepat pulang, yah? Riana bisa kan nunggu ayah?" Riana hanya bisa mengangguk, memang apa yang bisa ia lakukan selain menerima semua keputusan sang ayah. Laki-laki itu melangkah pergi keluar rumah. Kilasan memori itu datang kembali, hari kelamnya di mulai saat ayahnya dengan tega pergi dan tidak kembali sampai detik ini, bahkan hampir dua tahun waktu berlalu, ayah dan bundanya tidak sekalipun pulang ke rumah melihat keadaan dirinya. Sampai teguran dari petugas perpustakaan menyadarkan Riana bahwa ia sudah terlambat, langsung saja ia berlari memasuki ruang kelas dengan tergesa, hingga ia mendengar seorang guru yang sudah menjelaskan materi. "Assalamualaikum, Pak. Maaf saya telat." "Kamu? Dari mana saja? Kenapa bisa terlambat, tidak tau aturan." Hati Riana rasanya sangat teremat sakit, ia tidak menyangka respon dari sang guru akan sekeras ini.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Aku ingin menikahi ibuku,Annisa

read
53.9K
bc

Satu Jam Saja

read
593.4K
bc

KILLING ME PERFECTLY ( INDONESIA )

read
89.3K
bc

PEPPERMINT

read
369.8K
bc

BILLION BUCKS SEASON 2 (COMPLETE)

read
335.4K
bc

Air Mata Maharani

read
1.4M
bc

HOT AND DANGEROUS BILLIONAIRE

read
570.6K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook