bc

Kata Cinta Dalam Doa

book_age16+
928
FOLLOW
7.5K
READ
stalker
love-triangle
family
doctor
drama
sweet
campus
office/work place
first love
spiritual
like
intro-logo
Blurb

Adakah yang lebih menyedihkan di saat kau merasakan kehilangan orang yang paling kau sayang? Asal tahu, aku rasa-semua tak akan mudah dijalani. Sama seperti yang dialami Nadya. Kini ia merasakan hal itu. Hingga ia tak mengenali sosok kepribadiannya sendiri. Bahkan semua hari-harinya telah berbeda, saat ia tak bisa lagi bersamanya. Nadya merasa benci hidupnya.

Bagi Alysa, roda kehidupan memang selalu berputar. Tak akan selamanya ia merasakan kebahagiaan yang selalu menyelimuti keutuhan keluarganya. Beruntung Alysa adalah seorang perempuan yang tegar dan saleha. Meski begitu, ia merasakan hatinya nyeri saat meratapi perubahan Nadya padanya.

Bukan hanya tentang keluarga, Alysa merasa kehidupannya berbeda saat ia tak sengaja bertemu dengan seorang lelaki bertakwa. Lelaki itu Arzan. Lalu, apakah dengan kehadiran Arzan berhasil memberikan ketegaran bagi hidup Alysa? Lalu, apakah kisah asmaranya akan berjalan mulus tanpa hambatan saat Alysa berani menjatuhkan hatinya untuk lelaki semacam Arzan?

chap-preview
Free preview
KATA 1
Suasana di kantor media jurnalistik kota Jogja di pagi itu sedang padat-padatnya sibuk menyelesaikan pekerjaan. Terutama untuk seorang gadis muslimah berpakaian syar'i seperti Alysa Nasya Nazeefah. Gadis itu kerap kali disapa dengan sebutan Alysa. Seorang gadis yang menjabat sebagai reporter di salah satu kantor media kota Semarang. Sudah hampir seminggu Alysa ditugaskan dari kantornya ke salah satu kantor media yang terletak di kota Yogyakarta. Alysa tidak sendirian berada di kota itu, ia bersama Rafilla Putri Azkania. Panggil saja dia Fila, seorang gadis berjilbab syar'i yang sama sepertinya dan telah lama bersahabat akrab semenjak mereka bekerja di satu kantor media yang sama di kota Semarang, tempat kelahiran Alysa dan Fila. “Al, kamu mau teh?” Tawar Fila saat ia mendaratkan duduknya di sisi Alysa yang sedang fokus menyelesaikan pekerjaannya di depan komputer. Sembari Fila meletakkan secangkir teh miliknya di depan meja, setelah ia mendapatkan jawaban gelengan kepala dari Alysa sahabat kantornya. “Kamu nggak mau istirahat dulu, Al? Nggak capek? Aku tawarin kamu minum, kamunya  nolak,” sahut Fila kembali. “Nggak kok, Fil, aku masih nggak capek. Aku harus menyelesaikan tulisanku ini. Agar media Jogja lekas naik cetak untuk minggu ini, dan kita bisa kembali ke Semarang," ungkap Alysa sembari melirik Fila sebentar. Lalu ia kembali fokus menatap layar komputernya. “Kamu nggak menikmati suasana kota Jogja banget ya, Al? Sampai-sampai ... kamu ingin lekas pulang ke Semarang,” Fila berucap seraya menghela napasnya berat. “Jogja adalah kota tradisional yang terbaik dan kotanya juga super romantis, entah itu dengan suasana ramainya atau pun dengan tempat wisatanya. Apakah aku ada alasan untuk tidak sama sekali menikmati kota yang penuh dengan sejarah ini?” “Terus, kalau bukan karena kamu bosan, ada alasan lain?” “Nggak tahu, perasaanku sepertinya nggak enak, Fil. Dari sewaktu aku bangun pagi aja, aku merasa gelisah. Entah kenapa. Tapi, aku udah coba telepon Ayah. Katanya dia lagi ada pertemuan meeting di Jakarta. Terus, aku udah coba telepon Nadya, tapi ... teleponku nggak diangkat." Kali ini Alysa menunduk cemas. “Mungkin, kamu merasa kangen sama keluargamu di rumah, Al. Kamu khawatir sama keadaan mereka di sana. Menurutku, itu hal yang wajar. Setiap orang juga berhak merasakan rindu dengan keluarganya. Aku jadi ingat selama aku ada di Turki, waktu itu aku juga merasakan rindu rumah yang sama sepertimu. Entah aku rindu Umi dan rindu Abi. Aku sangat rindu mereka,” Fila menghentikan perkataannya sejenak. Ia memberikan senyum tipisnya pada sahabatnya itu. Kemudian ia mendaratkan telapak tangannya menyentuh bahu Alysa. Dielusnya Alysa, sahabatnya itu hanya berani menundukkan wajahnya dengan penuh rasa cemas. Berada di luar kota selama seminggu saja, Alysa merasa hatinya begitu gelisah tak menentu. "Al, Kamu yang sabar. InsyaAllah, kalau kita udah konsisten menyelesaikan pekerjaan kita selama di sini, kita juga akan segera balik ke Semarang. Kamu percayakan semuanya sama Allah. Karena hanya Allah yang bisa menjaga keluargamu di rumah, Al. Kamu jangan khawatir berlebihan,” ucap Fila. Untung saja ucapan sahabatnya itu membuat hati Alysa lumayan tenang. *** Nadya semakin mempercepat langkahnya di koridor rumah sakit. Raut wajahnya terlihat sangat cemas saat ia menatap suasana rumah sakit yang cukup ramai. Hingga langkah gadis berkerudung itu terhenti di depan kamar pasien nomor 301. Lekas gadis yang bernama Anasya Nadya Nazeefah itu membuka pintu kamar pasien dan ia memasuki pintu ruangan. Krakk! Nadya mengalihkan pandangnya ke sebuah ranjang dan di atas ranjang itu terdapat wanita paruh baya yang terbaring lemah. Beberapa alat selang oksigen dan infus tampak melekat pada tubuh sang wanita tersebut. Pelan-pelan Nadya menarik langkah kembali hingga mendekati sisi ranjang. Dalam hitungan beberapa detik akhirnya air mata Nadya mulai berjatuhan saat menatap wajah wanita paruh baya yang kini berada di sisinya. “Ibu ... Ibu harus lekas sembuh. Nadya nggak mau Ibu sakit. Nadya sayang Ibu, yang Nadya mau, Ibu cepat sembuh, dan Ibu bisa jagain Nadya lagi. Karena Nadya, cuma punya Ibu. Nadya nggak mau kehilangan Ibu. Ibu harus kuat! Harus!" Isak Nadya saat menatap wajah pucat ibunya yang terkapar lemah di atas ranjang. Jemarinya perlahan meraba puncak kepala sang ibu dengan lembut. Air matanya terus saja mengalir deras menatap sang ibu. Dreet... Dreet... Dreet! Suara ponsel Nadya tampak bergetar. Nadya terperanjat dari posisinya saat mengelus puncak kepala ibunya. Segera ia mengambil ponselnya yang terselip di tas selempangnya. Nadya menatap sebuah nama yang tertera di balik layar ponsel. “Kak, Alysa?” Dahinya mengernyit saat setelah mengungkap pemilik nama kontak itu. Nama yang ia sebutkan ialah kakak perempuannya. Nadya menggelengkan kepalanya saat ponselnya masih bergetar. Ia menatap ponsel itu tanpa ingin mengangkat telepon dari Alysa. Hingga tiba-tiba getaran ponselnya terhenti. Nadya menundukkan wajahnya dan lalu menengok ibunya yang masih memejamkan mata. “Bu, Nadya sengaja nggak mau angkat telepon dari Kak Alysa. Nadya tahu, meskipun Nadya kasi tahu keadaan Ibu pada Kak Alysa, Kak Alysa tetap aja nggak akan balik ke sini. Kakak sama Ayah, tetap saja tak memedulikan keadaan Ibu dan aku. Mereka tetap saja hanya memedulikan pekerjaannya. Bu, Ibu harus lekas sembuh, karena Nadya nggak mau lihat Ibu sakit kayak gini. Nadya sayang sama ibu,” ucap Nadya seraya menjatuhkan puncak kepalanya pada d**a ibunya. Ia memeluk erat tubuh ibunya seraya membiarkan tangisannya tetap mencuat. (Flashback On) Di perjalanan menuju lokasi rumah, Dian bersama Nadya sedang berjalan kaki sembari membawa barang belanjaan dari pasar. Harusnya mereka menumpangi angkutan umum untuk pulang ke rumah, namun karena Dian meminta putri bungsunya untuk berjalan kaki bersama, akhirnya Nadya hanya menuruti kemauan ibunya. "Nadya sudah lama nggak ngerasain jalan kaki bareng Ibu kayak gini. Ternyata jalan kaki seru ya, Bu? Sekali-kali Nadya bisa merasakan olahraga santai begini." Dian tersenyum menatap putrinya. "Ibu juga sudah lama nggak olahraga begini. Biasanya tiap mau jalan kemana aja, pasti Ayah yang mengantarkan Ibu, atau Alysa yang nemenin Ibu pakai mobilnya. Coba seandainya ... mereka berdua selalu bersama kita lagi seperti dulu. Ibu kangen banget kebersamaan kita, Nad.” Dian merasa cemas. Ia sangat memahami kebiasaan suaminya yang sedang sibuk bekerja hingga larut malam. Sedangkan anak sulungnya yang bernama Alysa sedang mendapatkan proyek pekerjaan di Jogja. Namun saat Alysa berada di rumah, ia selalu sibuk menyelesaikan pekerjaannya. Kebersamaan bersama keluarganya sudah tak sama lagi seperti tempo lalu. Nadya menghentikan langkahnya dan menengok wajah Dian. “Bu, Ibu masih ada aku di sini. Dan aku nggak akan kemana-mana ninggalin Ibu sendirian. Aku nggak akan sama seperti Ayah dan Kak Alysa, yang dengan gampangnya mereka nggak memedulikan keadaan Ibu dan aku di sini. Bu, Ibu nggak akan kesepian karena nggak ada Ayah sama Kak Alysa. Masih ada Nadya di sini, yang selalu setia nemenin Ibu.” “Nadya, kamu jangan ngomong seperti itu tentang Ayah dan Kakakmu. Mau bagaimanapun, mereka tetap keluarga kita. Ya, namanya juga sibuk dengan pekerjaan, mereka juga nggak akan bisa meninggalkan amanah. Kamu dan Alysa, sama-sama putri Ibu. Ibu sangat sayang sama kalian," Dian berucap setelah menghentikan langkahnya bersisian dengan Nadya. “Bu, Nadya nggak bermaksud kesal sama Kak Alysa dan Ayah. Nadya, cuma nggak suka aja dengan cara mereka yang seenaknya dan selalu saja fokus bekerja tanpa tahu keadaan kita, Bu. Apalagi kemarin, Ibu sempat sakit sebentar. Padahal kemarin aku udah telepon Ayah sama Kak Alysa. Apa jawaban mereka? Padahal Ibu tahu jelas, mereka hanya nyuruh Nadya untuk cek Ibu ke Dokter dan kasi Ibu obat. Hanya itu, bukan? Tanpa mereka punya inisiatif sendiri, untuk lekas datang ke rumah.” “Nadya, Ibu hanya sakit biasa, kok. Nggak perlu kamu punya pikiran agar mereka mau cepat-cepat datang untuk menemui Ibu. Nadya, kamu nggak boleh bicara seperti itu lagi, ya? Nggak baik, Nak." Nadya terdiam setelah mendengar ucapan ibunya. Ia pun memilih melanjutkan perjalanannya tanpa berniat berucap. ‘Ibu selalu saja membela Kak Alysa sama Ayah. Padahal udah jelas, aku yang selalu di sini, yang nggak mau pergi dari Ibu. Aku yang selalu nemenin Ibu, yang jelas, aku yang lebih sayang sama Ibu daripada Ayah dan Kak Alysa.’ Nadya hanya bisa mengucap rasa kesalnya di dalam hati, karena jika Dian tahu, ia pasti akan memarahi putrinya lagi. Perjalanan mereka hanya tinggal sebentar, arah lokasi rumah sudah begitu dekat dari jalan raya. Namun sayangnya langkah Dian terhenti saat menatap ke arah tukang kerupuk di pinggir jalan arah selatan. "Sayang, kamu tunggu di sini, ya? Ibu mau beli kerupuk sebentar. Tadi di pasar kita nggak dapat kerupuk, loh," ujar Dian. Sementara Nadya hanya mengangguk dan mulai membiarkan langkah Dian menyeberangi jalan raya yang begitu padat. Beberapa menit kemudian, Nadya masih menatap Dian yang baru saja membeli beberapa kerupuk. Sedangkan barang belanjaan lainnya masih Nadya yang memegang. Pandangan Nadya masih fokus menatap Dian, hingga wanita itu mulai menyeberang jalan raya kembali. Sayangnya ia tak memerhatikan keadaan sekitar jalan raya, karena lampu merah masih menyala, Dian berjalan dengan santainya. Beberapa detik, sebuah truk kecil melintas melewati lampu lalu lintas yang masih menandakan warna merah menyala. Truk tersebut melintasi jalan raya yang juga berlawanan bersama Dian yang sedang berjalan di sana. Tak lama kemudian pandangan Nadya terlihat kabur, mendadak ia pusing dan memegang kepalanya setelah menatap kejadian langsung yang menimpa ibunya. Kali ini Nadya hanya bisa menatap beberapa orang sedang berkerumun seolah-olah mengepung Dian yang terjatuh lemas bersimpuh banyak darah. Tatapan Nadya seakan tak jelas, matanya masih buram, ia tak sanggup usai menatap mereka yang mengerumuni Dian. Sayangnya truk yang sedang melintas ke arah Dian, telah menabrak tubuh wanita paruh baya itu hingga terkulai lemas dan tak sadarkan diri. Hingga hitungan beberapa detik, akhirnya Nadya terjatuh pingsan di pinggir jalan. *** Sementara di rumah sakit, Nadya masih cemas menatap kondisi ibunya hingga sore tiba. Ia sengaja tidak masuk kuliah hanya untuk menjaga ibunya yang sedang terkapar di rumah sakit. Nadya menampilkan senyum tipisnya saat menatap wajah pucat ibunya. Gadis itu masih tak terhenti mengelus puncak kepala ibunya yang kini penuh dengan perban. Lalu salah satu dokter memasuki ruangan tersebut, ia bersama seorang perawat yang mulai siap mengecek kondisi sang pasien. Perlahan Nadya memundurkan tubuhnya dan membiarkan dokter dan perawat tersebut memeriksa keadaan ibunya. Nadya hanya bisa berharap pada keajaiban Allah, sang ibu akan lekas sembuh total dari masih kritisnya. “Nadya, bisa ikut ke ruangan saya sebentar? Ada hal yang perlu saya bicarakan terkait kondisi Ibu kamu,” ucap dokter tersebut saat mengalihkan pandangannya pada Nadya yang masih berdiri di sisi pintu kamar. “B-baik, Dok,” jawab Nadya seraya menatap keadaan ibunya dengan cemas. kemudian dokter dan perawat itu melewati Nadya hingga keluar dari kamar pasien. Tak begitu lama, akhirnya Nadya berada di ruangan dokter tersebut. “Sebenarnya saya cukup berat untuk berkata tentang kondisi Ibu kamu saat ini. Tapi, mau bagaimanapun, saya harus memberitahukan ini, Nadya." “Memangnya Ibu kenapa, Dok? Dokter harus bilang sama saya, karena saya harus tahu tentang kondisi Ibu saya. Nadya mohon .... Dokter tolong sembuhkan Ibu saya," ucap Nadya seraya menatap dokter dengan penuh harapan. Mau bagaimanapun juga Nadya sangat tidak mau jika terjadi apa-apa pada ibunya. "Ibu kamu, mengalami penyakit komplikasi gagal jantung.” Tatapan Nadya begitu tertegun dan berkaca-kaca. Ia sangat tak menyangka mendengar ungkapan itu. "Dok, apa ini ada kaitannya dengan kecelakaan kemarin?" “Kemungkinannya hanya beberapa persen. Karena kejadian kemarin, kondisi jantungnya melemah seketika. Sementara untuk bagian luka, dan tulang patahnya masih belum seberapa buruk dibandingkan penyakit jantung Ibu Dian. Karena setelah saya periksa, Ibu kamu memang memiliki riwayat penyakit jantung sebelumnya." “Dok, tapi Ibu saya bisa sembuh? Saya mohon ... tolong buat Ibu sembuh dari penyakitnya. Saya nggak mau kehilangan Ibu.” Lagi-lagi Nadya harus memohon dengan harapan penuh pada dokter. Ia berharap cemas dengan kondisi ibunya. “Nadya, penyakit komplikasi gagal jantung pada Ibumu ini sangat tipis untuk cepat disembuhkan. Komplikasi gagal jantung yang di derita Ibumu telah menyebabkan gagal ginjal juga. Karena gagal jantung  pada Ibu kamu telah mengurangi aliran darah ke ginjal, yang akhirnya dapat menyebabkan gagal ginjal." “Astagfirullahallazim ... Dok, aku mohon ... dengan cara apapun, tolong sembuhkan Ibu saya, Dok." Nadya memohon kembali seraya menatap berkaca-kaca. “Nadya, satu-satunya cara, agar Ibu kamu sembuh, itu hanya operasi transplantasi jantung. Dimana melalui operasi transplantasi, jantung pasien yang sudah rusak diganti dengan jantung dari pendonor. Namun prosedur ini tidak mudah Nadya, mengingat tingginya risiko akan tindakan ini, serta sulitnya mendapatkan donor jantung serta kecocokan dengan pasien." Dokter tersebut mengatur napasnya sejenak sebelum melanjutkan perkataannya. “Di sini saya hanya sebagai Dokter. Di sini saya hanya bisa meringankan sakit pada pasien. Karena yang punya hak untuk menyembuhkan Ibumu, hanya Allah, Nadya. Kamu minta semuanya sama Allah, insyaAllah jika kamu memohon kesembuhan untuk Ibumu pada Allah, insyaAllah Allah akan mengabulkan. Kamu harus sabar ya, Nadya. Saya dan Perawat yang lain, masih berusaha untuk mencari pendonor jantung untuk Ibumu.” Nadya hanya mengangguk pelan dan ia pun mulai beranjak hingga keluar dari ruangan dengan lemas. Ya Allah ... hamba mohon, tolong sembuhkanlah Ibu hamba. Angkatlah semua penyakitnya. Hamba sungguh tak tega melihat Ibu berbaring lemah di rumah sakit. Hamba mohon sekali lagi, tolong sembuhkan Ibu hamba ya Allah. Nadya membatin seraya menundukkan wajahnya dan mencoba menahan agar tangisannya tak terjatuh lagi saat ia berjalan di koridor rumah sakit. Krakk! Pintu terbuka saat Nadya masuk ke ruangan ibunya kembali. Seketika pandangan Nadya terkejut saat menemukan ibunya tak terhenti menggerakkan tubuhnya layaknya sedang sesak napas. Dengan gerak cepat, Nadya segera membuka pintu ruangan dan ia berteriak memanggil dokter. “Dokter! Dokterrr! Tolong Ibu saya, Dok!” panggil Nadya saat telah menemukan seorang dokter kembali berlari cepat menghampiri kamar ibu Dian. Hingga Nadya, dokter, dan beberapa perawat lainnya telah memasuki kamar. Nadya melihat ketika dokter dan perawat tersebut sedang mengambil tindakan untuk memompa jantung ibunya. Lagi-lagi Nadya tak kuat menahan tangisnya dan ia hanya bisa berharap menatap ibunya. Sementara dokter tersebut tetap memompa d**a pasien, hingga alat pompa jantung itu terhenti. Dilihatnya kondisi wanita paruh baya itu masih menutup kedua matanya dengan sempurna. Dokter hanya menggelengkan kepalanya pelan dan kembali memandang Nadya dengan cemas. Salah satu perawat tersebut perlahan mengangkat selimut itu hingga menutupi seluruh tubuh wanita paruh baya yang berperan sebagai ibu Nadya. Nadya tak mampu menahan tangisnya yang mengalir deras membasahi wajahnya. Ia menggelengkan kepalanya tak percaya jika ibu yang sangat ia sayang telah tiada. Lekas Nadya menarik langkah cepat untuk berlari keluar dari ruangan. “Ya Allah! Mengapa Engkau tega mengambil nyawa Ibuku! Katanya Allah sayang sama aku juga, tapi kenapa harus Ibu yang Allah ambil dari aku?! Aku nggak mau kehilangan Ibu! Ya Allah ... apa salahku? Hingga Ibu nggak ada lagi!” teriak Nadya sembari ia menjatuhkan dirinya saat ia berada di depan pintu rumah sakit, sedangkan tangisnya masih tertumpah ruah. ***

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

SEXY LITTLE SISTER (Bahasa Indonesia)

read
308.0K
bc

Billionaire's Baby

read
279.7K
bc

Married With My Childhood Friend

read
43.7K
bc

PEPPERMINT

read
369.7K
bc

Hello Wife

read
1.4M
bc

f****d Marriage (Indonesia)

read
7.1M
bc

Love You My Secretary

read
242.8K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook