- VONE'S HOUSE -

1056 Words
Kalau melihat di film-film sejarah, para aktor itu terlihat biasa saja saat menunggangi kereta kuda. Justru terkadang ada adegan di mana mereka merasa nyaman duduk di dalam kereta, dibandingkan duduk di atas punggung kuda langsung. Tetapi, sepertinya aku harus memuji keterampilan mereka dalam bersandiwara. Karena pada kenyataannya, menaiki kereta kuda itu amat sangat melelahkan dan sama sekali tidak nyaman. Tak terbayangkan kalau aku bukan berada di kereta kuda kerajaan. Kalau memakai kereta kuda milik rakyat biasa pasti akan jauh lebih parah dari ini. “Yang Mulia, kita sudah sampai di kediaman keluarga Vone.” ucap Andreas dari balik jendela kereta kuda. Terlalu lama mengeluh dalam hati membuatku tak sadar bahwa kereta sudah sampai di tujuan. Hah… pantatku akhirnya bisa lepas dari penderitaan. Aku pun segera turun dari kereta dengan dibantu oleh Andreas yang sepertinya paham akan penderitaanku. “Apa kita perlu beristirahat dulu?” tawar Andreas padaku. “Tidak. Tidak. Kita jangan buang waktu. Mungkin saja sebenarnya mereka masih ada di dalam rumah dan bersembunyi di suatu ruangan .” tolakku. “Baik, Yang Mulia.” ucap Andreas. Diiringi beberapa prajurit, kami masuk ke dalam rumah yang besarnya tidak jauh berbeda dengan istana yang kutinggali. Dari luar, rumah ini memang terlihat sangat sepi. Padahal ini adalah rumah seorang duke yang seharusnya ada banyak pekerja yang berlalu lalang. Tetapi jangankan pekerja, serangga seperti semut pun sepertinya enggan menampakkan diri. “Antarkan aku langsung ke tempat kalian menemukan lingkaran sihir. Aku ingin segera melihatnya.” perintahku. “Baik, Yang Mulia. Mohon ikuti saya.” sahut Andreas. Pria berambut merah menyala itu kemudian berjalan di depanku, tanpa menutupi arah pandangku. Rupanya tempat lingkaran sihir yang di maksud tidak begitu jauh dari pintu bangunan utama. Untuk sampai di sana, hanya perlu berbelok sebanyak dua kali, lalu masuk melalui sebuah pintu dengan ornamen pahatan bunga mawar. Di balik pintu itu, terdapat sebuah ruangan sebesar ballroom. Tetapi, bisa ditebak bahwa ruangan itu tidak digunakan untuk berdansa. Karena, sekelilingnya dipenuhi dengan rak buku setinggi dua kali tubuh manusia dewasa. Kalau dibilang perpustakaan, mungkin saja. Karena memang rak-rak itu pun buku-buku berjejeran dengan rapat tanpa cela. Lingkaran sihir yang dimaksud ada tepat di tengah ruangan itu. Tubuh Rafael yang terbiasa dengan sihir ini bisa merasakan aura yang cukup kental dari sana. “Apa kalian bisa melacak ke mana lingkaran ini tersambung?” tanyaku. “Mohon ampun, Yang Mulia. Lingkaran sihir ini cukup rumit, namun tidak ada energi sihir yang kami rasakan. Jadi, kami tidak bisa melacaknya.” jawab Andreas. Aneh. Aku yakin betul bahwa ini adalah energi sihir? Rasanya seperti ada gelombang transmisi yang berdengung di otak yang cukup kuat saat berada di sekitar ruangan ini dibandingkan di ruangan lain. “Tetapi sejak masuk ke ruangan ini, kepalaku seperti berdengung. Aku pikir…” ujarku. Mendengar perkataanku, Andreas segera berlutut. Wajahnya yang kulihat sekilas nampak ketakutan, lalu menunduk ke bawah. “Ampuni hamba, Yang Mulia. Hamba pantas mati!” serunya dengan suara keras, kemudian diikuti oleh prajurit yang lainnya dengan seruan yang sama. Aku benar-benar kaget. Tidak hanya tubuhnya yang besar dan kekar, tetapi suaranya juga cukup kencang. “Hey, berdiri lah! Memangnya kenapa kalian harus mati?” Andreas kemudian menegakkan kembali badannya. Raut wajah ketakutannya kini berganti denga rasa penasaran. “Saya pikir Anda akan marah karena merasa telah saya tipu. Tapi, kami sungguh tidak merasakan sihir apapun.” jelasnya. Memangnya si Rafael sesensitif itu? Anak buahnya beda pendapat, langsung dibilang menipu. Wah… masa pangeran putera mahkota kayak gini? Membuatku tak enak hati saja. “Kalian pikir aku siapa? Keluarga kerajaan sudah jelas memiliki sihir lebih besar dari pada kalian. Sudah sewajarnya seperti itu.” ujarku santai. Ku dekati lingkaran sihir yang digambar dengan tinta warna biru itu. Di sana terdapat simbol-simbol aneh yang belum pernah sekalipun aku lihat, tapi herannya aku bisa paham isinya. Aku ingat waktu itu Jihan pernah berkata bahwa di kerajaan yang menjadi latar game ini ada tiga bahasa yang digunakan. Ada Bahasa Dannis yang menjadi bahasa nasional, lalu ada Bahasa Gohu yang merupakan bahasa internasional, dan yang terakhir adalah bahasa sihir yang hanya digunakan untuk merapalkan mantra bagi orang yang memiliki kemampuan sihir. Mungkin ingatan Rafael tertanam di kepalaku. Karena itu, aku juga paham dengan apa yang dituliskan di lingkaran sihir ini. Tetapi, benar kata Andreas. Mantera yang dirapalkan di setiap garisnya lumayan rumit. Sebetulnya aku juga memiliki kemampuan melihat lebih jelas dibanding manusia lainnya. Karena itu jika aku berjongkok mendekat begini, sebagian huruf di sana bisa kulihat. Dan dari huruf-huruf yang terbaca itu, dapat kupastikan bahwa lingkaran ini terhubung dengan wilayah para siluman. Mungkin di sanalah Raja Siluman terkurung. Tetapi, wilayah siluman itu ada di setiap benua. Mereka menyebar dan tidak menjadi satu tempat. Ini jelas akan menjadi pencarian yang sulit. “Kerahkan mata-mata kita ke seluruh wilayah siluman. Utamakan di wilayah hutan mereka. Pastikan mereka memiliki sihir tingkat menengah sampai atas. Nanti aku sendiri yang akan melaporkan pada Baginda Raja.” perintahku pada Andreas. Sambil sedikit menundukkan kepala dan menempelkan tangan kanan di d**a kirinya Andreas menyahut, “Baik, akan saya laksanakan!” Berdasarkan cerita Jihan tentang kembalinya Eliza Y’ Vone dalam wujud pria, seharusnya ada jarak waktu yang dibutuhkan sebelum dia muncul. Walaupun begitu, kita tidak tahu kapan tepatnya Eliza kembali. Dia hanya tiba-tiba datang di hadapan Arabella sebagai Georgino Janes begitu perang dimulai. Dan perang itu mungkin tak lama lagi terjadi. . Sepulang dari kediaman keluarga Vone, aku segera menemui sang raja yang tak lain adalah ayah dari tokoh pria yang kurasuki ini. Beliau memanggilku segera setelah kepulangannya dari tugas kenegaraan. Kejadian di pesta kelulusan tadi pasti sudah didengar olehnya. Tidak mengherankan kalau nantinya dia akan marah, karena bersatunya keluarga kerajaan dan keluarga Vone adalah sesuatu yang sangat penting. Karena akan bertemu orang paling berkuasa di kerajaan ini, rasanya jadi lumayan grogi. Setiap lima langkah sekali sebelum masuk ke ruang kerjanya, aku berhenti untuk sekedar mengatur napas. Semoga saja nanti aku masih selamat. Aku segera masuk ke ruang kerja raja begitu diizinkan. Selayaknya tata krama negeri ini, aku pun memberi salam. “Ananda memberi salam kepada Sang Matahari Dannis yang agung dan bijaksana. Semoga berkah Dewi Shilla selalu menyertai.” salamku sambil menundukkan kepala dan menaruh tangan kananku di d**a kiri. Itulah cara memberi salam pada raja yang ku ketahui dari sedikit ingatan game yang tersisa di kepalaku. Panjang, lebay, dan melelahkan. Kalau aku menjadi raja sungguhan di masa mendatang, akan kuhapuskan aturan konyol ini.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD