Sorotan

3377 Words
Bhanu hampir bangun terlambat gara-gara tidur terlalu malam. Akhirnya Mama Ratna terpaksa membungkus sarapan untuk Bhanu supaya dia bisa makan di mobil atau sekolah setelah upacara selesai nanti. Bhina sudah sangat terburu-buru bahkan ketika sang adik nampak sangat santai melamun melihat pemandangan kanan kiri penuh pepohonan itu. Bahkan cowok itu masih mengumpat ketika Bhanu pasrah jika telat padahal kalau Bhina telat bisa-bisa sang kakak kena amuk mama sewaktu pulang. Dia sangat mengantuk saat ini karena baru pulang pukul 1 pagi dan harus mengantar si adik yang acuh dengan keterlambatannya itu. Tepat kurang 3 menit gerbang sepenuhnya ditutup akhirnya mereka sampai juga di sekolah. Tanpa basa-basi Bhanu keluar dengan santainya sedangkan sang kakak nampak melepas ketegangan seperti baru menyelesaikan misi penting sedangkan misi yang dianggap penting nampak seperti tidak terjadi apa-apa. Menatap Bhina datar dan lalu pergi masuk ke sekolah. Ketika di kelas, Cecil dan Dharma sudah ada di sana, menyambutnya yang nampak lesu dan ngantuk. “Lembur lo?” “Iya dong, biar nggak keteteran nanti malem. PPT udah?” “Belum lah, materi ada di dia.” Tunjuk Dharma pada Cecil. Kringggg…. Bel masuk diiringi dengan pemberitahuan kepada siswa-siswi untuk segera berkumpul melaksanakan upacara hari senin. “Ngantuk bangeeeeet, nggak bohong!” “UKS aja apa?” tawar Cecil. “Alasan pusing.” Katanya menaik-turunkan alisnya. “Boleh?” sahut Dharma. Bhanu mengangkat sudut bibirnya, “Nggak ada orang yang beneran tau ciri-ciri pusing, kan?” “Ahhhh, lo berdua ya?!” tegur Dharma kemudian Cecil dan Bhanu tos. Kemudian mengantarkan Bhanu ke UKS dan bertemu anak-anak PMR, mengatakan untuk ijin tidak mengikuti upacara karena pusing. “Jemput gue, awas kaga ya? Bisa bangun jam 12 siang nanti.” Tambahnya lalu Cecil dan Dharma pergi sedangkan Bhanu melanjutkan tidurnya.                                                                                         … Ketika Dharma menjemput Bhanu, muka bantal Bhanu itu jelas bukan seperti orang sakit, melainkan tidur nyenyak. “Balik kelas yuk?!” “Lo udah makan belom?” “Belom, yuk lah mumpung lagi istirahat. Cecil lagi ngumpul sama anak-anak Cheers.” Kalau di sekolah Bhanu memang sehabis upacara itu akan selalu ada waktu setengah jam untuk istirahat sebagai pengganti istirahat jam pertama. “Lo bawa bekal enggak?” “Bawa dong!” Mereka pergi ke kelas untuk mengambil bekal Bhanu dan pergi ke kantin dekat dengan gugusan ruang kelas 10, meskipun di d******i anak-anak kelas 10 terkadang banyak kakak kelas juga mampir dan makan di sini. Primadona kantin ini adalah bakso dan batagor nya yang punya citarasa tak tertandingi, sedangkan satu kantin lainnya yang berada dekat dengan gugusan kelas 11 dan 12 itu banyak warung makanan beratnya seperti soto, nasi pecel, dan nasi campur. Bhanu menenteng-nenteng bekal diiringi dengan tatapan beberapa cowok-cowok. Sesampainya di kursi panjang itu, Bhanu menyantap isian bekalnya, nasi dengan lauk sosis pedas manis buatan Mama Ratna. Dharma datang membawa batagor dan beberapa kerupuk untuk dimakan bersama Bhanu. “Uw, enaknya dibekalin Bunda. Haha.” Goda salah satu anak yang Bhanu tahu kalau cowok itu sempat popular dan punya banyak teman ketika pertama kali masuk sekolah. Tahu, seperti tipikal bibit-bibit pentolan sekolah. “Iya dong.” Bhanu menjawabnya, padahal dia juga tidak terlalu mengenal cowok bernama Sandy itu. “Udah gede masih dibekalin ya, enaknya.” “Enak dong.” Bhanu lagi-lagi menjawab acuh, sudah paham arah pembicaraan ini. Mungkin cowok itu hanya ingin sekedar basa-basi dan menunjukkan sisi keangkuhan dan teoritasnya sebagai bibit pentolan sekolah, namun terlihat agak… menyebalkan. “Awas, Tupperware bundanya hilang nanti dicoret dari KK, loh.” Demi apapun Bhanu memutar matanya malas karena mulut meleduk cowok itu masih belum berhenti berbicara, dia hanya ingin menikmati makanannya. “Emak gue lebih sayang gue kok ketimbang tupperwarenya.” “Eh, nggak ada satupun emak-emak di Indonesia yang sayang anak melebihi tupperwarenya sendiri. Lo tahu kan, tipikal emak-emak pada umumnya. Haha.” Dia tertawa lalu duduk mendekat ke Bhanu dan Dharma. “Nama lo siapa?” “Bhanu, ini Dharma.” Cowok itu menoleh singkat. Sandy mengangguk singkat, “Gue denger kemarin lo berantem ya sama kakak kelas yang ikutan Rohis?” Bhanu kaget, kenapa berita itu masih saja ada dan belum habis dibicarakan? Padahal kejadiannya sudah seminggu dan Bhanu juga tidak pernah lagi membahas-bahas masalah ini. Apalagi, dia tidak pernah lagi berpapasan dengan Ali semenjak hari itu. “—bener?” “Iya, emang kenapa?” Bhanu santai. Sandy terkekeh, “Keren lo, kok berani sih? Lo udah kenal lama sama dia apa gimana?” tanya cowok itu yang nampak sendirian saja di istirahat jam pertama ini. “Enggak juga sih, baru kok. Orang gue pindahan dari Bandung. Sama sekali nggak punya kenalan lama di sini.” Mulut Sandy membulat. “Lagian kenapa juga takut sama Ali.” Tawa Sandy meledak, “Parah lo, kemarin kak Ari sempet cerita sama gue kalo ada anak kelas 10 berani banget cari gara-gara sama kakak kelas di minggu awal masuk sekolah, eh taunya beneran elo yang diomongin.” Bhanu terperangah, “Lo deket sama kak Ari?” “Yah, gue ikutan ekskul basket sama dia, jadi kenal lah.” Jawab kenalan barunya itu, Bhanu mengangguk, ekskul Basket memang dipenuhi anak-anak terkenal dan namanya pasti akan tersohor tidak hanya keahliannya dalam dribbling bola tetapi juga aura yang menguar selalu berhasil menggetarkan hati para cewek-cewek di sekolah. Tipikal cowok yang tinggi, besar, tampan, keren, dan lincah. Dan juga tipikal anak-anak pentolan sekolah semua. “Lo nggak mau gabung sama kita?” Bhanu membatin, kalau dia ikutan ekskul olahraga itu pasti cuma akan jadi keren-kerenan saja karena sekelilingnya juga orang-orang keren, ibarat lingkunganmu akan membentuk siapa kamu. Sedangkan Bhanu juga tidak mungkin mengikuti ekskul itu sebab refleknya yang tidak terlalu bagus, bisa-bisa dia menjadi lubang hitam dalam tim basket itu. “Waduh, nggak dulu deh. Gue udah ikutan fotografi soalnya.” Sandy berdecak lesu, “Yah, sayang banget. Padahal kalo di basket lo bisa lebih terkenal lagi nanti. Lo bakalan dapet priviledge juga dari kakak-kakak kelas, kayak misalnya lo ada masalah sama orang pasti bakalan di bantuin, dan lo juga bakal dilindungi kalau misalnya ada anak sekolah lain cari gara-gara sama lo. Solidaritas nih namanya.” Bhanu terjingkat lalu melihat Dharma yang alisnya mengerut melihat antusiasme Sandy untuk menarik Bhanu supaya mau bergabung, “E… ngapain gue harus punya masalah sama orang?” “Just in case, ada aja orang-orang yang nyari masalah sama lo. Kayak nggak pernah tau aja lo.” Bhanu benar-benar tidak mengerti, selama ini kalau ada percikan pertengkaran dia pasti menghindarinya. Tetapi, berkat insiden Ali waktu itu, dia memilih lepas kendali jika ada hal-hal serius dan alasan kuat untuknya bertengkar. “Enggak deh, gue juga nggak begitu pinter main basket.” “Alah, lo bisa jadi cadangan.” Jawabnya enteng. “Lo ngerekrut orang buat masuk geng apa main basket sih?” celetuk Dharma curiga. Sandy mengendikkan bahunya, “Both.” Timpalnya cengengesan. “Masa SMA itu masa penentuan, lo kalo deket sama anak-anak pentolan bakal ikut kena cipratan, loh. Dan, lo bisa dikenal di mana-mana nantinya.” Bhanu mendengar dengan menjejali kerupuk di mulutnya, “Temenan mah temenan aja bisa nggak sih, nggak usah ikutan basket juga.” “Ya bisa, lo bisa ikutan OSIS kalo suka jalur baik-baik alias anak-anak kesayangan guru yang nurut. Tipikal menantu idaman lah.” Sahut Sandy membuat Dharma geleng-geleng dan Bhanu ikut tersenyum singkat, tersenyum sebab yang dipikirkan Sandy itu hanya soal menjadi terkenal dan dipandang dengan menempeli orang-orang terkenal. “Kalo gue mah jalur olahraga aja ye, basket. Nah lo mau gabung juga nggak?” “Aduh, ini anak bener-bener nggak bisa main basket, San.” Timpal Dharma yang tahu permasalahan Bhanu itu. “Gue berani sumpah, ini anak nggak ada gunanya kalo lo tarik ke circle lo.” Tukas Dharma. Tapi memang ada benarnya, kalau Bhanu ikut bergabung, dia tidak bisa melakukan apa-apa. “Alah, coba aja dulu, seru kok temen-temen gue.” “Enggak dulu deh, San.” Tolaknya berkali-kali, semoga ini yang terakhir saja. Sandy mendesah, “Ya udah deh, kalo lo berubah pikiran nanti kabarin aja ya?” kata cowok itu beranjak pergi, “Oh iya, kalo misal lo berantem sama kakak kelas lagi, panggil gue aja.” Lalu mengacungkan jempolnya dan menghilang pergi. Bhanu dan Dharma saling menatap heran, kenapa ada orang maunya ribut begituan seperti Sandy, “Aneh banget.” “Tau tuh, emang sinting kali ya?” sahut Dharma. “Noh si Cecil bakalan ikut-ikutan begitu nggak yah?” Seketika mereka berdua menatap khawatir. Khawatir kalau saja Cecil lebih suka bermain dengan teman-temannya yang jauh lebih terkenal dan keren ketimbang mereka berdua, memilih berteman dengan yang bisa membuatnya jauh lebih seru dari mereka berdua, dan melupakan kenangan-kenangan lucu hari minggu kemarin di Glodok. Ada pertanyaan aneh namun lucu tersemat di d**a Bhanu, wajar nggak sih kalau takut temen kita sendiri punya temen lain yang lebih seru?                                                                                            … Keesokannya, hari presentasi tugas Bahasa Indonesia akhirnya tiba. Bhanu dengan bangga menenteng laptop di tasnya memasuki kelas dan tampak masih sepi. Dia duduk dan lagi-lagi melamun pagi sambil merenungi tontonannya di NatGeo semalam, tontonan tentang pembuatan anggur di Italia yang selalu diproduksi secara besar-besaran ketika musim panas agar minuman itu bisa dinikmati saat musim dingin tiba. 5 menit kemudian, Cecil datang lalu menaruh paper garapannya untuk tugas. Bhanu tidak pernah mengira kalau Cecil sampai menjilid tugas yang hanya terdiri dari 5 lembar kertas itu. Lengkap dengan cover dan sampul plastik. “Kata kakak gue, kalo bikin paper harus begini. Biar rapi.” Tangannya membentuk simbol ok setelah mengatakannya. “Niat banget bikinnya.” Sahut Bhanu. “Mau gue liatin videonya nggak?” “Mau, tapi nunggu Dhar—“ kalimatnya terpotong ketika menoleh ke pintu kelas, “Eh, Ma, buruan nonton video!” Dharma baru saja masuk langsung berlari dan duduk di sebelah Bhanu, cowok itu mengambil earphone dari sakunya dan mencolokkan di laptop Bhanu. “Thank me later, guys.” Katanya penuh percaya diri dan memutar videonya. Kedua teman-temannya itu sampai menganga melihat hasil garapan Bhanu. Seperti vlogger professional editannya. Banyak footage-footage cantik nan cinematic, kemudian musiknya juga keren, suara Cecil ketika meliput juga tampak bersih dengan bantuan microphone kecil yang Bhanu pasang di kameranya. Bahkan, sampai closing juga masih bagus, seperti closing pengenalan masing-masing talent dengan video dan foto singkat sebelum akhirnya benar-benar closing seperti di film-film. “Keren banget—ehh kok!” “Hahaha.” “hahaha.” Bhanu dan Dharma tertawa melihat video-video gagal mereka dipajang di dalamnya. “Biar nggak tegang, sekalian hiburan.” “Ah, pinter banget lo bikinnya.” Bhanu tersenyum malu dipuji oleh Cecil. “Keren ini mah, belajar ngedit dari kapan?” “Dari kelas 2 SMP sih, kan gue nggak punya temen. Jadinya, mending nyari kesenangan lain aja.” Dharma mengangguk, “Masukin ke ppt juga, Nu. Biar langsung ke puter nantinya. Satuin dulu.” Kemudian mereka melakukan finishing pada garapannya. Bhanu yakin, tidak aka nada seorangpun yang akan membuat video dokumentasi seperti kelompok mereka. Karena, membuat tugas video adalah hal paling merepotkan yang pernah ada. Bisa dia lihat juga beberapa kelompok nampak baru saja membuat file ppt bersama dan sampai rela datang pagi-pagi ke sekolah untuk mengerjakan bersama-sama. “PPT garapan Dharma bagus yah desainnya. Lo bikin?” Dharma tertawa sombong, “Buat apa bikin, mending download aja kan buanyaaaak di internet, Nu. Ngerepotin aja!” “Oh, ada?” pekik Bhanu. “Banyak kali, jangan nonton NatGeo mulu makanya.” Seru Cecil kemudian cewek itu diam lama. “Eh, minggu ini gue udah bakalan latihan Cheers, loh. Lo kapan mulai ekskul?” Dharma dan Bhanu menyahut bersamaan, “Minggu ini.” Cecil mendesah, “Yah, awas ya lo semua pada sibuk. Gue udah ngerasa ini cewek-cewek rada serem sih.” Entah kenapa, Bhanu merasa sedikit lega akan hal itu. Lega karena ketakutannya kemarin yang tidak mau kehilangan kebersamaan dengan Cecil di awal-awal pertemanan mereka. “Emang kenapa?” “Nggak gimana-gimana sih, gue takut aja kalo mereka senioritas dan gue disingkirin gara-gara nggak terlalu sefrekuensi sama mereka.” Pagi-pagi Cecil insecure. “Jalanin dulu aja, Cil. Hidup hari ini aja, nggak sudah mikirin besok gimana.” Kata Dharma. “Kalo mereka semena-mena ya lo semena-mena juga dong. Inget, lo itu Cecilia.” “Maksud lo?” Cecil kesal. “Haha, bener. Lo itu Cecilia. Ya kalo mereka ngapa-ngapain elo langsung sikat aja sih. Lagian cewek-cewek famous nggak semua masuk di situ, kan?” “Enggak sih, banyak yang keliatannya biasa aja. Tapi biasa aja tetep cantik, cuy!” “Lo cantik kok, apaan dah!” seru Bhanu. “Lo cantik, karena lo cewek!” “SUMPAH BHANU NYEBELIN!” “Kan, bener. Lo cantik soalnya lo cewek. Semua cewek cantik. Lo ngapa insecure pagi-pagi, Non? Lo jago ngedance padahal, yang ada mereka bakalan beruntung banget punya elo di tim Cheers sekolah.” Cecil menghela napas, “Tau deh, bisa aja ada yang lebih jago dari gue.” “Mana nih yang katanya Cecil kepingin main doang kalo ikutan ekskul?” sindir Bhanu. “Have fun, Cil. Lo bilang sama gue kemarin buat have fun and be myself, loh.” “Iya gue paham, tapi ini loh, ada yang mengintimidasi aja di dalem grupnya. Lo tau lah anak-anak Cheers sukanya deket sama anak Basket. Gue gedek sih sebenernya sama mereka yang pikirannya kalo ngga Cheers ya cowok. Terus, kalo misalnya mereka ngajakin gue main sama mereka gimana? Males banget, mending main sama lo pada.” “Itu mah namanya bonding, cantik! Biar akrab gituuuu.” Jelas Dharma menenangkan Cecil. “Ya emang harus? Gue nggak bisa nongol pas latihan doang tapi mainnya sama lo?” Bhanu dan Dharma terenyak, “Ya lo pikir aja, kalo kayak begitu mah nggak bakalan dianggep kali. Lo nggak pren sama mereka kalo nggak main!” sahut Dharma. “Oh, jadi gitu masalahnya.” Bhanu bisa paham dengan kondisi Cecil, ini seperti cewek itu terpaksa keluar dari zona aman dan nyamannya. “Kasih batas kalo misal lo nggak suka, jangan terlalu menunjukkan diri lo di depan mereka.” Saran Bhanu seperti yang sudah sering dia lakukan. Jika tidak suka dengan seseorang, jangan terlalu diperlihatkan. Berikan saja kata-kata baik dan manis supaya tidak mengundang keributan dan bisa pergi dengan damai tanpa ada kenangan buruk maupun dendam. Karena ingatan buruk itu terkadang lebih suka muncul dan mengganggu di kala pikiran tengah kosong. Mengerikan. “Iya, Bhanu ada benernya, Cil. Kalo nggak suka jangan diperlihatkan. Lo jangan tiba-tiba salty juga yah. Kena labrak lo nanti.” “Nah itu tuh, yang gue takutin. Kalo gue kelepasan gimana?” cewek itu memasang muka sedih mau menangis, merengek layaknya anak kecil. “Labraknya jambak-jambakan, nanti gue videoin. Jadi scene kayak di Mean Girls.” “BHANU!” pekik Cecil lebih kesal lagi, Dharma ketawa saja.                                                                                         … Ketika waktu presentasi tiba, kelompok Bhanu mendapat giliran paling terakhir. Naas sekali karena mereka harus menahan gugup sampai dipenghujung jam pelajaran selesai. Menyebalkan. Dharma tak henti-hentinya membacakan dengan lantang materi bagian Bhanu supaya cowok itu mengingat bagiannya tanpa harus pusing-pusing membaca di slide power point nanti. Tidak lucu jika cowok itu malah pusing karena harus membaca tulisan-tulisan di dalamnya. Yah, meskipun tidak sepenuhnya tulisan di dalamnya. Dan, sejauh yang ketiganya amati, laporan hasil teman-temannya itu temanya sangat bervariasi. Ada yang membahas tentang perkecambahan kacang hijau, ada yang membahas tentang seorang altet basket terkenal, ada yang membahas tentang SMA Brawijaya, membahas tentang taman kota, dan semuanya dipresentasikan dalam bentuk foto maupun power point. Tidak ada satupun yang membuat video. Lalu Bhanu mengajak Cecil dan Dharma bersepakat. “Kayaknya kita jangan nampilin ppt deh.” “Lho, kenapa? Kan, ppt juga diminta suruh ngumpulin?” “Nah iya, jadi opening bagian gue aja yang jelasin. Lagian penjelasan kalian berdua tuh sebenarnya udah ada di video, kan?” Cecil dan Dharma mengangguk paham. “Hari ini gue yang presentasi.” “Oke.” Keduanya berkata bersamaan. Kemudian Bu Sri memanggil nama kelompok terakhir, “Kelompok Bhanu, silahkan maju persiapan sembari kelompok yang lain melakukan tanya jawab ya?” kata beliau seusainya kelompok sebelum mereka selesai presentasi dan mulai melakukan sesi tanya jawab. Dharma dengan cekatan memasang kabel proyektor ke laptop Bhanu. Semuanya sudah berdecak kagum saat melihat laptop gaming milik Bhanu. “Lo gamer, Nu?” sahut Anton yang duduk di depan. Kadang ini yang disalahpahami orang-orang. Laptop game itu emang asyik buat bermain game, tetapi laptop game juga punya spesifikasi paling bagus untuk memuat software-software grafis yang cukup berat jika dijalankan laptop biasa. Karena Bhanu butuh untuk keperluan hobinya, makanya dia minta laptop ini ketika kelulusan SMP kemarin, “Bukan, biasa aja gue mah.” Cecil datang menghampiri Bhanu, “Udah?” wajahnya nampak tegang. “Cil, lo mau boker?” katanya pelan, tidak mau mengganggu kelompok lain. “Enggak, anjir. Gugup!” Kemudian setelah kelompok lain sudah selesai tanya jawab, waktunya presentasi mereka. “Selamat Siang, teman-teman. Perkenalkan Saya Bhanu beserta teman-teman saya yaitu Cecil dan Dharma ingin menunjukkan hasil kerja kelompok kami untuk tugas Laporan Observasi. Jadi, tema yang kita angkat ini adalah suatu daerah di Jakarta Barat yang cukup legendaris dan dikenal sebagai pusat pedagangan sudah dari jaman dulu bahkan sebelum ayah dan ibu kita lahir.” Jelas Bhanu sedikit memancing tawa anak-anak di kelas. “Daerahnya sudah sangat tua sekali dan daerah itu di sebut dengan Glodok, pernah denger nggak?” Kasak kusuk semuanya bersahutan, ada yang bilang tahu tetapi belum pernah kesana. “Nah, kalau belum pernah ke sana, kami akan membawa kalian ke sana sebelum kalian benar-benar ke sana melalui cuplikan video yang kami buat untuk tugas ini.” Lagi-lagi semuanya terperangah, karena kelompok terakhir mengemas tugas dengan tidak biasa dan di luar perintah sang guru. “Ayo, lanjutkan. Saya mau liat videonya.” Kata Bu Sri antusias, nampak dari wajahnya. Kemudian Bhanu memutar video itu. Menampilkan openingnya yang terlihat seru dan memanjakan mata. Video awalan seperti perjalanannya berangkat dengan pemandangan langit, jalanan, dan pepohonan lalu ketika dia sampai di Glodok, tak lupa juga video singkat pengamen barongshai yang sempat dia foto waktu itu, hingga video Cecil dan menyambut mereka. Cewek itu berbicara di depan kamera layaknya seorang jurnalis ala-ala NatGeo. Berjalan sambil menjelaskan ketika Dharma saling melempar pertanyaan-pertanyaan yang sudah mereka rencanakan dan susun dengan matang. Cecilia dan Dharma yang menjadi pemandu itu entah mengapa nampak serasi dengan baju putih tulangnya di dalam video. Mereka mengulas tentang cerita hari itu di Glodok, bagaimana orang-orang di pasar itu bekerja, makanan legendaris di situ, kegiatan keagamaan yang begitu melekat di Pecinan, di Vihara dan masjidnya. Tak lupa juga makanan halal sampai non-halal di sana, tempat makan di Gang Gloria sampai Petak Enam, atau bahkan suasana padatnya pedang baju-baju khas tradisional china seperti cheongsam dan segala ornament-ornamen china, toko-toko obat, hingga keperluan rumah tangga lainnya ada di situ. Sampai di akhir video, semua orang juga ikut tertawa melihat behind the scene yang Bhanu sematkan di belakang. Dan, ketika video berakhir, semuanya bertepuk tangan atas presentasi singkat dari Kelompok Bhanu. “Itu tadi merupakan hasil tugas kami, semoga teman-teman bisa memahami isi materi yang kami buat. Dan, jika ada pertanyaan yang ingin ditanyakan, silahkan mengacungkan tangan.” Beruntungnya tidak ada, malah ada yang ingin videonya di putar lagi. Namun Cecil menggeleng karena dia malu. Wajahnya dilihat terus-terusan. “Bagus sekali presentasinya, saya suka sekali. Jadi seperti liputan berita beneran ya kalian kemarin?” kata B Sri. “Iya, Bu. Kami juga menyiapkan script sebelum datang ke Glodok supaya videonya runtut dan semua materi termuat secara rapi.” Jawab Dharma. “Bagus, saya suka sama idenya. Boleh saya minta videonya juga nanti?” “Oh, boleh Bu, ada di belakang file power pointnya.” Sahut Bhanu dan Bu Sri mengangguk. “Saya harap, anak-anak sekalian juga bisa kreatif seperti kelompok Bhanu ya? Bikin tugasnya yang rapi dan bagus, meskipun saya tidak menyuruh membuat video tetapi saya membebaskan kalian untuk eksplore sesuatu yang lain dan menyajikan tugas dengan lebih baik lagi.” Puji beliau tak henti-henti untuk kelompok Bhanu. “Kita akhiri dulu pelajaran hari ini, selamat siang.” “Siang, Bu.” Dan, selepas kepergian Bu Sri, kelompok Bhanu mendapat tatapan tajam Karina. Cecil juga melirik panas ke arah cewek itu. “Caper!” serunya pada Cecil. “Haha, temen-temen lo nggak sepinter dan kreatif temen gue sih.” Cecil ikut sombong karena kesal dengan Kirana yang sama sekali tidak senang kelompoknya dipuji tadi. Tidak seperti yang lain nampak antusias dengan garapan Bhanu. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD