[2] 000010: Resep Kehidupan

2153 Words
Keanehan pertama di kelas pemograman adalah tentang telur dadar sederhana. Aku meluangkan seluruh siangku menjadi mahasiswa sok rajin dan mencari tahu resep telur dadar sederhana. Menyebalkannya apa? 1001 kemungkinan untuk resep telur dadar “sederhana”. Memangnya bahan apa yang tersedia selain telur dadarnya? Apakah hanya telur saja dengan minyak? Apakah telur dengan oven? Atau apa? Sulit memilih resep telur dadar yang tepat dengan informasi yang terbatas. “Membingungkan!” keluhku kesal. Apa yang dikehendaki oleh dosen ini? “Argh! Aku tidak punya waktu untuk omong kosong ini!” Dengan ketus, aku menutup keras laptopku. Sudah sejam lebih aku membuang waktu untuk mencari tahu jawaban dari tugas konyol Pak Bayu. Jam digital di apartemenku menunjukkan angka 14:30 dan berbunyi, membuatku sadar waktunya berangkat untuk kuliah kedua hari ini. “Baiklah, kita pending urusan konyol dengan telur dadar ini,” komentarku seraya memasukkan laptopku ke tas. Aku pun mempersiapkan diri untuk kuliah kedua. Mandi sore sepertinya harus ditunda untuk sementara waktu. Kedatanganku sepuluh menit sebelum dimulainya kelas kedua hari ini. Entah kenapa, aku berdoa bahwasanya dosen pengajarnya tidak seperti Pak Bayu. Setidaknya, aku ingin kuliahku senormal mungkin, dan sewajar mungkin. “Eh, kamu kelas Pak Bayu kan?” sapa seorang mahasiswi kala aku menikmati novelku di jeda waktu menunggu dosen datang. Aku menoleh ke arah suara tersebut, dan melihat wanita yang ditunjuk Pak Bayu sebagai komting kelas di depanku. Ada seorang rekan wanita menemani wanita itu di sampingnya. “Iya,” jawabku sekenanya, kembali menatap ke arah novel yang lebih menyenangkan dari percakapan ini. Salah satu wanita menggebrak mejaku, membuatku terkejut dan menjatuhkan novel yang k*****a. “Gak sopan banget!” suara itu datang dari rekannya, “Latifah ini mau minta kontak kamu buat grup kelas!” “Hey!” balasku tak kalah ketus seraya mengambil novelku, “bisa nggak lain waktu saja!?” tanyaku kesal. Aku tidak ingin ribut dan menikmati bacaanku dulu sebelum dosen datang. “Dasar ya lo, gak ada sopannya!” ketus wanita itu. Aku tersenyum sinis. Ini akan menyebalkan. Sebaiknya aku nikmati saja. “Sudah-sudah,” lerai wanita yang aku ingat namanya Latifah, “nanti setelah kelas bisa kan?” Aku hanya menganggukkan kepala. Mereka hanya meminta kontak, dan lagipula aku juga pulang ke apartemen setelah kuliah. Mereka pun berlalu ke tempat duduk mereka, meski aku mendengar suara teman Latifah protes dengan tingkah lakuku dan sikap lembut wanita itu. Sepertinya orang itu perlu menyadari betapa berisiknya dia hingga seluruh penghuni kelas mendengar suaranya. “Assalamu’alaikum semuanya, maaf kami terlambat,” suara seorang mahasiswa membuatku melihat ke depan dan ada dua orang mahasiswa, satu pria dan satu wanita, yang sepertinya lebih tua mengambil posisi di dekat kursi dosen. Apakah ini lelucon? Aku menggelengkan kepalaku. Pakaian laboratorium berwarna biru mereka kenakan, menjelaskan mereka memang serius dan bukan orang yang bercanda sembarangan. Lagipula, buat apa mereka bercanda di kelas maba? “Sebelumnya, Prof Ayyubi tidak bisa datang hari ini sehingga kami menggantikan beliau. Beliau sedang ada conference di Denmark sehingga berhalangan hadir,” jelas sang mahasiswi. Aku mendengar beberapa suara siulan di barisan tengah ke belakang, yang tentunya memberikan balasan sorotan serius dari mahasiswa di samping mahasiswi itu. “Manis euy.” “Ayu tenan.” “Suara Mba-nya manis.” Aku mendengar pujian yang aku tahu mengarah ke catcalling itu masuk ke telingaku. Sebuah hentakan meja dari mahasiswa di meja dosen membuat semuanya kembali hening. “Kalian mahasiswa FTEI yang digadang sebagai mahasiswa terbaik bangsa! Beginikah kelakuan ‘mahasiswa terbaik bangsa’?” tanya mahasiswa itu dengan nada sarkastik. Dia jelas sangat tersinggung, dan wajahnya tampak merah padam menahan amarah. Hembusan berat dia lepaskan setelahnya. “Kami akan menjadi pengganti beliau setiap beliau tidak masuk. Sebelum kita memulai, kami akan memperkenalkan diri terlebih dahulu,” ucap mahasiswa itu seraya mengambil spidol. Dia menuliskan namanya di papan tulis. Rasyid Al Arif. Itu nama dia. Dia menatap ke arah kami. “Bisa dipanggil Syid atau Rasyid. Semester 7,” komentar Mas Syid. Dia menyerahkan spidolnya kepada rekan wanitanya. Wanita itu kemudian menuliskan namanya di papan tulis pula. Mutiara Zahrah. Itu nama wanita itu. Aku tidak tahu, tapi pemosisian mereka yang meletakkan nama di atas dan bawah persis membuatku janggal. Ah, mungkin otakku sedang berpikir aneh lagi. “Nama saya Mutiara Zahrah. Kalian bisa sapa saya Mutia atau Mutiara. Semester 7. Salam kenal,” ucap Mba Mutiara kepada kami. Memang, suara wanita ini merdu, dan penampilannya memang cantik. Bukan berarti aku tertarik, tapi itu menjelaskan kenapa beberapa mahasiswa melakukan catcalling barusan. Bukan salah Mba Mutia sih. Tetap saja catcalling salah, dan itu salah mahasiswa-mahasiswa bodoh yang sekarang akan membuat nasib satu kelas terancam. “Seperti pesan Prof Ayyubi, kami akan menjabarkan tentang kontrak kuliah terlebih dahulu. Prof Ayyubi tidak meminta komting karena beliau percaya kalian bisa mandiri, dan beliau sering mengasih kuis-” “Yaaaaaahhhhhhh!” suara reaksi satu kelas itu membuat Mas Syid memberi jeda sejenak sebelum mengalihkan pembicaraan. “Banyak yang kelas Pak Bayu ya?” tanya Mas Syid yang membuatku terkejut, begitu pula sebagian besar penghuni kelas ini. “Kok Mas tahu?” tanya seorang mahasiswi yang aku ingat namanya adalah Latifah. Mas Syid menghela napas. “Kalau nggak Pak Bayu, pasti kelas Prof Ayyubi. Mereka memang mirip soal kuis. Tapi tenang saja, Prof Ayyubi baik kok nilainya,” ucap Mas Syid mencoba memberikan rasa yakin kepada kami. Umm ... aku tidak merasa terjamin entah kenapa. “Mutiara, bisa kamu jelaskan detailnya,” komentar Mas Syid lagi. Mutiara menganggukkan kepalanya. “Jadi, untuk nilai, Prof Ayyubi memberlakukan nilai sebagai berikut,” jelas Mba Mutiara seraya menuliskan rumusan penilaian Prof Ayyubi. 60% Kuis 20% ETS 20% EAS “Jadi, kehadiran adalah sebuah elemen penting dalam kelas-kelas beliau. Berhubung beliau tidak bisa sesering dulu dalam mengajar, maka kami juga akan memberikan kuis-kuis sesuai arahan beliau. Ada yang ingin ditanyakan?” tanya Mba Mutiara. Hening sejenak. “Saya izin bertanya Mba,” suara seorang mahasiswa memecah keheningan. Aku melihat seorang pria mengangkat tangan. Pria berkaca mata itu mengoreksi kacamatanya sebelum membaca sebuah buku di tangannya. “Silahkan Dik,” jawab Mba Mutiara. Pria itu berdiri. “Izinkan saya bertanya. Nama saya Harun Kurniawan bisa dipanggil Harun. Untuk penilaian, apakah dengan struktur demikian saya bisa tidak mengikuti EAS selama nilai Kuis dan ETS sudah mencukupi untuk lolos?” tanya pria itu yang membuat satu kelas menggelengkan kepala atau tertawa kecuali aku dan dua mahasiswa yang berperan sebagai dosen itu. Aku melihat Mas Syid dan Mba Mutiara tersenyum. Aku sendiri hanya merenungkan pertanyaan itu, yang tentunya menarik secara teoritis. “Ah, Syid, mengingatkanmu dengan diskusi kita tentang kelas Rekayasa Perangkat Lunak kan?” tanya Mba Mutiara kepada temannya itu. Mas Syid menganggukkan kepala dengan senyuman terulas jelas di wajahnya. Aku mendengar beberapa wanita berbisik dengan rekan di dekat mereka. Aku jadi penasaran ada apa dengan Rekayasa Perangkat Lunak, sebuah mata kuliah yang belum aku ambil semester ini. “Terima kasih pertanyaannya, Harun. Prof Ayyubi tetap mengikuti peraturan kampus. Meskipun nilai EAS hanya 20 persen, jika tidak hadir EAS tetap akan auto E. Ini sesuai dengan panduan akademik kampus, tentunya. Selebihnya, jika kalian merasa confident dan tidak perlu EAS, bisa hadir dan langsung kumpulkan dengan jawaban kosong tapi menulis nama dan NIM,” jawab Mas Syid. “Terima kasih banyak Mba Mutiara Zahrah, Mas Rasyid Al Arif,” ucap Harun. Aku melihat pria itu dengan tatapan heran. Dia berani sekali bertanya seperti itu. Kalau yang ditanya Prof Ayyubi, apa jadinya nasib anak itu dan kelas ini? “Apa ada yang lucu dengan pertanyaan teman kalian?” tanya Mas Syid kepada kami. Hening, tidak ada yang menjawab. “Prof Ayyubi itu sekarang suka dengan mahasiswa yang benar-benar serius. Beliau tidak masalah jika kalian memiliki moral compass berbeda selama bisa beradaptasi dengan masyarakat,” komentar Mba Mutiara yang membuatku tertarik. Moral compass berbeda ya? “Baiklah. Ada pertanyaan lagi?” tanya Mba Mutiara. Hening. “Saya cukupkan kalau begitu,” tutup Mba Mutiara, “silahkan, Syid. Yang pertama bidangmu soalnya,” lanjut Mba Mutiara. Mas Syid menganggukkan kepalanya dan mengambil spidol dan penghapus. Dia membersihkan papan tulis. “Baiklah. Sebelum kita mulai, di mata kuliah Pengantar Teknologi Komputer ini ada beberapa topik yang kita bicarakan. Semuanya adalah cabang dari jurusan Teknik Komputer ini. Mungkin sudah ada yang ingat waktu ospek dulu, tapi kali ini saya akan memperkenalkan semuanya kembali.” Aku langsung mengingat apa saja yang pernah disebutkan sebagai cabang di jurusan ini. Ada yang 5 aku ingat: Internet of Things alias IOT, Game Technology alias Teknologi Permainan, Mixed Reality alias Realitas Campuran, Network and Security alias Jaringan dan Keamanan, dan terakhir Robotics alias Robotika. Semua itu pula yang disebut oleh Mas Syid. “Mulai pekan depan, kita akan mempelajari tentang Game Technology. Prof Ayyubi berasal dari bidang ini, meskipun beliau juga punya keahlian di bidang MR. Setelah GT, kita akan bicara MR, lalu IOT, lalu sekuriti, dan terakhir Robotika. Tadi itu urutan untuk kelas Prof Ayyubi.” “Untuk hari ini saya akan memperkenalkan satu hal sederhana yang menjadi pondasi dari seorang computer engineer, yaitu angka biner.” Angka biner adalah angka yang menggunakan basis dua sebagai perhitungannya. Berbeda dari angka desimal yang kita pakai dalam kehidupan sehari-hari, angka biner adalah angka yang hanya mengenal dua angka: yaitu nol (0) dan satu (1). Dua (2) yang kita kenal dalam kehidupan sehari-hari disebut sebagai sepuluh (10) dalam biner. Tiga (3) adalah sebelas (11). Empat adalah seratus (100). Lima (5) adalah seratus satu (101) dan seterusnya. Mas Syid memberikan beberapa kuis berupa menjawab berapa angka desimal dari biner yang dia berikan atau sebaliknya. Sekilas ribet, tapi sebenarnya sederhana. Untuk mengubah desimal menjadi biner, maka kita membagi bilangan itu dengan angka 2 hingga hasilnya adalah 1. Sisa bagi dari setiap pembagian akan membentuk angka biner dari belakang. Contohnya: 4/2 = 2 sisa 0, 2/2 = 1 sisa 0. Berarti, biner dari 4 adalah 1 0 0 (seratus). Untuk mengubah biner menjadi desimal, maka setiap bilangan biner kita kalikan 2 pangkat n lalu hasilnya dijumlahkan. Nilai n adalah jarak angka dengan angka terakhir. Contoh: 100, maka 1 dikali 2 pangkat 2, 0 pertama dikali 2 pangkat 1, dan 0 kedua dikali 2 pangkat 0. Hasilnya adalah 4 + 0 + 0 yang sama dengan 4. Kelas itu selesai kala waktu memasuki 17:05. Agak overtime, tapi setidaknya kuis yang diberikan cukup mudah dengan waktu yang cukup banyak. Antara dua pengganti ini terlalu baik, atau memang dosennya terlalu baik dalam instruksinya. “Sekian untuk hari ini. Ah iya, ini biasanya akan muncul kala kelas pertengahan beliau tapi beliau titipkan mulai kelas pertama untuk semester ini supaya kalian bisa mencicil mencari jawabannya. Pelajari angka nol. Waktu kalian sampai pekan keenam kalau dari beliau,” ucap Mas Syid sebelum meninggalkan kelas bersama Mba Mutiara. Angka nol ya? Kenapa suka aneh-aneh ya dosen di sini? “Masih gak lupa sama janji lo kan?” suara wanita menjengkelkan itu masuk kembali ke telingaku. Aku melihat Latifah dan temannya di dekat kursiku kala aku selesai merapikan barang-barangku. “Iya iya. Ada perlu apa?” tanyaku memutar bola mata dengan malas. Wanita itu menatapku tajam, tidak suka dengan sikapku. “Kami mau minta nomor- ah iya, maaf lupa. Aku belum memperkenalkan diri dengan kami dengan benar. Namaku Annisa Latifah dan ini temanku, Zahra Maharani,” ucap Latifah memperkenalkan diri mereka, dengan maksud mereka terpotong. Aku menganggukkan kepala. Mungkin aku juga perlu memberi sedikit penghormatan kepada mereka, terutama Latifah yang berusaha sopan. “Fah! Kok kamu so-” “Assar Nurrahman, panggil saja Assar,” komentarku datar. Wanita bernama Zahra Maharani itu tampak terkejut. “Latifah.” “Zahra.” “Ada keperluan apa?” tanyaku lagi. “Boleh minta kontakmu untuk kelas ini dan kelas pemograman?” tanya Latifah. Aku membuka ponselku dan memberikan kontak kepada mereka. Mungkin saja ada informasi nanti di grup terkait perkuliahan. “Terima kasih Assar!” ucap Latifah dengan senang. Zahra hanya menghela napas berat. “Sama-sama,” balasku datar. “Makasih,” komentar Zahra yang membuatku sedikit terkejut. “Eh? Sama-sama,” balasku senetral mungkin, namun jelas rasa terkejut itu muncul dalam kalimatku. Mereka berdua pun pergi meninggalkanku. Aku melihat para penghuni kelas itu telah hilang semua kecuali Harun. Dia tampak sibuk menulis sesuatu di laptopnya, yang aku tidak tahu kapan dia buka. Kenapa anak itu tidak pulang juga? “Nggak pulang?” tanyaku heran. “Eh!?” Sepertinya aku membuatnya terkejut. Harun tampak panik dan segera menutup laptopnya, seakan menghindari aku dari melihat apa yang dia kerjakan. Namun, aku tahu dia sebelumnya mengetik sesuatu di MS Word. “Aku mengejutkanmu? Maaf,” komentarku datar. Harun menghela napas berat. “Tidak apa-apa. Ada yang bisa saya bantu?” tanya Harun dengan nada formalnya. “Tidak ada. Aku hanya penasaran kamu sedang mengerjakan apa,” jawabku jujur. Harun merapikan barang-barangnya, tidak memberikan balasan. “Tidak penting kok pekerjaan saya. Maaf kalau saya mengganggu,” balasnya menghindar. Dia pun izin berpamitan. Sepertinya aku membuatnya tidak nyaman.  “Mungkin aku bicara lain waktu saja,” komentarku lagi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD