KATA 2

2437 Words
Alysa tampak fokus mengetik artikel di depan layar komputer. Sedangkan sahabatnya Fila tampak fokus menyelesaikan beberapa jepretan foto-foto yang ia desain untuk keperluan produksi koran mingguan Jogja. Hingga beberapa menit berlalu, jam telah menunjukkan pukul empat sore. Pertanda sebentar lagi para karyawan di kantor itu akan segera bergegas pulang. Perlahan Fila menyimpan semua desain foto yang telah ia edit ke dalam flashdisk miliknya dan sejenak mematikan daya komputer. Fila beranjak dari bangkunya seraya mengaitkan tas selempangnya ke sisi bahunya. "Al, kamu nggak mau balik? Bareng aku aja, lagian tempat penginapan kita sama," ajak Fila saat ia bersinggah di sisi bangku Alysa. Alysa hanya mendongak pada Fila sebentar dan kembali menatap layar komputer. "Kerjaanku belum selesai, Fil. Lagian artikel ini adalah dokumen terakhirku untuk koran minggu ini. Aku ingin cepat menyelesaikannya, Fil. Apa ... aku lembur aja, ya?" Fila menatap Alysa penuh heran. "Alysa, kerjaanku juga sama denganmu. Aku juga harus cepat-cepat menyelesaikan beberapa desain foto untuk koran mingguan. Lagian tujuan kita hanya satu, agar koran minggu ini lekas naik cetak dan kita bisa lekas kembali ke Semarang. Tapi kamu bisa menyelesaikannya di tempat penginapan, kan? Nggak harus lembur." Mendengar ungkapan Fila, Alysa pun menyimpan beberapa dokumen artikelnya dan kembali mematikan daya komputer. Kemudian Alysa beranjak bersama Fila. Tak lupa gadis itu menyampirkan tasnya ke sisi bahunya. "Iya udah, yuk, balik," sambutnya setelah mengalihkan pandangnya pada Fila. Lalu mereka berdua menarik langkah pergi dari ruangan hingga menuju ke pintu utama kantor. Dreet... Dreet... Dreet ..., suara getar ponsel milik Alysa berbunyi. Gadis itu menghentikan langkahnya sejenak dan memberi kode pada Fila agar ikut berhenti. Kedua gadis itu masih menginjakkan kaki mereka di depan pintu kantor. Beberapa karyawan tampak berjalan santai keluar dari pintu kantor melewati mereka. Sementara di depan parkiran yang tak jauh dari kantor media, terlihat seorang laki-laki bernama Azzam, yakni suami Fila telah menunggu di balik kaca mobil yang terbuka. Alysa cepat-cepat mengambil ponselnya dan lekas menekan layar ponsel. Tampak nomor yang tertera jelas di layar ponsel adalah nomor yang tidak Alysa kenal. Lantaran nomor tersebut tidak tersimpan pada kontak ponsel Alysa. Alysa mengernyit heran saat menatap nomor yang baru saja meneleponnya. "Assalamualaikum, ini siapa, ya?" ucap Alysa. "Waalaikumsalam Alysa, ini Tante Safira, Tante kamu yang ada di Jakarta. Tante sekarang sedang ada di rumahmu di Semarang. Ayahmu bilang sama Tante, kalau kamu sedang ada tugas kantor di luar kota, ya? Ayah, Tante dan suami Tante sudah ada di rumahmu, Nadya juga di sini. Kamu cepat pulang, ya? Ibu kamu ... kangen banget sama kamu, Al. Tante mohon sama kamu, ya, Al? Cepat pulang, Tante tunggu kamu di Semarang, ya, Nak? Tante mohon ...." "Tan, Tante, Ibu kenapa Tante? Alysa boleh ngomong sama Ibu? Alysa mau dengar suara Ibu sekarang Tante, boleh? Ibu nggak apa-apa, Tante?" gumam Alysa dengan nada khawatirnya. "Tante nggak bisa bilang sekarang sama kamu. Bukannya Tante nggak mau mengizinkanmu untuk ngomong sama Ibu kamu, Al. Yang penting, kamu tolong cepat kembali ke Semarang. Tante tunggu kamu. Assalamualaikum." "Waalaikumsalam." Telepon terputus saat Safira mengakhiri sambungan teleponnya. Alysa merasakan dadanya yang sesak dan hingga berkali-kali ia mencoba menarik napasnya dalam-dalam. Tak peduli jika ia dilihat oleh banyak orang di sekitarnya. Genangan air mata Alysa tampak ia tahan. Ingin sekali Alysa menjatuhkan tangisnya, namun ia sangat tahu waktu. Bukan di sini ia harus menangis karena rasa khawatirnya pada ibu yang jauh darinya. Alysa sangat penasaran mengapa tantenya menyuruhnya agar lekas kembali ke rumah. "Al, kamu, nggak apa-apa? Tadi yang telepon siapa?" tanya Fila yang masih berada di sisi Alysa. "Aku harus segera pulang, Fil. Tante aku barusan telepon, katanya, aku harus segera balik ke Semarang. Aku benar-benar kepikiran Ibu, Fil. Aku khawatir, Ibu kangen sama aku. Dia ingin ketemu aku sekarang. Aku mau pulang, Fil," ucap Alysa seraya memasang wajah cemas. Fila sedang menggenggam jemari Alysa kuat-kuat. "Ya udah, aku akan bilang sama Mas Azzam. Agar sekarang, kita lekas balik ke Semarang. Kamu yang tenang dulu, ya?" Pelan Fila menarik tangan Alysa agar segera berjalan kembali dan mengarahkan langkahnya ke mobil xenia hitam milik Azzam. *** Hingga tiba Alysa, Fila dan Azzam di depan rumah bercat biru muda. Setelah terbit fajar di ufuk timur, mereka telah tiba di Semarang. Lekas Alysa membuka pintu mobil dan segera berjalan hingga terhenti sejenak di depan pagar rumah. Sementara Fila dan Azzam mengejar langkah Alysa dari belakang setelah mereka memarkirkan mobilnya di depan pagar rumah. Alysa tercenung menatap bendera kuning yang bertengger di sisi pagar. d**a Alysa semakin berdebar, bendera itu menandakan jika ada orang yang meninggal di rumahnya. Tapi siapa? Alysa semakin mempercepat langkahnya hingga berhasil masuk ke dalam rumah. Ia melewati banyak orang yang memakai pakaian serba hitam untuk datang ke rumah Alysa. Brukk! Alysa membiarkan tasnya terjatuh begitu saja di atas lantai setelah ia menerobos masuk ke dalam rumah. Alysa menatap banyak tangisan yang menggema di sekelilingnya dan doa yasin yang terdengar di sana. Tampak jelas Alysa menatap jenazah yang telah ditutup kain kafan dan selimut batik di tengah-tengah ruangan. Pelan-pelan Alysa menatap satu persatu keluarganya yang berada di ruangan itu, namun Alysa tak menemukan keberadaan ibunya. "Alysa, itu, Ibu kamu ... kamu yang sabar, ya?" sahut Safira, yakni tante Alysa dan Nadya yang tiba-tiba merangkul tubuh Alysa. Alysa menumpahkan air matanya saat setelah mendengar pernyataan tantenya. Pantas saja Alysa sangat ingat benar saat tante Safira tak bisa mengizinkan dia berbicara dengan sang ibu. Alysa sangat merasakan sesak yang mendalam pada dadanya. Rasanya sangat pedih sekali saat menatap jenazah ibu yang berada di tengah-tengah ruangan. Dan yang membuat Alysa sangat terpukul, ia sama sekali tak bisa bertemu terakhir kalinya bersama ibu. "Ibu ... nggak, nggak mungkin Tante!" Isak Alysa saat berada dalam pelukan tante Safira. Sementara di lain sisi, Fila dan Azzam mencoba mencari tahu apa yang sedang terjadi lewat salah satu warga yang datang ke rumah Alysa. "Maaf Bu, siapa yang meninggal?" Fila bertanya. "Ibu Dian, Mbak, yang meninggal. Ibu dari Nadya dan Alysa." "Innalillahhirojiun," sahut Fila bersamaan dengan Azzam. "kalau boleh saya tahu, meninggalnya kapan ya, Bu?" tanya Fila lagi. "Kemarin sore, Mbak, di rumah sakit. Bu Dian sudah beberapa hari dirawat di rumah sakit, semenjak kecelakaan sekitar seminggu yang lalu. Dua hari kemarin, saya tahu karena saya jenguk Bu Dian di rumah sakit, Mbak. Katanya, Pak Kamil suaminya dan Mbak Alysa sedang ada tugas kantor keluar kota, jadi yang seharian jaga Bu Dian itu Nadya anak bungsunya, Mbak. Kasian Mbak, si Nadya." Fila terdiam setelah mendengar ungkapan salah satu wanita paruh baya di depannya. Sebentar Fila melirik Suaminya dan lalu mengalihkan tatapannya pada ruangan di balik pintu rumah. Ia menatap Alysa yang sedang terisak membacakan surah yasin di sisi jenazah sang ibu. Fila ingat benar saat ia pernah merasakan hal yang sama di posisi Alysa. Saat Fila merasakan kehilangan seorang yang sangat ia sayang, yaitu abinya sendiri. Astagfirullahallazim ... ya Allah, ampunilah segala dosa-dosa almarhumah. Tempatkan almarhumah di sisi terbaik-Mu, ya Allah. Lapangkanlah kuburnya, ya Allah. Amin .... Batin Fila yang merasa iba menatap kesedihan sahabatnya dalam duka. Tak sadar Fila menjatuhkan air matanya saat jemari Azzam menyentuh bahunya. "Aku yakin, Alysa sahabat kamu itu, insyaAllah kuat menghadapi segala ujian dan cobaan dari Allah, dan kita sama-sama tetap mendoakan almarhumah Ibunya Alysa." "Iya, Mas, aku, aku hanya teringat sama Abi, Mas. Alysa sama denganku, dia sama-sama nggak bisa ada di dekat orangtuanya di saat-saat terakhir," ucap Fila sembari menyeka tangisnya sejenak. "Kamu yang sabar, semua yang Allah ciptakan di muka bumi itu nggak kekal. Allah sudah menentukan jalan kehidupan pada makhluk ciptaannya. Yuk, kita masuk ke dalam, dan kita sama-sama mendoakan almarhumah," ujar Azzam dan menarik jemari Fila untuk segera masuk ke ruangan. *** Usai pemakaman jenazah, Nadya enggan menghentikan tangisnya, ia masih berada di sisi jendela kamarnya. Ia mengingat jelas kenangannya bersama ibunya. Nadya sangat sayang dengan ibunya. Ia enggan meninggalkan sang ibu ketika usai kuliah. Bahkan saat Ibunya dirawat di rumah sakit kemarin, Nadya sangat cemas. Hingga ia enggan masuk kuliah hanya karena ingin menjaga ibunya di rumah sakit. Hingga terakhir kali ia menatap wajah sang ibu, hati Nadya bagai ditampar seketika saat menatap tubuh ibu yang tak bernyawa. "NGGAK!!! IBU MASIH HIDUUUP! Ibu pasti sembuh, DAN IBU MASIH NGGAK MATIII!! ARRRGGGGH!" teriak Nadya yang mengerangkan tangisannya. Ia memukul-mukul tembok di ruangan kamarnya. Nadya sengaja menjatuhkan dirinya di atas lantai dengan keadaan kamar yang pintunya masih tertutup rapat. Cepat-cepat Nadya melepaskan kerudung panjang yang ia pakai dan di lemparkannya ke atas lantai begitu saja. Setengah rambut yang terikat ia biarkan acak-acakan. Tangisnya masih meledak menyebut-nyebut sang ibu. Sementara Fila dan Azzam berada di ruang tamu bersama Kamil, Ayah dari Alysa dan Nadya. "Terima kasih ya, Azzam dan Fila, sudah mau mengantarkan Alysa pulang ke sini. Saya minta maaf, jika putri sulung saya merepotkan kalian," ucap Kamil yang berdiri di samping keduanya. "Iya, Om, sama-sama. Alysa tidak sama sekali merepotkan kami, Om," ucap Azzam. "Mas, kok aku nggak ngelihat Alysa setelah dari pemakaman tadi? Alysa nggak apa-apa, kan?" Fila bertanya spontan pada Azzam yang masih mengobrol bersama Kamil. Sementara Azzam masih terdiam mendengar pertanyaan sang istri. *** Di arah depan kamar Nadya, Alysa baru saja keluar dari kamarnya yang berdampingan dengan kamar adiknya. Tatapan Alysa terhenti saat menemukan Safira yang sedang mengetuk pintu kamar Nadya berkali-kali, namun pintu kamar tersebut masih belum terbuka. Alysa mendadak cemas mengingat kondisi adiknya. Karena Alysa tahu jika adik bungsunya itu sangat dekat dengan almarhumah ibunya dan tidak segampang itu Nadya akan menerima kenyataan jika ibunya telah tiada. Lekas Alysa mendekati Safira yang tampak membawa nampan berisi sepiring makanan dan air minum untuk Nadya. "Tante, Nadya masih belum mau keluar kamar?" tanya Alysa yang berhenti di samping Safira. Safira menggeleng pelan. "Tante khawatir sama Adik kamu, Al. Dia masih belum makan dari kemarin malam. Nadya juga masih nggak mau berhenti menangis." "Astagfirullahallazim, Nadya. Kalau gini, Alysa juga khawatir sama keadaan Nadya, Tante. Ya udah, Tante istirahat saja dulu, makanannya biar Alysa yang bawakan untuk Nadya. Ya?" "Ya udah, ini, Al. Kamu coba bujuk Nadya, ya? Tante mau kembali ke kamar tamu dulu," ujar Safira seraya memberikan nampan yang berisi itu ke tangan Alysa. Setelah itu ia menarik langkahnya pergi melewati Alysa. Alysa menghela napasnya berat dan rautnya sangat cemas menatap pintu kamar Nadya yang masih tertutup rapat. Perlahan Alysa mengetuk pintu kamar adiknya itu hingga berkali-kali. "Nadya ... buka dulu pintunya, Sayang. Kakak bawain makanan untuk kamu. Tante Safira bilang, kamu belum makan dari semalam. Nanti kamu sakit, loh, makan dulu yuk, Nad?" Krakk! Pintu terbuka sedikit saat Alysa nyaris menghentikan ketukannya. Nadya sengaja membuka pintu kamarnya dan kembali duduk di tepi ranjang kasurnya. Perlahan Alysa membuka pintu kamar itu lebar-lebar dan ia melangkah masuk ke ruangan kamar Nadya. Pelan-pelan Alysa meletakkan nampan yang berisi makanan dan air minum itu di atas nakas. Alysa menatap raut wajah Nadya yang masih tak menghentikan tangis. Pelan-pelan Alysa duduk di sisi Nadya. Ia perlahan mendaratkan sentuhan jemarinya pada bahu Nadya. Hati Alysa merasa bergetar hebat menatap keadaan adiknya yang sangat lemah. "Nad, Kakak tahu, ini sangat berat untuk kamu. Tapi, bukan hanya kamu yang merasa kehilangan, tapi Kakak juga. Bahkan Kakak merasa cemburu sama kamu, kamu yang begitu sangat dekat dengan Ibu, dibandingkan Kakak." "Kakak sadar nggak, sih? Kakak merasa benar sudah selalu meninggalkan Ibu dan aku di rumah? Kakak dan Ayah, selalu sibuk sama urusan kerjaan. Bahkan Ibu berkali-kali menyebut Kakak dan Ayah saat Ibu rindu kebersamaan keluarga kita seperti dulu. Dan sekarang, Kakak kembali ke sini hanya untuk menyesali diri sendiri karena Ibu udah nggak ada? "Malah Kakak bilang, kalau Kakak cemburu sama aku, karena aku terlalu dekat sama Ibu. Kalau seandainya Kakak nggak pergi kemarin dan Kakak nggak terlalu sibuk mengurus pekerjaan kantor, Kakak juga bisa berada di posisi aku yang selalu dekat dengan Ibu," ucap Nadya, isak tangisnya sengaja ia tahan. Alysa terdiam. Ia merasakan hatinya tertampar mendengar ungkapan Nadya. Nadya memang berkata benar, bahkan Alysa sangat jarang berada di rumah saat ia mulai bekerja. "Kakak kenapa diam? Kakak merasa bersalah? Sudah peka sama kesalahan Kakak selama ini? Bagaimana aku dan Ibu selalu berduaan di rumah tanpa ada Kakak dan Ayah? Mungkin aku pikir, Kakak dan Ayah lebih mementingkan pekerjaan dari pada mementingkan aku dan Ibu. Dan kemarin, waktu Kakak telepon aku, aku memang sengaja nggak mau angkat telepon Kakak. "Karena aku tahu, kalau aku kasi tahu Ibu kecelakaan dan sudah ada di rumah sakit, Kakak nggak akan merasa khawatir. Kemarin saja waktu aku telepon Kakak dan Ayah, kasi tahu kalau penyakit Ibu kambuh, Kakak dan Ayah malah nyaranin aku untuk kasi Ibu obat atau langsung periksa ke Dokter aja. Tanpa kalian punya inisiatif sendiri untuk segera pulang ke rumah. Harusnya, Ibu nggak pernah punya anak seperti Kakak dan punya suami yang nggak peduli seperti Ayah." Alysa semakin sesak menahan berat hatinya yang makin pedih mendengar perkataan Nadya. Air matanya tak dapat ia tahan saat ia ingin segera menampar wajah sang adik. "Kamu-" Alysa terhenti ketika tangan kanannya nyaris melayang menyentuh wajah Nadya. "Apa? Kakak mau tampar aku? Mau berkata kalau aku nggak sopan bicara kayak gini sama Kakak? Tampar aja, Kak! Biar Kakak lega, karena udah menelantarkan aku dan Ibu di rumah. Tampar, Kak! TAMPAR!" pinta Nadya dengan nada tegasnya menatap Alysa yang menjatuhkan air matanya kembali. Sayangnya Alysa tak mampu mendaratkan tamparannya pada pipi Nadya. Alysa menarik tangannya yang baru saja ia layangkan. Kali ini Alysa mengurungkan niatnya. "Nadya, Kakak tahu Kakak salah karena selama ini udah membiarkanmu dan Ibu tanpa Kakak dan Ayah. Terus terang, Kakak bekerja bukan untuk bersenang-senang dan nggak memikirkan keadaan kamu dan Ibu. Kakak sangat sayang sama Ibu, dan Kakak memang menyesal karena sempat nggak ada di saat terakhir Ibu kemarin. Kamu boleh menyalahkan kesalahan Kakak, silakan. Kakak nggak akan marah, dan Kakak nggak akan pernah bisa marah dengan Adik kandung Kakak sendiri. Kakak mau minta maaf sama kamu, karena Kakak pernah salah, dan biarkan Kakak menebus kesalahan-kesalahan yang Kakak perbuat sama kamu selama ini." "Menebus? Kesalahan?" Nadya sengaja menyunggingkan tawa yang ia paksakan setelah mendengar perkataan Alysa. Kemudian ia mengambil gelas yang berisi air putih itu dengan tangan kirinya. Hati Nadya semakin panas dan sangat sesak saat menatap gelas yang ia pegang. Sementara Alysa semakin mengernyitkan dahinya heran menatap Nadya. PRANGG!!! Alysa tersontak kaget setelah Nadya sengaja memecahkan gelas yang dipegangnya hingga jatuh berantakan di atas lantai. Nadya beranjak dari duduknya dan menatap Alysa kembali dengan pandangan tangis penuh amarah. "ITU YANG KAKAK MAKSUD UNTUK MENEBUS SEMUA KESALAHAN KAKAK?! GELAS YANG SUDAH JATUH AJA NGGAK BISA DIPERBAIKI SEPERTI AWAL LAGI, KAK! Hati Nadya udah sakit saat tahu Ayah dan Kakak mau datang ke rumah. Hanya untuk menatap dan menyesali jenazah Ibu. Kalau Kakak mau memperbaiki semua kesalahan Kakak, Nadya rasa, nggak akan pernah mungkin." Nadya sengaja mengacak-acak rambutnya dan berteriak kesal bercampur dengan tangisannya kembali. Nadya juga tak berhenti menyebut Ibu. Sementara Alysa masih menangis di tepi ranjang ketika menatap keadaan adiknya yang tak menentu. "Astagfirullahallazim ... astagfirullahallazim ... astagfirullahallazim ...," sebut Alysa saat tangisnya tak dapat ia tahan lagi. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD