bc

No Title

book_age16+
140
FOLLOW
1K
READ
dark
bxg
evil
demon
multiverse
another world
supernatural
special ability
multiple personality
like
intro-logo
Blurb

[WARNING! Rate 16+ : mengandung konten kekerasan pada beberapa dan suasana negatif mulai dari bab belasan! Harap selalu berpikir positif saat membaca novel ini! Bijaklah menjadi pembaca! Ini bukan novel yang menceritakan kisah pahlawan!]

Venus Samudera, lima belas tahun, seorang cewek remaja yang didorong masuk ke Bumi Kedua oleh ayah angkatnya, Bima.

Ia ternyata seorang volt; sebutan bagi para pengendali Bakat di Bumi Kedua.

Sempat merasa senang selama kurang dari dua jam, ia harus menerima kenyataan bahwa ia adalah seorang Bizura; volt ber-Bakat Rahasia. Bakat itu sangat langka, dan ia dianggap berbahaya… mengapa?

Namun, tidak berhenti sampai di situ, kenyataan lain menjatuhkan angan-angan Venus tentang indahnya tinggal di dimensi Bumi yang lain.

Seorang Dewa Kebencian mengklaim Venus sebagai keturunannya, membuat seluruh negeri menjadi geger.

Maka, pemimpin negeri—disetujui oleh hampir semua pihak termasuk para rakyatnya—Venus dijatuhi hukuman mati.

Akankah ia bisa keluar hidup-hidup dari hukuman itu?

Jika pun bisa, akankah hidupnya lantas menjadi aman, atau semakin tak beraturan?

Kebenaran tentang orang tua kandung Venus pun tak luput menambah masalah anak itu.

Venus—menjadi dewasa sebelum waktunya—harus menemui takdir yang mengharuskan dirinya bertatap muka dengan Kematian.

Jika ia diam saja, maka berakhirlah hidupnya.

Jika ia melawan, maka jurang Kegelapan akan senantiasa menyambut kedatangannya.

Apa yang harus ia pilih? Kematian atau Kegelapan?

Satu hal yang Venus sadari: menjadi volt tak akan mengubah seseorang menjadi lebih menawan. Pahlawan … itu cuma angan-angan yang terlalu dipaksakan.

chap-preview
Free preview
1. KEGELAPAN
Didedikasikan untuk Kota Koba, Kabupaten Bangka Tengah, Kepulauan Bangka Belitung, Indonesia. _______________ "Dia benar-benar sedang keluar, kan?" Venus bergumam sendiri. Gadis itu tinggal di Koba, Bangka Tengah, di mana semua hal terasa begitu dekat jaraknya. Ia baru saja pulang dari sekolah, berganti pakaian, dan langsung menuju dapur. Hari ini acaranya cuma kerja bakti, dan para penjual di kantin memutuskan untuk libur berjamaah. Hanya ada satu, dan penjual keliling itu sama sekali tidak menyediakan makanan berat seperti nasi. Untung saja kerja bakti ini tak sampai tengah hari. Meski begitu, entah mengapa Venus berpendapat makan di rumah lebih baik, daripada makan di sebuah kedai dan membuang-buang uang saku. Selain itu, dia juga yakin bahwa ibu tirinya sedang keluar. Salah satu teman Venus mengaku melihat ibu tiri Venus menumpang mobil teman arisannya. Apapun itu, Venus tetap waswas. Ia memutuskan untuk menyerah saja, meski tidak terlalu yakin. Tentu saja, menyerah itu pertanda buruk. "Ah, Sayang. Apa yang kau lakukan?" Suara itu begitu manis, kalau saja tidak berasal dari ibu tiri Venus, Sella. Ia adalah wanita yang berusaha terlihat cantik, dalam wajahnya yang mengerikan. Putih palsu seperti nenek sihir. Wanita itu muncul begitu saja dari pintu belakang. Ia mengambil piring Venus dan meletakkannya kembali di susunan rak. "Aku tahu, aku tahu," dendang Sella, "kau lapar, ya? Hei, memangnya di sekolah tak ada kantin? Kenapa tidak makan di sana?" "Hari ini kantin libur," kata Venus agak geram. Ditahannya emosi yang tiba-tiba menggelegak. "Oh, ya ampun," kata Sella berpura-pura simpati, "aku mengerti. Hanya saja, aku bingung. Cuma gara-gara itu, lantas kau berniat mencuri makanan di lemari makananku? Lagipula, kau ini sudah lima belas tahun, masa tidak berani makan di warung sendiri?" "Aku nggak mencuri!" sembur Venus merasa terhina. "Dan, sejak kapan makan di rumah sendiri dikategorikan sebagai mencuri?!" "Aha!" Mata Sella berkilat jahat, tetapi kata-katanya tetap semanis madu palsu. "Jangan jadi jahat begitu. Bukankah tadi pagi kau mendengarku bicara saat aku menelepon temanku? Aku berencana memasak untuk teman-temanku yang sebentar lagi akan datang. Seharusnya kau mendengar, mengingat kau berada tak jauh dariku. Lagipula, maaf karena aku bahkan tak menganggapmu sepenuhnya ada. Dan, toh, ayahmu juga tidak terlalu peduli. Jadi, mengapa aku harus bersusah payah?" Dada Venus tiba-tiba naik turun karena emosi. Ayah kandungnya memang tak pernah peduli, bahkan saat Venus mengadu tentang bagaimana tidak adilnya Sella pada anaknya sendiri. Suara Sella yang semanis madu tetapi mengandung racun, membuat semuanya makin buruk. Venus benar-benar tak tahan lagi. "Kau nggak seharusnya memperlakukanku seperti ini!" Venus berteriak marah, tak peduli jika ayahnya tetap mengabaikan dia. "Kau hanya beruntung saja saat menikah dengan Ayah! Kau memanfaatkan segala hal tentang Ayah seperti ular! Coba pikir sebentar, Sella. Andai saja Ayah tak menjadikanmu bagian dari keluarga Samudera, kau akan berakhir jadi apa? Jalang di jalanan? Karena kupikir itulah yang seharusnya!" Venus diam-diam merasa tercengang dengan kata-katanya sendiri. Namun, momen yang paling membanggakan adalah ekspresi Sella. Mimik wajah wanita itu seperti ditampar berkali-kali dengan tutup tong sampah dari besi. Dan lagi, si anak perempuan yang mata hitamnya kini nyalang itu belum selesai. "Pikirmu kau siapa?! Kau bisa hidup juga dari hasil kerja keras Ayah! Kau bahkan nggak mengerjakan apapun selain merapikan kuku dan bergosip! Pikirmu aku ini siapa? Lalat tak berguna, begitu? Selama ini aku menghormatimu hanya karena Ayah! Apa kau kira aku juga menerimamu sepenuhnya?! Dan kalau kau belum lupa, aku lebih berhak menendangmu! Kau—" PLAK! Venus terhuyung ke belakang dan hampir saja terjatuh, tetapi Venus menyeringai pada Sella dengan air muka penuh kemenangan. Mata Venus basah oleh air mata kemarahan. Kini, giliran d**a Sella yang naik turun tersulut emosi, seakan-akan yang tadi berteriak adalah dia, bukan Venus. Venus tahu apa yang ia katakan tadi benar, dan Sella tampak benci mengakui bahkan pada dirinya sendiri. "Keluar dari sini," desisnya mengancam, kehilangan kontrol dirinya yang serba manis, "dan jangan pulang sebelum ayahmu pulang! Kita lihat apakah amarahmu bisa meluluhkan hatinya. Pergi sekarang, sebelum aku habis kesabaran. Pergi! Pergi!" Desisannya berubah menjadi bentakan liar. Venus baru saja akan memakinya, tetapi gadis itu menggeleng pelan, sadar betul betapa kebencian begitu menggelayut di hatinya. Tidak akan ada pengaruh jika pun ia membasuh mulut dengan melontarkan kata-k********r pada Sella. Emosi-emosi yang sedari dulu Venus tahan, kini menggumpal menjadi awan gelap dalam hatinya. Ingin sekali gadis itu meluapkan semuanya, tetapi ia tahu itu percuma. Yang tersisa nantinya hanyalah kesia-siaan. Venus berlari naik menuju kamarnya untuk mengambil ransel. Bukan untuk kabur, tetapi lebih karena ia terbiasa ke mana-mana membawa tas. Kalau pun ingin kabur, memangnya ia harus ke mana? Venus menyugar rambut hitam sebahunya dengan napas berat, saat kemudian ia tiba di garasi. Menghela napas dengan gemetar, gadis itu menaiki sepedanya. Ia kayuh roda angin tersebut, sambil menahan panas pada bekas tamparan di pipinya. • • • Selang beberapa menit kemudian, setelah acara makan sendiri yang semuram awan kelabu, Venus sudah berada di Pantai Tanjung, tak jauh dari tempatnya semula. Anak perempuan itu duduk di salah satu batang pohon yang sudah tumbang. Di sebelahnya tumbuh beberapa pohon yang ia tak tahu persis apa namanya. Semilir angin membawa serta aroma asin air laut, membuai pikiran siapa saja yang menghirupnya. Samar-samar tercium bau amis dari air laut di bibir pantai yang berwarna kecokelatan itu. Venus menoleh dan melihat beberapa orang sedang berlutut di tepi pantai agak jauh darinya. Tiga anak kecil tampak berkejar-kejaran. Tawa gembira mereka terbawa serta oleh angin, bahkan ketika mereka menceburkan diri ke air yang agak keruh itu. Mereka yang berlutut tampaknya sedang mengorek-orek pasir, dan sesekali memasukkan sesuatu ke dalam wadah berupa kantong plastik atau stoples. Venus menebak mereka sedang mencari remis. Salah satu dari mereka menoleh memandang Venus. Wanita itu sepertinya menyeringai. Sulit untuk melihat detail wajah seseorang dengan jarak sejauh itu. Venus menghela napas. Matanya beralih menatap cakrawala. Suasana hatinya semakin lama semakin tenang. Namun, kita tahu, setenang apapun sebuah laut, ia tak pernah benar-benar terbuka. Kita tahu, laut bisa dan sudah terbiasa berbohong. Ia tenang, begitu penuh keindahan. Hal-hal yang penuh dengan warna biru dan corak keragaman makhluk bawah air. Hal-hal yang laut buat untuk mengalihkan perhatian kita dari palung hatinya yang terdalam. Dan, jika sudah tak tahan lagi, laut bisa meluapkan emosinya dalam sejuta cara. Namun, Venus bisa apa? Luapan emosi anak perempuan itu tak akan pernah menjadi berguna. Acap kali ia berteriak dalam kemarahan dan rasa frustrasi yang melanda, hanya untuk mendapatkan ketidakpedulian. Gadis itu masih punya ayah, tetapi ayah yang dia pikir pasti hidup dalam balut kematian. Venus tak ingat pernah merasakan kehangatan seorang ayah yang seharusnya ada pada lelaki itu, sekecil apapun. Venus tak ingat sosok tersebut sekadar memeluk atau memanggilnya dengan sebutan "Nak". Venus tidak ingat. Sama sekali. Mata Venus berkedip saat sebulir air mata luruh jatuh ke pipinya. Tangannya tiba-tiba merogoh tas dan mengambil sesuatu. Air matanya mengalir lagi, tanpa ampun menyakiti kerongkongan gadis itu dengan sebutir batu tak kasat mata. Sebuah foto. Dalam lembaran berlapis plastik keras tersebut, terpotret seorang wanita bergaun merah yang tengah berdiri dalam sebuah ruangan. Parasnya rupawan, senyumnya menular, dan sorot matanya tampak bahagia. Venus membelai citra rambut panjang wanita dalam foto tersebut. Jari-jari gadis itu menjadi gemetar. Ia rengkuh foto itu dalam dekapannya. Tangisnya mengemuka dalam bentuk isakan nan menyedihkan. Hanya selembar foto, demi Tuhan. "Mama, aku harus bagaimana?" • • • Venus masih berada di sana saat langit mulai berubah jingga. Ia tak lagi menangis. Benda yang masih digenggamnya itu telah memberikan kekuatan tersendiri bagi Venus. Benda itu cuma foto, tetapi Venus selalu belajar banyak hal darinya. Seakan jiwa sang ibu tertinggal di sana. Selalu ada kapanpun Venus membutuhkan.  Tiba-tiba, sebuah suara mengagetkan Venus. Perhatian gadis itu sesaat teralih. Ia menelengkan kepala untuk mendengarkan lebih saksama. Jelas, pendengaran gadis itu tidak salah. Namun, ia tidak yakin. Suara itu seperti bunyi sesuatu yang berputar. Venus terus menoleh ke sana kemari, lalu mendapati sesuatu di belakangnya. Anak perempuan itu menunduk, mungkin agak terlalu menyipitkan mata. Dari antara semak belukar yang meranggas itu, tampak sesuatu berbentuk spiral berwarna hitam legam. Benda itu terus berputar dengan dengung amat pelan. Venus mengerjapkan mata, berusaha memahami apa yang ia lihat. Venus memundurkan kepalanya sedikit. Ia pasti akan malu sendiri jika benda itu tiba-tiba memutuskan untuk menyerang hidungnya. Venus menoleh sambil memasukkan foto ibunya ke dalam ransel. Para pencari remis di sana kini beranjak semakin jauh dari tempat Venus. Meskipun tiga anak kecil tadi tampak masih berteriak-teriak, suara mereka anehnya tidak lagi terdengar. Bahkan laut pun serasa sunyi. Kaki Venus tiba-tiba seperti berubah menjadi jeli. Gadis itu kembali duduk dengan jantung berdebar. Ia mendongak dan menoleh ke segala arah, ingin memastikan apakah semuanya masih nyata. Venus mencubit lengannya sendiri. Terasa sakit. Ya, ini nyata. Sekaligus juga mengerikan. Riak laut masih berdebur dan embusan angin terasa menggigilkan tengkuk. Awan berarak lambat dengan tidak teratur. Lalu kini, para pencari remis terlihat beranjak meninggalkan pantai. Semua tampak normal. Segalanya baik-baik saja. Namun, apa yang terlihat tidak sama dengan apa yang seharusnya terdengar. Semua suara menghilang. Segalanya terasa sunyi. Begitu hening. Satu-satunya bunyi hanyalah napas Venus dan jantungnya yang kian bertalu. Ketakutan membuatnya sesak napas. Kejadian ini tak mungkin terulang kembali. Saat itu, umur Venus tujuh tahun, sedang bermain di halaman rumah sendirian. Kemudian, ia begitu panik saat menyadari semuanya tampak begitu sunyi, padahal ada banyak sekali kendaraan berlalu lalang di jalan raya. Venus berpikir, ia entah bagaimana telah menjadi tuli. Anehnya, beberapa saat kemudian suara-suara itu kembali. Lalu, mengapa hari ini harus terjadi lagi? Apakah hanya halusinasi? Atau tanda-tanda kegilaan? Venus menggigit bibir dan merasakan pandangannya kabur karena air mata. Ia menyeka matanya dengan kasar, tak ingin lagi menangisi hal ini seperti masih berusia tujuh tahun. Ia berdiri dan segera meninggalkan tempat itu secepat mungkin. Di tengah perjalanan, suara dan bebunyian kembali memenuhi indra pendengaran Venus. Gadis itu masih bergetar, tetapi perasaannya sedikit lega. Saat Venus tiba, ayahnya baru saja membuka pintu dan memasuki rumah. Venus menyimpan sepedanya di garasi, lalu melangkah memasuki rumah ayahnya. Lagi-lagi anak perempuan itu menghela napas, kali ini menguatkan hati untuk apapun yang akan terjadi nanti. Namun, baik ibu tiri maupun ayahnya tampak tak ada di mana pun. Hati Venus terasa lega. Gadis itu lantas bergegas menuju kamarnya dan langsung membersihkan diri. Setelah itu, ia jatuh tertidur. Mimpi membingungkan menghantui Venus lagi. Ini sudah ketiga kalinya, dengan gambaran yang sama pula. Citra-citra pada bunga tidur itu tampak monoton. Mimpi itu pasti akan tampak jelas, jika saja gambaran tersebut tidak berkabut dan membuat semua tampak abu-abu. Venus hanya bisa menangkap bayangan sepasang insan yang tampak berdiri diam, sebelum akhirnya menghilang seperti tersaput udara. Lalu, bayangan-bayangan lain mulai bermunculan secara acak dan begitu cepat. Suara-suara terdengar tumpang tindih tak beraturan. Sekali waktu Venus merasa ada yang mengucapkan namanya, tetapi ia tidak terlalu yakin. Suara berisik tiba-tiba membangunkan Venus. Gadis itu bersusah-payah membuka matanya dan berkedip-kedip memandang jam dinding. Pukul delapan malam. Venus mengeluh dan merutuk dalam hati sambil memeluk kembali bantal gulingnya. Sedetik kemudian ia duduk terkaget saat pintu kamarnya digedor dari luar. "VENUS!" Venus mengeluh lagi. Itu suara ayahnya. Dalam dan besar. Gadis itu tersaruk-saruk menuju pintu untuk membukanya. "Apa-apaan kau ini?!" bentak sang ayah begitu melihat Venus. Venus mengucek mata sambil mencoba merapikan rambutnya menggunakan tangan. Gadis itu merengut sebal pada sosok tegap nan galak di depannya. "Yang apa-apaan itu Ayah," gerutu Venus. "Kenapa, sih, membangunkan aku malam-malam begini?" "Rapikan dirimu, ganti baju dan sandalmu, lalu pergi ke kamar Ayah." Ekspresi datar sang ayah mengganggu Venus. Apa ia akan dihukum karena sudah membentak Sella? Namun, kenapa penampilan harus begitu rapi? "Kena—" "Sekarang!" Laki-laki itu kemudian meninggalkan Venus yang masih ternganga karena ucapannya terpotong. Venus mendengus dan membanting daun pintu kamarnya dengan jengkel. Sepuluh menit kemudian Venus sudah berada di kamar ayahnya. Ia sengaja memakai jeans hitam dan sepatu bot hitam, serta kaos polos yang dibalut jaket kulit berwarna hitam. Tidak lupa ia memakai riasan, yang meskipun natural, tetap saja namanya riasan. Gadis itu lebih mirip seperti pengawal pejabat bertubuh kecil. Sebenarnya, Venus hanya ingin membuat sang ayah jengkel. Karena, siapa sih, yang akan berganti pakaian sementereng itu hanya untuk ngobrol bersama orangtua di rumah sendiri? Venus melihat sekilas pada Sella yang bersedekap sambil duduk di tepi ranjang, tatapannya menusuk mata Venus. Sedangkan ayah Venus berdiri di samping pintu lain yang Venus baru sadari. Itu jelas bukan pintu kamar mandi ataupun pintu menuju balkon. "Ayah punya ruang rahasia?" Venus bertanya heran. "Tidak," ayahnya menjawab, datar. Venus menatap ayahnya lekat-lekat. Laki-laki itu sama sekali tak terganggu dengan dandanan Venus. Venus tidak jengkel, hanya merasa sia-sia. "Jadi?" Kini giliran Venus yang berkata dengan nada datar. "Apa maksudnya ini semua?" Ayah Venus membuka pintu di sampingnya dengan satu sentakan pelan. Venus tak bisa melihat apa-apa di ruangan itu. Hanya kegelapan. "Sudah saatnya kau mengetahui ini," ujar ayah Venus, nada suaranya tetap sedatar papan. "Masuklah." Venus memandang ibu tiri dan ayah kandungnya dengan sangat curiga. "Ruangan apa itu?" Venus bertanya. "Masuk saja!" salak Sella. Venus menatap ibu tirinya itu dengan benci. Ia sungguh tak peduli jika ia sudah kelewatan. "Aku tidak bertanya padamu, Nenek Sihir. Terimakasih." "Diam kau!" Ayah Venus membentak begitu keras, sementara Sella tampak marah. "Kau yang diam!" teriak Venus tak tahan lagi. "Ayah macam apa kau ini?! Kau biarkan wanita ini menggantikan peran ibuku dalam versi yang jahat! Kau bahkan tak pernah peduli dengan anakmu sendiri, ya, 'kan?" "Aku tak pernah dan tidak akan pernah," desis ayah Venus dingin. "Dan, ini adalah terakhir kalinya kau boleh memanggilku ayah. Aku bukan ayahmu!" Wajah Venus bagai ditampar kekosongan. Ia tidak mengerti maksud lelaki itu, tetapi sekaligus juga paham. Gadis itu berjuang mengeluarkan kata-kata, apapun. Namun, yang terdengar hanya degup jantung yang kian berdentam ditelinganya. Venus berjalan pelan menghampiri lelaki tersebut. Kakinya terasa begitu gemetar. Diperhatikannya baik-baik ekspresi orang yang selama ini ia anggap sebagai ayahnya itu. Jelas ia tak pernah bergurau dengan Venus sebelumnya. "Apa maksud Ayah?" Akhirnya Venus mampu berkata. "Sudah kubilang, jangan panggil aku Ayah lagi! Aku bukan ayahmu!" Bima menghardik. Tangannya tiba-tiba mencekal lengan Venus dengan kuat, sementara tangannya yang lain menunjuk ke kegelapan. "Ayahmu ada di dalam sana. Janjiku padanya sudah kutepati, dan kini aku berhak hidup dengan tenang. Pergilah ke manapun asalmu berada, sebab aku tak sudi melihatmu lebih lama lagi!" Bima tiba-tiba mendorong tubuh Venus masuk melewati pintu. Venus tak mengerti apa maksudnya hingga ia terjerumus ke ruangan gelap tersebut. Rasanya seperti jatuh ke kehampaan, dengan jantung bagai tertinggal entah di mana. Hal terakhir yang Venus saksikan adalah kelegaan yang terpancar begitu jelas di wajah sang pendorongnya. Hati Venus belum pernah terasa sesakit ini sebelumnya. • • • Venus terbangun dengan kaget di tengah kegelapan. Ia menyadari tengah melayang dalam keadaan berdiri. Tubuhnya serasa berada dalam kegelapan tak berdasar. Ingin rasanya Venus menangis lagi, tetapi ia pikir ia harus menahannya. Venus sudah berada di leher kematian. Ia tidak boleh menangis, bahkan saat tak ada apapun yang perlu ditangisi. Tak peduli sesesak apapun perasaan di dadanya. Alih-alih, Venus menarik napas panjang dan mengembuskannya lambat-lambat kendati gemetar. Kemudian, Kematian merengkuhnya. Leher Venus mulai tercekik oleh rantai ketiadaan. Mulanya pelan, tetapi kemudian kian menguat. Venus menggapai-gapai udara, sia-sia berjuang meminta Kekosongan melepaskan belenggu semu pada lehernya. Tubuhnya memberontak dan menggeliat seperti ular yang dipukul kepalanya. Hingga saat ia berpikir sudah tidak tahan lagi, cengkeraman itu lantas menghilang begitu saja. Venus terengah-engah dan menghirup oksigen dengan rakus, merasa kuat dan lemah pada saat yang sama. Dalam kelelahan mental yang menyedihkan, anehnya ia merasa dongkol, dan mengumpat banyak hal dalam hati. Kenapa Kematian mempermainkan seseorang yang akan mati, ia sungguh tidak tahu. "Mama ...," Venus merintih setelah beberapa saat. Venus pikir suasana hening akan tetap bertahan, jadi ia melenakan diri pada kegelapan. Gadis itu memejamkan mata sambil mengingat foto ibunya yang kini masih tersimpan di dalam ransel. Sekelebat wajah sang ayah muncul dalam benaknya. Bukan, bukan Ayah. Tapi Bima. Dia bukan ayah kandungmu, dia cuma orang asing yang terpaksa merawatmu. Venus merasa kewalahan dengan keyakinan baru yang asing itu. Tenggorokannya seperti terganjal menyakitkan. Ia menelan ludah berkali-kali, berharap rasa sakit itu tenggelam kembali ke dasar perutnya. Dalam keheningan yang merebak, Venus hanya membisu sambil mendengarkan desir halus yang dihasilkan kegelapan di sekitarnya. Venus bertanya-tanya apa yang sedang Tuhan pikirkan tentang nasibnya. Kenapa Dia membiarkan Venus tetap hidup? Apa maksudnya ia dibeginikan? Kemudian, ingatan tentang keluarga palsunya kembali menghantam Venus. Bagaimana perasaan mereka berdua saat ini? Apakah mereka bahagia karena Venus memang sehina itu? Ataukah justru menyesal dan sedih? Apakah mereka bahkan pernah merasa sayang pada Venus sedikit saja? Pikiran itu menggelayuti Venus, berusaha membebani hidupnya yang tinggal seujung jari. Venus memejamkan mata, berharap semuanya akan jadi mudah. Namun, kemunculan titik bundar berwarna putih di kejauhan menghapus pengharapannya. Gadis itu menatap titik itu dengan waspada, tetapi juga sedikit ingin tahu. Cahaya itu makin lama makin membesar, atau mendekat, Venus tak tahu. Ia menutupi wajah karena silau, tetapi itu bahkan tak membantu. Venus bergegas membelakangi cahaya itu dan tetap menutup mata. "Habislah aku," gumam Venus, mencoba menenangkan hatinya sendiri dengan tidak bersikap takut. Venus bahkan belum sempat berdoa saat cahaya menyelimuti tubuhnya. Dan sama mengerikannya dengan kegelapan, kesadaran Venus kemudian menghilang.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Everything

read
278.0K
bc

Kujaga Takdirku (Bahasa Indonesia)

read
75.9K
bc

HURTS : Ketika Hati Yang Memilih

read
114.0K
bc

Hubungan Terlarang

read
501.1K
bc

Si dingin suamiku

read
490.2K
bc

A Boss DESIRE (Ganda - Gadis)

read
983.9K
bc

Suddenly in Love (Bahasa Indonesia)

read
76.0K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook