Pandangan

3271 Words
“Teman-teman, kalian berdua keliatan cantik banget di foto.” Bhanu memberikan foto jepretannya sontak membuat mereka melotot. “Kok bagus? Jago banget motretnya! Liat semua foto-foto lo tadi!” seru Cecil. “Pindah ke depan aja, banyak umat bondar mandir di sini, jangan nggerombol di sini.” Ajak Dharma berjalan keluar dari aula tersebut dan mereka bertemu dengan halaman Vihara. Halaman yang mereka temui saat masuk tadi. Letaknya ada di sebelah kiri, sedangkan tempat ibadah ada di sisi kanan. “Jangan pada dihapus ya, awas lo!” ancam Bhanu. Lalu keduanya melihat-lihat isi galeri kamera Bhanu. Ada decak kagum, ada gelak tawa ketika ekspresi Cecil sedang makan dan berbicara itu sangat jelek, bahkan Dharma yang meringis lebar hampir tertabrak motor tadi. Semuanya terekam oleh Bhanu. Setelah itu mereka keluar dari Vihara dan pergi menuju masjid. Bhanu mewanti-wanti pada mereka untuk tidak menghapus satupun foto selama dia shalat di dalam. Setelah mengambil wudhu dan masuk ke dalam masjid, Bhanu menunaikan shalat dhuhur sendirian. Nampak hanya ada satu orang dan itupun seorang perempuan yang duduk dipojokan dengan membaca sesuatu. Tas ransel warna coklatnya di pangku dan dia tampak menunduk. Bhanu juga tak melihat ujung rambutnya basah atau tidak. Ciri khas seseorang yang baru memiliki wudhu. Detik berikutnya dia mengalihkan pandangannya lebih dulu dan mulai dengan khusyuk beribadah. Beribadah untuk mensyukuri hari yang ia lalui hingga siang hari ini penuh dengan keberkahan melimpah. Di dalam doa-doa setelah shalatnya dia juga berterimakasih atas pengalaman yang telah dihadir turut bersama teman-teman yang ia yakini sebuah takdirnya. Ia bersyukur bisa mendapat kesempatan menikmati Es Kopi Tak Sie, Mie Kari Lam, Cakwe Gang Gloria, Kuotie yang mirip dengan Gyoza tetapi versi halal—bersyukur ada yang mau membuat kuotie versi halal juga, bersyukur atas pengetahuan barunya mengenai Chinese zodiac, ia bersyukur karena pedagang sekba dan makanan halal lainnya nampak hidup rukun bersebelahan untuk melalui kerasnya dunia bisnis mereka, bersyukur juga karena di saat dirinya merasa akan mendapat kesulitan dengan sekolah di masa depan namun Tuhan dengan baiknya mengantarkan teman yang baik, sangat baik untuknya sebagai rumah kedua selain keluarganya sendiri. Dan terakhir, syukur atas pengalamannya melihat tempat ibadah Dharma. Setelah beberapa menit termenung itu, ia beranjak keluar. “Yura, kan? Gue yakin banget itu tadi Yura.” Bhanu mendengar Cecil rusuh sampai menghentak-hentakkan kakinya. “Halu kali lo. Mana mungkin sih Yura.” Sangkal Dharma. “Lo dari tadi liatin kamera, sumpah gue yakin itu Yura. Jalannya cepet banget lagi.” “Orang tuh bisa aja sekilas dilihat mirip kayak orang lainnya juga, loh. Inget, ada 7 orang yang mukanya sama di dunia ini.” Kata Dharma membungkam Cecil. “Salah liat kali.” Cewek itu nampak cemberut seketika meragukan dirinya sendiri. “Gue salah liat ya?” “Iya, mata lo kan kadang siwer gitu, Cil.” Kemudian dia melihat Bhanu, dan berkata sambil menunjuk Cecil, “Masa gue dikira mirip artis Hongkong pas pertama kali kita ketemu. Nyatanya beda jauh, gue getok pala lo kalo niat ngehina kenapa sarkas banget sih!” omelnya pada Cecil dan mengundang ringisan panjang penuh deretan gigi putihnya. “Apaan sih? Ada apa?” Bhanu bingung. “Nggak apa-apa sih, nggak penting deh.” Dharma menyahut, “Kalo nggak penting ngapain ngeyel?” dengan tangan mengoper kamera ke sang pemilik. “Dia ketemu sama temen SMP dulu. Tapi udah lama banget sih.” “Pakai tas coklat?” Bhanu bertanya. “Hooh, tadi dia dari dalem kan?” sahut Cecil, kemudian dia sadar. “Eh, percuma juga gue tanya lo. Di dunia ini yang pakai tas coklat emang Yura doang, dan lo juga nggak ngerti Yura.” Cewek itu langsung mendapat tawa ejekan Dharma. Tanya-tanya sendiri, dibodoh-bodohi sendiri, cuma Cecilia memang. “Bodohnya jangan dibagi-bagi ya, Cil. Gue udah b**o soalnya.” Satir Bhanu membuat mereka menertawakan satu sama lain. “Mau kemana lagi nih? Baru jam 2 siang.” Potong Dharma. “Balik Petak Enam aja, nganggur banget kalo balik. Beresin tugas dulu lah, bagi tugas sekalian atau ngerjain dikit-dikit” Jawab Cecil, lagi mode rajin. “Gue mau beli siomay sekba tadi.” “Makan mulu, Cil. Doyan apa laper?” katanya namun cewek itu tidak mengindahkannya. Berjalan lurus meninggalkan 2 teman cowoknya. “Cecil mah emang doyan makan.” Sahut Dharma. “Lo tau nggak, kadang gue juga heran sama dia. Badannya tinggi dan kurus, tapi kalo ada temen cewek yang tahu dia makan banyak banget selalu disinisin.” Ceritanya. “Oh, tau gue ini. Pasti temen-temennya gampang gendut kalo makan sebanyak Cecil?” Dharma mengiyakan itu. “Padahal orang kurus yang kepengen gemuk itu juga sama tertekannya.” Bhanu melanjutkan kata-katanya sambil memotret Cecil berjalan di depan mereka. Menunjukkan sekilas ke Dharma dan cowok itu mengacungkan jempol. “Jadiin videonya, bagus tuh modelnya Cecil.” Bhanu menuruti ide Dharma. “Badannya yang bagus dengan selera makan serakus itu bikin iri cewek-cewek kali ya? Padahal, orang-orang modelan Cecil yang susah gemuk juga iri liat ada yang gampang gemuk. Lo tau kan? Kadang Cecil dicibir ketika dia ngaku stress dan bete badannya nggak gemuk-gemuk atau ketika dia menghargai dirinya dengan bilang, ‘yeay aku gemukan’ tapi naik cuma sekilo.” Bhanu mengangguk, bibirnya ikut menggantung, sedih. Dia lagi-lagi memaklumi bahwa Cecil berada di tengah-tengah orang-orang yang kebanyakan mudah gemuk. Coba dia berteman dengan Bhanu, yang juga tinggi kurus dan susah untuk gemuk meskipun sudah makan banyak sampai minum s**u berlemak sekalipun, mungkin dia tidak akan merasa tersingkirkan. “Kalo lo gimana? Tadi habis makan pangsit, makan Mie Kari Lam langsung nyikat Gado-gado Direksi lu!” Dharma terkekeh, “Gue makan banyak ya gemuk, makan dikit ya kurus.” Bhanu terjingkat menoleh dan menurunkan kameranya, “Fleksibel banget lo?!” “Oh iya dong, hidup itu harus seimbang. Ada Yin dan Yang. Balance.” Katanya dengan merapatkan kedua tangan di depan d**a lalu membungkuk layaknya memberi hormat dengan senyum kecil yang mampu menghilangkan matanya yang sipit itu. Bhanu tidak heran, ia pernah membaca soal Yin dan Yang adalah lambang keseimbangan. Beruntung sekali Dharma, dia bisa cocok di mana-mana, menjadi bagian orang-orang netral. Ketika sampai di gerobak kecil pedagang siomay sekba, Bhanu lanjut merekam Cecil. Cewek itu nampak senang mengantri dan tak sabar pesanannya datang. “Eh, Nu. Gue masih penasaran dah,” Bhanu hanya menoleh singkat, “Kenapa babi jadi haram? Kata temen gua pas SD sama SMP dulu katanya babi-babi itu punya cacing pita makanya nggak boleh makan, kalo kayak begitu yang haram cacing pita apa babi? Kan cacing pita tuh parasit pasti jelas daging inangnya nggak akan layak makan untuk siapapun.” Bhanu tertawa mencebik, geleng-geleng. “Aduh, ngomongnya asal banget temen lo, kenapa nggak tanya guru agama islam aja waktu itu?” “Ya kali lo! Mana berani gue, tapi penasaran sih.” Sahutnya dengan melambai tangan ke arah Cecil untuk cepat kemari dan menyuapkan satu suapan ke mulutnya. “Kenapa coba?” “Bukan cacing pita, lo kalo ada cacing pita juga nggak boleh makan babinya lagi.” Jawab Bhanu. “Nah iya kan? Mikir dong gue waktu itu, kalo babi ada cacing pita jelas nggak layak konsumsi!” Dharma menyahuti dengan mulut penuh potongan lontong dan sekba itu. “Mau makan daging sapi juga tetep nggak boleh.” “Itu lo tau, kan? Asal banget temen lo. Orang babi jadi haram itu karna cara penyembelihannya yang nggak sesuai kaidah kok. Disetrum.” PPFFTTTTT….. Cecil dan Dharma kaget, “APA??” Bhanu sudah mengira mereka tidak tahu asal bagaimana babi disembelih, “Ya bukan yang disetrum sampai mati gitu, loh. Alasan babi nggak boleh gue konsumsi itu karena nggak sesuai dengan kaidahnya aja. Yang mana, kalo di islam harus disembelih di leher pakai golok atau pisau yang tajem dan sekali gores sampai nyentuh nadi tapi nggak boleh sampai putus kepalanya.” Jelas panjang Bhanu dan kedua temannya hanya melongo bolak balik melihat sekba di tangan itu. “Apaan dah muka lo pada?” “Ih terusin, Bhanu!” Bhanu mengembuskan napasnya, “Pokok bukan perkara babi itu kotor karena nyatanya bebek juga suka main lumpur, atau bukan perkara babi nggak punya leher karena waktu itu gue cari organ tubuh babi, lehernya itu tebel banget jadi nggak mungkin bisa digorok sekali tebas bakalan nyampek ke nadinya.” Dharma dan Cecil menelan ludah ngeri dan memegang leher keduanya. “Terus beneran disetrum sampai mati?” Bhanu menggeleng, “Disetrum sampai pingsan habis itu bakalan dibersihin bulunya, dikuliti, terus dibelah deh.” Bhanu dipukul pelan oleh Cecil karena mengatakannya seperti seorang psikopat, tertawa dibagian ‘dibelah’. “Harus cepat dikeluarkan isi perut supaya kotoran di dalam organ nggak mengkontaminasi dagingnya. Soalnya daging babi tuh tebal dan kaya lemak banget, meskipun gue belum nyobain tapi gue sering liat di NatGeo masak-masak daging babi. Kayaknya enak sih, tapi dosa!” Dia menatap teman-temannya lama. “Karena kalo di islam dan yahudi itu penyembelihan dengan senjata tajam itu baik bagi ajaran karena nggak boleh menimbulkan rasa sakit dan takut buat hewannya. Soalnya, kalo hewan itu stress jadi kualitas dagingnya juga jelek. Kalo, masyarakat nasrani nggak setuju dengan menebas kepala merupakan tindakan yang tidak menimbulkan rasa sakit. Ini perdebatan lama sampai akhirnya tiap Negara punya kebijakannya sendiri-sendiri untuk mengatur. Tau kan, ada istilah makanan halal dan makanan kosher?” “Oh, gitu!” sahut Cecil, “Kasian yah babi.” “Lebih kasian kalo lo nggak ngehabisin dia. Kodratnya begitu.” Katanya. “Jadi ke Petak Enam nggak sih? Kok gue kayak ngasih kuliah di karyawisata anak SD sih? Ngomong di tengah jalan!” Bhanu kesal. Dharma jalan lebih dulu, menuntut kembali ke Petak Enam, menerobos ke kerumunan orang-orang dan pedagang yang menyesaki jalan “Masuk akal sih penjelasan lo tadi, Nu.” “Tapi, Ma, kalo Buddha bikkunya nggak makan daging juga?” “Ada syaratnya sih, ada yang nggak boleh makan daging sama sekali tapi ada yang boleh dengan beberapa syarat. Kayak, Bikku nggak mendengar daging itu dipersembahkan untuknya, nggak mengetahui itu disembelih untuknya, dan nggak mencurigai daging itu disembelih untuknya, baru boleh dimakan. Jadi paling aman, ya beli aja dong, ngapain motong daging sendiri?” “Oh ya bener-bener. Ngerepotin ya?” timpal Bhanu, seru sekali bertukar pikiran seperti ini. “Eh, tapi lo ada hari raya Qurban, kan?” celetuk Cecil. “Ngapain gue repot bantuin? Mending habis shalat mah pulang, bobok di rumah. Ngeliat sapi dibantai tuh serem kali, belum tiba-tiba dia mendadak stress jadi suka lepas terus lari-lari. Nggak serem kalo lo jadi gue tiba-tiba sapinya lepas?” ia menggebu-gebu dan berkacak pinggang. “Serem gila, gue liat video viral sapi lepas aja ngeri. Apalagi biasanya di berita sering muncul.” Cecil ikut merinding kalau benar-benar ada di tempat kejadian, untuk rumahnya di perumahan dan jauh dari lapangan atau masjid jadi aman. “Tapi Dharma masih nyimpenin video sapi lepas nggak sih?” Dharma ketawa, “Ada di story gue. Sumpah hiburan banget liat sapi lepas! Krincing-krincing suara loncengnya terus pada panik teriak-teriak. Hahah!” “Kadang ada yang dikejer juga!” Ketiganya tertawa terbahak-bahak saat Dharma menunjukkan video sapi lepas dan mengejar anak-anak. Ada perasaan iba namun tak kuasa menahan tawa. “Serem, mending gue di rumah. Tau-tau ada sate sama gulai di meja makan. Tinggal makan, tuh mana repot-repot.” Cecil kemudian teringat, “Eh iya, gue kadang suka banget pas hari raya Qurban tuh. Nggak tau yah, apa semua udah bener-bener kebagi ke umat muslim yang membutuhkan, tapi suatu hari gue pernah dapet daging kambing sama sapi dari tetangga gue.” “Lah, kapan lo kok nggak pernah cerita?” Bhanu menandai suara Dharma yang meninggi ketika dia tidak tahu sesuatu tentang kehidupan Cecil, “Pernah, yang gue cerita pesta sate di rumah. Mana sih lo?!” “Oh, itu daging Qurban? Enak bener.” “Besok kalo ada daging Qurban di rumah, dateng aja deh. Gue yakin mama papa biasanya dapet banyak banget dari kantor sama Masjid. Sampai dibagiin lagi biasanya ke orang-orang.” “MANTAP!” sahut kedua teman-temannya.                                                                                               ...  Ketika hari sudah mulai sore, ketiganya harus berpisah dan istirahat karena hampir seharian jalan-jalan keliling Glodok lalu makan sampai kenyang. Bahkan ketika sudah menghabiskan siomay sekba tadi, Cecil masih beli makan sesampainya di Gedung Chandra itu. Bhanu mengakui selera makan Cecil benar-benar gila untuk ukuran cewek. Sesampainya di rumah, ada mama dan papa sedang duduk santai di meja makan dan fokus dengan buku-buku mereka. Papa Bhanu merupakan seorang manajer sebuah Bank yang dimutasi dari Bandung jauh satu keluarga benar-benar pindah ke Jakarta dan kalau sang Mama adalah Dosen Biologi yang juga baru pindah setelah mendapatkan lowongan pekerjaan di salah satu Universitas Swasta. “Ma, Pa, Bhanu bawain kuotie nih.” Sapanya lalu membuka bungkus makanannya. “Daging ayam kok.” “Kamu beneran ke Glodok, Nu?” tanya papa Danar tidak percaya. “Sama temen?” cibirnya dengan bercanda. “Iyalah, Bhanu sekarang nggak kuper ya! Kalo ini beneran temen yang baik banget.” Mama Ratna kembali dengan 3 pasang sumpit dan piring kecil ketiganya, “Woah, kok kayaknya seru banget ya kerja kelompoknya. Ini kerja kelompok apa main kelompok?” “Dua-duanya Ma.” Lalu membuka kameranya, “Liat deh Pa, kita kapan-kapan ke sini dong.” Papa Danar dan Mama Ratna kagum melihat hasil jepretan Bhanu yang bagus itu. Sangat cantik dan sesuai proporsinya. Sampai Ratna yakin jika sang anak ini memiliki kecerdasan spasial. Makanya tidak terlalu menuntut nilai-nilai akademik Bhanu, karena anak dengan kecerdasan spasial sangat mahir bermain dengan ide-ide imajinasi, visual, bangun, dan ruang di sekitarnya. “Kamu ke Vihara?” “Hehe, maafin, Ma.” Bhanu menunduk. “Tapi tadi Bhanu shalat kok. Nggak ketinggalan. Tenang aja.” “Yeu, bukan gitunya, Bhanu. Maksud mama, kok boleh masuk?” “Nggak tau. Mungkin Bhanu mirip mama yang sipit makanya sering dikira orang china juga.” “Cino jowo!” Papa Danar tertawa. Bhanu mengiyakan hal itu. “Padahal mama cuma sipit, loh.” Bhanu beranjak dari duduknya, “Habisin ya, ma. Kotak satu buat Kak Bhina. Aku mau mandi terus shalat.” “JANGAN TIDUR!” peringat papa Danar. “Iyaaaaa.” Soalnya beliau paham kalau Bhanu itu suka tidur menjelang Magrib.                                                                                            ...  Sehabis makan malam, Bhanu cepat-cepat masuk kamar. Berkutat dengan komputer dan memindahkan semua video-video di dalam memori itu. Ia membuat folder baru dan diberi nama My Adventure – Glodok. Seolah berharap akan ada banyak petualangan-petualangan lain yang bisa dia rasakan di masa depan bersama teman-temannya itu. Setelah itu, dia membuka software khusus untuk mengedit video. Sesuai perjanjian tadi sore yaitu Bhanu yang membuat video, Dharma membuat file powerpoint untuk presentasi, kemudian Cecil yang mengerjakan artikel ringkasannya. Bhanu berkutat mengedit video hingga malam, ia tenggelam dengan cuplikan-cuplikan yang diambilnya tadi. Memotong dan menggabungkan, memberi efek pada video dan slide transisi antara dua video berbeda, dan tak lupa juga dia mengatur warna tampilan video. Ah, Bhanu kalau disuruh mengerjakan 10 soal matematika atau mengedit video dan foto, cowok itu akan dengan senang hari memilik mengedit video saja. Ia sangat suka bermain dengan warna-warna seperti ini, bermain dengan gambar dan bentuk-bentuk. Tidak heran, jika menonton video adalah cara belajar paling ampuh untuknya, lebih menarik daripada membaca buku. Pada pukul 10 pintunya diketuk, ia menemukan mama Ratna di depan pintu. “Ada apa, Ma?” “Belum selesai?” beliau masuk sambil membawa toples Tupperware. “Ini ada keripik pisang. Buat camilan.” Lalu duduk melihat hasil pekerjaan sang anak. “Jangan malem-malem tidurnya, besok upacara senin, kan?” “Iya, bentar lagi selesai kok, Ma. Tinggal kasih preset yang pas sama bikin opening dan closingnya.” “Oh.” Namun setelah itu beliau malah tiduran di kasur anak bungsunya itu. “Mama denger di sana banyak makanan non-halal ya, Nu?” “Iya, tadi aku lihat Sekba, tempat makan daging ular, bulus, aduh serem, ma.” Dia geleng-geleng, matanya tak melihat sang mama kala berbicara. Fokus soalnya ingin cepat-cepat selesai. “Tapi banyak halalnya kok, kapan-kapan mama harus coba mie Kari Lam, aku suka banget.” Mama Ratna ikut tersenyum. “Iya, papa kamu tadi langsung penasaran cari tempat-tempat yang kamu sebutin tadi. Kapan-kapan kita ke sana deh, makan keluarga. Udah lama banget nggak keluar bareng.” “Ya kak Bhina tuh sibuk kuliah.” Cibirnya pada sang kakak yang bahkan pukul 10 malam saja belum pulang dari Kampus. Alasannya pasti ada rapat. “Emang mahasiswa tuh wajib rapat-rapat gitu? Kayak orang DPR aja kebanyakan rapat, apa jangan-jangan main lagi?” “Aduh, nyinyir banget sih kamu!” Mama Ratna geli mendengar kejulidan itu, “Besok kamu juga paham sendiri. Kalo kuliah itu miniatur buat bermasyarakat, Nu.” “Aduh, apalagi bermasyarakat itu. Emang dengan jalan-jalan di pasar terus ngobrol sama orang-orangnya juga dibilang bermasyarakat?” Sang mama menghela napasnya, gemas jika sang anak sudah sangat kepo bahkan kritis menanggapi perkataannya, “Bermasyarakat itu kamu terjun membantu sedikit meringankan permasalahan-permasalahan kecil di sana, bisa diselesaikan dengan acara-acara yang menarik minat orang, atau gerakan lain seperti pemberdayaan ke Desa, bakti sosial, atau aksi menyuarakan pendapat, Nu.” “Oh, demo?!” “Tapi nggak anarkis ya, awas kamu ketahuan mama ikut-ikutan tawuran kalo ada demo.” Kata mama langsung dijawab Bhanu. “Ma, aku nulis tugas tentang laporan teks observasi aja belum becus malah ikut tawuran. Malu sama rapot, Ma. Bhanu masih mau punya masa depan kok, bukan saingan siapa paling keren di sekolah.” Mama Ratna merubah posisinya tidur miring menghadap Bhanu, “Namanya juga ABG, anak baru gede alias emosinya labil. Kamu kalo mama lihat belum labil berarti belum ABG.” Goda beliau. “Mama, stop godain Bhanu deh. Nggak mempan kalo sama mama. Bhanu labilnya sama temen.” “Nggak seru kamu, Nu!” Mama Ratna mencubit paha Bhanu. “Biarin.” Ia tertawa berhasil membalikkan keadaan. “Mama pergi dong, aku nggak selesai-selesai kalo mama di sini terus.” Mama Ratna beranjak, lalu mengusap rambut dan mengecup puncak kepala putra bungsu yang masih dia perlakukan layaknya anak kecil itu sebab Bhanu juga tidak menolak setiap cinta dari orang-orang sekitarnya. “Jangan tidur malam-malam, pr buat besok sudah beres semua kan?” “Sudah, tuh papannya udah kecentang semua.” Beliau melihat ke arah papan kecil, sebuah papan penanda tugas-tugas Bhanu supaya tidak ada yang tertinggal. Papan yang rutin Mama Ratna ikut periksa karena tidak mau Bhanu mendapat masalah di sekolah, terutama perkara nilai. “Oke, mama tidur dulu, ya.” Bhanu hanya berdeham saja, lalu melanjutkan pekerjaannya sambil makan keripik pisang gurih itu. Bagian tersulit memang bagian isi liputannya, kalau closing dan opening lebih mudah. Bhanu hanya meletakkan beberapa foto kemudian dipadukan dengan animasi transisi, tulisan, selipan video-video lucu wajah Cecil, Dharma, dan dirinya sendiri. Berkutat dalam waktu satu jam, sebelum tiba-tiba ada ide jahil muncul di benaknya. Yaitu menyelipkan video-video gagal seperti Cecil yang berbicara berbelit sampai ia meludah untuk melancarkan pengucapannya sendiri, video Bhanu nampak kucel duduk di pinggir jalan dengan kucing kampung hitam, atau Dharma yang hampir tertabrak motor, dan serangkaian video-video gagal lainnya sebagai behind the scenenya. Karena ide jahilnya itu, dia baru tidur pukul 12 malam. Bhanu tidak pernah merasa mengerjakan tugas bisa semenyenangkan ini. Dia bisa belajar banyak hal hari ini. Dia bisa menghabiskan waktu dengan bermain dan bertukar pengalaman. Bahkan mengabadikannya ke dalam video tugas yang semoga saja Bu Sri akan dengan senang hati memberi mereka nilai yang sempurna. Namun, pikirannya tiba-tiba teringat sosok yang Cecil dan Dharma bicarakan tadi. Yura, cewek yang duduk dipojok dengan memangku tasnya. Bhanu baru sadar, kalau dia tadi sempat bertemu pandang dengan cewek itu sebelum akhirnya dia berbalik untuk menunaikan shalat dhuhur. Lama-lama, dia merasa sangat buang-buang waktu melamunkan sosok yang dengan jelas tidak akan bertemu dengannya lagi. Namun, Bhanu akui jika sosok bernama Yura tadi itu cantik dan manis. Dia menarik selimutnya, “Jadi namanya Yura, ya?”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD