Jejak kedua

1779 Words
Sementara di rumah, Eiji terus menatap ke luar jendela. Berharap Zin cepat pulang. "Hhaah... itu Zin, yye Zin pulang!" Tanpa melihat siapa yang datang. Eiji membukakan pintu itu. Ia melonggo saat bukan Zinlah yang berdiri di depannya. "Anak babi. Beri tahu aku, yang mana anak dari Lee Kwang Zu," ucap pria tinggi tegap dengan otot diselimuti kulit coklat tuanya. Eiji hanya menyeritkan alisnya. Ia pernah dengar dari ayahnya, Jika Zin adalah anak majikan mereka yaitu Lee Kwang Zu. Tapi Eiji yang keras kepala tak ingin memberi tahu lelaki tak sopan itu. "Gak tahu!" jawabnya enteng. Masih khas anak-anak. "Hahhaa.., gak tahu, kalau kayak gini masih bilang gak tahu gak?!" sebuah pukulan tinju mengenai ulu hatinya. "Ayah... aku dipukul!" adu Eiji mengantensi Daichi. "Eiji... kalian siapa?!" curiga Daichi. Tangannya bergetar, saat menyadari atribut yang mereka gunakan sama persis seperti kepunyaan majikannya dulu. Daichi yang pernah diwanti-wanti untuk menjauh dari genk yang bersimbolkan gunung es itu. Ia langsung menarik Eiji. Kontan berlari, berharap masih bisa menyimpan erat rahasia terbesarnya. "Hai... pria tua mau kemana kau!" pekik lelaki tadi. Yang langsung menembak punggung Daichi. Membuat darah segar muncrat dari balik kaosnya. "Ayah..!" "Eiji kamu pergi dari sin, Nak. Cepat!" "Tunggu... bukannya bos bilang kalau anak Kwang Zu sekarang diakui menjadi anak Daichi. Apa babi gendut itu anak Kwang Zu?!" ucap salah satu pria lainnya. Tanpa segan pria tadi menenteng kerah Eiji untuk berdiri. "Jadi kamulah anak Kwang Zu? Hahaaa... gak disangka. Ia hanya punya anak tak berguna macam kau!" hinanya melirik Eiji. Eiji yang marah menampar pipi pria itu. "Kata ayah orang jahatlah yang tak berguna. Seharusnya kamu malu jadi orang jahat!" Hal itu semakin menyulut emosi pria tadi. Buru-buru ia menarik Eiji keluar rumah. Meski Daichi sangat berusaha menghentikan mereka. Namun sayang... luka yang menganga di punggungnya membuat ia tak mampu bergerak. Tubuh Eiji di ikat di belakang mobil sport dengan kecepatan tinggi. Dibalik kemudi ada seorang anak remaja dengan kaca mata hitam menutupi wajahnya. Anak itu tersenyum miring, satu kebahagian baginya dapat menyiksa orang lain dengan mobil sport kebanggaannya. "Hai... babi cepat katakan apa benar kau anak Kwang Zu?!" tanya pria itu lagi. Karena sampai sekarangpun ia masih tidak percaya. "Ya... aku anak Lee Kwang Zu. Namaku Lee Eiji!" bohong Eiji. Ia tak ingin orang-orang nakal itu mencari Zin. "Jemmie... kau tunggu apa lagi! cepat minggir!" teriak Frallo yang sejak tadi sudah siap menyetir mobilnya. Langsung saja mobil itu melesat jauh. Tak memperdulikan tubuh Eiji yang bagaikan kaleng menempel di belakang mobil. Darah mulai keluar dari kulitnya yang terbeset terkena gesekkan aspal. Tapi tak ada satupun yang peduli. Justru tawa mereka semakin menggema seirring tangis Eiji yang semakin melinukan hati. Sementara Daichi berusaha berjalan ke kamarnya. Ia mengambil surat perjanjiannya pada Kwang Zu. Ia yakin sebentar lagi Zin pulang. Dan ia merasa tak punya lagi waktu untuk menutupi ini semua. Motor sport Zin sampai di kompleks dekat rumahnya. Matanya langsung memanas saat menyadari pria yang hampir mati kehabisan darah itu adalah adiknya, Eiji. Buru-buru ia menarik pedal motornya. "Hentikan!... cepat hentikan!" serunya marah. Motornya sudah berada di sebelah kemudi. Frallo semakin tertawa. Ini permainan yang sangat mengasikkan. Fikirnya. Tak mendapat reaksi, Zin menabrakkan keras motornya berharap mobil mahal itu goyah. Matanya menatap Eiji yang sudah tidak mengeluarkan suara. Airmatanya jatuh dengan cepat. Sangat menyesal telah meninggalkan Eiji malam ini. "Buka...!" desisnya parau. Amarah telah mengusai dirinya. Tapi dengan santai Frallo membuka kaca jendela. "Haha... ayok selametin dia. Itu juga kalau lo bisa" tantangnya. Zin langsung mengambil kesempatan itu. Ia ikut menarik setir membawa mobil itu berputar sampai akhirnya menabrak pohon. Motor Zin terpelanting jauh dari dirinya. Tapi pria itu tak peduli. Segera ia berlari ke belakang, membukakan ikatan Eiji. "Eiji...!" panggilnya yang sudah merangkul tubuh Eiji. Menaruhnya di kedua pahanya. Dan saat itu Frallo dan yang lainnya pergi begitu saja. Bagi mereka urusan menghabisi keluarga Kwang Zu sampai titik darah penghabisan sudah selesai dengan baik. Zin menggendong tubuh Eiji yang mulai dingin. Tubuh penuh lukanya perlahan berganti warna semakin pucat. Tangan Zin yang membopong Eiji begitu bergetar, rasanya ia begitu tak sanggup membopong mayat Eiji. Adik yang sangat ia sayangi. Ia meletakkan Eiji di dalam rumahnya. Percuma! Akan percuma jika ia membawa Eiji ke rumah sakit. Sesaat ia larut dalam kepedihan. Zin hanya mampu menangis di samping Eiji. "Zin...!" panggil Daichi parau. Mata Zin langsung membulat. Ayah? ia bahkan belum tahu apa yang terjadi dengan lelaki itu. "Ayah?!" Zin langsung merangkul Daichi. "Nak... ini Nak!" Sebuah surat dengan lumuran darah sebagai hiasannya menggantung di tangan Daichi. Zin terpaku. Tapi tangannya membuka surat tersebut. Saya Wang Daichi. Berjanji akan merawat Zin seperti anak saya sendiri dan menjaganya dari De'Baule. Sampai titik darah penghabisan Ttd Daichi. Zin menyeritkan alisnya, Apa ini? sebenarnya apa yang terjadi? Kenapa ayahnya sampai berjanji untuk merawatnya? Perlahan tangan Daichi memegangi pergelangan tangan Zin. "Zin... aku sudah memenuhi janjiku. Merawatmu sampai aku tak mampu lagi. Zin sekarang sa-atnya aku menyusul ayahmu, Kwang Zu!" ucap Daichi lemah. "Ma-maksud, Ayah?!" "Zin... Maaf jika selama ini aku menutupinya semua. Kau bukanlah anakku Zin. Aku merawatmu waktu usiamu tiga tahun. Dan itu atas permintaan ayahmu!" jelas Daichi yang justru semakin membuat hati Zin ketar-ketir. "Ayahmu dan aku mati-matian menutupi jati dirimu supaya kau aman. Dan sekarang De'Baule tahu keberadaanmu mereka mencarimu. Kau harus berhati-hati, Zin!" Zin setidaknya sedikit memahaminya. Jadi Eiji meninggal karena orang-orang tadi mencarinya. Ya Tuhan... kenapa harus Eiji? dan kenapa bukan aku? batin Zin frustasi. "Temui lelaki yang ada di foto. Ia akan memberi tahumu semuanya...!" Saran Daichi setelahnya lelaki itu tak lagi bicara, bahkan deru nafasnya yang pendek-pendek berhenti begitu saja. Zin hanya bisa melotot. Melihat kedua orang yang ia anggap keluarganya terbujur kaku dalam waktu yang bersamaan. Dendam bergejolak di dadanya. Hanya senyum meledek Frallo yang terus menari di pelupuk matanya. Ia menggenggam surat itu kencang. Saat ini hanya ada satu yang ingin ia lakukan. Membalas semua perbuatan Frallo sesuai dengan apa yang ia lakukan pada Eiji. *** Sementara di tempat lain... "Tolong!! Tolong." Seorang gadis belia berlari ke sudut ruang. Ia meringkukkan badannya. Di depannya ada pria tua tak tahu diri sedang menatap lapar pada tubuh Eva. "Kemari, Sayang. Kau milikku. Carlos telah memberimu untukku." Kata-kata itu begitu menyakiti Evalingsta. Tidak seharusnya, Carlos yang notabanenya pamannya tega menjualnya. Andai ayahnya masih hidup. Mungkin Alberto langsung menembak mati adiknya itu. Tunggu!! Eva mendelik. Mengapa kematian ayahnya begitu tiba-tiba. Rasanya terlalu mustahil menganggap kematian Alberto sebagai satu kecelakaan. Eva tahu, ayahnya orang yang sangat hati-hati. Kecuali... Memang ada yang merencanakan kematian Alberto sendiri. Eva melirik pria di depannya penuh dendam. Carlos saja tega menjualnya. Mungkinkah ia juga sampai hati membunuh kakak satu-satunya demi harta dan tahta. Terlambat untuk Eva menghindar. Ia sudah masuk dalam perangkap. Usianya yang belia membuat Eva dengan mudah masuk dalam permainan Carlos. Sekarang, tak ada lagi yang tersisa dalam diri kecuali dendam *** Mengikuti instingnya, Ia mulai mencari Frallo kembali. Banyak liku yang Zin lalui untuk sampai di hotel tempat Frallo beristirahat setelah melakukan pembunuhan. Hah! seharusnya ia beristirahat dengan tenang di dalam kuburannya saja. Zin mengetahui mobil sport itu menuju sebuah hotel mahal di pusat ibu kota. Segera Zin menuju ke sana. Pria itu sudah sampai di lobby hotel. Beruntung tadi ia sempat mengganti jaketnya dengan jaket bergambar gunung es milik Daichi dulu. Berkat itu ia mudah mengetahui dimana letak unit Frallo. "De'Baule?!" bisik penjaga lobby. Dari tatapannya terlihat jika mereka begitu ketakutan. Zin hanya berjalan santai. Melihat-lihat mencoba tenang. "Apa anda tidak tahu jika De'Baule sedang mengadakan pesta di bar sebelah?!" kata resepsionis menegur Zin. Zin berfikir... sepertinya ini adalah kesempatannya. "Iyah saya tahu, tapi saya diminta untuk mengambil sesuatu!" bohongnya cepat. "Oooh begitu... kalau gitu ini kuncinya. Oh,yah maaf Pak, tapi di atas ada Tuan muda Frallo sedang tidur. Tadi Tuan Carlos berpesan untuk jangan menggangu tidurnya. Jadi tolong buka pintunya pelan-pelan saja,yah," saran resepsionis itu kemudian. Zin hanya mengangguk seraya tersenyum tipis. Dalam hati ia berjanji tak akan mengganggu tidur Frallo. Karena anak itu akan tidur selamanya sama persis seperti yang ia lakukan pada Eiji. Pria itu sudah sampai di depan unit Frallo. Dengan cepat ia membuka pintu. Suasana di dalam begitu sunyi sepi. Dengan lampu temaram sebagai penerangnya. Zin melangkah pelan. Matanya terus berjaga takut ada orang lain selain dirinya. Sebentar saja ia menemukan anak yang sejak tadi di carinya. Tengah tertidur santai di sofa, bahkan sebuah konsol game masih ada di atas perutnya. Sepertinya Frallo baru saja selesai bermain. Zin mengambil konsol game itu. Ia mengetatkan kabelnya di tangan. Siap untuk mencekik Frallo. Sebelum melancarkan aksinya. Zin berjongkok di samping Frallo. "Apa sebuah nyawa bagimu hanya bagian dari permainan? Kalau begitu sekarang aku akan memberi tahumu cara bermain yang benar," desisnya di telinga Frallo. Frallo yang merasa hembusan suara langsung bangun. Baru saja kepalanya terangkat. Zin langsung mencekik Frallo tanpa ampun. Wajah Frallo memerah. Darah tak lagi mengalir dengan seharusnya karena Zin mencekiknya keras. Tangan Frallo terus berusaha memukul Zin. Tapi Zin sama sekali tak terpengaruh. Pria itu masih membayangkan bagaimana hidupnya bersama Eiji dan Daichi. Dan sekarang semua hanya tinggal kenangan. Mata Frallo melotot sempurna. urat-urat matanya hampir keluar semua. Pukulan pada tangan Zin pun semakin lemah. Ia terlalu lama kehabisan nafas. Bahkan lehernya sudah lecet berkat kabel itu. Zin mengendurkan tarikkan kabelnya. Ia ingin menanyakan maksud Frallo mencarinya. "Bagaimana? apa kau masih ingin merasakannya kembali?!" ledeknya. Sementara Frallo masih mencoba mengatur nafasnya. Hampir saja ia memperkirakan sebentar lagi ia mati. "Ba...hingan...!" hina Frallo meski terbata-bata. "Hhaa... lalu kau? Hei! katakan untuk apa kalian mencariku?" Frallo menggeleng. Ia saja tidak tahu siapa lelaki yang baru saja mencekiknya. "Aku orang yang kalian cari. Aku anak satu-satunya Lee Kwang Zu. Lalu untuk apa kalian mau mencariku. Bukankah tujuh belas tahun yang lalu kalian sudah berhasil menghabisi orangtuaku?" "Ka... kau anak Kwang Zu?!" sahut Frallo tak percaya. Tangannya dengan cepat mengambil ponsel yang ada di atas meja. Tapi Zin langsung menahan tangan Frallo. Terjadi tarik menarik ponsel. Sampai Frallo memukul keras pipi Zin. Kemudian anak itu berlari menjauh. Ia telah berhasil menyelamatkan ponselnya. Dan Frallo bersiap mendial nomor ayahnya, Carlos. Zin ikut menarik ponsel itu. Akan berbahaya jika semua orang De'Baule mengejarnya. "Kasihin ponselnya...!" "Enggak... lo bakal mampus sama daddy gue. Hehehe!" ancam Frallo sebetulnya ia begitu takut, posisinya tidak baik saat ini. Tubuhnya memepet di belakang jendela. Dan parahnya sang Daddy tak juga menerima panggilannya. Zin betul-betul emosi. Nyatanya Frallo sama sekali tak bisa diajak kompromi. Bahkan dengan enteng ia meledek Zin. Dan tanpa sengaja tangannya mendorong kuat tubuh Frallo. Kaca itu pecah karena tak bisa menahan tekanan kuat dari dorongan Zin. Dengan kata lain kini tubuh Frallo tak bersender pada apapun. Anak muda nan angkuh itu terjun bebas dari lantai dua puluh tiga. Zin menatap ke bawah dengan datar. Mungkin ini adalah balasan dari Tuhan untuk kematian Eiji.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD