bc

Wedding Mate ( Indonesia )

book_age12+
1.3K
FOLLOW
12.5K
READ
family
boss
drama
tragedy
comedy
like
intro-logo
Blurb

Sinopsis/Blurb

Mereka bilang itu pernikahan wasiat. Meta harus memilih di antara Rega atau Zio untuk menggantikan Gusta sebagai pendampingnya. Namun, yang namanya menikah jelas bukan hanya perkara 'Sah' saja. Ada hati yang harus dicari tahu apa maunya.

Terlebih ketika dua orang calon suami Meta ternyata telah memiliki wanitanya sendiri dalam hidup mereka. Pilihan manapun yang akan Meta ambil rasanya begitu sulit dan menyakitkan.

"Kalau aku lari apa kamu bakal mengejar?"

"Aku kejar. Pasti aku kejar."

Ternyata, pernikahan memang tidak selalunya mudah.

Cover By Baeruni

chap-preview
Free preview
1. Hari, Saat Kamu Pergi
  Parasnya ruam, rindunya karam Tergulung riak ombak tak berpenghalang Palar pulang Namun tak bertuan Di mana ada badai, dia ingin melayang lalu hilang _______ Aku masih ingat awal pertemuanku dengan Gusta. Sore itu, aku terpaksa menerobos hujan tanpa payung gara-gara tergesa memburu salah seorang klien yang katanya paling ribet di Wedding Organizer-ku. Aku yang berstatus sebagai pegawai baru, mau saja terpuntal-puntal mengejar pria berkemeja dongker yang Gusta tunjuk dan boss anyarku itu, bukannya meminjamiku alat supaya tidak basah kuyup, Gusta—atasan super resek tersebut malah tertawa-tawa terhibur sambil melambaikan tangan dari balik kaca ruang kerjanya. Selepas berkeliaran selama lima belas menit demi mengekori perintahnya, aku akhirnya sadar jika saat itu aku sukses dikerjai. Pria berkemeja dongker? Hanyalah orang asing yang kebetulan melintas waktu aku sedang berbicara dengan Gusta. Oh, di masa itu aku kesal sekali! Entah dia pria macam apa aku tak yakin. Jelasnya, dia boss menyebalkan, tukang suruh, banyak omong dan jujur saja, keburukannya overload untuk dihitung menggunakan jari, tapi setidaknya di setiap malam minggu dia selalu berupaya bersikap romantis untuk ukuran figur seorang kekasih. Benar. Gusta Eldriano Prakosatama adalah pengelola WT Organizer. Pria itu merupakan kekasihku selama dua tahun ini hingga hari kemarin. Dan di pagi ini, aku tidak tahu masih bolehkah aku menganggapnya tetap demikian? Senin sampai Sabtu. Pada jam kantor seperti ini, biasanya Gusta sedang berdiri gagah, mengudarakan suara berat jua menghipnotisnya demi mempresentasikan rencana pernikahan klien kami. Namun sekarang, dia yang tak pernah lupa memajang wajah cerah semeringahnya mendadak pucat pasi. Gusta yang rajin bicara justru terdiam tanpa kata. Gusta yang sering mengejek sambil diam-diam memelukku saat aku menangis di hadapannya, kali ini sama sekali tak bereaksi. Aku di sini, Ta. Menangis seperti akan menjumpai kiamat di esok hari. Terisak-isak hingga jantungku sesak. Namun, dia sama sekali tak mencoba untuk menenangkanku seperti yang kerap ia lakukan. “Udah Me, jangan gini! Kasihan Gusta.” Aku tak tahu persis ini suara Resti atau Wulan yang kemudian menepuk-nepuk pundakku lirih. Kenapa aku harus mengibainya? Toh, sedari tadi Gusta mengabaikanku. Pura-pura tak melihatku dengan memejamkan matanya rapat. Gusta saja bisa sejahat itu, mengapa aku tak boleh membalasnya? Hatiku nyeri sekali, akan tetapi Gusta jelas tak mau mengerti. Gusta, kenapa dia mesti kembali mengenalkanku kepada tempat ini? Padahal dia hafal betul bila aku benci ke sini. Gusta bilang, akan menjagaku dan berusaha menjauhkanku dari kawasan ini. Namun, malah dia sendirilah yang mengundangku guna menjejakkan kaki di tanah gembur nan merah ini. “Ikhlasin, Me! Nanti Gusta nggak tenang kalau kamu nangis terus!” Sebenarnya, apa yang wajib kurelakan? Cintaku yang telah mencapai episode terakhirnya? Batalnya pernikahanku yang tinggal menghitung hari atau calon suamiku? Gusta sudah berjanji untuk selalu ada di sisiku. Kami akan menikah, tinggal di rumah mungilnya, lalu di masa depan kami akan membesarkan dua orang anak yang akan kulahirkan. Aku dan Gusta siap untuk hidup bahagia walau perdebatan dalam rumah tangga mungkin bakal sulit kami hindari. Segalanya tampak teramat nyata. Bahkan kecupan bibirnya di dahiku kemarin malam, saat mengantarku pulang dari kegiatan menjajal gaun untuk resepsi masih terasa membekas. Lalu, gurauan macam apa yang tengah kuhadapi kini? Gusta tertidur dalam peti, baret lecet tampak mengotori sedikit bagian wajah tegasnya yang kerap kuusap sayang dan detik itu begitu saja tanah menimbunnya tepat di depan mata kepalaku. Tanganku bahkan belum sempat menyentuhnya, aku belum membelai wajah Gusta. Aku belum mengucapkan selamat tinggal serta hati-hati di dekat telinganya. Aku .... “Aku sayang kamu, Ta. Semalam aku belum ngomong kalau aku bahagia banget bakal nikah sama kamu. Betapa deg-degannya aku tiap lihat kalender, betapa aku menantikan saat kita bisa tinggal serumah, debat kayak biasanya. “Semalam aku lupa mau ngasih pesan supaya kamu nyetirnya hati-hati. Jangan ngebut! Jangan sok kayak Vettel! Tadi malam, aku kurang jelas waktu dengar, ‘mimpi indah’ yang kamu bisikin. Tadi malam, aku ingin dengar suara marah-marah kamu lebih lama, tapi aku egois jadi aku malah balik marahin kamu. “Tahu nggak, Ta? Hari ini aku tetep ngebangunin kamu kayak subuh-subuh kemarin. Tapi, kenapa kamu bandel banget? Kamu nggak serem yah kalau aku kesel? Katanya kita mau berangkat ngantor bareng, kamu mau jemput. Aku udah nunggu lama loh tadi di teras. Kenapa kamu nggak datang-datang? Ternyata kamu malah asik tidur. "Baru beberapa jam yang lalu kita sama-sama dan sekarang aku udah rindu banget, Ta. Rindu.” “Me ... yang sabar dong! Lepasin Gusta yah? Biarin dia istirahat, dia udah capek, kan kerja keras terus di sini. Biarin dia damai bareng Tuhan yah?” Dia Gustaku. Dia ... kenapa harus bareng Tuhan? “Sama seperti Tuhan. Aku juga sayang kamu, Ta.” Dia adalah kepentinganku. Tidak sedetik pun di hidupku, aku pernah membayangkan bila suatu hari Gusta akan lenyap begitu saja dari takdirku. Hatiku tak hanya lara. Kehilangan Gusta, mendadak aku merasa hilang arah. Di mana aku tengah berpijak, di mana aku tengah bernapas menjadi samar-samar. Puncaknya, aku ambruk. Namun, langsung sigap ditangkap oleh seseorang. Siapanya, aku tak tahu pasti. Jelasnya, dia mirip Gusta. *** Aku menyadari apabila sekarang ini aku sedang bermimpi. Sebab di sini, aku bisa duduk bersebelahan dengan Gusta. Dia bercerita soal Real Madrid yang lagi-lagi kalah dari Barcelona. Dia pun tak melewatkan kesempatan guna mengejekku yang mengoleskan MAC merah hati di atas bibir—bagaikan Tante-Tante cibirnya, sok seperti dia bukan Om-Om saja mengingat usianya sudah 28 tahun. Tak berhenti sampai di sana, Gusta juga menumpahkan kekesalan hati yang telah dia pendam sejak menangani rencana pernikahan Dave-Mona. Pasangan anak pengusaha multi nasional itu sungguh banyak maunya, sudah begitu hobi main cancel sembarangan pula. Gusta bahkan nyaris adu jotos bersama vendor souvenir rekanannya, gara-gara dua sejoli tersebut mengurungkan pesanan mereka di saat segalanya hampir siap enam puluh lima persen. Selain itu, Gusta jua mengusulkan agar WT diambil alih olehku saja selepas kami menikah. Dia bilang, dia berniat membuka restoran mengingat bakatnya memang dalam bidang memasak. Gusta yang menyenangkan. Dia pria yang tak pernah kusesali hadirnya. Dia memperkenalkanku pada dunia baru yang kaya akan harapan. Bersamanya, andai kata mungkin maka aku ingin hidup sampai lima ratus tahun lagi. “Bisakan, Ta?” gumamku meski belum membuka mata. Sungguh aku takut. Saat aku terjaga nanti Gusta hilang. “Kenapa pergi secepat ini?” lanjutku seraya mulai meneteskan air mata lagi. “Aku … mau terus sama kamu, Ta.” “Air matamu pun nggak bakal membuat Gusta kembali. Kalau benar udah sadar, Bundaku udah siapkan makanan di bawah.” Suara ini penyerunya Zio. Sama sekali tak berintonasi, datar selempeng ekspresi wajahnya saat sedang senang, sedih ataupun marah. Zio, dari yang kuingat sikapnya memang agak bertolak belakang dengan Gusta tapi dia lumayan pengertian. Beberapa kali ia tanpa ragu membantu kelancaran hubunganku dan Gusta. “Zio?” Aku tidak tahu kenapa sok akrab dengannya, entah didorong oleh keberanian dari mana tiba-tiba saja mulutku lancang memanggilnya demikian. Sungguh, aku hanya bingung serta sedikit merasa penasaran. “Kira-kira … Gusta makan nggak yah di sana?” cicitku. Hening. Dalam situasi ini aku dapat mendengar bunyi isakanku sendiri. Bibirku pun tak jauh lebih baik, ia tanpa henti-hentinya mendesah pilu. Gusta. Gusta. Gusta. Otakku penuh sekali dan parahnya hal serupa pun tengah menyerang nadi rasaku. Begitu lebat persoalan yang berharap dapat kutahu ketika aku dan dirinya berjauhan. Gusta yang hobinya telat makan malam, dia yang tidak bisa tidur sebelum minum cokelat hangat, dia yang sering iseng request lagu di radio untukku. “Apa …  Gusta juga sedang merindukanku yah, Zi? Mataku kedutan terus, dia pasti lagi sibuk mikirin aku, kan? Dia tentu sama penasarannya kayak aku. Dia pasti ingin tahu aku lagi apa, kan? Sama sepertiku yang nggak mampu berhenti mikirin dia." Pandanganku masih gulita. Meski begitu aku yakin jika Zio masih berdiri di sisi ranjang, dia menangkap setiap suku kata bahkan detak jantung memburu milikku. Sebab selain nomor satu bagiku, Gusta jua merupakan kakak kesayangan seorang Ezio Nauerlino Prakosatama. “Berpikir soal dia pun nggak akan mengantarkan dia ke depan matamu lagi kok. Mending doakan saja, tempatnya udah jauh lebih baik sekarang.” Zio selisih satu tahun denganku, di antara saudara-saudara Gusta memang dialah yang menonjol sikap bijaknya. Namun, seberapa pun tegar hatinya aku tak bisa dibohongi bila pria ini sama menderitanya layaknya aku. Memekarkan kelopakku perlahan, bias siluet pria jangkung langsung menyeruak menguasai ruang pengelihatanku. Setelan hitam-hitam, rahang kuat, muka terluka yang baru pertama ini kutemukan. Benar. Zio pun diterpa lara akibat kehilangan yang setara besarnya denganku. Aku bahkan menemukan bukti bahwa sepasang iris sehitam arangnya terlihat tak setangguh yang selazimnya dia sorotkan. Dia menahan diri untuk tak cengeng. Pria pantang menangis. Itulah motto Gusta yang prediksiku diadopsi pula oleh sang adik tunggalnya ini. “Dia baik-baik saja. Orang sok kuat dan sok paling keren itu pasti sedang mencibir kita dari atas sana. Dia tentu lagi bersenang-senang di surga untuk menikmati balasan atas kebaikan-kebaikan yang dia perbuat selama ini. Gusta, dia pasti baik-baik saja.” Suara ketulusan dari Zio mengalun. Seorang adik yang kehilangan sosok pahlawan masa kininya. Mereka kerap saling mencemooh, saling menyalahkan, berebut hal-hal klasik macam saudara lainnya. Keduanya tidak selalu akur namun mereka jarang saling meragukan satu sama lain. “Nggak ada satu pun makhluk yang bersedia mati. Tapi selagi takdir hidup, kita nggak benar-benar paham seperti apa isinya.” Zio memalingkan wajahnya dariku sambil kentara sekali mencoba untuk mengatur napasnya. “Perutmu kosong, kan dari pagi? Di bawah agak ramai. Seenggaknya kamu bisa berhenti menangis kalau sibuk dengan hal lain," imbuh Zio tak seberapa lama bersama nada bicara yang lebih terkendali. Membuang karbon dioksida pelan. Punggung tegap Ezio merupakan pemandangan terakhir yang kusaksikan, sebelum memutuskan untuk beranjak dari kamar tamu kediaman keluarga besar Prakosatama menuju ruangan yang disarankan oleh si bungsu Zio. *** Sebuah hunian di pusat kota, rumah ini terbilang cukup luas. Terdiri dari dua lantai, hampir sepuluh ruangan membagi tempat tinggal yang didesain dengan gaya tradisional Jepang. d******i lantai kayu, perabotan keramik-keramik antik, kudengar perancangnya memang orang Jepang asli. Aku sendiri baru dua kali kemari. Gusta tak menetap di sini, dia mempunyai rumah sederhana nan nyamannya yang berjarak satu jam perjalanan dari kediaman utama Prakosatama. Menurut kabar terakhir yang pernah Gusta bocorkan, Zio dan Rega—putra sulung Prakosatama—bersepakat untuk tinggal di sini. Sebab, Om juga Tante memutuskan guna lebih fokus mengurusi bisnis mereka di Singapura. Jujur saja, sulit untuk membayangkan kakak-beradik Prakosatama tersebut berkeliaran dalam area serupa. Mereka bak kucing dan tikus. Bisa dibilang hanya Gusta yang mampu mengakrabkan diri bersama dua kubu perang dingin itu. Hm, tentu saja pria kecintaanku, kan memang istimewa. “Meta udah baikan, Sayang?” Tante Ane yang selalu awet muda menyapaku ramah begitu aku tiba di ruang makan. Walau dari nadanya bertutur ia tak begitu berhasil menyembunyikan serak efek kebanjiran air mata. Menyaksikan wanita beraut pucat yang sedang duduk mengenakan pakaian hitam yang sama, seraya berupaya keras menempel seulas senyum di bibir. Aku tak kuasa untuk tak terenyuh. Tante Ane adalah wanita yang mengandung Gusta di rahimnya selama 9 bulan. Beliau yang didera lara luar biasa kala melahirkannya. Tante Ane ialah saksi hidup yang memerhatikan detik per detiknya seorang Gusta tumbuh hingga mencapai usia 28 tahun. Tangisan Gusta saat bayi, rengekan Gusta waktu anak-anak, atau bandelnya Gusta di SMA. Memori itu pasti sedang memutar film-filmnya secara berkala dalam benak pribadi Tante Ane. Bertahan bersama ketegaran itu, sakit yang menyerangku tentu tak sedahsyat hantaman ngilu di hati Tante Ane. Beliau bukan sekadar kehilangan anak tapi juga sebagaian dari dirinya. “Iya, Tan. Tante udah makan? Mau Meta masakin sesuatu nggak? Soto? Tante pasti kangen sama soto Lamongan. Meta bikinin yah?” tawarku mengabaikan jejeran piring saji di atas meja makan yang penuh namun terkesan hampa nan dingin. “Tante udah makan bubur ayam tadi. Meta sini saja, makan. Dari tadi pasti laper, kan? Sini duduk dekat Tante!” Tante Ane menarik kursi tepat di sisi kanannya, ia mengangguk beberapa kali demi meyakinkanku. Melangkah letih, aku lantas menjatuhkan p****t di bantalan lembut bangku. Menatap Tante Ane dengan bibir bergetar, aku kemudian mengalihkan telisik secara kilat ke arah semangkuk sup yang masih mengepulkan asap tanda kehangatan. Koki hari ini pastilah Bi Num, aku kenal betul bau kaldu ayam kental yang menguar dari makanan di hadapanku, mirip seperti yang sering Gusta bawa kalau habis berkunjung kemari. Gusta? Aku menyendok kuah sup yang ada dalam mangkuk, tatkala menyentuh lidah rasa asinnya terkesan aneh. Agak lebih hambar dari garam juga tak sepekat air laut. Menunduk guna mencari tahu dari mana datangnya kejanggalan tersebut. Di sana, seketika dapat kulihat bertetes-tetes air gencar berjatuhan ke dalam wadah sup. Itu bukan hujan, dan ia kian deras seiring makin getolnya benakku mengangkat tema tentang Gusta. Air itu bersumber dari dua mataku sendiri yang belakangan tanggulnya begitu mudah jebol. “Aku nggak bisa.” Kepalaku menggeleng sebagai bentuk penegasan. “Aku nggak bisa lupain Gusta.” “Me?” Tante Ane meraih bahuku. “Gimana bisa aku menyingkirkan Gusta begitu saja? Dia ada di sini.” Aku menyentuh d**a kiri—mitos hati bersembunyi, katanya—getarannya bergemuruh. Aku takut. Aku tak mau melalaikan pria itu demi alasan apa pun. “Dan tempat ini bakal jadi milik Gusta sampai kapan pun, Tan.” Aku kurang mengerti mengapa harus kujelaskan semua itu? Tidak ada orang yang mengguruiku perihal lupa-melupakan. Tidak ada satu pun manusia yang melarang bergeloranya cinta kasihku untuk Gusta. Lalu, semua penuturan tersebut untuk siapa? “Iya, Me. Tante ngerti. Gusta juga tentu nggak ingin dilupain sama kamu. Jaga dia selalu yah? Doain Gusta terus. Suatu saat kalian mungkin akan dipertemukan lagi.” Kalimat Tante Ane nyaris berhasil menumbuhkan kelegaan di hati sana. Hingga pada akhirnya, hadir suara lain yang dengan sekali sentakan langsung merobohkan asa-asaku. “Akan tetapi, sebelum hari itu datang. Kamu tetap harus ambil keputusan.” Menoleh ke arah belakang, Rega yang berkemeja putih tampak paling tak lumrah di ruangan ini. Yang benar saja? Apa duka citanya selesai secepat itu? Kenapa ia tak menghargai kemuraman orang lain? Norega Altriano Prakosatama, dia terang lebih kekanakan dari penghuni paling anak-anak di tempat ini. “Jadi, bagaimana? Kamu mau jadi istriku atau Zio?” tanya pemuda itu sejurus kemudian. “Kamu lagi ngelawak?” tantangku sambil mencoba menyingkirkan deru tak nyaman. Pria sinting satu ini tampaknya wajib diberi pengertian. Dia memang bukanlah jenis pria bertanggungjawab namun adiknya baru saja meninggal. Di mana letak welas asih persaudaraannya? “Jadi Bunda belum cerita tentang wasiatnya Gusta?” ungkap Rega membuatku sukses bertanya-tanya. “Reg! Kita bahas ini nanti-nanti saja yah? Lagipula Meta juga masih terpukul banget. Kita nggak perlu buru-buru,” ujar Tante Ane yang tak memberi efek plong atau pencerahan apa pun terhadapku. “Yah, kita nggak sedang dikejar waktu. Toh, hari H-nya masih 14 hari lagi. Kalau Bunda yakin akan on time, aku sih setuju saja.” Setelah membeberkan perkataan tersebut Rega begitu saja melanggang pergi tanpa menerangkan apa-apa lagi. Apa yang barusan mereka obrolkan? Mereka mengungkit mengenai hari H, pernikahan, istri Rega atau Zio? Dan yang paling mengejutkanku; wasiat Gusta. Aku benar-benar buta informasi. Aku tak paham apa yang sesungguhnya tengah mereka rencanakan. Gusta ... kenapa tiba-tiba aku jadi takut? ***

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Kujaga Takdirku (Bahasa Indonesia)

read
76.0K
bc

MOVE ON

read
95.2K
bc

Switch Love

read
112.5K
bc

BRAVE HEART (Indonesia)

read
91.0K
bc

MANTAN TERINDAH

read
7.0K
bc

Fake Marriage

read
8.5K
bc

MENGGENGGAM JANJI

read
475.0K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook