KATA 4

2443 Words
Alysa memasuki pintu rumah setelah ia meletakkan sepedanya di garasi samping rumah. Ia berjalan seraya tertatih pelan. Kakinya masih terasa sakit akibat kecelakaan ringan yang baru saja terjadi padanya. "Assalamualaikum," sapa Alysa mengucapkan salam saat dirinya telah mendaratkan duduknya di sofa ruang tamu. Alysa menatap sekeliling rumah yang sangat sepi. Mengingat ayahnya kembali bekerja dan harusnya Nadya masih berada di rumah. Alysa hapal jadwal kuliah adiknya itu. Nadya harusnya tidak ada jadwal kuliah hari ini. Baru pagi tadi adiknya bilang akan tinggal di rumah. Tapi salam Alysa masih belum ada jawaban. Rumah yang cukup besar itu memang sengaja tidak memakai jasa asisten rumah tangga. Dulu almarhumah ibunya yang meminta untuk mengurus rumah itu sendirian. Saat ini ibunya telah tiada. Harusnya yang kembali mengurus rumah saat ini ialah dirinya. Alysa berpikir akan mulai bertanggung jawab untuk keluarga, mengurus rumah dan menjaga adiknya. Perlahan Alysa mengabaikan keadaan rumah sejenak. Ia mulai pelan-pelan melepas kaus kakinya yang terdapat sedikit bercak darah. Rupanya Alysa merasa merintih kesakitan saat kaus kakinya telah berhasil ia lepas. Ternyata kaki Alysa memang benar terluka. Meskipun lukanya tidak seberapa, namun sakit yang Alysa rasakan sangat perih. Darah yang sedari tadi mengalir dan menempel di kaus kakinya itu telah cukup mengering. Alysa kembali beranjak dari sofanya perlahan. Dan lalu menenteng kaus kaki dan sepatunya hingga kembali berjalan tertatih. Langkah Alysa menuju ke ruang belakang. Ia meletakkan kaus kaki yang telah berdarah itu ke dalam keranjang cucian dan meletakkan sepatunya ke dalam rak. Lalu Alysa beralih mengambil betadine, kapas dan sebagian plester untuk mengobati lukanya di meja ruang belakang. "Nadya kemana, ya?" ucap Alysa setelah sebentar mengobati luka kakinya dan membalutkan plester itu untuk menutupi lukanya. Alysa kembali beranjak dari kursinya dan berjalan hingga menuju ke depan kamar adiknya. Tok... Tok... Tok! "Nadya, Nad ... ini Kakak Nadya, kamu masih di dalam, kan?" panggil Alysa dengan mengetuk pintu kamar adiknya beberapa kali. Namun masih nihil jawaban. Alysa menghela napas pasrah. Ia pun kembali khawatir dengan keadaan adiknya. Lalu sengaja Alysa memutar gagang pintu dan membuka pintu kamar Nadya. "Nad ..." Belum sempat Alysa menyebut nama sang adik, keadaan ruang kamar Nadya terlihat kosong tak berpenghuni. Alysa semakin heran setelah menatap ruang kamar Nadya. Bukan karena kamar Nadya tampak tak rapi. Namun kemanakah Nadya pergi? Alysa semakin cemas, bingung, dan khawatir setelah tahu adiknya tak ada di kamar. "Nadya ... kamu kemana, sih?" gerutu Alysa dengan keadaan gelisah. Ia kembali menutup pintu kamar Nadya setelah dirinya beranjak keluar kamar. Dreet... Dreet... Dreet, suara ponsel Alysa tampak bergetar di balik saku gamis yang ia kenakan. Lekas Alysa mengangkat telepon dari nomor yang tak dikenal yang tertera di layar ponselnya. "Halo, Assalamualaikum? Ini Kakaknya Nadya, ya?" "Waalaikumsalam, iya, saya Kakaknya Nadya. Ini siapa?" "Kak, maaf, Nadya ... sedang ada di apartemen saya. Saya bertemu Nadya waktu Nadya sudah mabuk berat, Kak. Sekarang, Nadya masih belum sadar." Suara perempuan itu membuat Alysa semakin tak percaya saat mendengar kabar adiknya. Alysa tak menyangka, mengapa adiknya harus senekat itu melakukan perbuatan haram. Nadya yang Alysa kenal, sama sekali takut untuk melakukan perbuatan yang sangat dilarang oleh Agama Islam. Kali ini perasaan Alysa kembali bercampur aduk kesal dan sekaligus khawatir. "Ya udah, kamu tolong jaga Nadya dulu, ya, Dek? Sebentar lagi aku ke sana. Kamu tolong kirimkan saja alamat apartemen tempat tinggalmu. Assalamualaikum." Alysa memutuskan sambungan teleponnya. Dadanya terasa sesak karena tahu Nadya akan berbuat di luar dugaan. Astagfirullahallazim ... ya Allah ... cobaan apa lagi yang Engkau berikan untuk keluarga hamba? Nggak seharusnya Nadya harus mabuk-mabukan. Hamba mohon ... ampunilah segala perbuatan Adik hamba, ya Allah. Alysa kembali memohon pada sang Khalik. Lalu ia kembali berjalan hingga keluar rumah dan kali ini ia menuju mobil miliknya yang berada di garasi. *** Mobil jazz silver milik Arzan terhenti agak menjauh dari depan gerbang rumah milik gadis berjilbab syar'i yang baru saja ia temui beberapa jam yang lalu. Arzan sengaja memerhatikan rumah bercat biru tua itu. Hingga sebuah mobil berwarna merah maruun keluar dari pintu gerbang. Arzan menatap gadis berjilbab syar'i itu kembali saat gadis itu keluar dari mobilnya. Gadis yang bersapa Alysa dan tanpa Arzan tahu namanya itu sejenak menutup gerbang rumah dan lalu kembali masuk ke dalam mobilnya. Mobil tersebut kembali melesat dari depan gerbang. Hampir Arzan ingin memutar kunci mobilnya dan ingin segera menjalankan mobilnya, dan mengikuti gadis itu kembali, namun ponsel Arzan bergetar tiba-tiba di dasbor mobil. Arzan segera mengangkat suara telepon dari ponselnya itu. "Halo, Assalamualaikum?" "Waalaikumsalam. Kamu kemana saja sih, Ar? Kak Mika dari tadi telepon kamu terus, tapi kamunya malah nggak jawab." Suara omelan dari teleponnya itu berasal dari kakak sepupunya. Michellia Anjani, biasanya Arzan menyebutnya Kak Mika. Kakak sepupunya itu telah lama tinggal di rumahnya dan ibunya yang juga tante dari Mika di kota Kudus. Semenjak Mika menikah dengan Ali, mereka berdua masih tinggal bersamanya hingga menunggu rumah Mika dan Ali selesai dibangun. "Iya, iya, Kak Mika. Arzan masih di perjalanan pulang. Arzan lagi di Semarang, Kak. Biasa, lagi ngurusin tesis di kampus. Bentar lagi Arzan kembali ke Kudus. Kakak jangan marah-marah gitu, nanti lama-lama Kak Ali malah jadi ilfeel lihat istrinya, loh." Kali ini giliran Arzan sengaja menggoda Mika. "Kamu ini kebiasaan, ya. Ya udah, Kakak tunggu kamu di rumah. Mas Ali lagi keluar kota ngurusin proyek kantornya. Kakak mau minta tolong, tolong belikan obat Kakak di Apotik." "Iya, iya, Kak. Nanti Arzan belikan, Kak Mika tulis saja pesanan obatnya. Arzan jadi nggak sabar, ingin ngelihat Dedek bayinya Kak Mika kalau udah lahir nanti," ucap Arzan dengan senyumannya yang melebar. Ia mengingat sekitar beberapa bulan yang lalu, saat kakak sepupunya itu menikah dengan Ali yakni seorang pemuda lulusan magister Turki dan berasal dari Semarang. Dan setelah pernikahan mereka berjalan sekitar tiga hingga empat bulan, Mika hamil. "Iya ... Adikku, mangkanya kamu pulang cepetan, ya? Assalamualaikum." Mika menutup panggilan teleponnya terlebih dulu. "Waalaikumsalam." Sementara Arzan kembali menatap rumah bercat biru tua yang berada di sebelah kanan jalan. Mobil merah maruun yang dikendarai oleh gadis berjilbab syar'i itu telah tak terlihat lagi. Arzan menarik simpul senyum tipisnya dan kemudian ia kembali melesatkan mobilnya. *** Alysa menghentikan mobilnya di salah satu gedung apartemen elite. Cepat-cepat Alysa keluar dari mobil dan menutup pintu mobilnya kembali. Ia berjalan tertatih-tatih menuju pintu masuk apartemen. Pikirannya tertuju pada sang adik. Lagi-lagi Alysa harus merasa cemas mengingat keadaan Nadya. Alysa berpikiran bahwa ia tak akan kembali meninggalkan adiknya sendirian hingga Nadya harus mengalami hal yang tidak Alysa inginkan. Langkah Alysa terhenti di depan pintu bernomor 885 di lantai delapan. Perlahan Alysa menenangkan dirinya sejenak dan lalu memencet bel pintu itu. Tak menunggu waktu lama, pintu tersebut terbuka dengan kehadiran seorang gadis yang tinggal di ruangan tersebut. "As-salamualaikum?" sapa Alysa dengan salamnya. Ia menatap gadis yang tingginya hampir menyamainya dengan penampilan pakaiannya yang sangat minim. Gadis tersebut mengenakan pakaiannya secara rapi. Bukan karena ia sedang bangun tidur. Namun ia mengenakan tank top berwarna hitam dan rok jeans di atas lutut yang sangat ketat. Dandanan wajahnya dipoles dengan make up dan rambutnya sengaja digerai sebahu. Alysa sangat yakin, gadis yang ia temui ini telah menemukan Nadya adiknya. "Waalaikumsalam. Nadya ada di dalam, Kak. Dia lagi melindur. Biasa, karena efek minuman keras yang terlalu banyak diminum di diskotik," ujar gadis yang berjalan bersisian di samping Alysa hingga memasuki ruangan apartemen. "Diskotik?" Alysa spontan berkata saat dirinya mendengar semua ungkapan gadis itu. Gadis tersebut hanya mengangguk tanpa senyuman. Ia kembali menunjukkan kamar yang sedang Nadya singgahi. Alysa segera mendekati adiknya yang masih memejamkan mata, Nadya masih bersuara menyebut nama keluarganya yang tidak sepantasnya Alysa dengar. "Nad-ya ..." panggil Alysa. Dadanya terasa sesak saat ia benar-benar mencium bau alkohol. Alysa ingin menguakkan tangisnya kembali. Namun beruntung ia masih bisa menahannya. "Kak Alysa itu orangnya jahat. Sama kayak Ayah. Mereka nggak pernah bisa mengerti perasaanku dan Ibu. Ibu tenang aja, aku akan selalu menjaga Ibu. Ibu nggak boleh mati, Ibu harus sama Nadya di sini," ucapan Nadya saat melindur sangat membuat hati Alysa tertampar. Alysa merasa sangat gagal menjadi seorang kakak bagi adiknya. Hingga ia bisa melihat keadaan adiknya sedang mabuk tanpa sadar seperti itu. Astagfirullahallazim ... kuatkan hati hamba ya Allah. Ini semua salah hamba. Maafkan kesalahan Adikku ya Allah, batin Alysa. Sesekali ia menitikkkan air matanya menatap Nadya yang masih tersenyum menyeringai. Dan kemudian ia lekas menyeka air matanya yang kembali jatuh. "Maaf, kamu ... gimana bisa menemukan Nadya?" Alysa sengaja bertanya pada gadis yang masih berdiri itu. "Maaf lagi, nama kamu siapa, Dek?" tanya Alysa. "Oh, saya Arista, Kak. Saya yang menemukan Nadya di diskotik dengan keadaan mabuk di atas panggung. Tadi waktu Nadya mabuk, dia spontan nyebutin namanya ke saya, Kak." "Lalu, kok bisa Nadya mabuk di atas panggung diskotik?" "Saya menemukan Nadya di diskotik dengan keadaan nari-nari nggak jelas dan mabuk di atas panggung, Kak. Saya aja nggak tahu, kenapa Nadya bisa di sana. Saya sih, merasa kasihan, Kak. Saya ke diskotik hanya ingin menghibur diri aja sebentar. Terus saya ngelihat Nadya dengan kondisi kayak gitu masih aja disuruh nari-nari di atas panggung sama orang-orang yang ada di diskotik. Terus saat saya lihat Nadya pingsan, ya saya sengaja menolongnya dan saya antar Nadya ke apartemen saya. Maaf, Kak, saya sengaja cari nomor Kakak di ponsel Nadya." Astagfirullahallazim, batin Alysa lagi. "Iya, nggak apa-apa, Dek. Makasih ya, udah mau menolong Adikku? Kalau nggak ada kamu, aku nggak tahu harus cari Nadya kemana lagi. Aku aja sempat nggak nyangka, Nadya bisa senekat itu mabuk di diskotik. Seumur-umur, Nadya nggak pernah menyentuh hal-hal yang dilarang agama termasuk minum minuman keras." Arista menghela napasnya iba. Ia mendaratkan duduknya di samping Alysa yang duduk di tepi ranjang. "Kak, apa Nadya ada masalah? Soalnya, yang aku tahu, nggak mungkin orang-orang normal mau aja pergi ke diskotik tanpa ada masalah. Dan mereka harus kembali mabuk di sana." "Kalau kamu? Bukan berarti orang-orang yang berada di dalam diskotik itu, orang yang selalu punya masalah dan nggak normal. Justru banyak sebagian dari mereka yang sangat menyukai tempat terlarang itu." Arista terdiam. Hatinya bagai tertampar saat mendengar ungkapan Alysa. Perlahan Arista menghela napas dan menengok Alysa kembali. "Aku ke sana memang benar sengaja. Sengaja untuk menghibur diriku, saat aku penat dengan tugas-tugas kuliah. Dan saat aku bete sama kampus dan apartemen. Iya sih, Kakak memang benar, nggak semuanya orang-orang yang ada di sana itu nggak normal." Alysa menengok Nadya yang telah tertidur pulas setelah mengoceh panjang lebar akibat efek mabuknya itu. Wajah Nadya terlihat sangat polos. Alysa sangat menyayangi adik satu-satunya itu. Alysa tahu, Nadya masih terpukul setelah kepergian ibunya kemarin. Hingga Nadya nekat melakukan di luar dugaan Alysa. Apalagi saat Alysa lihat, adiknya itu tak lagi mengenakan kerudung. Nadya, nggak seharusnya kamu kayak gini. Andai Kakak bisa putar waktu, mungkin kamu akan baik-baik saja. Kakak merasa gagal menjagamu. Kakak lalai, Kakak sayang kamu, dan mulai saat ini, Kakak janji, Kakak nggak akan membiarkanmu seperti ini. Kakak akan jaga kamu, Dek, batin Alysa, jemarinya mengelus puncak rambut Nadya dengan lembut. "Nadya masih terpukul, dengan kepergian Ibunya. Mungkin karena itu, Nadya harus kayak gini. Ini semua salahku juga. Aku yang terlalu sibuk fokus dengan kerjaan kantor dan Ayah kami juga. Sampai-sampai ... Nadya marah. Dan Nadya berusaha menyalahkanku dan Ayah, saat Ibu meninggal," Alysa menghentikan ungkapannya sejenak. Sebentar ia mengatur napasnya untuk melanjutkan perkataannya. "Nadya itu, Adikku yang sangat baik. Dia nggak pernah seperti ini, ia selalu menuruti perkataan Ibu dan selalu sangat dekat dengan almarhumah Ibunya. Makasih lagi, ya? Udah menolong Nadya." Arista mengangguk dengan senyuman tipisnya menatap Alysa. "Iya, sama-sama, Kak." Arista menyembunyikan perasaannya saat mendengar perkataan Alysa. Ia mengingat keadaan kedua orangtuanya yang tinggal jauh darinya. Arista Adinda Zahrany, nama lengkap milik Arista itu berasal dari Jakarta. Arista sengaja tinggal jauh dari kota asalnya untuk melanjutkan pendidikan kuliahnya di Semarang. Lantaran kedua orangtua Arista yang selalu bertengkar setiap harinya. Apalagi Arista ingat jelas saat sang papa memberikan surat cerai untuk mamanya. Arista sengaja memilih kuliah jauh, karena Arista sangat enggan lagi mendengarkan pertengkaran mereka. Kali ini Arista harus mengikuti kemauan papanya. Arista ingin menangis, namun sengaja ia tahan lagi. Rasanya tak pantas ia harus menangis di depan Alysa dan Nadya. Dua orang yang baru saja Arista kenal. Dua orang yang Arista lihat, bagai memiliki kepribadian dan watak yang berbeda. "Nadya masih tidur. Arista, bisa minta tolong, bantuin aku bawa Nadya ke mobil?" pinta Alysa pada Arista yang masih terdiam. "B-bisa, Kak," Spontan Arista menjawabnya. Akhirnya Alysa dan Arista perlahan mengangkat Nadya yang masih tertidur hingga menuju luar apartemen. Hampir Alysa dan Arista selesai mengangkat tubuh Nadya yang akan mereka masukkan ke dalam mobil. Spontan Nadya terjaga dan melepaskan jemari Alysa dan Arista yang mengangkatnya. Kembali Nadya berdiri tegak seraya memegang kepalanya yang terasa pusing. Alysa semakin khawatir menatap keadaan adiknya. Perlahan ia memegang bahu Nadya. "Dek, kamu nggak apa-apa?" tanya Alysa dengan nada khawatir. "Nggak, Kak," Nadya kembali setengah sadar saat menjawab perkataan Alysa. Tiba-tiba Nadya spontan muntah di pinggir mobil Alysa. "Astagfirullahallazim! Dek, kamu lagi sakit. Kakak bawa kamu ke Dokter aja, ya?" ucap Alysa seraya menekan-nekan tengkuk leher adiknya. Nadya tak bisa menjawab apa-apa. Ia tetap memuntahkan sebagian isi perutnya ke aspal jalan. "Nad, minum dulu." Arista memberikan air botol yang kebetulan dibawanya. Usai Nadya merasa enakan setelah muntah. Ia langsung menarik air itu di tangan Arista. Lekas Nadya meneguknya sebentar. Lalu Alysa memapah Nadya kembali hingga masuk ke dalam mobil. "Makasih ya, Dek? Kamu nggak mau ikut antar Nadya ke Dokter?" Alysa menawarkan ajakannya pada Arista. "Nggak usah, Kak. Aku lagi ada urusan soalnya. Nanti kapan-kapan deh, ketemu lagi sama Nadya. InsyaAllah," jawab Arista. "Ya udah, kalau gitu kutinggal, ya? Assalamualaikum," ucap Alysa lagi dan ia kembali masuk ke dalam mobilnya. "Waalaikumsalam," Arista menjawab salam Alysa. Ia hanya menatap mobil merah maruun itu melesat dari depan apartemen tempat tinggalnya. *** Setibanya di apotik, Arzan keluar kembali dari mobilnya. Dan lekas melangkah cepat menuju ke dalam apotik. Lalu ia sejenak berkata pada salah satu petugas yang bekerja di sana. Arzan memesan obat-obatan pesanan Mika. Hingga selesai Arzan membayar obat di kasir apotik, ia kembali menuju keluar dari pintu apotik. Pandangan Arzan terhenti saat menatap mobil merah maruun yang mulai terparkir di dekat mobilnya. Arzan sangat ingat benar, mobil tersebut milik gadis berjilbab syar'i yang beberapa jam lalu ia temui. Tanpa Arzan sadari degup jantung Arzan kembali berdetak. Gadis berjilbab itu mulai keluar dari mobil dan tampaknya ia memapah seorang perempuan berambut panjang yang juga keluar bersama gadis berjilbab itu. Arzan memerhatikan mereka dari depan pintu apotik yang masih ia singgahi. Ia juga melihat jelas saat gadis berjilbab syar'i itu menuntun perempuan di sampingnya yang spontan muntah seketika. "Astagfirullahallazim." Arzan terperanjat. Ia cepat-cepat menghampiri mereka berdua. Siapa tahu mereka butuh pertolongan. "Assalamualaikum," sapa Arzan. "Waalaikumsalam," Alysa menjawab. Ia menengok ke arah Arzan saat mengusap leher Nadya yang masih muntah tak keruan. Alysa mengernyitkan dahinya saat menatap siapa pemuda yang menghampirinya. Dia ... bukannya yang tadi siang bertemu denganku? Alysa membatin dengan perasaan heran. Ia sangat ingat benar siapa laki-laki itu. Dan kebetulan saja ia harus bertemu dengannya kembali. Bersambung 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD