4. Konfrensi Pers

2800 Words
Sudah dari semalam Fhelicia tampak menunggu dengan gelisah bercampur cemas. Setelah berhasil melakukan operasi bypass jantung, ibunya itu belum juga sadar dari pengaruh bius total yang disuntikkan. Walaupun dokter sudah memastikan operasi yang dijalani sang ibu berhasil 100%, bahkan memberi penekanan kalau pasien bisa saja sadar 48 jam setelah selesai mendapat tindakan medis, Fhelicia tetap saja khawatir. Ia terus berharap dan berdoa, orang yang begitu disayangi tersebut lekas sadar dan memberikan respon. "Mending Mba istirahat aja. Dari semalam, saya lihat nggak ada istirahat sama sekali," ucap salah satu perawat yang saat itu memang tengah mengecek infus di kamar perawatan sang ibu. Bagaimana bisa ia tidur. Sedang pikirannya ke mana-mana. Di dalam kepalanya, Fheli baru merasa lega kalau bisa melihat sang ibu membuka mata. "Ini ibu saya pasti sadar, kan? Saya khawatir aja kalau terjadi hal-hal buruk pasca operasi." Perawat itu tersenyum maklum. Lalu setelahnya berusaha sekali memberi pengertian. "Pasien yang menjalani operasi besar memang gitu, Mba. Kadang, sadarnya agak lama. Tapi, tenang. Beliau ini sudah melewati masa kritisnya. Jadi, kalau Mba tinggal istirahat sekali pun nggak masalah." Fheli mengangguk. Ia paham dengan maksud baik perawat tersebut. Matanya memang sangat lelah karena kurang tidur dan beristirahat. Mana nanti siang harus kuliah dan sore atau malam harus menyelesaikan janji dengan Nicholas dan juga Rayden. "Biasanya pasien begini sadarnya kapan, Sus?" Perawat itu melirik jam yang melingkar di tangan kanannya. Tampak menghitung, lalu kemudian kembali menjawab. "Kalau normal, paling cepat 24 jam pasca operasi. Itu artinya bisa jadi nanti malam ibunya Mba sudah bisa sadar. Setelat-telatnya besok pagi atau sore." "Ini, semisal nanti saya tinggal, ibu saya nhgak bakal kenapa-kenapa, kan? Terus bakal dijagain juga sama suster yang ada di rumah sakit?" Perawat itu tersenyum. Mungkin merasa geli dengan pertanyaan yang Fheli ajukan. Mau bagaimana lagi, ini pengalaman pertamanya membawa sang ibu rawat inap di rumah sakit. Seumur hidup bila ia atau ibunya sakit, mereka hanya sekedar minum obat warung atau paling jauh hanya berobat di puskesmas terdekat. Mana pernah sampai berkunjung ke rumah sakit segala macam. "Jangan khawatir, Mba. Ada perawat jaga yang setiap satu atau dua jam sekali cek kondisi pasien. Jadi, kalau nantinya Mba mau keluar, nggak masalah sama sekali." Fheli pada akhirnya bernapas lega. Paling tidak saat keluar untuk pergi kuliah dan bertemu Rayden nanti, ia tidak perlu khawatir apalagi cemas memikirkan kondisi sang ibu yang berada di rumah sakit. Berhubung masih ada waktu sekitar tiga sampai empat jam lagi, Fheli memanfaatkannya untuk tidur sebentar. Paling tidak, ia punya cukup tenaga untuk nanti melanjutkan kegiatan berikutnya. *** Tepat pukul satu siang, Fheli memutuskan untuk segera pergi berangkat ke kampus. Hari ini, memang ada satu mata kuliah penting yang harus dan wajib ia hadiri. Beruntung saat mengikuti jam perkuliahan, tidak sedikit pun terjadi kendala. Sambil menunggu kabar atau perintah selanjutnya dari Nickholas, Fheli memilih untuk mengerjakan tugas bersama Adhelia di perpustakaan. "Ini begitu beres, aku titip buat kamu serahkan ke Pak Andrew ya, Dhel. Soalnya kalau sempat, aku mau buru-buru balik ke rumah sakit dulu." "Rumah sakit? Siapa yang sakit?" Fhelicia menghela napas pelan. Ia lupa menceritakan perihal sang ibu yang baru saja menjalani operasi bypass jantung semalam. Biasanya, kalau ada apa-apa, Fheli pasti berbagi cerita dengan sahabatnya itu. "Duh, sorry. Aku lupa cerita ke kamu kalau Mama kemarin masuk rumah sakit karena anfal." "Astaga," seru Adhel. Wanita itu sampai menghentikan gerak tangannya yang sedang menulis di atas buku. "Terus Tante Amanda gimana keadaannya sekarang? Baik-baik aja, kan?" tanya Adhelia khawatir. Karena sudah saling kenal cukup lama dengan Fhelicia, ia bahkan menganggap ibu sahabatnya itu seperti orang tua kandung sendiri. Tak jarang bila berkunjung, Adhelia tidak pernah lupa membawa bingkisan entah makanan, kue, atau buah-buahan untuk diberikan kepada Amanda. "Tenang aja," sahut Fhelicia mencoba untuk menenangkan. "Semalam, Mama bahkan udah menjalani operasi jantung. Kata dokter yang menangani, kondisi beliau udah sangat stabil dan baik-baik aja. Tinggal menunggu siuman kemudian lanjut proses tahap penyembuhan." Adhelia menghela napas panjang. Tidak dipungkiri, ia ikut merasa lega setelah mendengar apa yang baru saja Fhelicia ceritakan kepadanya. "Syukurlah kalau gitu. Tumben juga kamu nggak ada cerita sama sekali," decaknya tidak terima. Sebagai sahabat dekat, hampir segala perihal entah baik atau buruk. Mau tidak atau penting sekali pun, selalu saja Fhelicia ceritakan kepadanya tanpa terkecuali. "Aku keburu panik, Dhel. Pulang dari Bar, mama tau-tau udah nggak sadarkan diri. Setelah itu, aku sibuk berurusan sama dokter dan rumah sakit." "Tapi, omong-omong, ini Mama kamu pada akhirnya harus operasi?" tanya Adhelia ingin tahu. Tiba-tiba saja ada sesuatu yang mengganjal di dalam hatinya. Fhelicia mengangguk. Mau bagaimana lagi. Operasi memang pilihan terakhir yang dokter berikan saat itu. Lagi pula, nyawa sang ibu memang bergantung dari tindakan operasi yang harus segera dilakukan oleh tim dokter. "Iyalah, Dhel. Kata dokter, Mama emang harus segera dapat tindakan operasi bypass jantung. Kalau nggak, kondisinya bisa semakin menurun dan bahkan membahayakan nyawanya." "Sebentar," interupsi Adhel. "Operasi bypass Jantung pastinya nggak murah, kan?" Sekali lagi Fhelicia mengangguk. Ia mulai paham ke mana arah pembicaraan sahabatnya itu. "Iya. Sekitar 80 sampai 100 juta. Belum termasuk obat-obatan dan juga biaya rawat inap." "Astaga, Tuhan." Detik itu juga mata Adhelia membola. Ia yakin sekali kalau Fhelicia tidak memiliki uang sebanyak itu untuk membayar rumah sakit. Jangankan uang 80 juta, tabungan kuliah saja mungkin tidak sampai 10 juta. Lantas, dari mana sahabatnya itu bisa dapat uang banyak? Sedang biasanya saja Fheli sering meminta bantuan Adhel. Dan dari kemarin, sahabatnya itu tidak sedikit pun mengubungi untuk meminta pertolongan seperti biasa. "Terus, dari mana duit buat bayar rumah sakitnya, Fhe? 100 juta itu banyak banget. Kalo pinjam sama pak bos di Bar, bisa-bisa selama dua tahun lebih kamu nggak terima gaji." Fhelicia mengangguk berulang kali. Apa yang Adhel katakan memanglah benar 100%. Kalau mengajukan pinjaman dengan manager Bar sebanyak 100 juta, bisa-bisa selama dua tahun lebih Fheli jadi romusa dan bakal makan angin sampai kenyang karena semua gajinya diambil tanpa sisa untuk membayar hutang. "Panjang ceritanya aku dapat uang dari mana, Dhel. Ada satu hal lain yang belum aku ceritakan sama kamu." Mata Adhel langsung memicing tajam. Mencondongkan wajah, wanita itu meminta klarifikasi lebih. "Apa lagi yang kamu sembunyikan dari aku, Fhe? Kamu dapatin uang ini bukan karena jual diri, kan?" "Sembarangan!" sahut Fhelicia sambil menoyor kepala Adhel. Ini kenapa Mama dan sahabatnya sendiri bisa kompak menuduhnya sampai jual diri segala macam. "Ya terus, dapat duit dari mana, dong? Mencurigakan banget soalnya." Namun, belum lagi sempat Fhelicia memberikan penjelasan kepada Adhel, salah satu teman kuliah Fheli tampak berlari kemudian menghampiri. Sambil terengah-engah, wanita itu berusaha untuk berbicara dengan mahasiswi jurusan ekonomi tersebut. "Sandra, kamu ngapain lari sampai ngos-ngosan gitu?" heran Adhel melihat tingkah laku salah satu teman kampusnya. "I-itu, di lobby ---" "Iya, di lobby kenapa?" potong Fheli penasaran. "A-ada artis cakep yang cari kamu, Fhe." Fheli dan Adhel kompak saling tatap. Penasaran dengan apa yang baru saja Sandra sampaikan, keduanya memilih untuk segera berjalan menuju lobby gedung fakultas Bisnis dan Manajemen. Dari kejauhan, mereka memang melihat ramainya para mahasiswa tampak penuh berkumpul menjadi satu. Entah apa yang sedang mereka semua kerumunkan. Namun, begitu posisi Fheli semakin dekat, ia paham alasan apa yang membuat semua orang berkumpul di sana. Rupanya, ada sosok Rayden yang merupakan aktor besar tengah hadir dan menjadi pusat perhatian para mahasiswa yang tengah berkumpul. "Sayang." Panggilan mesra itu terdengar menggema di seluruh sisi ruangan saat Rayden menemukan apa yang ia cari. Melihat sosok Fhelicia tengah berdiri tak jauh dari posisinya, tanpa ragu pria bertubuh jangkung tersebut mendekat. Tanpa membuka kaca mata hitam yang ia kenakan, pria itu langsung meraih pergelangan tangan Fhelicia, kemudian menariknya. Menerobos kerumunan orang-orang, untuk kemudian segera pergi menuju mobil sport merah yang ia parkir tepat di depan lobby. Sontak saja kejadian ini menghebohkan seluruh mahasiswa yang saat itu berada di kampus. Beberapa dari mereka, bahkan dengan sengaja mengabadikan momen ini dalam tangkapan foto untuk setelahnya dijadikan bahan gosip di grup-grup w******p antar mahasiswa. "Rayden, kamu kok tiba-tiba ada di sini?" tanya Fhelicia kebingungan saat Lamborghini Merah yang Rayden kendarai sudah melesat jauh meninggalkan areal kampus. "Menurutmu? Memangnya aku ngapain repot-repot ke sini? Ya jelas buat jemput kamu lah!" ketus pria itu tanpa mengalihkan fokusnya dari jalanan yang ada di depan. Fhelicia melirik. Ia bahkan terbengong sejenak. Tidak tahu apa-apa, tapi kenapa malah diomeli seperti sekarang. Memangnya dirinya punya salah apa? "Kok jadi ngomel, sih? Maksud aku, ngapain pakai jemput segala? Kan aku bisa datang sendiri ke kantornya kak Nicholas. Jadi, kamu nggak sampai dikerubunin sama orang-orang seperti tadi." "Ini semua idenya Nicko. Dia yang paksa aku jemput kamu buat pencitraan di depan para wartawan dan para paparazzi. Kalau bukan karena terpaksa aja, aku juga males repot-repot jemput kamu terus dikerubunin seperti tadi." Fhelicia mengangguk paham. Melihat raut kesal yang terukir di wajah Rayden, ia memilih untuk kembali diam. Dari pada salah-salah ucap, yang ada nantinya malah diomeli oleh pria di sebelahnya. Setelah berkendara kurang lebih 15 menit, Rayden dan Fhelicia akhirnya sampai di gedung Star Entertainment. Melewati pintu belakang, keduanya langsung dituntun oleh beberapa pengawal untuk segera masuk dan kemudian melangkah menuju ruangan Nicholas. "Gimana? Konfrensi pers nya mulai jam berapa? Kayaknya semua wartawan udah kumpul semua di bawah," ungkap Rayden kepada Nicholas. "Kurang lebih 30 sampai 40 menit lagi," sahut Nicholas. Lalu pria itu berjalan menghampiri Fhelicia. "Fheli, sini, deh. Kamu, biar ganti kostum sekalian aku briefing dulu," pinta pria itu lalu menuntun Fhelicia agar ikut salah satu make up artist untuk mengganti pakaian lalu berdandan dengan ringkas. Setelah melakukan make over secukupnya, Nicholas kembali menghampiri kemudian menyerahkan satu lembar kertas untuk gadis itu baca. "Ini beberapa hal penting yang sudah dirangkum san harus kamu baca serta ingat. Nanti, kalau wartawan tanya, kamu jawab sesuai dengan apa yang sudah dituliskan di sana. Ingat, jangan melenceng atau berinisiatif buat kasih jawaban sendiri." "Kalau nanti wartawan tanya di luar topik gimana?" tanya Fhelicia khawatir. Dari pada salah-salah, mending dia bertanya dari sekarang. "Kalau nanti wartawan ajukan pertanyaan di luar topik, kamu nggak perlu jawab. Biar Rayden yang improvisasi." Fhelicia mengangguk paham. Sementara Nicholas kembali fokus dengan Rayden, dirinya membaca dengan seksama lembar jawaban yang tadi diserahkan kepadanya. Mengingat-ingat dengan seksama sambil menghapal agar nantinya tidak lupa ketika ditanya. Tepat setelah 40 menit terlewat, Nicholas akhirnya memberi kode. Meminta Rayden dan Fhelicia untuk bersiap-siap, sejurus kemudian bersama-sama keluar menuju ruang pertemuan di mana para wartawan sudah berkumpul di sana. Begitu memasuki ruangan, kilatan blitz langsung menyergap. Masing-masing awak media berlomba-lomba mengambil foto Rayden dan Fhelicia yang saat itu tampil begitu mesra. "Rayden, boleh dijelaskan status gadis yang saat ini bersamamu?" Salah satu wartawan mulai mengajukan pertanyaan. Rayden yang saat itu sudah duduk, dengan senang hati memberikan tanggapan. "Gadis yang bersama saya saat ini adalah Fhelicia Sharon. Dia adalah pacar yang selama ini memang saya sembunyikan keberadaannya." Seluruh wartawan yang ada di sana langsung heboh. Kegaduhan sempat beberapa menit terjadi karena tidak menyangka dengan statement yang baru saja Rayden sampaikan. Dikenal sebagai aktor tampan yang tertutup dan selalu menjaga privasi, selama berkarir Rayden memang tidak pernah memamerkan siapa kekasihnya. Sempat terdengar gosip berhembus kalau pria itu menjalin hubungan dengan beberapa artis dan model wanita salah satunya Valeria Tan. Beberapa kali tertangkap kamera menghadiri acara penting bersama-sama, membuat publik berspekulasi kalau mereka memang menjalin hubungan. Akan tetapi, Rayden dan Valeria selalu membantah setiap di wawancara oleh para wartawan. Apesnya, beberapa hari lalu, paparazzi memergoki Rayden sedang bermesraan dengan Valeria di dalam mobil. Karena hal ini, dunia selebritis sempat gonjang ganjing mengingat umur mereka berdua yang memang terpaut belasan tahun. "Jadi, Fhelicia ini pasangan resmi kamu? Bukan Valeria Tan?" Rayden menggeleng. Berusaha sekali meyakinkan para awak media yang tengah berkumpul di depannya. "Sudah berkali-kali saya tegaskan, saya memang tidak menjalin hubungan dengan Tante Valeria." "Lalu bagaimana tanggapan kamu mengenai kejadian beberapa hari lalu yang terjadi di parkiran mall?" "Saat itu, saya dan Tante Valeria memang kebetulan menghadiri acara yang sama di sebuah Mall. Karena supir Tante Valeria terjebak macet dan beliau harus segera berpindah ke tempat show berikutnya, saya memang berinisiatif menawarkan tumpangan. Dan, ketika hendak bantu memasangkan seat belt, tiba-tiba saja paparazzi seperti biasa mengambil gambar sembarangan. Membuat frame seolah-olah saya dan Tante Valeria terlibat skandal atau hubungan." Para wartawan mengangguk paham. Percaya sekali dengan penjelasan masuk akal yang baru saja Rayden sampaikan. "Soal nona Fhelicia sendiri, sudah berapa lama kalian berdua menjalin hubungan?" "Belum terlalu lama. Baru sekitar satu tahun lebih," sahut Rayden cepat. Kamera yang tadinya menyorot ke arah Rayden lantas beralih pada Fhelicia. Detik kemudian, para awak media mulai melancarkan aksinya memberondong Fhelicia dengan berbagai macam pertanyaan. "Nona Fhelicia, kalau boleh tau, di mana pertama kali kalian berdua bisa saling kenal hingga akhirnya menjalin hubungan?" Fhelicia tersenyum ramah. Beruntung Nicholas sudah memberikan materi yang perlu ia ingat. Sehingga pertanyaan yang baru saja diajukan tentu saja dapat ia jawab dengan mudah. "Sebenarnya saya sendiri sudah lama kenal dengan Nicholas. Tapi, baru beberapa tahun belakangan dekat dan akhirnya menjalin hubungan." "Lalu, apa kegiataan atau kesibukan Nona Fhelicia saat ini? Apakah berkecimpung di dunia seni peran seperti Rayden? Atau mungkin punya kesibukan lain di luar dunia entertainment?" Fhelicia langsung menoleh ke arah Rayden. Pertanyaan ini memang tidak ada di dalam berkas yang Nicholas berikan. Paham dengan kode yang Fhelicia tunjukkan, Rayden langsung mengambil alih pembicaraan. Berpikir cepat, lalu kemudian bantu menjawab apa yang ditanyakan oleh wartawan sebelumnya. "Saat ini, Fheli cuma sibuk berkegiatan sebagai mahasiswi. Perlu kalian semua tau, saya sengaja menjalin hubungan dengan gadis bukan dari kalangan artis. Di samping karena ingin menjaga privasi, saya juga nggak pengen kalau di kemudian hari kami berdua sama-sama sibuk dengan pekerjaan yang akhirnya malah nggak punya waktu untuk saling quality time." "Pertanyaan terakhir," ucap salah saru repoter. "Apa kalian berdua menjalin hubungan dengan serius? Maksudnya, apakah ada gambaran untuk melangkah ke jenjang yang lebih serius seperti pernikahan?" Rayden tersenyum. Meraih pergelangan tangan Fhelicia. Menggenggamnya erat, pria itu kemudian kembali menyampaikan argumen kepada awak media yang berkumpul di depannya. "Tentu saja saat ini saya dan Fheli menjalin hubungan yang serius. Tapi, untuk melanjutkan ke jenjang yang lebih serius, kami memang belum ada pembicaraan mendalam. Kalau pun nanti sampai ke arah sana, saya dan Fheli pasti akan membagikan berita baik tersebut kepada teman-teman media sekalian." Selesai menjawab seluruh pertanyaan yang diberikan para wartawan, Rayden dan Fheli sama-sama bangkit dari duduk. Berpose mesra beberapa saat ketika para media mengambil gambar mereka berdua. Sejurus kemudian, langsung dikawal meninggalkan tempat pertemuan untuk setelahnya kembali menuju ruangan Nicholas. "Bravo ... bravo ... " puji Nicholas. "Kalian berdua keren banget bisa diajak kerja sama," ungkap pria itu dengan bangga. Lalu pandangan matanya langsung beralih ke arah Fhelicia. "Nggak sia-sia agensi bayar mahal kamu, Fheli." Rayden yang mendengarkan hanya berdecak. Pria itu lantas ikut melemparkan tatapan tajam ke arah Fhelicia. "Fheli, kamu sampai detik ini masih kerja di Bar, kan?" Fhelicia langsung mengangguk saat itu juga. "Masih. Sumber mata pencarian aku memang cuma itu." "Kalau boleh tau, berapa gajimu sebulan di Bar?" Fheli merotasi bola matanya. Mengingat-ingat berapa saja komisi yang sering ia dapatkan setiap bulan hasil bekerja di Bar. "Nggak tentu. Gaji pokoknya sekitar 3 juta. Kalau Bar lagi rame dan penjualan lagi banyak, bisa dapat bonus sampai 4 jutaan." Rayden mengangguk. Pandangan pria itu lantas beralih pada Nicholas. "Nick, tolong kamu siapkan uang sekitar 24 juta terus kasih ke Fheli secepatnya. Nicholas yang bingung, tentu saja langsung menanyakan maksud dari perintah yang Rayden berikan barusan. "Siapkan uang 24 juta? Buat apa?" "Buat ganti uang gaji Fheli selama enam bulan. Aku mau selama jadi pacar pura-pura, dia stop dulu pekerjaannya di Bar. Aku nggak mau ya di kemudian hari dengar wartawan sebar berita kalau pacar aku ternyata pelayan di Bar." Nicholas menjentikkan jarinya ke udara. Benar juga apa yang Rayden katakan barusan. Bisa bahaya kalau para wartawan tahu Fheli ternyata bekerja di sebuah Bar. "Oke, aku bakal langsung kasih saat ini juga uangnya." "Tapi, Ray," sela Fheli. "Aku nggak bisa berhenti gitu aja." "Udah turutin aja," sahut Rayden dengan cuek. "Atau duitnya kurang? Kalau gitu, nanti Nicholas ganti gaji kamu selama satu tahun sekalian. Yang penting kamu nggak kerja di Bar lagi selama menjalin hubungan dengan aku. Kalau kamu nggak setuju, silakan kembalikan semua uang yang sudah kamu terima." Fhelicia meneguk ludahnya. Diancam demikian, nyalinya seketika menciut. Kalau disuruh mengembalikan uang 500 juta yang baru kemarin diterima, bisa gila mendadak ia mencari gantinya. "Oh, ya, Nick," lanjut Rayden. Entah apalagi yang mau pria itu katakan kali ini. "Aku pikir, ada baiknya Fheli kamu pindahkan ke apartemen yang lokasi atau towernya deketan sama aku. Selain privasinya terjaga, kalau ada apa-apa, kita enak rundingan tanpa perlu keluar atau berpindah tempat." Nicholas mengangguk. Saran yang Rayden sampaikan memang sangatlah masuk akal. Dan tanpa meminta persetujuan dari Fheli, pria itu menyanggupi apa yang Rayden pinta. "Ok, besok aku urus dan langsung siapkan satu unit apartemen untuk Fheli segera tempati." Mendengar apa yang Rayden dan Nicholas perbincangkan, Fheli hanya bisa terdiam. Kepalanya mendadak pusing karena kepikiran nanti harus menjelaskan seperti apa kepada sang ibu agar mau ikut pindah bersama dengannya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD