bc

The Art of Justice

book_age16+
291
FOLLOW
1.3K
READ
spy/agent
murder
manipulative
police
mafia
tragedy
Writing Challenge
city
lies
self discover
like
intro-logo
Blurb

Seperti Dyah Pitaloka.

Seperti Ken Dedes.

Wanita-wanita cantik luar biasa yang menjadi permainan politik sekitar mereka. Menjadi aksesori untuk simbol keperkasaan dan kejagoan yang kebinatang-binatangan.

Bagaimana dengan Athena?

Athena adalah gadis biasa yang juga cantik luar biasa. Namun, semua itu berubah ketika seorang wanita mendatanginya. Berkacamata hitam dengan bibir semerah darah, ia mengaku sebagai ibu Athena yang telah lama hilang dari hidupnya.

Sejak itu, Athena yang mengikuti jejak ibunya terjebak dalam permainan politik. Menjadi pion di tengah-tengah aliansi tak kasat mata antara mafia, sistem pertahanan-keamanan negara, dan organ-organ pemerintah lain yang terlibat di dalamnya.

Benarkah wanita itu ibunya? Dan bagaimana Athena menyelamatkan diri dari konspirasi yang hampir menghancurkan hidupnya?

Dalam pencariannya, Athena bahkan menemukan hal yang lebih besar, yang mengubah seluruh hidupnya. Membuatnya menemukan makna dari keadilan sejati.

chap-preview
Free preview
Chapter 1. Terjebak
Maaf, sebelum memulai membaca buku ini, saya mau sertakan pula credit bagi orang-orang yang telah berjasa membagikan hasil karya mereka.  Dengan ini, cover The Art of Justice sudah sah dan tidak diganti-ganti lagi, hehe ....    CREDIT Credit for Cover to  :  Ramin Khatibi dari Unsplash SamWilliamsPhoto dari Pixabay ID 12019 (inactive) dari Pixabay DJ-JohnnyRka  dari 1001fonts   [ CHAPTER 1. TERJEBAK ] Jakarta, 15 Mei 1998 Sebagaimana perpisahan setelah berjumpa, begitupun kekuasaan akan runtuh. Indonesia sedang mengalami kondisi terburuknya setelah peristiwa genosida 1965 dulu. Rakyat murka akibat ulah penguasa yang korup dan menekan rakyat. Ditambah dengan rasa lapar di perut yang tak sudah-sudah, mereka meledak penuh. Satu peristiwa yang membuktikan bahwa people power bisa meruntuhkan kekuasaan otoriter yang kukuh. Seakan di tengah peperangan, tentara beserta alat-alat perangnya turun ke lapangan. Mereka menggunakan tank untuk melawan rakyat yang tak bersenjata. Mahasiswa melawan polisi. Rakyat melawan tentara. Di tengah-tengahnya, seorang perempuan muda yang berusia 27 tahun menyeruak di tengah kekacauan. Kulitnya pucat, bisa jadi ia tak aman. Ia bergegas melewati massa yang tengah membakar sebuah mobil yang terbalik. Mereka sendiri yang membalikkan, dengan kekuatan yang dibakar oleh kemarahan. Perempuan muda itu berjengit ketika angin meniupkan lidah api ke arahnya. Ia bisa merasakan hawa panas yang menyengat di kulit mukanya. Kakinya yang berbalut flat shoes bergerak lebih cepat, menjauhi massa dan sisa-sisa kemarahan mereka. Ia sembarangan menyeberangi jalan raya Jakarta yang bersih dari mobil. Motor pun hanya sesekali lewat. Itupun kadang-kadang berbalik lagi ketika melihat orang-orang yang bergerombol. Di trotoar seberang, ia belum juga menemukan ketenangan. Demi menghindari pecahan kaca-kaca yang tersebar di atasnya, ia berjalan pelan-pelan. Flat shoes memang nyaman dipakai, tapi tidak akan melindunginya dari tajamnya kaca. Ia mengamati betapa tajam pecahan kaca itu. “Kacau. Kenapa kacau begini?” Tangannya membetulkan letak tas tangan berwarna cokelat yang tergantung di bahunya. Tas kulit itu berguncang-guncang. Dia mempercepat langkahnya. Tidak seperti di bagian seberang, sisi tempat ia berjalan malah sepi. Beberapa gedung yang dilewati semua kosong. Aneh. Satu gedung rusak parah, sedangkan di sebelahnya aman seakan dijaga oleh tangan-tangan ghaib. Langkahnya semakin cepat, hampir-hampir ia berlari. Situasi yang tidak tepat untuk jalan kaki. Namun, tinggal sedikit lagi. Sebentar lagi. Ia akan sampai ke tempat ia memarkir motor. Tidak boleh mobil, bisa-bisa ia dicegat. Dan tidak tahu apa yang akan mereka lakukan padanya. Wanita selalu menjadi korban p*********n politik. Seakan dengan merusak wanita, kemenangan dapat diraih. Pikirannya bergulir cepat seirama dengan langkahnya yang bergegas. Wanita sebagai simbol keturunan dan rumah tangga, merusaknya berarti mengacaukan kondisi moril rakyat. Memberikan teror yang jauh lebih merusak daripada rudal. “Hei!” Ia terlonjak kaget mendapat sapaan yang tidak terduga. Lebih kaget daripada yang ia mau. Perempuan itu menoleh. Tiga pemuda tanggung keluar dari gang sempit di antara dua gedung yang hangus terbakar. “Kamu Cina, ya?” Dituding tanpa sebab membuatnya terpaku. Seorang lagi mendesak. “Kalau dari kulitnya Cina, tuh!” “Cina, ya?!” Sekalipun tidak memperoleh jawaban, mereka memutuskan. Keduanya mendekat. Sekalipun kurus dan tidak seberapa tinggi, lelaki itu berdada bidang dan garis-garis otot lengan dan dadanya tampak jelas dari kaus oblong yang membalut ketat tubuh mereka. Walaupun tubuhnya terbalut pakaian biasa, kaus oblong yang dimasukkan ke dalam celana jeans berpinggang tinggi selayaknya warga biasa, mereka memakai sepatu boot kulit. Rambutnya terpangkas cepak. Perempuan itu mundur. Terlalu kaget hingga tak mampu bicara apapun. Matanya menyipit waspada kepada ketiganya. Ia mengabaikan tuduhan itu, buru-buru menjauhi mereka. Ia berlari. “Heh! Jangan lari lo!” Dua di antaranya dengan sigap menjajarinya. Sepersekian detik yang tak bisa ia hitung, tubuhnya sudah diseret oleh dua pemuda itu. Temannya bergabung dan mendorong-dorongnya ke arah gang sempit. Salah satu pemuda itu mencengkeram kerah blazernya. Menariknya kuat-kuat hanya untuk dihentakkan kembali. Dia terjatuh di semen berlubang-lubang dengan genangan air yang menghitam. “Sini gua ajarin cara hidup di Indonesia!” Pemuda yang lain maju. Tangannya bergegas membuka ikat pinggang. Perempuan muda itu terbelalak. Kuku-kuku jarinya yang panjang menusuk telapaknya. Kepalnya semakin kencang saat suara lain menyela mereka. “Ngapain kalian?!” Suara itu berat dan dalam. Nadanya menggelegar hingga ke sudut gang yang gelap. Sosok itu hanya bayang gelap untuk sesaat. Cahaya terang di belakangnya mengaburkan sosok itu. “Dia Cina, tahu!” “Dia itu manusia, sepenglihatan saya. Sama dengan kalian, sama dengan saya.” Kakinya melangkah perlahan, tapi jelas mengintimidasi. Bahkan, pemuda yang bertiga itu takut pada yang satu. Jelaslah kenapa. Pada kepalanya bertengger topi baret ungu dengan lencana ABRI tersemat. Dari atas hingga bawah, tubuhnya terbalut seragam loreng-loreng hijau-cokelat. Lengannya yang digulung hingga setengah lengan atasnya menunjukkan otot-otot bisep yang terlatih. Mukanya tampak tenang, tapi sorot matanya tidak. Ia mengancam dalam diam. “Pergi kalian!” Satu komando itu menghenyakkan mereka. Bertatapan satu sama lain, mereka menjauh dari perempuan yang mereka pagari. Satu komando lagi membuyarkan mereka. Mereka lari secepatnya. Merapat ke dinding gang ketika melewati tentara itu seakan dia berpenyakit. Tentara itu mendekat, mengulurkan tangan. Sang perempuan muda menyambutnya. Tubuhnya tertarik lembut biarpun lelaki itu tampak kuat. “Nggak apa-apa, Mbak?” Perempuan itu mengangguk, tampak syok. Ia mengusap-usap tangannya yang sedikit tergores akibat bertumpu pada lantai semen yang kasar. Tentara berbaret ungu itu saputangan. “Pakai itu. Dan ikut saya.” Dia berjalan terlebih dulu, sementara sang perempuan mengamati saputangan bermotif kotak-kotak miliknya. Ia mengikuti langkah tentara itu ragu-ragu. Ragu-ragu pula memakai saputangan pemberiannya, tapi ia bersihkan juga tangannya dengannya. “Bahaya sekali, Mbak, keluar pas waktu-waktu begini,” sahutnya, setelah merasakan kehadiran wanita itu di belakangnya. “Ada kerjaan penting yang ketinggalan di kantor, Pak.” “Lebih penting dari nyawa Mbak?” tanyanya, membuat perempuan itu meringis. Dia berjalan pelan, membiarkan perempuan di belakangnya menjajari langkahnya. Di depan gang tersebut telah menanti sebuah truk berwarna hijau gelap dengan tulisan marinir tercetak jelas di sampingnya. Truk Kaiser M715 yang biasa digunakan untuk mengangkut para tentara. Tidak hanya sendiri, ada dua truk di belakangnya mengikuti. Konvoi yang sengaja dilakukan untuk mencegah ada massa yang mencoba menyerang mereka. Hari ini, sipil dan aparat yang seharusnya tegak bersama menjadi pilar penyokong negara itu bermusuh-musuhan. Buru-buru perempuan itu menjelaskan, “Pak, saya bawa motor, diparkir di gedung sebelah.” “Kami antar sampai rumah, kondisinya nggak memungkinkan.” “Tapi…” “Maaf, Mbak. Sekarang kondisi genting. Motor bisa diganti, tapi nyawa ‘kan tidak.” Perempuan muda itu meringis lagi. Dia menyadari tentara itu sengaja memperlambat langkahnya, sebagai tanda penghormatan atau rasa iba karena sang wanita baru saja kejatuhan sial. Ia menyadari itu, lantas ia percepat langkahnya sendiri. Di dalam bak yang setengah terbuka ia melihat beberapa warga sipil, kebanyakan perempuan keturunan Tionghoa. Mereka diam dalam tegang. Sang perempuan yang baru saja lolos dari maut itu memanjat naik. Penghuni di dalam truk menggeser sukarela, menyediakan tempat duduk untuk rekan seperjalanan mereka yang baru. Sebaliknya, tentara yang menolongnya masuk ke bagian depan truk. Dia mengarahkan rekannya yang mengemudi. Deru truk terdengar sebagai senandung damai yang diikuti dengan guncangan halus ketika roda-roda truk itu mulai bergulir lagi di atas aspal. Meninggalkan sisa-sisa kerusuhan massa yang entah kapan bisa bersih lagi. “Waduh, Mbak dari mana ini?” Salah satu tentara marinir itu menyapa dengan ramah. “Kalau kondisi begini mending diam di rumah, Mbak.” “Ya, ada barang penting ketinggalan. Saya sendiri nggak nyangka kondisinya separah ini, Pak. Biasanya cuma demonstrasi mahasiswa yang keliatannya aman-aman aja.” “Kalau mahasiswanya memang iya, Mbak. Tapi ini ada provokator yang memanas-manasi warga. Mahasiswa nggak ada di jalan begini, mereka semuanya kumpul di gedung MPR/DPR.” Perempuan itu mengangguk pelan. Dengan gugup, ia menyelipkan rambut ikal yang bermodel bob sebahu ke balik telinga. Truk marinir itu bergerak maju melewati massa, yang sesekali menyoraki mereka, bahkan ada yang melempari dengan batu. Batu itu berdenting ketika mengenai bagian atas truk. Alih-alih marah, tentara marinir di dalamnya malah tersenyum menenangkan. “Rakyat lagi marah, jadi abaikan saja. Tenang, kalian aman sama kami.” Kata-kata mereka tidak mendapat respon dari yang lain. Terlalu tegang untuk bercakap-cakap. Namun, wanita muda yang baru saja bergabung itu mencoba beramah-ramah. Kepalanya mengangguk menyetujui. “Namanya siapa, Mbak?” Perempuan itu akhirnya tersenyum oleh usaha mereka yang terlihat jelas ingin mencairkan suasana. Bibirnya yang semerah darah akhirnya terbuka lagi. “Ambar. Ambar Paramesti.”                                                                                               ***   

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Bridesmaid on Duty

read
162.1K
bc

THE DISTANCE ( Indonesia )

read
579.9K
bc

My Hot Boss (Indonesia)

read
660.9K
bc

Marry The Devil Doctor (Indonesia)

read
1.2M
bc

Ay Lub Yu, BOS! (Spin Off MY EX BOSS)

read
263.6K
bc

Marry Me If You Dare

read
222.8K
bc

Hate You But Miss You

read
1.5M

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook