Afrizan Dan Titahnya

1592 Words
*Membaca Al-Qur'an lebih utama* Deheman seseorang dari arah belakang Riana membuat fokus kelas teralihkan ke pemuda yang sedang menenteng tasnya, pemuda itu tampak santai memasuki kelas yang dalam keadaan hening itu. "Kok diem? Eh, Assalamualaikum, Pak." "Waalaikumsalam, dari mana kamu, Afrizan? "Dari rumah, Pak. Gak mungkin saya dari kondangan." Seketika kelas langsung riuh mendengar celetukan Afrizan, beberapa orang bahkan memukul-mukul meja dengan lebay, Riana yang melihat itu meringis pelan, kenapa kelakuan kawan sekelasnya tidak benar semua? Afrizan menatap gadis di sebelahnya dengan pandangan remeh, gadis lemah yang tidak bisa melawan ketika ditindas, dan Afrizan puas dengan sifat tidak percaya diri gadis ini. "Kamu Riana, wajah kamu saja yang polos, ternyata kamu bebal juga, tidak taat peraturan." "Pak, saya juga terlambat, loh. " Kelas kembali hening, "terus, kalau kamu terlambat?" tanya pak Munar dengan nada heran. "Ya, kenapa hanya dia saja yang bapak marah?" Riana tersentak ketika ia merasa sedang dibela saat ini, sepertinya Afrizan terkantuk kepalanya tadi, sehingga bertingkah aneh seperti ini. "Riana, silahkan duduk, dan kamu Afrizan, hari ini kamu selamat." "Alhamdulillah, puji syukur kehadirat Tuhan yang maha Esa, telah memberikan saya beribu-ribu nikmat, diantaranya nikmat kesehatan dan keselamatan lolos dari malaikat maut, di pagi hari menjelang siang ini, Pak." Pak Munar tampak memijat kepalanya pening, menghadapi siswa satu seperti Afrizan, bagaikan menghadapi 100 siswa sekaligus, ia menatap para siswa yang melihatnya dengan berbagai macam pandangan, bahkan ada yang dengan terang-terangan tersenyum mengejek, ya tuhan, apa ini karma untuknya yang dulu sering mengejek guru. "Woy cupu, kerjain tugas gua." Suara itu membuat tubuh Riana lemas seketika, ini sama saja selamat dari kandang harimau masuk ke penangkaran buaya Amazzon. Ia hanya bisa mengangguk lemah tanpa perlawanan, ciri-ciri orang yang memang pantas ditindas. Riana memilih fokus terhadap penjelasan pak Munar di depan sana, beberapa kali ia menguap, sampai lemparan spidol tepat menghantam hidungnya, ia merintih sesaat lalu beridiri tegak saat pak Munar menghampirinya dengan wajah yang memerah penuh amarah. "Siswa t***l seperti kamu seharusnya tidak usah bersekolah, hanya menjadi beban saya sebagai guru seperti ini." Jleb!!! Kalimat itu, kalimat yang mampu membuat hatinya terasa tertancap belati, bagaiman bisa seorang guru mengatakan hal demikian? Mentalnya serasa terjun bebas sekarang, apa pun yang dilontarkan oleh pak Munar, dirinya terpaku dengan kalimat 'beban' bagi gurunya, kalimat yang sudah sering kali ia dengar, baik dari keluarganya, maupun dari orang lain. Apakah dirinya begitu merepotkan orang? Dirinya sudah terisak lirih, seakan meminta sang guru untuk berhwnti menghujatnya. "Pak, sopankah guru berbicara seperti itu?" Pak Munar tampak tersadar sesuatu, ia menatap gadis yang kini sudah terisak kuat dengan tubuh yang gemetar, ia hendak memegang pundak Riana, tapi yang terjadi malah Riana yang menatap dirinya dengan tajam, mata itu memancarkan kemarahan yang bahkan minat sendiri tidak mengira gadis pendiam ini akan menunjukkan reaksi yang sangat menyeramkan. "Apa hak bapak mengatakan saya adalah beban? Saya tidak begitu bodoh, saya hanya melakukan kesalahan dengan terlambat datang ke kelas bapak? Bapak tidak berhak mengatakan itu, " seru Riana dengan nada tertahan, hatinya sangat sakit sekarang, bahkan pikiran-pikiran buruk mulai merajai otaknya. Ia memutuskan untuk keluar dari kelas, tanpa peduli lagi dengan nilai kesopanan yang selama ini ia junjung tinggi. Dengan tidak menghiraukan tatapan kawan sekelasnya, ia meraih tas menuju perpustakaan tempat ternyaman nya, ia hanya berharap tidak ada penjaga perpustakaan yang biasa berpatroli. Sampai di depan perpustakaan, ia sedikit melihat ke dalam, keadaan sangat sepi, bahkan meja penjaga kosong, Riana langsung masuk dan menuju pojok perpustakaan, tempat yang langsung membuatnya menatap taman belakang sekolah, ia menelungkup kan kepalanya, tubuhnya kembali bergetar, ia masih belum bisa melupakan kalimat demi kalimat yang baru saja terlontarkan oleh pak Munar. "Kamu jangan jadi beban bagi ayah dong, Riana! " ucapan itu keras terlontar. "Riana bukan beban, Riana hanya minta waktu ayah." Terdengar helaan nafas di seberang sana, Riana sendiri sudah menggigit bibir bawahnya kuat. "Waktu apa lagi? Kamu itu banyak permintaan, kami juga kerja untuk masa depan kamu." "Hahahah... Masa depan? Masa depan yang mana?" Hening, keadaan hening seketika, hanya ada suara Riana yang terisak, demi apa pun ia tidak membutuhkan harta yang melimpah seperti ini, ia hanya membutuhkan kehangatan keluarga yang tidak lagi ia rasakan. "Berhenti menangis, ingat kata bunda, kamu jangan jadi beban, Riana." Lagi, kenangan itu muncul tanpa ia perintah, kenangan yang menyadarkan dirinya bahwa kehadiran dirinya hanya beban bagi orang, bahkan orang tuanya sendiri. Brakk!! "Berhenti nangis dan kerjain tugas gua, nangis lu gak guna." Riana mendongak dan sedikit tersentak, bagaimana laki-laki itu bisa tau ia berada di sini. "Berhenti natap gua, dan kerjakan tugas gua, kalau lu gak mau, siap-siap aja apa yang bakal gua lakuin ke elu." Riana menatap tumpukan buku yang berada di atas meja, buku-buku biologi dengan berbagai macam penerbit, laki-laki ini sedang dihukum atau sedang melakukan penelitian tentang anatomi tubuh? "Lu baca semua ini buku, terus lu resume tanpa terkecuali, dan harus beres hari ini juga, " Afrizan merasa puas setelah mengerjai gadis ini habis-habis dengan tugas yang bajibun ini, sebenarnya ia sengaja terlambat, karena dengan terlambat ia bisa membuat Riana menderita, salah satunya dengan melimpahkan hukuman yang ia terima ke gadis cupu yang sudah membaca buku pertamanya. "Lu itu pinter, tapi sayangnya gak bisa terima diri sendiri. Lu terlalu fokus sama kehidupan lu, gimana orang mau berteman sama elu." Riana terdiam sebentar, lalu melanjutkan kembali membaca dan mencatat point-poitn penting yang terdapat di buku ini. Afrizan yang melihat tidak ada tanggapan dari gadis di sebelahnya melanjutkan kembali ucapannya. "Lu itu spesies yang paling enak buat dibully, dikerjai, diejek, dihina. Coba lu berontak seperti tadi, kan seru tuh, bakal jadi judul buku ketika si bisu berbicara, hahahaha... " Riana berfikir apa yang disampaikan oleh Afrizan ada benarnya, ia sama sekali tidak mengenal dirinya sendiri, bagaimana mungkin orang lain bisa mengenalnya? Sejauh ini ia hanya mencari sesuatu yang menurutnya nyaman dan aman, ia enggan keluar dari zona nyaman yang nyatanya membuat ia berkarakter tertutup seperti ini. "Dah, gua cabut dulu, lu kerjai tugas gua sampai selesai. " Afrizan meninggalkan Riana sendiri, gadis itu tidak akan menolak jika ia yang sudah memerintahkan. Riana termenung sejenak, ia mulai menghafalkan kehidupannya seperti kehidupan yang sering ada di sebuah novel yang ia baca, terlalu sempurna sang penulis menceritakan jalan hidup tokoh-tokohnya, meskipun pada novel yang kini sedang ia tatap, di novel itu tertulis takdir seorang gadis yang hampir mirip dengan ya, namun gadis ini memiliki keberuntungan yang lebih banyak, memiliki teman yang sangat menyayangi nya, memiliki keluarga yang harmonis, cantik dan juga kaya, namun dari banyak kesempurnaan itu, hanya satu yang sama sekali tidak bisa gadis itu hilangkan. Yaitu, takdirnya yang harus menjalani cinta segitiga dan bertepuk dengan sebelah tangan, bahkan gadis tersebut ikut menjadi tim sukses yang mendukung sang pujaan hati menyatakan cinta pada gadis lain, sangat miris. Dan entah mengapa hal itu membuat seorang Riana merasakan sakit juga. Ia langsung saja melanjutkan tugas yang diberikan oleh Afrizan tadi, dengan telaten ia mencatat point-poitn penting yang akan ia rangkum menjadi satu makalah, melelahkan memang, tapi ia sedikit bersyukur, dengan tugas ini, ia sedikit bisa melupakan rasa sakitnya tadi. Bahkan ia tidak sadar kalau Afrizan masih berada di ruangan yang sama dengannya tengah menatap dirinya dalam diam. Afrizan masih memiliki hati untuk gadis pendiam itu, meski ia sering menjahili, namun untuk merusak mental, ia tidak berani. Ia tau Riana dan dirinya adalah dua orang dengan sifat yang berbeda tetapi memiliki masalah yang sama, masalah rasa sepi dan takut hidup sendiri. Jika Afrizan memutuskan untuk menerima lingkungan, sedangan Riana memilih menepi dan hidup sendirian. Dua pilihan yang berbeda, dan tidak sejalan. Afrizan melangkah keluar menemui teman-temannya. "Gimana? Udah lu kasih?" tanya pemuda berambut cepak bernama Akta, Afrizan mengangguk sebagai jawabannya. "Yaudah, kuy lah keluar, bosen liat sekolah gini-gini terus, coba sesekali bangun sekolah itu yang gedungnya bisa berubah bentuk, misal jam 10 pagi jadi bentuk nanas. " Plak!! "Oon jangan dipelihara, takutnya mendarah daging." Akta yang mendengar itu hanya bisa meringis dan mengumpati teman semata wayangnya yang sudah berjalan meninggalkan dirinya sendiri di depan pintu perpustakaan. "Afrizancok, mukul gak kira-kira." Afrizan tidak peduli, ia bahkan bersiul dengan senang hati, tanpa resah memikirkan tugas hukumannya, karena sudah ada si google berjalan. Uang dengan senang hati menerima segala perintah dari tuan raja Afrizan. Bolehkah ia tertawa jahat? Ini sangat menyenangkan. "Zan, lu gak kasihan emang lihat si Riana?" "Gue? Kasian? Mimpi lu Akta kelahiran." "Anjir, ganti nama orang sembarangan ae lu, Bambang." "Diem anak Suratno. Gak usah ribut." "Afrizancok emang lu yah, bapak gua di rumah kenapa elu bawa-bawa." Afrizan tidak menghiraukan gerutuan temannya, ia berjalan ke arah parkiran sekolah untuk mengambil sebungkus batang nikotin. "Eh, entar ketauan bego." "Masalah buat gue? " Ucapan itu seketika menguat Akta menepuk jidat, temannya ini terlalu santuy orangnya, paling tidak mau dengan hal-hal yang menurutnya ribet, apalagi kalau sejenis makhluk golongan hawa, maka Afrizan akan langsung mendepak pergi sepsies itu. Jadi jangan heran Afrizan yang sedikit tampan itu jomblo akut di mulai dari lahir. "Yaudah deh, gua minta yah, jangan pelit nanti kuburannya gak ada liangnya." "Kok serem amat? " Akta mengangkat bahunya lalu menghidupkan pematik untuk membakar batang nikotin itu. "Hidup kita suram amat dah, gimana mau dapet jodoh baik yah, Ta." "Akh, biasanya orang baik jumpa orang buruk ke kita, Bro." "Hadist dari mana itu? Setau gua itu jodoh cerminan diri." "Yah, tergantung." Afrizan sedikit melirik penasaran ke arah Akta. "Tergantung apa?" "Tergantung cerminnya itu cermin ajaib apa gak? Kalau cermin ajaib mah bisa aja, " mendengar itu, Afrizan langsung menendang kaki Akta dengan keras, itu sama saja dengan yang namanya mustahil. "Apa iya, orang baik akan berjodoh dengan orang baik? Lalu bagaiman dengan gua yang model begini."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD