lelaki dari Praha

1617 Words
Matahari tengah terik ketika aku sedang duduk di tepi sungai Danube. Siang itu, entah mengapa angin berdesir begitu kencang. Aku menikmatinya, sangat menikmatinya. Seolah aku memang sedang berbicara dengan dawai itu. Mencoba menyampaikan rinduku yang tiada tara kepada ayahku yang sudah berbahagia di awan keabadian. Musim panas 1871. Saat usiaku 16 tahun, aku tinggal bersama ibu disebuah gubuk kecil di gang sempit di kota Vienna. Kota yang selalu terasa hangat, namun tetap keras bagi kehidupan kami. kami hidup berdua, saling menjaga tapi saling membenci di saat yang bersamaan.  Sepeninggal ayah. Ibu yang bekerja membanting tulang mengganti ayah. Agak susah memang bekerja di vienna bagi seorang wanita. Apalagi proporsi ibuku yang sangat gemulai. Hanya satu yang bisa dia kerjakan, yeah apalagi kalau bukan menjadi wanita penghibur. dan ini hal yang tidak begitu kusukai darinya. Ibu tidak lagi memikirkan kehidupanku sejak 16 tahun lalu. Semenjak berita karamnya kapal ayah pada badai samudra pacifik 16 tahun lalu. Saat aku baru lahir. Jadi, yeah beginilah aku. Hidup di alam, dibesarkan oleh langit, berpikir dengan idealis pada hidup dan kehidupan. aku terpaku melihat jingganya langit. mendengarkan suara angin serta merasakan kehangatan bumi yang mendekapku dengan mesra. ya bagaimana bisa aku menjadi seromantis ini. merasa jiwa yang terlalu perasa namun sedikit tidak peka di saat yang bersamaan.  aku suka menikmat sore ku ditepian sungai danube sembari membaca buku harian ayah yang sudah khatam k****a berkali-kali dan seperti biasanya Aku pulang ketika petang mulai menyapa. Tidak seperti malam malam biasanya. Ibu sudah berada di rumah. ya, mana mungkin ada seorang p*****r masih berada di rumahnya di jam segini. oh rupanya ibu baru saja mendapatkan berita. "Vanessa" panggil ibu. Dia duduk di meja makan dengan setumpuk kertas. "Kau sudah pulang nak?" Tanya ibu. Aku mengangguk. Ibu menyodorkanku sebuah surat. Aku yakin itu dari pelanggan ibu yang mabuk kepayang memuji permainan ibu. Surat yang memang selalu terkirim yang berisi kata kata erotis. Ibuku memang  tidak bisa membaca apalagi menulis. Pendidikan juga tidak affort untuk masyarakat rendagan seperti kami.  Tapi aku bisa membaca. Aku belajar membaca dari rekan rekanku yang mengenyam pendidikan dan dari beberapa biarawati baik yang sering memberi kami makanan dan minuman. Selain membaca aku juga bisa berhitung. Hal yang sangat langka bagi masyarakat eropa apalagi kalangan rendahan seperti kami. berita itu di tulis pada sebuah kertas ang nampak mahal. dan ya, ada amplop berwarna pink dan memiliki pita. saat aku membuka surat itu, tidak lagi tercium aroma tinta yang masih basah. nampaknya surat it berasal dari jauh. aku memang tidak pernah tahu lelaki mana saja yang pernah mengencani ibuku. hanya saja di lihat dari latin yang tertatah di atas kertas, nampaknya orang tersebut adalah orang dnegan pendidikan yang tinggi atau mungkin berasal dari kalangan orang-orang tinggi. yeah, terlalu rapi untuk di tulis seorang pandai besi.  "surat ini dari siapa?" tanyaku pada ibu. "maksudku penggemarmu yang mana, apakah kau mengencani seseorang dari kalangan burjuis?" cercaku. "nanti ibu ceritakan. sekarang kau bacakan untuk ibu." pinta ibu yang segera kuanggukkan. Dier Evelyna Madison Kabarku baik saja. Bagaimana kabarmu? Lama sekali kita tidak bersua. Kuharap kau bahagia sekarang. Aku menerima undangan kunjungan yangkau kirim sebelumnya. Aku sangat bahagia kau mengundangku ke pondokmu. Mengingatkanku akan mendiang Joshua sahabatku. Oh ya? Anak gadismu itu, dia tumbuh dengan baik bukan. Aku yakin dia secantik engkau, dan memiki mata biru yang damai seperti Joshua. Vannesia-ku.... Siapa sebenarnya orang itu. Tidak seperti biasanya tamu ibuku membicarakan aku. Maksudku rata rata tamu ibu selalu menulis surat erotis. Namun mengapa surat ini terasa hangat dan nyaman ketika membacanya. aku terdiam sejenak, dalam suratnya ia memanggil namaku, yang mana aku yakin dia pasti teman lama kedua orang tuaku. tapi mengapa dia menemui kami, yeah seperti yang kau tau. ketika posisimu begitu di bawah dan terpuruk tidak banyak orang yang datang kepadamu karena mereka tidak mendapatkan keuntungan apapun dari kondisimu yang terpuruk itu. Aku yakin sekarang usianya 15 atau 16 tahun. Waktunya dia menjadi seorang wanita yang bijaksana. Aku berhenti membaca surat dan menatap wajah ibu. "Apa ini artinya?" Tanyaku pada ibu. "Kau tidak berpikir akan menjualku kan?" Ibu tertawa. "Tentu saja tidak anakku. Dia paman Ziyan, kau tidak mengingatnya? Kau sangat menyayanginya dahulu" ujar ibu membuatku bernapas lega. "Lalu kenapa kau mengundangnya?" Tanyaku. "Hah" ibu menarik napas panjang. "Kau tahu kehidupan di Vienna sangat kerasa sekarang. Ibu berpikir kita bisa tinggal bersama paman Ziyan. Dia mengirimiku surat yang dibaca mr. Pill tempo hari. Dia menawarkan tempat tinggal untuk kita. Di praha" jelas ibu. "Lalu bagaimana denganmu. Maksudku? Bagaimana pekerjaan ibu?" Tanyaku. "Ibu bekerja untuk dia" ujar ibu dengan senyuman genit. Itulag ibuku. Tidak bisa hidup tanpa s*x. Aku melanjutkan membaca surat dari Paman Ziyan. Kata katanya manis, tidak ada subjek s*x didalamnya. Salamku yang terhangat, zyan abraham. Aku tidak begitu mengingat paman Zyan. mungkin memang karena daya ingatku yang parah. Yeah ayahku memang terlalu banyak memiliki banyak teman. Dan ayah meninggal ketika aku baru saja lahir. Tentu saja aku tidak bisa mengingat teman teman ayah meskipun mayoritas teman ayah adalah teman ibu juga tapi rasanya ini berbeda. Mungkin hanya beberapa yang sering tidur dengan ibu selebihnya aku tidak tahu. mendapatkan surat itu ibu nampak senang, bahkan ia sampai tidak menerima tamu dan lebih baik tidur sembari memeluk surat itu. Pagi datang. Pagi pagi sekali aku di bangunkan oleh suara dengusan Aron. Dia adalah kuda hitam jantan peninggalan ayah yang kupunya. Aku segera kekandang. Melihat Aron sudah terkapar. Dia memang sudah tua, 26 tahun umurnya. Matanya hanya menatap kosong, dengan napas yang tersengal sengal. Aku berdusaha untuk tetap membuatnya tersadar. Satu Dua Tiga Berlahan mata itu tertutup. Berlahan napas itu hilang. Berlahan kandang menjadi meredup. hatiku merasakan kehilangan (Lagi). Aron telah tiada, dia pergi tanpa mendapatkan sarapan paginya. Dia pergi tanpa berpamitan denganku dan ibu. Sama seperti ayah yang pergi tanpa memelukku dan tanpa menghabiskan ssrapan paginya. Aku menangis. Dengan sekuat tenaga aku mengangkat badan Aron yang bobotnya hampir dua kuintal. Aron adalah kuda paling perkasa diseluruh kota Vienna. Aku menaruh aron di atas papan gandum dengan susah payah. Lalu menggeret badannya yang sudah tak.berdaya berjalan keluar kandang. Segera aku membuat lubang dengan skop. Lalu memasukkan Aron ke peristirahatan terakhirnya. didalam kubangan jenasah itu aku menangisinya, menangisi kehilangan. kuharap aku tidak akan mendapatkan kehilangan lagi, kuharap ini adalah yang terakhir. aku tidak ingin kembali merasakan duka, tidak ingin lagi merasakan luka. mataku terpejam dan aku mengingat bagaimana Aaron kudaku yang malang menemani hari-hariku. aku ingat bagaimana tapak kakinya berlari dengan ketukan yang khas. aku ingat jegiran paginya saat aku memberikannya sarapan di pagi hari. aku ingat bagaimana aku dan Aaron bersenang-senang saat aku memandikannya. dan semua itu kini tinggal kenangan. kenangan yang membuatku kembali bersedih. Aku menangis sejadi jadinya. Lalu pulang ketika matahari sudah meninggi diangkasa. "Kau dari mana saja?" Tanya ibu dengan pakaian yang belum benar dan wajah yang masih berantakan dengan make up yang masih berantakan. Dan rambut yang belum diapa apakan. "Aron telah  meninggal bu" ujarku menangis meraung. ya menangis seperti seorang anak kecil yang kehilangan kudanya. "Sudah sudah. Kau sekarang membantu ibu bersolek. Lalu bersihkan rumah dan masak. Petang nanti paman zyan datang" ujar ibu mengusap punggungku.. "Aku belum mandi" ujarku  dengan tangis yang sesenggukan.. "Tak perlu mandi. Bantu ibu hurry up" ibu segera berdiri didepan cermin ibu segera memakai pakaian dalamnya. sedang Aku membantuk membenakan korset ibu. Dan rok gawn berwarna merah menyala itu dengan guratan bunga-bunga hitam yang meskipun murahan namun nampak pas di badan ibu. Kutali rapat rapat perut ibu. Hingga membuat ilusi dia masih gadis, p******a ibu nampak menyundul. Rok transparan yang menghliatankan kaki jenjang ibu. ya, ibu nampak seperti seorang jalang sekarang. Selagi aku membenahi pakaian ibu. Ibu sibuk berdandan. Ia menggunakan gincu merah senada dengan warna gaunnya. Malam ini dia menggunakan setelah berwarna kuning yang meskipun lusuh namun tetap bisa memberikan aura menggoda bagi setiap lelaki yang melihatnya. ya, bagaimana tidak dia hampir memperlihatkan payudaranya yang sengaja di sumpelkan kaos kaki agar payudaranya nampak lebih menonjol. korsetnya juga sengaja untuk di eratkan. Setelah Aku selesai membenakkan pakaian ibu. Aku mengisir rambut panjang ibu yang bergelombang. tidak lupa juga menggunakan parfum beraroma melati agar siapapun yang melintasinya dapat mencium aroma penuh hasrat. Aku selelsai tepat waktu namun ibu masih bersolek. Dia benar benar sudah nampak menjadi p*****r. Aku tidak membencinya, karena tentu saja dia ibuku. Seberapa buruknya dia dimataku dan dimata orang orang dia adalah satu satunya orang yang kupunya saat ini. Ketika ini sakit aku sakit. Ketika ibu tidak bahagia akupun tidak bahagia. Aku menyayangi ibu. setelah membantu ibu bersolek, Aku segera membersikan rumah. Menyapu dan meletakkan barang barang di tempatnya. rumah kami yang selalu nampak seperit gudang sedikit banyak berubah menjadi lebih bersih meskipun tidak lebih dari panampakan kandang. Setelah selesai aku segera kedapur. Menyalakan api di tungku dan memasak. hid kangan malam ini sangat mewah, ibu membeli ayam dan beberapa sayuran yang jarang sekali aku bisa menikmatiya. sepertinya kedatangan Paman Zyan memang benar-benar istimewa bagi ibu. lama waktu berlalu, keadaan rumahku yang reyot nampak lebih baik sekarang. meskipun tidak bisa kuusir tikus-tikus yang lewat dengan sembarangan. yaa beberapa kali aku mengeluarkan kecoa dari rumahku setidaknya agar tidak terlihat kotor dan kumuh saja, meskipun sebenarnya rumahku nampak amat sangat kumuh. Tak kurasa hari telah petang. Tok tok tok Suara pintu yang diketuk terdengar. "Vanessa bukakan pintu cepat" ujar ibu girang. Aku segera berlari berkaca sejenak di kaca sebelah dapur. Melihat cemong cemong hitam diwajah dan pakaianku. Aku nampak berantakan. Sedikit aku mengelap cemong yang ada dipipiku meskipun aku tahu cemong itu mungkin akan melebar mengotori wajahku. Kemudian aku membukakan pintu. Ceklok Mata violetnya menatapku sendu. Dengan hidung yang mancung. bibir merah dengan bawahnya yang agak tebal, rahangnya tegas . Rambutnya pirang kecoklatan dipotong rapi dan klimis. Kulitnya memang terlalu pucat untuk seorang caucasian, namun tetap saja ia nampak  mempesoan. Dan ituaroma tubuhnya. Mungkin itu aroma Vetiver yang tercium maskulin saat bercampur aroma tubuhnya. "Siapa Vannessa?" Teriak ibu. Aku berdiri diambang pintu masih mengamati pesonanya. "Aku, zyan Abraham" teriak lelaki itu. sembari tersenyum  Mengamatiku dengan tatapan yang bersahabat. Sesunggung senyum menghiasi wajahnya. Wajahnya terlalu baik seperti malaikat untuk menjadi seorang b******n yang hanya memiliki nafsu. Aku tersipu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD