KATA 3

2354 Words
AAAARGH!!! PRAANG!! Suara pecahan piring dan gelas itu sempat membuat Kamil, Azzam dan Fila kaget mendengarnya. Mereka bertiga bersamaan mengucap istigfar usai mendengar suara pecahan itu. Kamil menggelengkan kepalanya tak menyangka, batinnya seolah menunjukkan jika ada sesuatu di dalam kamar Nadya, anak bungsunya. “Sebentar, Azzam, Fila, saya mau mengecek ke kamar Nadya,” ucap Kamil seraya beranjak dari ruang tamu meninggalkan Fila dan Azzam yang duduk berdua di sana. Hati Fila semakin gelisah. Ia merasakan perasaan yang tak nyaman dan memikirkan keadaan Alysa sahabatnya. “Mas, aku merasakan perasaan yang nggak enak sama Alysa. Apa jangan-jangan ... Alysa kenapa-napa ya, Mas?” “Kamu perbanyak istigfar aja, Fil. InsyaAllah Alysa nggak apa-apa,” Azzam membalas perkataan Istrinya. Fila hanya mengangguk paham dan sembari membatinkan kalimat istigfar di dalam hatinya. Lindungi Alysa ya Allah, batin Fila cemas. *** Kamil memasuki ruang kamar Nadya yang masih terbuka. Langkahnya begitu terhenti saat menatap pecahan piring, gelas dan nampan yang berceceran bersama beberapa butir makanan dan air yang membasahi lantai. Nadya menundukkan wajahnya setelah tahu jika ayahnya berada di ruang kamarnya. Rambut Nadya yang semrawut itu masih ia pegang erat-erat. Air matanya terhenti mengalir, namun bukan berarti kedua matanya tak berhenti berkaca-kaca. Sedangkan Alysa hanya berani menatap kedatangan ayahnya sekilas. Namun kembali ia menundukkan pandangan dan sembari sejenak menyeka tangisnya. Sementara Kamil menaikkan kedua alisnya dan menyorotkan tatapannya pada kedua putrinya dengan geram. “Nadya, Alysa, kalian bertengkar? Sampai-sampai semua makanan dan airnya jatuh berantakan seperti ini?” tanya Kamil tegas. Nadya menggelengkan kepalanya sembari mengerangkan tangisnya yang kembali jatuh. Sedangkan Alysa tak berani menjawab perkataan Kamil. “Nadya, Alysa, tolong jawab pertanyaan Ayah.” Kali ini nada Kamil sengaja merendah dan memohon agar kedua putrinya menjawab pertanyaannya. “Alysa, kamu pasti bisa jawab pertanyaan Ayah. Bilang semuanya sama Ayah, kamu putri Ayah yang dewasa, harusnya kamu bisa membimbing Adik kamu. Sekarang, kamu bilang sama Ayah. Apa yang terjadi?” Kamil berkata kembali. Kali ini ia tujukan pada Alysa putri sulungnya. Alysa semakin cemas dan merasa takut untuk terus terang pada ayahnya. Sejenak Alysa menengok Nadya yang masih memegang rambutnya erat dan menunduk ketakutan. Alysa semakin bingung, hatinya semakin menciut. Ia takut jika berkata sejujurnya, itu akan membuat ayahnya marah. Sejenak Alysa menghela napasnya pelan dan lalu kembali melirik ayahnya yang masih menunggu jawaban. “Nggak apa-apa, Yah, Nadya dan aku nggak bertengkar. Cuma ... Nadya merasa terpukul, a-atas kepergian Ibu. Jadi, nggak sengaja aja, Nadya ... jatuhin piring dan gelasnya. Hanya itu, Yah,” ujar Alysa yang menundukkan wajahnya kembali. Lagi-lagi Alysa membohongi perkataannya pada sang Ayah. Alysa terpaksa melakukan ini, karena Alysa enggan Ayah semakin marah pada Nadya. Ya Allah, Ampuni kebohongan Alysa, batin Alysa cemas. “Kakak nggak usah sok baik di depan aku. Nggak usah Kakak jadi pahlawan kesiangan membelaku. Karena aku, nggak butuh dibela oleh siapa pun, terutama sama Kak Alysa. Aku pun nggak merasa punya Kakak lagi. Aku anak Ibu, dan hanya aku anak Ibu, bukan Kakak!" Kali ini Nadya mengucap tegas pada Alysa. Alysa terdiam. Ia makin merasakan sesak di dadanya semenjak mendengar perkataan adiknya. Lagi-lagi Alysa menggeleng pelan dan tak mampu menahan tangisnya. Sementara Kamil menatap Nadya geram. “Apa maksud kamu, Nadya?! Kamu udah nggak menganggap Alysa sebagai Kakak kamu lagi?!” sambar Kamil dengan kedua matanya yang semakin membulat menatap putri bungsunya. “Ayah heran? Aku, hanya bicara kenyataan yang ada. Di rumah ini, hanya ada aku dan Ibu. Sekarang Ibu udah nggak ada, dan Ayah nggak merasa bersalah sedikitpun? Kenapa Ayah menelantarkan aku dan Ibu, dan lebih fokus sibuk sama pekerjaan? Dan di sini, hanya aku anak Ibu, bukan Kak Alysa lagi, dan Ayah, Ayah udah bukan suami Ibu. Dan untuk apa aku berhak memanggil anda dengan sebutan Ayah?” PRAKK! Satu tamparan mendarat jelas pada pipi Nadya. Nadya meringis kesakitan dan seraya memegang pipinya erat-erat akibat tamparan Kamil. Tangis Nadya kembali deras mengalir saat ia berani menatap ayahnya kembali dengan wajah geramnya. “Astagfirullahallazim,” sebut Alysa, ia terkejut melihat ayah yang baru pertama kali menampar adiknya. Alysa menatap Nadya dengan penuh rasa khawatir. “Ayah ...” panggil Nadya dengan nada tertekan. Ia semakin ketakutan untuk angkat bicara kembali. “NGGAK SOPAN KAMU BICARA SAMA ORANG TUA, NADYA! DARI KECIL, AYAH DAN IBU MERAWAT KAMU HINGGA KAMU SEDEWASA INI, DAN SEKARANG, KAMU MENGANGGAP AYAH BUKAN AYAHMU LAGI? AYAH MENYEKOLAHKAN KAMU, AGAR KAMU TAHU JUGA YANG NAMANYA SOPAN SANTUN SAMA ORANG TUA! DAN SEKARANG KAMU BERANI BICARA SEPERTI ITU SAMA AYAH?!” Kamil semakin naik pitam, ia kembali menarik sebelah tangannya hendak memukul Nadya lagi. Spontan Alysa berteriak dan mengerang memohon agar ayahnya menghentikan amarahnya pada Nadya. “AYAAAAAH ... BERHENTI, YAH!” Alysa spontan menangkis Kamil. Alysa sengaja lekas beranjak dari sisi ranjang, dan ingin menghentikan amarah keduanya. “Istigfar, Yah! Ayah jangan mukul Nadya lagi. Nadya nggak salah, aku yang salah, Yah. Aku tahu, aku udah nggak pernah jadi Kakak yang baik untuk Nadya. Aku nggak pernah jadi anak yang baik untuk Ibu. Aku aja jarang di rumah, tanpa aku tahu keadaan Nadya dan Ibu kemarin. Alysa yang salah, kalau Ayah mau mukul Nadya lagi, mending Ayah pukul Alysa aja," Alysa berucap seolah membela Nadya dan menyerahkan dirinya. “Astagfirullahallazim ... astagfirullahallazim ....” Kamil lekas kembali keluar dari ruangan kamar Nadya. Dengan isak tangisnya dan kalimat istigfar yang ia tahan. Sedangkan Alysa kembali mendekati Nadya yang masih menangis ketakutan memegang wajah dan rambutnya. Alysa perlahan mengelus puncak kepala adiknya dengan penuh kasih sayang. Lalu ia mendekapkan dirinya pada sisi Nadya. Dengan tangis yang lumayan tenang dari sebelumnya. “Kakak janji sama kamu, Kakak akan jagain kamu, Nad. Kakak nggak akan ninggalin kamu lagi. Kakak nggak mau terlalu fokus kerja lagi. Kalau bisa, Kakak berhenti dari perkerjaan Kakak. Agar Kakak bisa selalu jagain kamu, Dek. Kakak sayang sama kamu dan Kakak nggak mau kehilangan kamu. Ibu sekarang udah nggak ada, tapi Kakak masih punya kamu. Tolong percaya sama Kakak, kalau Kakak berani buat Nadya kecewa lagi, Nadya boleh benci sama Kakak.” Nadya merasa tenang berada di dalam dekapan sang kakak. Ia tetap mengalirkan air matanya yang berjatuhan. Nadya masih tak terhenti menyebut ibu. Pikirannya masih teringat dengan kata ibu dan ibu. Menatap adiknya, Alysa semakin cemas. Pelukannya pun semakin ia eratkan untuk menenangkan Nadya. Ya Allah ... lindungilah keluarga hamba. Terutama Nadya Adikku, aku sayang sama dia. Hamba mohon ya Allah, tolong tenangkanlah hati Nadya Adik hamba, batin Alysa. *** Seminggu telah berlalu, Alysa mengembuskan napasnya perlahan saat ia berada di meja kantornya. Seminggu yang lalu ia telah membuat kesalahan karena pergi mendadak dan meninggalkan pekerjaannya yang berada di Jogja lantaran ibunya telah tiada. Harusnya sebelum Alysa pergi, ia harus meminta izin terlebih dahulu pada redaktur kantor. Akhirnya Fila yang kemarin langsung kembali ke Jogja dan terpaksa harus mengambil alih kerjaan Alysa dan meminta izin dari redaktur koran Jogja. Kali ini Alysa semakin meyakinkan hatinya lagi, bagaimanapun keputusannya telah bulat. Alysa harus menyerahkan surat pengunduran dirinya pada atasan redaktur kantor jurnalis Semarang. Bismillah..., ujar hatinya pelan. Kali ini ia tak bersama sahabatnya Fila. Sahabatnya itu masih sedang mengurus pekerjaannya di Jogja hingga seminggu ke depan. Alysa telah mengabarkan tentang surat pengunduran dirinya pada Fila sebelumnya. Awalnya Fila enggan menerima jika sahabat dekatnya setelah Laila itu harus meninggalkan pekerjaannya. Namun setelah Alysa menjelaskan secara sempurna pada sahabatnya, akhirnya Fila menerima keputusan Alysa dengan berat hati. Tok... Tok... Tok..., Alysa mengetuk pintu redaktur sebentar dan lalu ia masuk ke dalam ruangan setelah bapak redaktur mengizinkan dirinya masuk ke ruangannya. Alysa semakin yakin untuk memberikan surat pengunduran dirinya pada redaktur kantor. Bismillahirrahmanirrahim ... semoga ini jalan yang benar yang kupilih, ya Allah. Amin ..., batin Alysa. *** Sementara di ruang kamar. Gadis berkerudung merah jambu itu hanya duduk di depan cermin kamarnya sedari pagi setelah ia usai sarapan bersama ayah dan kakaknya. Nadya enggan beralih bergeming di depan cerminnya. Ia hanya menatap dirinya penuh tegun. Sekilas ingatannya tetap terpenuhi dengan kebersamaan ibunya. (Flashback On) Dian mendekati putri bungsunya di sofa ruang keluarga. Ia menatap Nadya yang masih berkutat membaca majalah fashion hijab. Pelan-pelan Dian meletakkan dua cangkir teh hangat di atas meja dan seraya bergabung untuk membaca majalah yang Nadya pegang. Diam-diam Dian menyimpul senyumannya saat menatap anak bungsunya tersenyum senang melihat majalah yang dipegangnya. “Bu, fashion-fashion muslimah di majalah ini cantik-cantik ya, Bu? Nadya pengin, jadi kayak mereka. Pakai baju muslim dan kerudung yang cantik kayak mereka. Apalagi kayak Kak Alysa. Yang udah lama pakai baju muslimah, Bu. Rasanya adem banget sampai ke hati. Nyaman gitu kalau Nadya lihat, Bu,” seru Nadya dengan semangatnya membuka halaman majalah yang ia pegang. Perlahan Dian mengelus puncak rambut panjang Nadya dengan lembut. “Kamu itu udah cantik sayang, anak-anak Ibu itu pasti cantik-cantik. Kayak kamu, dan Kak Alysa. Apalagi ... kalau kamu punya keinginan pakai pakaian muslimah seperti Kakak kamu. Ibu pasti mendukung keputusanmu. Apalagi kalau kamu mau makai jilbab kayak Ibu dan Kak Alysa. Kamu pasti tambah cantik. Ibu pernah bilang sama kamu, perempuan itu memang diwajibkan untuk menutup auratnya. Memakai pakaian jilbab dan melapisinya dengan kain kudung hingga menutupi dadanya. Itu perintah dari Allah langsung yang ada di dalam surah alquran, sayang.” Nadya mengangguk paham, “Ibu ajari Nadya, ya? Nadya mau pakai baju muslimah. Nadya mau pakai kerudung. Kayak Ibu dan Kak Alysa.” “Pasti, nanti Ibu ajari kamu ya, Nak? Nanti Ibu ambilkan kerudung-kerudung dan pakaian muslim punya Ibu yang belum sempat Ibu pakai. Semuanya untuk kamu saja sayang, dari pada kamu harus beli, ya, kan?" ucap Dian. Ia melanjutkan membaca majalah yang dipegang Nadya. (Flashback Off) Nadya perlahan melepas kain kerudung yang menutupi kepala dan dadanya. Lalu dengan hati gelisah ia lemparkan kerudung merah jambu pemberian dari ibunya itu ke atas ranjangnya. Air matanya terus mengalir deras mengingat saat dimana kenangannya bersama ibunya yang berlalu. Kini rambut hitam panjang tak terurai milik Nadya sangat terlihat jelas. Nadya hanya memakai baju lengan panjang berwarna merah jambu dan celana berwarna biru. Sejenak Nadya menyeka air matanya kembali dan ia cepat-cepat menyisir rambut panjangnya hingga lurus seperti semula dan lalu sengaja ia ikat. Nadya membiarkan poninya menutupi sisa dahinya yang tampak jelas terlihat. Sedikit menaburi wajahnya dengan bedak dan memoleskan lipstik di bibirnya. Setelah selesai berdandan, ia menatap dirinya kembali di balik cermin. Nadya terpaksa menarik simpul senyumnya tipis. Maafkan Nadya, Bu. Nadya harus berubah. Nadya nggak mau menuruti dan mengingat perkataan Ibu. Nadya memang anak yang nggak pantas dibanggakan, Bu. Nadya harus melupakan Ibu. Harus. Nadya membatin di depan cermin. Kemudian ia meraih tas selempangnya di balik pintu dan beranjak keluar dari kamar. *** Usai Alysa mengurusi surat pengunduran dirinya di kantor, ia pun kembali mengayuh sepeda rantangnya setelah keluar dari parkiran kantor jurnalistik. Alhamdulillah, semuanya lancar setelah ia berbicara mengenai alasannya untuk berhenti bekerja. Alysa semakin mantap untuk selalu berada di rumah dan menjaga Nadya di rumah. Soal pekerjaan, Alysa akan memikirkan kembali. Kali ini pikirannya hanya fokus pada Nadya. Mau bagaimanapun Alysa masih memiliki tanggung jawab penuh untuk menjaga Nadya. Keadaan psikis adiknya itu masih kurang membaik. Setelah kejadian kemarin hingga Nadya berusaha menyalahkan dirinya dan ayahnya yang lalai menjaga keluarga. Alysa merasa terpukul tentang itu. Alysa sangat cemas mengingat keadaan Nadya. Alysa mengerti, Nadya sangat butuh teman. “Astagfirullahallazim! Astagfirullah .... Aaaaa!” teriak Alysa setelah terjatuh bersama sepeda rantangnya yang menindih kedua kakinya. Baru saja arah mobil dari arah kanan menabrak Alysa yang akan berbelok ke arah berlawanan bersamanya. Alysa enggan menyalahkan mobil yang menabraknya tiba-tiba. Itu semua murni kesalahannya. Alysa sengaja tetap mengendarai sepedanya ketika lampu merah pada traffic light menyala. Pikiran Alysa tak menyatu pada arah jalan raya. Ia ingin lekas sampai ke rumah dan bertemu dengan Nadya. Mobil jazz silver itu terhenti setelah menabrak sepeda rantang Alysa. Cepat-cepat pemuda bertubuh jangkung yang mengenakan kemeja hitam itu keluar dari mobil dan menghampiri Alysa. Ia juga segera menarik sepeda rantang yang telah menindih kaki Alysa. Sedangkan Alysa masih merintih kesakitan memegang kedua kakinya. “Astagfiruallah! Mbak, Mbak nggak apa-apa? Apa perlu saya antar ke rumah sakit? Kaki Mbak pasti terluka," sahut pemuda yang bernama Arzan itu. Sebentar Alysa melirik Arzan yang jaraknya lumayan dekat dengannya. Sepeda rantangnya sengaja Arzan letakkan di depan mobilnya. Alysa menggelengkan kepalanya dan menundukkan pandangannya kembali. “Astagfirullahallazim, nggak usah. Makasih Mas, insyaAllah saya masih bisa jalan sendiri dan saya nggak apa-apa. Lagian ini semua salah saya, saya yang sengaja belok ke kanan. Padahal lampu merah masih menyala.” “Mbak, ini juga salah saya, Mbak. Meskipun saya nggak tahu kalau ada sepeda Mbak yang mau belok ke kanan juga. Maafkan saya ya, Mbak? Bagaimana pun, Mbak harus ke rumah sakit. Biar saya antar.” Lagi-lagi Arzan menawarkan. Hati Alysa mulai gelisah saat setelah merintih kesakitan. Ia berpikiran pada laki-laki yang sedang berada di sisinya kini. Bagaimana bisa aku mau menerima tawarannya? Dia bukan mahramku, masa iya aku harus satu mobil dengannya? Jangan Alysa ... kamu pasti bisa jalan, kok, Alysa masih membatin bersikeras. Pelan-pelan Alysa mencoba bangkit. “M-maaf, Mas. S-saya nggak bisa. M-maksud saya, saya nggak bisa satu mobil dengan laki-laki yang bukan mahram saya. Sekali lagi maaf, Mas? InsyaAllah saya bisa jalan,” ucap Alysa setelah ia berhasil berdiri. Ia pun mendekati sepeda rantangnya yang bertopang di depan mobil milik Arzan. Arzan masih tertegun menatap Alysa yang berjalan terpincang-pincang dan mulai memegang sepedanya kembali. “Iya, maaf, Mbak? Maksud saya, nggak gitu. Saya juga tahu perihal soal mahram dalam Islam. Maksud saya, saya mau mengantarkan Mbak ke rumah sakit terdekat. Kaki Mbak itu cedera, saya juga harus bertanggung jawab. Karena udah menabrak, Mbak. Nanti saya panggilkan becak saja, Mbak naik becak. Sepeda Mbak biar saya yang bawakan pakai mobil. Nanti saya antarkan sampai rumah sakit.” “Iya, makasih, Mas. Udah mau nolong saya. Tapi saya nggak akan nuntut pertanggung jawaban. Karena ini semua murni kesalahan saya sendiri. InsyaAllah saya bisa jalan sendiri. Kaki saya hanya lecet sedikit. Nanti biar saya yang obatin di rumah. Sekali lagi maaf dan makasih. Assalamualaikum,” ucap Alysa seraya cepat-cepat menuntun sepeda rantangnya dengan jalannya yang cukup terpincang. Alysa sempat mengucapkan kata bismillah sebelum berjalan menuntun sepedanya. “Waalaikumsalam." Arzan masih tercenung menatap Alysa yang telah berjalan menjauhinya. Perempuan berpakaian syar'i itu berjalan terpincang membawa sepedanya sendiri. Subhanallah ... baru kali ini aku bertemu dengan gadis seperti itu. Astagfirullahallazim! Arzan! Ngomong apaan, sih! Dia bukan mahram kamu. Nggak berhak juga kamu memujinya. Ya Allah ... tolong jaga hati hamba, batin Arzan. Ia pun mengambil langkah cepat dan memasuki mobilnya kembali. Hati Arzan memang gelisah karena kesalahannya yang belum sempat bertanggung jawab pada perempuan berjilbab syar'i itu. Arzan memilih cara lain, ia sengaja mengikuti Alysa hingga ke rumah. Hanya untuk memastikan gadis yang bersapa Alysa itu baik-baik saja sampai rumah. Bersambung 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD