2. Berunding

1036 Words
"Bagaimana ini, Pa? Aduh, kalau kita gagalkan saja bagaimana? Kasihan Yusuf, masa harus menikah sama calon kakak iparnya. Ya ampun, seperti cerita di novel saja." Tara memijat keningnya dengan kuat. Masalah ini sangat pelik dan akan menimbulkan kegaduhan yang luar biasa jika gagal, tetapi jika diteruskan maka anaknya yang akan tersiksa. "Tidak perlu dilanjutkan, biar pernikahan ini batal saja," suara Pak Aditya Farman memotong pembicaraan keluarga besarnya. Semua mata menatap wajah layu dan keriput Pak Aditya. Lelaki luar biasa yang memberikan seluruh hidup dan cintanya untuk keluarga. Mata Yusuf berkaca-kaca melihat Opa Aditya berdiri dengan lemah, menopang pada tongkatnya. Syukurlah beliau masih kuat berdiri dan tidak terkena serangan jantung, bagaimana jika tadi opanya langsung pingsan atau mungkin meninggal karena acara yang mengecewakan ini? Yusuf pasti akan menjadi orang yang sangat berdosa pada keluarga besarnya. "Baiklah, kalau ingin dibatalkan saja, Papa akan sampaikan ke penghulu." Zaka menghela napas kasar, lalu bangun dari duduknya. "Tunggu, Pa. Yusuf tetap akan melakukannya. Pernikahan ini tetap akan berlangsung." Yusuf menahan tangan Zaka dengan kuat, lalu ikut berdiri bersama papanya. "Apa?" semua orang memekik kaget mendengar keputusan Yusuf. "Tapi, kamu gak kenal Larissa'kan? Kamu belum pernah bertemu dengannya. Dia adalah kakak Mutia yang tinggal di kampung bukan? Bagaimana kamu akan menikah dengan wanita yang tidak kamu kenal?" cecar Tara seakan tidak rela anak lelaki sulungnya memikul tanggung jawab besar sebagai kepala keluarga, suami dari wanita yang sama sekali belum pernah ia temui. "Mama, Yusuf baik-baik saja. Mungkin memang ini garis hidup Yusuf. Mama dan Papa, Oma, serta Opa, semua saudara Yusuf yang ada di ruangan ini jangan khawatir, Yusuf akan baik-baik saja. Yusuf akan menjalani takdir yang sudah Tuhan gariskan untuk Yusuf. Ayo, kita semua ke depan." "Jika kamu yakin dengan keputusan ini, Opa dukung dan tolong tetap kamu harus menjadi lelaki bertanggung jawab pada keluargamu, ada atau tanpa cinta. Paham?" Yusuf mengangguk paham atas petuah yang diberikan Opa Aditya sebelum semua anggota keluarga keluar dari ruangan. Penghulu dan anggota keluarga Mutia masih bersabar menunggu keluarga besar Yusuf keluar dari aula. Lima belas menit bukanlah waktu yang lama, tetapi bagi anggota keluarga calon besan, acara rundingan itu bagaikan seabad. Mereka pun sudah siap dengan segala kemungkinan bahwa keluarga Yusuf menolak. Larissa yang sudah mengenakan kebaya putih sedikit kebesaran itu menunggu dengan hati yang resah. Ia berharap lelaki yang seharusnya menjadi adik iparnya tidak mau menerima usulan aneh orang tuanya. Ia tidak mau dijadikan tumbal Mutia, tetapi apalah daya, orang tuanya selalu saja memaksakan kehendak sedari dulu, dan tidak akan ada ampun bagi yang menentang. Cklek Suara pintu aula yang terbuka membuat semua orang menoleh dengan harap cemas. Sekitar sepuluh orang dewasa keluar dari sana termasuk sang Calon pengantin yang sudah berjalan dengan tegap diapit kedua orang tuanya. Mereka berusaha tersenyum tulus pada semua mata yang memandang. Yusuf berjalan penuh rasa percaya diri, lalu duduk di samping Larissa. "Tidak jadi'kan?" bisik Larissa pada Yusuf dan sontak membuat Yusuf melotot kaget, sekaligus harus menahan tawanya. Pemuda itu tidak menjawab, ia memalingkan wajah dari Larissa kepada penghulu. "Ck, Hei, Yusuf, kita tidak jadi menikahkan?" bisik Larissa lagi dengan penasaran. "Ayo nikahkan kami, Pak!" ujar Yusuf dengan tegas. Larissa menoleh kaget dan menatap Yusuf tidak percaya. Bahunya merosot karena harapan akan menjanda selamanya pupus sudah. Ia harus menikah menggantikan adiknya yang kini kabur entah kemana. Jika Larissa sedih dan pasrah, tetapi tidak bagi orang tua Mutia dan Larissa, mereka tersenyum puas bahkan saling berpelukan ketika mendengar keputusan yang diucapkan oleh Yusuf. "Nama kamu siapa?" tanya Yusuf pada Larissa sesaat sebelum harus mengucapkan ijab kabul. "Larissa binti Asep Surender." Yusuf semakin kebingungan, karena setahu dirinya, nama ayahnya Mutia adalah Abdul Rojak, kenapa menjadi Asep Surender? Seperti nama orang India saja. "Asep Surender itu siapa? Artis India?" tanya Yusuf lagi mendadak tidak cerdas. Larissa tertawa dari balik tudung putih berenda yang ia kenakan. "Tukang kue pancong," jawab Larissa sambil menahan tawanya. "Almarhum ayah saya. Ayah saya dan ayah Mutia beda, kita hanya seibu saja," terang Larissa lagi sambil berbisik. Yusuf pun akhirnya mengangguk paham dan ia sudah siap untuk berjabat tangan pada seorang lelaki yang dikatakan oleh pihak keluarga Larissa adalah wali dari Larissa. "Saya terima nikah dan kawinnya Larissa binti Asep Surender dengan mas kawin seperangkat alat solat dan perhiasan emas seratus gram dibayar tunai!" "Bagaimana, sah? Sah! Alhamdulillah. Barakallahu laka wa baroka alaika wa jama'a bainakuma fii khoir." Semua orang yang ada di sana mengucapkan syukur karena akad sudah berlangsung dengan lancar. Kini tiba Yusuf membuka tudung yang dipakai oleh Larissa. Jika dilihat dari namanya, pasti wanita yang kini menjadi istrinya ini pasti cantik, seperti Mutia. Mutia cantik berkulit putih dan sangat halus, padahal tidak pernah melakukan perawatan apapun dan jauh di lubuk hati Yusuf, ia berharap Larissa pun sama cantiknya dengan Mutia. Yah, beda sedikit tidak apa-apa, asal sedikit saja. Tudung berenda itu sudah diangkat oleh Yusuf, lalu ia berikan pada mamanya yang kebetulan berdiri di sampingnya. Yusuf kaget melihat Larissa yang sangat jauh dari Mutia. Polesan make up memang membuat wajah coklat Larissa tersamarkan, tetapi Yusuf yakin di balik make up itu ada wajah kusam seorang wanita dusun. Ia pernah melihat foto Larissa di rumah Mutia, tetapi foto itu samar sehingga ia tidak bisa mengingat wajah wanita itu dengan benar. "Ayo, silakan cium punggung tangan suaminya," seru Pak Rojak pada putri sambungnya. Larissa menurut, lalu mencium punggung tangan Yusuf dengan penuh takzim. Tara dan Zaka saling pandang dan tampak sekali raut kekecewaan di sana. Mutia seperti mutiara dan kini sudah digantikan oleh batu akik. Zaka menggelengkan kepalanya sedangkan Tara hanya bisa menghela napas. Bagaimanapun ini sudah keputusan anak mereka. Sebagai orang tua hanya bisa mendukung dan ikut mendoakan agar keluarga baru anaknya bisa membawa keberkahan bagi keduanya. "Bunda!" seru seorang anak laki-laki tampan yang tengah digendong oleh seorang wanita paruh baya dengan pakain sangat sederhana. Keduanya berjalan menuju Larissa Dan juga Yusuf. Tentulah semua mata terkejut dan memandang dengan penuh tanda tanya. Larissa tersenyum dan membentangkan tangannya untuk memeluk anak lelaki kecil itu. "I-ini siapa?" tanya Yusuf gugup. "Ini anak saya. Ayo, Hikaru salim papa dulu!" "Tunggu! Jadi maksud kamu, kamu janda? Janda satu anak? S-saya menikahi janda?" Yusuf seakan hidupnya sudah benar-benar berakhir kini. Terlalu banyak kejutan yang diberikan oleh Mutia dan keluarganya dan semua ini membuatnya semakin tidak bisa berbuat apa-apa. ****
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD