bc

Drama Rumah Tangga Gina

book_age18+
33
FOLLOW
1K
READ
HE
sweet
mystery
city
like
intro-logo
Blurb

Mas Adji memeluk pinggangku dan memepet tubuh kami hingga mentok ke pintu kulkas.

"Gin, bisa kamu layani Saya sekarang?"

Aku melotot mendengar pertanyaan Mas Adji. Kalimat tanya yang dia ucapkan dengan mata sayu dan nada berat itu, Aku sangat mengerti maksudnya. Dengan santainya dia meminta haknya tanpa berniat meluruskan kesalahpahaman kami.

"Gina, Saya mau kamu," ulangnya sambil membelai bibirku lembut.

Aroma segar tubuhnya yang baru mandi menggelitik indra penciumanku.Ah, sudah hukum alam kalau yang paling mencintai akan mengalah. Aku memang bucin t***l. Melihat dia memohon seperti itu saja, Aku luluh.

chap-preview
Free preview
1. Suami Kulkas
'Aaarghh' Mas Adji mengerang nikmat saat menumpahkan benihnya dalam rahimku. Lalu dia ambruk di ceruk leherku dan diam menikmati sisa-sisa puncak percintaan kami. "Enak?" iseng Aku bertanya disela nafas yang masih ngos-ngosan. "Hmmm," jawab suamiku yang irit bicara ini. Mas Adji lalu melepas penyatuan kami dan berguling ke samping, menutup mata dengan punggung tangan dan bibir merahnya sedikit terbuka. Wajahnya juga memerah sampai ke telinga. Tubuhnya mengkilat karena keringat. Tampan sekali. Aku memang memimpikan menikah diusia muda dan memiliki suami setampan Mas Adji. Dan saat perjodohan itu dihadapkan padaku, tanpa cacicu Aku langsung menerimanya. Lah, calon suaminya mirip Ji Chang Wook gini. Eits, tunggu. Jangan bilang mas Adji akan langsung tidur. Ada sesuatu yang ingin Aku pinta padanya. Aku lalu naik dan tengkurap di atas tubuh polos suamiku. "Mas, let's talk after s*x," bisikku di depan wajahnya. Mas Adji lalu menyingkirkan tangannya kemudian menatap mataku. Aku tersenyum semanis madu dan memainkan ujung jariku di dadanya. Membuat pola-pola abstrak. "Masss..." Mas Adji masih diam menunggu. Mungkin dia sudah hafal dengan nada itu, Aku yang menginginkan sesuatu. "Boleh nggak ke rumah Ibu Minggu ini di batalkan?" Akhirnya keluar juga apa yang dua hari ini jadi beban pikiran. Nyelempit di hati sampai bikin Aku malas mandi. Emang lebay, tapi itulah adanya. Undangan ibu mertua melalui chat grup keluarga dua hari lalu membuatku sedikit oleng. "Why?" respon Mas Adji. Berdecak, "Pake nanya lagi kamu, Mas," Aku mencebik imut. "Yaa karena ada Oma lah, Gina malas ketemu dia. Kapan sih Oma balik ke Samarinda?" "Huss, yang sopan kalau ngomong," tegur Mas Adji yang kemudian memejamkan mata lagi. "Iiihhh, mas! Gina serius, yaa yaa..." "Nggak bisa Gina, Saya sudah janji sama Ibu. Sebelum Mbak Hanum balik ke Banjarmasin, kita nginap di sana." "HAH, NGINAP?!" Mas Adji sampai melotot lagi mendengar teriakanku. "Kata Mas cuma ngumpul makan-makan, nggak bilang mau nginap? Ahhh pokoknya nggak mau, Gina nggak mau ikut. Titik!" Aku mencak-mencak di atas tubuh suamiku. Kenapa jadi bertambah kacau. Untuk bertemu saja aku malas-malasan, malah pakai acara nginap. Bisa babak belur hati ini, Munaroh. Aku tetap berontak meski kudengar Mas Adji meringis karena gerakanku menekan sesuatu di tubuhnya. Untung punya suami spek gerbang ibukota. Kokoh, keras, dan anti badai. Istrinya cosplay kesurupan banteng dia masih bisa tahan. "Mana boleh kamu nggak ikut. Ibu sama Mbak Hanum juga kangen sama kamu katanya," ucap Mas Adji dengan tampang lempeng. "Ya udah, nggak usah nginap. Habis makan langsung pulang yaa." Akhirnya kuturunkan sedikit ego, mengalah demi kebaikan rumah tanggaku yang baru menjalani dua tahun ini. Bukan Aku menantu durhaka. Bukan juga punya masalah dengan Ibu mertua atau adik ipar. Kalau Ayah mertua mah anteng. Mereka ini justru tipe mertua baik sebaik-baiknya baik. Ibarat kata, makanan yang sudah di dalam mulut, bakal mereka lepehin kalau Aku minta lagi, saking baiknya sama mantu. Justru, yang membuatku malas untuk tandang ke rumah mertua adalah keberadaan Oma yang mulutnya kayak berkebun cabe. Pedes coy, sampai-sampai setiap kata yang keluar dari mulutnya selalu nyelekit sampai ke ulu hati. Dengan wajah innocent Mas Adji menyeringai, "Katanya tadi nggak mau, kok mancing-mancing?" Aku mengernyit alis bingung. Maksud ni orang apa ya? Dan pertanyaanku terjawab saat sesuatu yang keras terasa menyundul paha dalamku. Aku bergidik ngeri, "Mass..." Lalu dengan gerakan cepat tahu-tahu Aku sudah berada di bawahnya dan Mas Adji sudah mengungkung tubuh mungilku. "Ampun Mas, yang tadi nggak cukup emang?" cicitku sambil menggigit bibir. Mas Adji masih asyik mengisap tulang selangkaku saat kemudian dia bergumam yang seketika membuat wajahku merona. "Sekarang aja ampun-ampun, nanti juga kamu teriak yang lain. 'Lebih cepat Mas' atau 'dalemin Mas'!" "Mas Adji!" *** Orang bilang, menikah karena perjodohan nggak akan bertahan lama atau kebanyakan hanya berjalan beiringan dengan pertengkaran dan kesedihan. Namun nyatanya tidak berlaku dalam rumah tangga kami. Meski Mas Adji tipe yang irit bicara dan ekspresi wajahnya sedingin kulkas empat pintu. Tapi aslinya dia tipe suami yang mau berbagi tugas rumah tangga dengan istri. Buktinya sekarang, di saat waktu kerjanya tersisa setengah jam lagi, Mas Adji sempat-sempatnya mencuci piring bekas kami sarapan. Sementara Aku tengah menjemur cucian di teras belakang. Sebelum berangkat dia selalu pamit dengan menanyakan kalimat yang sama, "Gin, uang belanja kamu cukup?" Istri mana coba yang nggak meleyot kalau punya suami yang 'senafkahin' ini. Tips untuk para istri, kesempatan jangan dibuang sia-sia. Sebagai ibu rumah tangga yang sering dianggap 'pengangguran' oleh orang-orang kolot, ya harus pintar-pintar mengeruk kekayaan suami dong. "Cukup kok Mas, cuma..." Cara mintanya yang halus, biar nggak kelihatan matre-matre amat. "Ada pasmina yang warnanya Aku belum punya di Shopping Mas..." kataku sambil nyengir. "Iya, nanti Saya transfer ke rekening kamu." "Yes, gomawo," bersorak dalam hati. Mas Adji berbalik dan merapikan lengan kemeja yang dia gulung. Lalu meraih tas dan berjalan ke arah pintu. "Ehh eehh, stopp!" teriakku melingking. Mas Adji reflek ngerem dan berbalik lagi. "Ada yang lupa?" Aku mengangguk berkali-kali kaya anak anjing. Mataku melirik ke arah sticky note yang tertempel di ujung TV. Memberi kode agar Mas Adji juga melihat ke arah tulisan di dalamnya. "Sebelum pergi-pergi kecup dahi dan bilang 'Mas berangkat, sayang!'" Mas Adji geleng-geleng kepala, tapi tetap dia ikuti instruksi di sticky note itu. Mas Adji mencium keningku dan mengacak rambutku yang memang sudah acak-acakan habis berjemur. Aku mencium punggung tangannya dengan takjim. "Jangan pulang telat ya, Mas. Semoga rezekinya berkah." Mas Adji mengangguk dan berbalik ke arah pintu. "Saya berangkat." "Mas, sayangnya mana?!" Rengekku sedikit ngambek. "Saya berangkat ya..." ulangnya lagi tanpa menyertakan kata 'sayang'. Nah nah nah, cari perkara ni orang. "Mas Adji," cicitku kecewa. Mataku sudah mulai berkaca dan bibir sudah mulai bergetar. Ya, meski sudah hampir dua tahun kami mengarungi bahtera rumah tangga. Tapi kata-kata sakral itu belum pernah terucap di bibir suamiku. Berbeda dengan Aku yang langsung jatuh cinta pada pertemuan pertama kami. Dan tanpa malu Aku mengungkapkannya berkali-kali. Mas Adji tipe orang yang sedikit bicara. Dan mengekspresikan perasaan lewat tindakan. Tapi sebagai wanita Aku perlu pengakuan itu. Dan Mas Adji tidak akan mengerti. Dia hanya akan banyak bicara saat kami bercinta. Meracau memujiku karena nafsunya tersalurkan dengan baik. "Jangan kekanak-kanakan, Gina." katanya dengan sedikit menunduk menyembunyikan wajah. Juga sempat kulihat kupingnya yang memerah. Oke, Aku simpulkan sendiri, Mas Adji... malu. Dia lalu buru-buru pergi dan menjalankan mobilnya yang sudah terparkir di halaman. Tanpa peduli dengan ekspresiku yang seperti patung banteng. "Aku sumpahin kamu jerawatan di p****t segede jambu monyet, Mass!" teriakku sambil menggosok cairan lengket dari hidung. Aku lalu mengunci pintu dan berjalan menuju sofa ruang tengah. Mengambil album foto yang teronggok di tengah meja dan membuka lembar demi lembar di sana. Ya, bisa ku maklumi Mas Adji begitu. Dia adalah orang yang sangat pemalu kata Ibu Narti, mertuaku. Dia tidak bisa mengekspresikan perasaan melalui kata-kata. Baik itu bahagia, sedih atau kalut sekalipun. Dia lebih banyak diam dan memendam semuanya sendiri. Aku mengusap wajah tampan tanpa ekspresi yang bersanding di sebelahku di dalam frame foto. Berbanding terbalik dengan wajahku yang full senyum macam iklan pasta gigi. Iya, Aku sebahagia itu. Dan seperti buku, Aku mudah sekali dibaca. Bahkan Mama dan Papaku langsung tahu ketika pertama kali kami dipertemukan. Sedikit flashback, ekspresi Mas Adji waktu itu sejalan dengan sikapnya yang juga sangat dingin. Aku selalu mengintil di sisinya tapi seperti tak kasat mata. Malam pertama kami juga baru terlaksana sebulan setelah pernikahan. Aku tersenyum mengingat momen itu. Rasa kesalku pada Mas Adji memang tidak bisa berlangsung lama. Aku ingat sekali, waktu itu Mas Adji seolah-olah bodoh padahal Aku sudah memberi password agar kami bisa menunaikan ibadah dalam pernikahan. Aku menurunkan ego dan bersikap seperti w************n untuk memancing hasrat laki-lakinya. Sedikit khawatir, karena jika Mas Adji tidak tergoda, maka hancurlah harga diri ini. Masih memakai handuk di batas d**a dan rambut yang di gulung dengan handuk kecil, Aku memakaikan dasinya. Sengaja belum berpakaian agar dia bisa melihat asetku. "Kamu nggak dingin?" "Dingin," jawabku singkat. Aku lalu menarik wajah Mas Adji agar menunduk untuk memudahkanku mengikat dasi. "Kenapa dari tadi belum pakai baju?" Aku menyeringai devil, "Mas Adji mau pakein?" "Kamu... mancing Saya?" "Emang situ terpancing? Gina sempat mengira Mas Adji kaum sebelah loh," ledekku sambil menepuk dadanya merapikan dasi yang sudah terpasang dengan rapi. "Apa kamu bilang?" Dari nadanya Aku tahu dia mulai terpancing. Ditambah lagi tanganku yang sepertinya tahu kemana tempat mendarat yang tepat. Tanpa sengaja tangan ini menyentuh asetnya yang ternyata sudah menggeliat. Aku dengan berani menatap matanya padahal lutut ku sudah gemetar setengah mati. Wajah kami sama-sama merah dan mulai berkeringat padahal matahari belum meninggi. Lalu tanpa tau situasi tiba-tiba saja handuk ku melorot sepenuhnya. Menampilkan aset berharga yang belum pernah dilihat lelaki manapun sebelumnya. "Ups, jatoh," cicitku sambil pelan-pelan menungging memungut handuk. Ya ampun, Aku hampir terjatuh karena menggigil gugup. Dan... gotcha! Mas Adji lalu memukul bokongku dan menarik pinggangku hingga kami jatuh ke ranjang. "Dari mana kamu bisa menyimpulkan kalau Saya menyimpang?" tanyanya dengan nada berat dan wajah semakin memerah. "Kenapa Mas nggak sentuh Gina sampai sebulan kita menikah? Apa Gina kurang cantik? Kurang menarik? Kurang gede?" Ada rasa getir saat Aku menanyakannya. "Saya takut kamu belum siap," jawab Mas Adji datar tapi sambil mencumbu tengkukku. Tangannya juga sudah meremas apa yang bisa dia remas. "Sekarang?" tanyanya sambil membalikku dan mengungkung posesif. "Mas Adji nggak ke kantor?" cicitku mulai resah. Aku yang memancing tetapi saat ikan menangkap umpannya Aku kalang kabut sendiri. Mas Adji meraih ponsel dari saku celananya dan mendial kontak rekan kerjanya. Matanya memenjarakanku, tak berkedip sedikitpun. "Hardi, tolong bilang sama Pak Gunawan. Saya kurang enak badan hari ini. Bisa kamu gantikan Saya survei sama dia?" To the poin, tanpa cacicu. Bisa ku lihat mata Mas Adji sudah berkabut dan wajahnya sudah memerah sampai ke telinga. Dia melempar ponselnya asal dan melepas simpul dasi yang baru saja kupasang. "Habislah kau, Gina," batinku meronta. Dan benar saja, sejak penyatuan kami yang agak sedikit dramatis karena Aku yang kesakitan dan kurangnya pengalaman kami. Mas Adji, secara rutin meminta jatahnya. Awalnya memang Aku yang mancing-mancing, sekarang Aku ampun-ampunan kalau dia sudah beraksi. Yah, punya suami spek gerbang ibukota emang agak beda. Bertenaga coy. Sayangnya hingga hampir dua tahun pernikahan kami, tangis dan tawa buah hati belum menghiasi rumah tangga kami yang mulai hangat karena sikap Mas Adji yang lembut dan mulai perhatian. Mas Adji emang nggak pernah menyinggung soal anak. Tapi itu loh, netizen julid yang paling suka ngurusin hidup orang. Kayak yang paling tau kehidupan Aku sama Mas Adji. Padahal kita sih enjoy. Mungkin sehari nggak julid bibirnya sariawan. Aku tersenyum lalu menutup album pernikahan kami dan bergumam lirih. "I love you Mas."

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Pembalasan Istri Tersakiti

read
8.2K
bc

Takdir Tak Bisa Dipilih

read
3.5K
bc

Istri Tuan Mafia

read
17.1K
bc

CINTA ARJUNA

read
12.3K
bc

Tergoda Rayuan Mantan

read
24.3K
bc

Ayah Sahabatku

read
21.0K
bc

Dipaksa Menikahi Gadis Kecil

read
21.7K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook