bc

Daddy Hunter

book_age4+
334
FOLLOW
1.7K
READ
badboy
drama
tragedy
like
intro-logo
Blurb

Namaku Reinhard. Reinhard Charlie. Seorang anak lanang yang baru saja menginjakkan kaki di bangku kelas 2 Sekolah Menengah Atas. Hari-hariku penuh dengan perbedaan, semenjak ayahku pergi menjauh dan menghilang dari keluarga. Suasana hati dan pikiran seketika berubah berupa kesedihan dan kebencian yang saling menggerogoti.

Sekarang, aku punya misi untuk mencari di mana keberadaan ayahku saat ini.

chap-preview
Free preview
Part 1
"Ayah! Ayah sudah kembali?" "Kapan Ayah? Kenapa aku tidak melihatmu datang?" Sedikit pun Ayah tidak menjawab pertanyaanku, dia hanya terdiam menatap lalu tersenyum pergi meninggalkanku. "Ayah, mau ke mana? Tolong jangan pergi lagi Ayah! Ayahh … Ayahhh ...." Mendadak aku terbangun karena mendengar jeritanku sendiri, kutengok ke arah jam weeker yang ada di atas meja dan ternyata waktu masih menunjukkan pukul enam pagi. Ini adalah kesekian kalinya aku bermimpi tentang Ayah. Dan ketika terbangun dari tempat tidur, tubuhku telah basah dipenuhi keringat. Aku tidak tahu mengapa setiap memimpikannya hal ini selalu saja terjadi, mengenai kabar ayahku sekarang aku juga tidak tahu menahu. Sejak beliau pergi meninggalkan aku, Ibu dan kedua adikku, dia sudah tidak pernah berkabar sejak hari itu. Semua berawal dari mimpi bertemu Ayah. Aku tidak percaya, aku mengira ayahku sudah benar-benar pulang. Dan ketika tersadar dari tidur, ternyata semua hanya mimpi belaka. Ini adalah kebiasaan burukku. Memimpikan orang yang sudah lama pergi dari hidupku, dan orang itu adalah ayahku. Dia sangat antusias sekali masuk ke dalam hidupku kembali, setelah apa yang ia perbuat pada keluargaku dulu. Mimpi tadi membuatku mengingat kembali semua yang terjadi pada hari itu, pikiranku terbawa lagi ke masa lalu yang penuh dengan kekecewaan di dalam diri. Namun mimpi ini berbeda, entah kenapa pikiranku mengatakan aku rindu sosok ayahku. Aku benci tapi rindu dengan Ayahku. Entahlah, apakah itu salah? Katakan jika itu salah, tapi aku benar-benar rindu. Saat dia mengantarku membeli perlengkapan sekolah, saat dia menemaniku bermain di mal, memarahiku ketika aku berbuat salah. Meski amarahnya tidak begitu serius. Pokoknya aku rindu semua tentang Ayah bagaimana dia merangkai kenangan bersamaku, dan hari ini, mimpi itu membuat aku mengingat semua hal tentangnya di dalam kamarku seorang diri. Seketika aku melupakan tingkah buruknya pada hari itu setelah mengingat semua kenangan baik yang aku lalui bersama beliau. Mimpi kali ini sungguh berat dan mengharuskan aku terjatuh lagi dalam kolam rindu yang penuh rasa haru. Katakan jika itu tidak wajar, seorang anak laki-laki seusiaku yang sebentar lagi berumur enam belas tahun tidak harus bersikap seperti ini. Aku berbeda dengan kalian, ini sungguh berat bagiku. Kau tidak tahu bagaimana ayahku memanjakanku dulu, bagaimana dia menuruti segala keinginanku, bagaimana dia dulu menemaniku ketika aku jatuh sakit dan Ayah rela tidak masuk kantor untuk itu. Sungguh aku tidak melebih-lebihkan, tapi kenyataan manis dulu berubah menjadi kenyataan yang pahit kemuDianra. *** Setelah beberapa pekan yang lalu sekolah diliburkan karena kenaikan kelas, dan tibalah hari ini rutinitas sekolah akan kembali dimulai seperti biasanya, tapi kali ini berbeda dari sebelumnya. Kini aku sudah duduk di bangku kelas 2 Sekolah Menengah Atas, setelah beberapa pekan lalu dinyatakan naik kelas dan menduduki peringkat dua. "Reinhard, sudah bangun, Nak? Segera turun ke bawah. Makanan sudah siap," teriak Ibu dari bawah ruang meja makan. "Iya, Ibu," jawabku teriak dari dalam kamar. KemuDianra aku beranjak mengambil handuk dan juga alat mandi yang ada di dalam lemari mini persegi milikku. Lalu tanpa sengaja, aku menyambar sebuah bingkai potret kesayanganku yang ada di atas meja belajar. Jika tak ada tanganku yang meraihnya, mungkin saja bingkai tersebut sudah pecah di bawah lantai. Aku kembali menatap potret tersebut. Ini adalah satu-satunya potret kecilku bersama Ayah, dan jika tidak salah, saat itu aku masih duduk di kelas 6 Sekolah Dasar. Melihat wajah ayah melalu segenggam potret, entah kenapa pikiranku semakin melantur saja, aku kembali memikirkan ayahku setelah apa yang dia perbuat terhadap aku sekeluarga. Sekeras apa pun hati ini ingin membenci, itu sangatlah sulit melupakan kenangan bersamanya. Dan bagaimana pun, dia adalah ayah kandungku sendiri. Tanpa dia aku tidak akan mungkin ada di muka bumi, tepatnya di Jalan Anggrek blok A5/No.15 samping rumah tetanggaku. Tanpa dia juga, mungkin aku tidak akan tahu arti mandiri yang sesungguhnya. Aku menghela napas panjang. KemuDianra bergumam, “Sudahlah, saatnya aku ke ruang makan. Ibu sudah menungguku”. Tadinya aku berniat untuk menuju kamar mandi, tapi kali ini aku memilih untuk langsung ke bawah, ke ruang meja makan. Seperti biasanya, sebelum Ibu berangkat ke kantor, pagi-pagi sekali dia pasti senantiasa menyiapkan sarapan terlebih dulu untuk kami. Sepintas terbayang di benakku, kini Ibu boleh dikatakan single parent. Semenjak ayahku meninggalkannya semua urusan rumah tangga dan biaya sekolah aku dan adikku, Ibu yang mengurusnya. Dan terkadang, ketika aku melihat wajah Ibu, pasti terbayang wajah Ayah yang sontak akan menaikkan emosi batinku. "Oh yah, Bu. Mana Bayu dan Rahayu? Mereka sudah pada bangun?" tanyaku sembari menggeser kursi meja makan untuk aku duduki. "Mereka sudah bangun, mungkin lagi siap-siap. Gak kayak kamu jam segini belum mandi." "Ayolah, Bu ... ini hari pertama aku masuk sekolah. Jadi apa salahnya telat? Lagian, Reinhard juga masuk jam sembilan, kok," jawabku sambil menuangkan sesendok nasi ke piringku. “Ya justru kalau hari pertama, harus tiba lebih awal di sekolah.” “Tapi, Bu—“ "Ya sudah, terserah kamu. Ini makan dulu," pinta Ibu sambil menuangkan lauk ke dalam piringku. Di meja makan hanya ada aku dan Ibu, suasana begitu hening dan entah kenapa Bayu dan Rahayu belum juga ke sini mengisi kursi meja makan untuk sarapan pagi bersama. Kembali aku terbayang dengan mimpi semalam. Aku hanya bingung saja, setiap aku memimpikan Ayah, dia tidak pernah mengatakan sepatah kata pun. Selain diam, dia hanya tersenyum padaku lalu pergi begitu saja, seperti orang yang tak punya tampang malu karena sudah berbuat buruk pada anaknya sendiri. Kali ini pandanganku tertuju pada Ibu yang mengharuskanku untuk mengatakan apa yang terjadi dalam mimpiku semalam. Sebenarnya aku ragu untuk mengatakannya, sebab ini kali pertamanya lagi Ibu harus mendengarkan nama ayah langsung dari bibirku. Sebelumnya sih pernah, tapi aku lupa itu kapan. Yang jelas, Ibu tetap saja meresponku dengan tidak banyak bicara seperti biasanya. Namun, dengan terpaksa aku harus memberanikan diri kembali. "Ibu, boleh aku mengatakan sesuatu?" kutanya Ibu dengan tatapan yang masih tertuju padanya. Sambil menikmati sarapannya lalu Ibu berkata, "Tentu saja. Apa itu Reinhard?" "Semalam aku bertemu Ayah," jawabku seraya mengarahkan sesaat kedua bola mataku ke arah foto Ayah yang terpajang rapi di rak tua miliknya, yang tepat berada di samping meja makan. Itu tidak berlangsung lama, kemuDianra mataku kembali terfokus secara manual menatap Ibu. Tiba-tiba saja, Ibu menghentikan sarapannya lalu meminum seteguk air putih. "Reinhard! apa yang kamu katakan barusan?" tanya Ibu dengan nada yang lumayan tinggi. "Iya, Ibu. Maksudku, aku bertemu Ayah dalam mimpi." "Lagi-lagi kamu berbicara omong kosong. Sudah, habiskan sarapanmu lalu segera siap-siap ke sekolah!" Beginilah ibuku, ketika aku membahas tentang Ayah, dia selalu saja menyebutku berbicara dengan omong kosong. Padahal aku berbicara dengan mulut. Dan ini serius! Aku tahu, istri mana yang tidak kecewa ketika ditinggal seorang suami. Begitu pun aku, seorang anak yang masih duduk di bangku SMA dan masih sangat membutuhkan belas kasih dari ayahku sendiri. "Ibu, aku serius! Mimpi ini bukan hanya sekali atau dua kali saja, sudah sering terulang, Ibu. Dan kali ini, Ayah hanya datang memandangku seorang diri. Lalu pergi tanpa mengatakan apa-apa, Bu!" Pandangan mataku masih tertuju pada Ibu dengan penuh serius, seperti ingin menjelaskan semuanya namun sedikit rumit. Kau pasti tahu sendiri kenapa ini menjadi sedikit rumit jika kukatakan dengan tergesa-gesa pada ibuku. "Reinhard! Tolong jangan bahas ini sekarang, Nak. Jika Bayu adikmu mendengarnya dan ia bertanya kepada Ibu hal-hal yang aneh, maka Ibu tidak tahu harus menjawab apa. Yang perlu kamu ingat sekarang adalah Ayah kamu sudah–" Dengan panjang lebar Ibu menjelaskan, tiba-tiba Bayu memotong pembicaraannya. "Sudah apa Bu?" sela Bayu dengan heran. "Bayu! Sudah berapa lama kamu di situ?" kutanya Bayu dengan nada yang cukup tinggi, aku sedikit terkejut oleh dirinya yang sontak berada di antara kami. "Baru saja, Kak. Apa yang Ibu katakan barusan?" Bayu bertanya lagi seakan ingin tahu akar dari pembahasan. Dengan sergap Ibu berkata, "Umm … maksud Ibu tadi, jika Reinhard sudah selesai makan, se ... segeralah ke kamar mandi," jelas Ibu dengan sedikit terbata-bata. Ibu terpaksa harus berbohong ke Bayu. Tanpa berpikir panjang, Bayu kemuDianra mempercayai Ibu dan langsung duduk di meja makan bersama kami. Benar-benar anak yang polos. Saat ini aku dan Ibu saling melempar tatapan. Sepertinya Ibu marah padaku, terbukti dengan bola matanya yang sedikit melotot padaku barusan. Jika Bayu sampai tahu yang sebenarnya maka dia tidak akan lagi percaya pada Ayah, bahkan pada kami semua. Kami terpaksa harus merahasiakan ini darinya, karena umur Bayu masih terbilang kecil dan belum saatnya mengerti mengenai masalah yang dihadapi oleh keluargaku saat ini. Bayu yang pada saat itu masih duduk di kelas 4 Sekolah Dasar, aku hanya mengatakan padanya jika Ayah ada kerjaan di luar kota dalam kurun waktu yang cukup lama. Itu hanyalah cara untuk membuatnya agar tidak bertanya terus menerus setiap waktu tentang ayahku. Walaupun pada akhirnya, Bayu kerap bertanya kapan Ayah pulang pada ibuku. Bayu termasuk anak yang sangat dimanja oleh ayahku, setiap apa yang dimintanya dulu selalu ditepati oleh beliau. Entah bagaimana Bayu sekarang tanpa seorang ayah. Mungkin Bayu berpikir saat ini, kenapa Ayah belum juga kembali. Tapi suatu saat, apa yang kami rahasiakan ini darinya akan ia ketahui dengan sendirinya, perlahan tapi pasti. Waktu akan menjawab segalanya, Ayah. Dan akhirnya Rahayu pun ikut bergabung dengan kami di meja makan, daripada aku memperkeruh suasana hati Ibu, lebih baik aku segera meninggalkan ruang makan. "Sepertinya sudah pukul delapan lewat?" tanyaku pada diri sendiri atau entah ke siapa. "Oh iya, Kak Reinhard mandi dulu, yah. Kalian ikut sama Ibu saja nanti ke sekolah, biar Ibu yang antar. Kakak masuk siang jadi agak lambat ke sekolahnya. Ingat! Jangan sekali-kali jalan kaki ke sekolah tanpa Kakak, Oke?" jelasku dengan nada serius seperti menghardik mereka berdua, Bayu dan Rahayu. Mungkin aku sedikit terbawa suasana yang tadi sempat tegang antara aku dan Ibu. "Siap, Kak Reinhard!" Bayu dan Rahayu menjawabku dengan serentak. Dan lagi-lagi Ibu tidak memperhatikanku sama sekali, dia hanya sekadar mendengar saja tanpa menoleh sedikit pun ke arahku. Baiklah mungkin dia sedang marah, dan akan aku maklumi itu. sebaiknya aku langsung saja ke kamar mandi tanpa mengusiknya lagi. Beginilah ibuku, ketika aku membahas tentang Ayah, dia seakan tidak terima. Lebih tepatnya belum bisa menerima keadaan, sama halnya denganku. Aku masih berharap ayahku kembali dengan segera. Aku tahu, Ibu peduli pada kami dan jika aku membahas tentang Ayah, mungkin dia akan sekilas mengingat tentang kejaDianra beberapa tahun silam. Itu menyakitkan baginya, bagiku juga. Sungguh menyakitkan. Berjumpa ayahku dalam mimpi adalah salah satu rangkaian peristiwa buruk sekaligus aneh dalam hidupku. Bagiku, ketika aku terus memimpikannya, selain rindu, aku mengklaim bahwa ada suatu hal buruk yang terjadi padanya. Yah, ini buruk. Karena aku harus terus mengingatnya setiap saat. Aku memang rindu, tapi setelah rindu, pikiran buruk kembali menyelimutiku. Bayang-bayang akan perlakuan Ayah terhadap aku sekeluarga, terus saja menjalar. Dia pergi tanpa pamit dan setelah itu menghilang tanpa jejak. Menurutmu itu baik? Kau pikirlah sendiri. Ini juga aneh. Dia datang lalu pergi, tanpa meninggalkan sepatah kata dalam mimpi. Ini buruk, bahkan lebih dari sekadar buruk. Aku bisa saja berasumsi saat ini bahwa ayahku sedang terbaring di rumah sakit. Atau sedang mengalami kecelakaan. Namun kucabut semua asumsiku itu. Dan jika boleh, aku ingin kembali bermimpi. Bermimpi tentang ayah. Ah, Reinhard benar-benar rindu, Ayah! ***   

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Love Me or Not | INDONESIA

read
533.4K
bc

Rewind Our Time

read
161.2K
bc

SEXRETARY

read
2.1M
bc

HYPER!

read
556.9K
bc

Mengikat Mutiara

read
142.2K
bc

BILLION BUCKS [INDONESIA]

read
2.1M
bc

Om Bule Suamiku

read
8.8M

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook