Petualangan

3175 Words
Akhir pekan ini mereka janji akan kerja—bermain—kelompok di Glodok. Bhanu dari rumahnya di Tebet meluncur sendirian dengan menaiki ojek online yang dia order. Naik motor sambil tengok kanan dan kiri, merekam perjalanannya dengan kedua mata bermanik coklat gelap lalu menyimpannya dengan rapat di dalam ingatannya. Merasakan terik matahari, sahutan klakson-klakson, bahkan hembusan angin panas khas kota metropolitan yang menyibak ujung kemeja flannel coklatnya yang sengaja dijadikan sebagai outer kali ini. Ikut melengkapi detil-detil ceritanya hari ini. Suatu hari, dia akan mengingat hari ini. Di mana dengan converse buluk kesayangannya, kemeja favoritenya, kamera dengan baterai yang penuh, dan tentunya uang saku yang dia siapkan untuk beli semua hal yang mau dibelinya, akan siap membuat sebuah ceritanya yang menyenangkan. Sebuah lembaran baru bersama temannya. Teman yang benar-benar teman. Sampai-sampai tadi kedua orang tuanya kaget ketika Bhanu bilang kalau dia mau keluar bersama temannya sambil belajar kelompok. Bhanu yang dulunya susah untuk berteman, akhirnya sekarang mau dan bisa berteman. Itu sedikit melegakan perasaan orangtuanya sebab mereka juga yang paling tahu jika Bhanu tipikal anak yang susah untuk berteman. Cowok itu turun di depan Pancoran Chinatown Point Glodok, dan menunggu Dharma atau Cecil datang bersama karena jalurnya yang searah. Bhanu melihat begitu ramainya daerah ini. Karena Glodok adalah pasar, sebuah pusat perdagangan dulunya, wajar jika sangat ramai dan begitu padat. Kata Dharma, dia mau mengajak yang lainnya keliling kemana saja. Jadi, mereka datang ke sini pagi menjelang siang. Telepon Bhanu berdering, tertera nama Cecil di layar, “Halo, kenapa Cil?” “Lo udah sampai? Kita mau sampai nih.” “Udah kok, lagi di trotoar Chinatown Pointnya.” “Oh, oke, jangan kemana-mana ya, kayaknya lagi rame banget ini.” Setelah itu sambungan terputus. Bhanu meletakkan ponselnya ke dalam saku dengan melihat ke sekeliling. Di seberang sana terdapat jembatan kecil pembatas jalan yang dipenuhi pepohonan yang lebih dingin dari pada tempatnya dia berdiri. Akhirnya, dia berpindah. Dari tempatnya berdiri, dia jauh lebih dekat dengan pemandangan itu. Pemandangan orang-orang sedang lalu lalang membawa barang-barang belanjaan mereka. Membawa barang yang hendak dijual, bahkan pengamen penari barongshai yang tiba-tiba menghampirinya yang ingin mempersembahkan tarian jika Bhanu memberinya uang. Bhanu mengacungkan kameranya sambil tersenyum, lalu si pengamen mengangguk. Cowok itu membayar uang sebesar 20 ribu rupiah—harapnya semoga bisa membantu untuk membeli makan lalu mulai memotret si pengamen itu kala sedang bergaya dengan kostumnya yang berwarna oren dengan garis-garis lain berwarna silver. Hanya beberapa jepretan saja, sambil menunggu Cecil dan Dharma datang, Bhanu nampak puas dengan tangkapan dan kerja keras modelnya yang dengan natural namun elok bergaya mengangkat topeng serta sedikit menari-nari kecil demi uang. Bhanu tersenyum puas, foto yang diambilnya tidak hanya indah dengan fokusnya tertuju pada objek namun mengantarkan getaran kuat di dalam sorot seseorang akan melakukan apa saja untuk mendapatkan uang, menyambung hidup, melalui hari demi hari dengan susah payahnya, setiap senyum dan tawa mereka muncul untuk menutupi tangisan dalam diam di waktu-waktu senggang dan di kala sepi. Bhanu mengangguk singkat bahwa hari ini saja, baru beberapa menit saja di Glodok, petualangannya serasa baru dimulai. Hanya dengan bertemu seorang pengamen barongshai tadi yang sudah pergi mencari peruntungan lainnya setelah melempar senyum hangat kepadanya. Kemudian tak berselang lama, Cecil dan Dharma datang menghampirinya. Cewek itu terlihat memakai topi dengan setelan kaos, cardigan warna putih tulang dan celana denim, nampak santai dengan slingbag hitam kecil bermotif bunga daisy sedangkan Dharma dengan nyaman memakai hoodie dengan warna senada dan bawahan denim hitam. Bhanu mengeryit melihat baju mereka hari ini yang terkesan sama, “Janjian?” Keduanya menggeleng cepat dan kompak. “Mau kemana ini?” tanya Bhanu memotret keduanya sekilas. Lucu, pakaian mereka lucu bagi Bhanu. Kayak anak pacaran, batinnya. “Makan dulu apa langsung jalan nih? Jam 10 Mie Kari Lam udah buka kok. Sekalian mampir Es Kopi Tak Kie, nongkrong bentar deh, script Cecil ketinggalan masa!” “Dih, masih inget kok gue nulis apaan!” belanya pada diri sendiri. “Kan, udah pasti kemarin kita mau ngeliput apaan.” “Yah, malah berantem. Catatan yang waktu itu lo bawa nggak, Cil?” Bhanu melerai. “Inget dong, pokok ambil dokumentasi dulu ke petak enam dulu, terus masuk gang kalimati buat ke Vihara, kan? Terus muter-muter baru cari makanan legendaris buat tugasnya.” “Untung aja inget!” Dharma kesal. “Biasanya lupa.” Cowok itu mencubit tangan Cecil sampai cewek itu mengaduh. “Jalan dulu beneran? Pengen ngopi padahal.” Dharma mengosok-gosok lehernya dan mendapat tatapan sinis Cecil. “Ya udah, ngopi aja dulu.” “Tapi, lo nggak boleh pesan makanannya ya? Lo minum kopinya aja. Soalnya di sana makanannya non-halal, Nu.” Peringat Dharma mengajak mereka jalan ke Gang Gloria, yang berada lurus dengan Pancoran Chinatown Point tadi, sehingga mereka harus kembali menyebrang kan berjalan menuju lokasi kedai kopi yang sudah sangat terkenal di Glodok itu. “Nanti lo gue traktir cakwe deket sana nanti.” Sahutnya berjalan berseberangan dengan Bhanu. Meskipun berbeda latar belakang keyakinan, Dharma terlihat sangat menjaga Bhanu. Ia juga merasa aman dan benar-benar percaya dengan Dharma. Sosoknya sangat menenangkan dan selalu welas asih kepada lainnya. Kalau Cecil, cewek itu lebih centil dan bersemangat, sedari tadi saja dia menyebut sekba-sekba-sekba. Entahlah apa itu, Bhanu sangat asing dengan itu. Setelah melalui gang-gang kecil dan agak jauh dari tempat mereka bertemu tadi, akhirnya sampai juga ketiganya di kedai kopi legendaris itu. Tempatnya sangat ramai, namun terlihat seperti rumahan biasa. Terkesan jadul dengan aksara china yang begitu melekat semakin menguatkan kesan oriental nan autentik sehingga wajar bila disebut kedai kopi legendaris. Ketiganya memesan 3 minuman es kopi s**u. Dan satu porsi pangsit yang Dharma ingin makan dari tadi. “Pagi itu enak ngopi dulu.” “Siang ya, tolong!” cibir Cecil. “Lo pada kenapa dah? Ribut mulu dateng-dateng.” Bhanu menengahi. “PMS, Cil?” biasanya kan cewek suka sensitif kalau sudah marah-marah. Bhanu tahu itu gara-gara mama sering begitu di rumah. Itupun dia dikasih tahu papa, katanya cewek PMS katanya tidak boleh disenggol, kalau disenggol bisa diterkam. “Dia ngeburu-buru gue, sampai script ketinggalan tapi nyalahin gue!” “Oke, I’m sorry, Cecilia.” Katanya menyebut nama itu dengan benar, bacaannya Sesilia, pakai S bukan C seperti biasanya. “Apa perlu gue sujud sekarang.” Goda Dharma. “Lebay!” ia masih kesal saat teringat Dharma mencibirnya habis-habisan tadi di motor. “Ngomong otw tuh pas lo keluar dari rumah lo bukan udah kurang 5 km dari rumah gue!” Bhanu tertawa hampir menyembur, “Aneh dah lo!” “Lupa gue!” mengunyah pangsit dengan wajah oriental tengilnya. “Keburu kepengen makan ini nih.” Menunjuk pangsit yang sudah mau habis, “Lama banget nggak main ke sini. Lo harus jalan-jalan dan coba beberapa makanan di sini, Nu. Banyak yang halal kok, nggak melulu soal babi. Ya, meskipun lo harus masuk ke gang-gang kecil sih. Tapi, makanan di Glodok tuh terkenal legendaris. Kayak kedai kopi ini nih. Dari lama banget udah generasi ke generasi dan rasanya belum berubah.” “Maklum, dia nongkrongnya deket-deket sini juga.” Tunjuk Cecil menyomot pangsit. “Deket Vihara juga. Ibadah atau sekalian nemenin emak gue belanja.” Sahutnya, “Enak nggak kopinya?” “Enak, nggak kemanisan kok. Suasananya juga suka. Klasik banget. Gue suka ke tempat yang rada jadul-jadul gitu.” Kata Bhanu menenggak es kopinya hampir separuh gelas, kopi dan es perpaduan menyegarkan. “Welcome to the club, Bhanu. Kita juga suka kadang-kadang ngejamming old song, old building, sampai old stuff kadang-kadang. Haha.” Bhanu kaget, bukannya kebanyakan anak-anak muda Jakarta lebih suka main ke mall ya? Selera mereka berdua aneh tapi cocok dengan Bhanu. “Kalo begitu, lo harus dateng main ke Bandung kapan-kapan. The Paris van Java.” “Ah iya, lo pindahan dari sana. Lo orang sunda asli dong?” tanya Cecil. “Enggak, bokap nyokap asli jawa sih, numpang lahir doang gue.” “Kirain, niat mau belajar bahasa sunda padahal.” Celetuk Dharma. “Nyindir gue lu? Orang rumah mana ada yang bisa.” Cowok itu tertawa. “Pernah tuh, temen-temen SD gue ngobrol pakai bahasa sunda. Mana gue tahu, orang gue baca tulis aja belum bener, mau belajar bahasa inggris aja nangis apalagi nambah bahasa sunda. Ampun!” ketiganya tertawa. “Iyalah, mereka nggak tau lo kenapa, Nu.” Kata Cecil. “Oh iya, orang tua lo waktu itu gimana?” “Cil…” tegur Dharma agar tidak terlalu jauh menanyakan itu. “Nggak apa-apa kok, waktu itu syok parah sih. Gue juga mogok sekolah karena nggak kuat dikatain tulisan jelek—tapi sekarang udah biasa aja, bodoh sampai aneh karena gue suka ngelamun gitu. Kadang mereka juga ganggu sih, bete aja jadi males sekolah. Gue sampai dibawa ke psikolog waktu itu ngiranya gue trauma sesuatu. Eh ketemunya malah disleksia.” “Terus lo UN gimana?” Dharma justru ikut-ikut kepo. “Terapi nulis, dan banyakin les privat yang gurunya mau bacain buku buat gue. Aduh, pokok nanti pas Ujian Akhir Semester, gue bisa kayak mayat hidup. Stress capek.” Jedanya. “Mana bahasa asing yang kita pelajari itu jerman. Mules bangeeet!” “Gue juga pesimis sih sama jerman, ada temennya, Nu.” Sahutnya. “Contek Cecil aja.” “Huuu, bisa-bisanya lo. Kasih jajan jangan lupa kalo udah dibantuin.” “Ide dibayar ide ya, Cil? Nanti gue kasih ide buat dongkrak nilai tugas-tugas kelompok deh?!” tawar Bhanu. “Nggak ngenyangin gue!” bentaknya. Dharma menatap kedua orang itu, “Mumpung lagi di Gang Gloria, mending kita nyari makan sekalian aja. Terus jalan-jalan muter ke petak enam kelar kita mampir makan cakwe sama mie Kari Lam aja, deket sini soalnya.” “Gue ngikut aja dah, jadi kang foto hari ini.” Bhanu meringis senang karena bebas dari tugas mengumpulkan data dan menulis ulasan nanti karena dia yang akan membuat video dokumentasi ala-ala vlog full of cinematic shot pokoknya. Semalam sudah ngebut belajar dari Bhina, cara ambil footage yang keren.   ---------------------------------------------------------------------------------------------------------   Setelah minum dan nongkrong sebentar di Es Kopi Tak Kie, mereka langsung pergi ke Mie Kari Lam yang mana tempat tersebut juga dekat dengan Cakwe Medan Gang Gloria. Makan bertiga dengan pesan berbagai makanan lalu mereka berbagi porsi sambil berputar-putar mengobrolkan topik-topik seputar sekolah seperti cerita tentang persaingan Cecil dan Karina, atau kehidupan penuh kedamaian Dharma yang sama sekali tidak masalah jika Cecil terus-terusan membuat onar dan berkata pedas kepada setiap bentuk penindasan di sekitarnya. Bhanu mendengarkan dengan seksama meskipun kemudian yang banyak berbicara adalah Cecil, Dharma dan Bhanu memilih mendengarkan ketika gadis itu mulai menjulid tentang kakak-kakak kelas yang menurutnya berlagak berlebihan. Suasana tempat mereka saat ini makan begitu terbuka dan masih melekat dengan kesan jadulnya. Bhanu hanya membatin, mungkin Glodok ini adalah tempat untukmu melihat masa lalu ketika hidup di masa sekarang. Apalagi, di sini lebih banyak di d******i dengan orang-orang tua yang sedang berbincang asik dengan rekan-rekannya sambil minum, makan, dan bermain permainan. Seketika jiwanya ikut menua merasakan suasana di sini. Tahukah, rasanya seperti menikmati rasa lelah. Hanya duduk diam melihat orang-orang yang sibuk. Bahkan, ketika Cecil dan Dharma sedang berbincang dengan pemilik warung-warung di sana untuk mendapat informasi lebih, Bhanu sempat memotret dan merekam suasana tempat tersebut. Menangkap momen-momen ikon tak lekang waktu, sederhana dan tua, namun masih cocok untuk ada di masa sekarang. Suasana Gang Gloria itu sangat padat, banyak pedagang makanan. Yang membuat Bhanu agak ngeri ketika dia sering melihat bektim sekba. Ketika Cecil menjawabnya, Bhanu sampai membekap mulutnya sendiri. Lalu kembali ke pedagang tersebut dan menyuruh Dharma sedikit bertanya-tanya sedangkan dia merekam. “Jeroan babi rebus, mas.” Jawab sang pedagang. Bhanu agak begidik karena untuk pertama kalinya dia melihat hidangan ini. Pengalaman luar biasa dan menyenangkan, bahkan di sepanjang jalan ini banyak juga makanan halal, tetapi banyak juga makanan yang menjadi pantangan bagi dirinya. Bhanu mendadak kagum. Semua orang bisa menemukan makanan apapun di sini. Seperti, bisa hidup dan tumbuh berdampingan seolah-olah demi uang, demi kejayaan, demi memuaskan hati dan perut pengunjung tanpa bersahutan bahkan menghakimi. Mana mungkin makanan bisa menghakimi, tetapi pemiliknya bisa. Tetapi, mereka bukan orang tak bermoral yang bisa melakukan itu. Hidup lama secara berdampingan dengan rapatnya tanpa ada pertentangan ketika apa yang mereka miliki jauh berbeda. Mereka semua akan terlihat sama di mata pengunjung, mereka hanya ingin berjualan. Lantas, seperti kejadian beberapa waktu lalu ketika Ali mencibirnya hingga menyinggung Cecil, mengapa cowok itu begitu menyisihkan Cecil? Kenapa Ali mengatakan hal seperti itu pada Bhanu? Mengapa Ali dan Cecil tidak bisa seperti Sekba dan makanan halal lainnya di sini yang hidup berdampingan seolah-olah hanya ingin melalui hidup dengan damai dan indahnya? Bhanu tertawa geli ketika menyadari arogansi mayoritas agamanya sendiri. Mungkin begitulah, menumbuhkan kebencian sejak dini hanya akan melahirkan generasi penuh kebencian juga. Intoleransi, hasilnya. Ketiganya berjalan cukup lama dan jauh hingga sampai ke petak enam. Suasananya lebih modern, sebuah foodcourt besar yang didatangi oleh sebagian besar anak-anak muda. Makanannya juga tidak sejadul yang Bhanu, Dharma, dan Cecil temui tadi. Lebih modern lengkap dengan lampion-lampion merah yang menggantung di langit-langit lengkap dengan ornamen-ornamen china dan banyak patung ayam api di situ. Dengan begitu, terasa lengkap rasanya berjalan-jalan di Glodok bahkan di siang hari. Potret pecinan jaman dulu dan jaman sekarang. Bhanu lagi-lagi tersenyum melihat hasil potret-potretnya. Seperti, semua hal-hal kecil di sini sangat layak dipotret dan kelak ia ingin datang kemari bersama Dharma dan Cecil atau keluarganya. Namun, saat ini ayam api itu begitu menarik perhatian Bhanu, “Eh, tahun ini tahun ayam api?” Dharma mengangguk, “Iya, tahun 2017 emang ayam api. Mau denger peruntungannya nggak?” Bhanu dan Cecil mendekat, “Jadi, karena ayam itu sifatnya ulet, pekerja keras, dan suka bersosialisasi, tahun ini harusnya kita itu bisa lebih berkumpul sama teman-teman atau keluarga buat menjalin ikatan persaudaraan. Kalo kata mama gue tahun ini itu sifatnya ‘Yin’.”Bhanu mengernyit. “Yin itu sifatnya lembut, pasif, feminim, dan lambat, jadi kalau mau berhasil harus kerja keras dengan tekun dan sabar aja pokoknya. Kalau stress, bisa ngumpul-ngumpul sama teman. Kerja keras biar berhasil itu emang bikin capek makanya healingnya join main sama keluarga atau temen.” Deg… “Terus-terus?” tanyanya antusias. Kok seru banget dengernya, batin Bhanu. Soalnya dia juga kadang-kadang stress gara-gara harus belajar UN, pindahan, dan kejadian kemarin juga membuat dia ikut-ikutan stress. Bertemu teman? Apakah tahun ayam api juga merupakan keberuntungan Bhanu? Ini kebetulan yang lucu. “Terus apaan? Udah segitu aja. Gue mana bisa ngeramal.” “Ya udah, kalo lagi sumpek bilang aja pokoknya. Gunanya temen tuh apa sih kalo bukan jadi tempat sampah terus kitanya seneng bareng-bareng sampai mewek.” tukas Cecil menyuapkan Bhanu kuotie terakhir berisi daging ayam dan udang yang halal untuk dimakan yang dibelinya sejak awal masuk tadi. “Ih, ini gyoza bukan sih?” “Kuotie is gyozanya orang china!” bahasa campurannya Cecil dan Bhanu mengangguk singkat. “Di sini suasananya beda banget ya kayak yang di Es kopi tadi. Lebih keliatan kekinian gitu.” “Iya, lebih cocok buat anak-anak muda hits. Banyak makanan halalnya, jadi lo kalo ngajak mama papa lo besok, langsung ke sini aja, Nu. Tempatnya nggak perlu blusukan, gelap, atau pengap kayak di Gang Gloria tadi.” “Nanti gue ajakin kakak gue deh, seru blusukan kayak tadi.” Iya, seru. Apalagi datangnya bersama teman-teman, lebih seru. Bersenang-senang sambil berwisata kuliner. Kalau Bhina kemarin mengatakan masa SMA adalah masa paling seru karena Bhanu akan merasakan indahnya cinta kasih berpacaran sepertinya Bhina salah. Masa SMA Bhanu akan menyenangkan karena indahnya cinta kasih persahabatan mereka bertiga. “Eh, gue belum shalat dhuhur, lo tahu masjid di sini nggak?” tanyanya pada Dharma. “Tahu, di dalem pasar. Deket sama Vihara, mau mampir juga.” Kata Dharma, “Lo nggak doa ke gereja sekalian, Cil?” Gadis itu yang baru beranjak berdiri tertahan sejenak, “Kan, udah tadi pagi. Gue ke Glodok mau jajan aja.” Ia pergi ke stan kuotie shantung untuk membeli kuotie ayam porsi keduanya. Belum puas. Bhanu dan Dharma berdecak dan tertawa lirih, cewek itu benar-benar sangat suka makan dan badannya juga masih bagus. “Yeay, party kuotie gue hari ini.” Katanya yang datang membawa kuotie hangat dan melahapnya tanpa ada rasa malu sedikitpun. Dharma merespon dengan tertawa manis sedangkan Bhanu lagi-lagi merekam aksi manis keduanya. ------------------------------------------------------------------------------------------------------   Ternyata kekhawatiran Bhanu terhadap Masjid di Glodok itu hal yang sia-sia, sebab di sini ada banyak masjid. Meskipun namanya Chinatown, fasilitas ibadah di sini juga masih berdekatan. Masjid yang ingin Bhanu tuju rupanya melewati sebuah Vihara. “Cil, lo anterin Bhanu ke masjid gih, gue mau masuk.” Lalu cowok itu masuk Vihara dan belok kanan, mungkin tempat peribadahannya di situ. “Cil, di dalem ada apaan?” kata Bhanu penasaran. Cecil tersenyum jahil, “Waktu shalat lo udah mau abis emang?” “Masih jam setengah 1 sih.” Ia menoleh ke Cecil, cewek itu tersenyum lebar sambil menaik-turunkan alisnya. Melirik ke arah pintu masuk dengan memiringkan kepalanya. Oh, paham, batin Bhanu ikut melangkah masuk. Mengikuti arah pergi Dharma tadi. Cecil dan Bhanu berjalan beriringan dengan meninggikan leher untuk menemukan Dharma. Dan, ketika mereka masuk ke dalam aula besar penuh lilin merah besar setinggi lebih dari 1 meter bahkan hampir menyamai tinggi Cecil dan ruangan bau dupa yang kalau kata Bhanu justru menenangkan untuknya. Untuk pertama kalinya, dia merasa tenang menghirup aroma ini. Menyengat, wangi, dalam, seolah menelisik rongga-rongga dadanya. “Wow.” Sahut keduanya melihat banyak umat sedang beribadah dengan menyalakan dupa seraya memanjatkan doa dengan mengacungkan dupa merah panjang setinggi dahi dan menunduk. Menemukan Dharma itu agak sulit. Cowok itu ternyata melepas hoodie putihnya dan mengikatnnya di pinggang. Kini hanya ada kemeja berlengan pendek warna putih yang ia kenakan, begitu kontas dengan d******i warna merah, asap dupa, dan kobaran api di sumbu lilin-lilin merah itu. Bhanu bisa melihat ada 3 patung Buddha besar di sana ketika Dharma terus berjalan seraya membawa dupanya. Menyematkan beberapa pada sebuah mangkok besar berwarna emas setelah menunduk dalam. Saat cowok itu berbalik, Bhanu bertemu pandang dengannya. Dharma melihat dengan datarnya lalu melanjutkan ibadahnya. Sebuah kesempatan langka pertamanya. Dia menyalakan kameranya dan memotret Dharma dengan diam-diam. Di balik kobaran api lilin dan asap yang menari dengan indahnya, ia mendapat dokumentasi cantik lainnya di sini. Mengapa seolah banyak sekali cerita hari ini? Kenapa dia tidak ingin hari ini berakhir? Dan, ingin terus bermain bersama Cecil dan Dharma. Kameranya yang tadi fokus kepada Dharma, kini fokus pada Cecil. Cewek itu berdiri bersedekap dengan rambut dicepol asal-asalan yang justru menegaskan bahwa dia adalah cewek yang sangat santai dan apa adanya. Senyum kecil dan binar mata yang Bhanu tangkap membuatnya mengernyit heran. Matanya fokus namun lembut, mengekori pergerakan Dharma kemanapun cowok itu pergi. Sekali lagi dia membidik Cecil dari jarak cukup jauh, kira-kira hampir mendekati bilik-bilik kecil di samping yang juga terdapat mangkok besar penuh dupa dan patung di dalamnya. Ia terus memotret teman perempuannya yang berkulit kuning langsat yang cantik itu. Sampai suatu ketika, Dharma masuk ke dalam frame kameranya dan berdiri menghadap Cecil. Keduanya nampak berbincang singkat. Lagi-lagi, Bhanu mengerutkan alisnya, Mereka sama-sama suka apa gimana sih?, batinnya saat menengok Dharma yang tersenyum kecil dan Cecil ikut membalasnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD