Part 2

2182 Words
Namaku Reinhard. Reinhard Charlie.  Desember 2013 nanti umurku sudah enam belas tahun, dan Desember 2014 akan berkurang menjadi tujuh belas tahun. Aku baru saja selesai menemani Bayu bermain PS di kamarnya. Setelah itu, berbaring di atas sofa ruang tamu. Aku tinggal di Perumahan Anggrek, salah satu kota di Sulawesi Selatan bersama Ibu, Rahayu dan juga Bayu. Dulu juga bersama Ayah, sebelum dia benar-benar pergi. Aku lahir di Palopo 1997, adalah kota kecil penuh makna yang mengisahkan sedikit kenangan berharga bersama kawan-kawan yang sudah kuanggap seperti keluarga. Setelah Bayu lahir di tahun 2002, aku dan Ibu serta adikku diboyong ke Jakarta oleh ayahku karena pekerjaan. Aku SD di sana, tapi setelah menginjak kelas lima, aku sekeluarga kecuali Ayah kembali ke Palopo dikarenakan terjadi pertengkaran kecil antara mereka berdua. Namun itu tidak berlangsung lama, setelah satu bulan berlalu, hubungan Ayah dan Ibu kembali membaik seperti sedia kala. Meskipun saat itu hanya berkomunikasi melalui telepon antara dua kota yang saling berjauhan. Setelah dua tahun berlalu kami menjalin hubungan jarak jauh dengan Ayah, akhirnya dia pulang dan menetap di Kota Palopo. Saat itu, kebahagiaan keluarga kecilku kembali terasa lengkap, walau terkadang Ayah masih sering pulang balik Jakarta oleh karena tuntutan pekerjaan. Aku rasa dulu itu tidak menjadi masalah, selagi aku masih bisa bermain dan menghabiskan waktu bersama Ayah di depan televisi, masih bisa menemani Bayu berbelanja mainan dan mengantar jemput Rahayu di asrama pesantrennya setiap akhir pekan. Ibuku, namanya Syamsiah Airin. Oleh teman-teman kantornya biasa dipanggil Ibu Cia atau Ibu Airin, adalah seorang Pegawai Negeri Sipil yang harus menghidupi ketiga anaknya seorang diri setelah ayahku pergi. Ibu benar-benar peduli pada kami, dia tidak ingin melihat anaknya terlantar dan putus sekolah dikarenakan oleh ayahku seorang. Pagi-pagi sekali, Ibu acap kali berangkat ke kantor dan kadang dia pulang larut malam karena lembur, bahkan semenjak Ayah tidak ada, Ibu seperti memiliki dua kepribaDianra yang berbeda. Di satu sisi dia harus menjadi ibu rumah tangga dan di sisi lain menjadi tulang punggung keluarga. Kau tahu, ibuku tidak pernah merintih nangis di depan Bayu dan Rahayu, terkecuali ke aku dan itu pun hanya pada malam di mana ayahku pergi dari rumah. Ibu sangat pandai menyembunyikan kesedihannya, padahal aku tahu jelas cara Ibu melampiaskan kesedihannya tersebut. Hanya dengan mengeluarkan sedikit amarah dan emosi jiwa padaku dan kedua adikku. Itu wajar, jika seketika anaknya tidak mau mendengarkan nasihat dan perintahnya. Aku rasa itu adalah bentuk perhatian dan rasa khawatir yang dimiliki oleh seorang ibu. Beliau tidak mau jika anaknya menjadi anak yang manja dan merasa tergantung pada sosok ayahnya yang kini tidak jelas di mana rimbanya. Aku hanya memiliki dua adik. Rahayu dan Bayu. Usiaku dan Rahayu hanya terpaut satu tahun saja. Dulu setelah tamat Sekolah Dasar, Ibu langsung memasukkan Rahayu di pondok pesantren khusus putri yang berada tidak jauh dari tempat tinggal kami, tetap berada di dalam pusat kota. Dan saat itu, Rahayu harus merasakan kehidupan asrama dan hanya diperbolehkan keluar jika ada hal penting saja serta hari libur, sabtu dan minggu. Rahayu sama denganku, masih sempat mendapat kasih sayang dan didikan lebih dari sosok ayah hingga kami duduk di bangku SMP. Tapi bedanya adalah Rahayu hanya bisa bertemu dengan Ayah jika keluar asrama saja pada hari libur. Pernah sekali dia menangis pada ibuku karena tidak tahan merasakan kehidupan anak santri, memang wajar Rahayu nangis, karena jauh dari orangtua itu sangatlah sulit. Apalagi harus tinggal di dalam asrama, itu tidaklah mengenakkan bagiku. Pernah juga Rahayu jatuh sakit di dalam asramanya, hingga dia harus dilarikan ke salah satu rumah sakit, Atmedika. Aku masih bisa ingat, saat itu Ayah sangat tegang dicampur rasa cemas yang berlebihan. Dia benar-benar panik, aku dan Ibu juga ikut panik, terkecuali Bayu yang tidak ada saat peristiwa itu karena harus menunggu di rumah bibiku. Rahayu sesak napas disertai kejang-kejang, itu adalah situasi paling kacau-balau menurutku. Meski oksigen sudah melingkar tertutup di mulut Rahayu, tetap saja dia merasa tidak baik. Kulihat lagi ayahku mencium kening Rahayu sambil mengusap-usap rambutnya, kemuDianra kupandang Ibu yang sedang memegang kedua tangan Rahayu sembari menitiskan air mata. Aku hanya bisa tertunduk diam pada saat itu, aku tidak tahu harus berbuat apa. Aku memang merasakan ketegangan serta panik, tapi aku berusaha untuk terlihat tenang karena semuanya akan baik-baik saja menurutku. Kulihat salah satu dokter yang tak kutahu namanya siapa, dia sekonyong-konyong datang menghampiri Rahayu dengan membawa segenggam suntik di tangannya. Lalu perlahan dia tancapkan ujung suntik itu di bagian lengan tangan kanan Rahayu. Dan kemuDianra Rahayu merintih kesakitan. Aku rasa itu semacam obat bius, karena setelah beberapa menit obat yang masuk ke dalam tubuh Rahayu sontak bereaksi, menenangkan kejang-kejang dan sesak napasnya. Itu bekerja, meskipun suntikan tersebut membuat Rahayu tidak sadarkan diri dalam beberapa menit. Lalu kepanikan dari Ayah dan tangis Ibu seketika redah saat melihat Rahayu kembali siuman. Aku pun mengembuskan napas lega. Aku sedikit lupa yang dokter katakan mengenai apa yang terjadi pada Rahayu waktu itu, mungkin dia hanya salah makan atau bisa kusimpulkan dia keracunan makanan. Kata dokter lagi, semuanya akan baik-baik saja. Persis yang aku duga sebelumnya. Aku rasa, aku perlu berbagi cerita tentang ini pada kalian. Karena jujur, sebelum ayahku pergi malam itu dia sempat berbisik padaku: “Reinhard, jaga adikmu, yah, Nak?” bisik Ayah sambil memelukku. Yang aku lakukan pada saat itu hanya bisa sesenggukan menahan tangis. Lalu Ayah kembali berbisik, “Jangan biarkan hal buruk terjadi lagi pada Rahayu, yah. Kau kakaknya! Jadi harus lebih bertanggung jawab.” Aku masih saja bungkam. “Ayah pergi dulu! Maafkan Ayah, Nak,” ucapnya sembari mengecup keningku. Perkataannya yang terakhir itu seperti bukan berbisik melainkan terdengar sampai ke ibuku, dia menahan untuk tetap tegar dan seperti yang aku bilang tadi, saat itu aku hanya bisa menangis. Lalu kemuDianra Ayah melepaskan pelukannya dan pergi. Malam itu, tangis Ibu memecah keheningan dan membanjiri seisi rumah dengan derai air mata. *** Bayu, anak bungsu dari Ibu dan ayahku. Saat itu dia belum sekolah ketika kami di Jakarta, namun setelah balik kembali ke kota asal, Bayu sudah mulai mengenal dunia pendidikan di kelas satu Sekolah Dasar. Bayu sangat gemar bermain dengan berbagai jenis mainan, bahkan bisa kubilang melebihi anak pada usianya saat itu. Dulu saat ayahku masih ada untuk Bayu, dia pernah meminta mainan dalam seminggu dengan lebih dari tujuh macam LEGO yang berbeda jenis. Karena dia anak yang paling dimanja, maka segera Ayah kabulkan permintaan Bayu meski tidak merengek sekalipun. Namun setelah beberapa minggu, dia langsung saja bosan dengan mainan yang baru saja dimaininya itu. KemuDianra Bayu meminta mainan jenis lain lagi pada ayahku. Hingga sekarang, ruang kosong yang ada di samping kamarnya, kini dijadikan gudang yang penuh dengan mainan oleh Bayu. Akan tetapi, beda halnya dengan sekarang. Semenjak ayahku benar-benar pergi dari rumah, Bayu tidak bisa lagi meminta mainan pada Ayah. Sesekali dia meminta ke Ibu, tetapi tidak diberi karena Bayu sudah harus fokus dengan Ujian Nasional yang tinggal menghitung bulan. Bayu termasuk anak yang cukup malang menurutku, sebab pada umur delapan tahun, dia sudah harus jauh dengan ayahku. Begitu banyak kasih sayang dan didikan yang seharusnya dia dapatkan di umur yang masih terbilang kecil saat itu. Namun dengan terpaksa semua kebahagiaan kecil telah direnggut darinya, dan pada akhirnya Bayu harus tumbuh dewasa tanpa tahu banyak tentang sosok ayahnya sendiri. Apa menurutmu itu adil untuk Bayu? Di saat seusianya membutuhkan banyak bentuk perhatian dari sosok ayah, tapi dia sudah harus merasakan penat di jiwa meski belum tahu tentang arti sebuah kesedihan. Bayu saat itu masih sangat kecil, dia penuh dengan kebingungan. Belum tahu akan hal buruk yang sedang menimpa keluarganya sendiri. Namun aku tidak tahu bagaimana perasaan Bayu saat ini, mungkin dia sudah tahu yang sebenarnya atau mungkin juga perasaannya sedang bertanya-tanya di mana ayahnya sekarang, kenapa tidak ada kabar. Dan ini sudah memasuki tahun ketiga Ayah pergi tanpa ada kabar sama sekali. Aku cukup yakin, terkadang Bayu pasti memikirkan hal-hal tersebut. Suatu hari, aku lupa itu kapan. Bayu pernah bertanya padaku yang membuat aku tidak habis pikir. “Kak Reinhard? Apa iya, Ninja itu ada?” katanya di ruang keluarga. Saat itu kami sedang nonton serial kartun Ninja Hatori yang tayang setiap sabtu dan minggu di salah satu saluran teve swasta. “Ninja? Ah, enggak ada tuh. Kenapa emang?” jawabku sembari bertanya balik. “Kalau gak ada, aku mau jadi ninja pertama, yah, Kak?” “Buat apa, Bayu? Kan sudah ada Hatori?” Aku hanya bergurau pada saat itu. “Biar bisa terbang ... terus punya jurus seribu bayangan,” dijawabnya dengan polos. “Terus?” kutanya lagi. “Terus, jurus menghilang. Lalu ketemu sama Ayah.” “Apa sih, Bayu! Ngaco, ahh,” jawabku heran. Menurutku, saat itu Bayu masih bisa dimaklumi dengan pemikirannya yang penuh akan imajinasi, lalu membuatnya mudah untuk mengatakan itu semua. Namun ketika dia menyebut “ayah”, itu membuatku terpaku menatapnya dengan sedikit heran. Seperti aku ditantang untuk menerka apa yang Bayu pikirkan saat itu. Apakah dia merasakan kehilangan, rindu, dan kesedihan yang sama persis dengan apa yang aku rasakan. Sulit untukku bisa membaca pikiran Bayu. Hal yang tidak kusangka-sangka saja begitu mudah dia ucapkan di depanku dengan sedikit bermain drama. Dia belum mengerti itu semua, tapi mungkin saja ia sedang merasakannya. Bayu akan tumbuh dewasa, itu sudah pasti. Dan lambat laun, dia akan mencari tahu segalanya tentang ayahku. Kebingungannya adalah pertanyaan yang terkadang dia tanyakan padaku atau pada Rahayu dan juga Ibu. Bayu berhak tahu yang sebenarnya. Namun untuk saat ini, kami merahasiakan itu darinya. Biarkan kebingungannya itu seperti embusan angin, yang kadang datang dan pergi tanpa tahu jawaban yang pasti. Kelak Bayu akan tahu segalanya dengan mesti, dan itu akan menjadi cambukan berat baginya. Aku tidak pandai berbohong, tetapi aku pandai menyembunyikan kebenaran untuk kebaikan. Sekalipun itu rahasia, maka tetap menjadi rahasia antara aku, Ibu dan Rahayu. Maafkan Kakak, Bayu. Semua untuk kebaikanmu.   *** Cukup sudah aku bahas tentang Bayu yang baru saja kutemani bermain Playstation di dalam kamarnya tadi. Mari beranjak kepada pokok permasalahan dalam keluargaku, seorang yang aku benci namun selalu kurindukan. Dia adalah ayahku. Ahmad Fauzy. Orang-orang kerap memanggilnya Pak Fauzy, tapi aku cukup memanggilnya, Ayah, ketika ingin meminta sesuatu, dulu. Sepengetahuanku, Ayah punya perusahaan di Jakarta dan dia menjabat sebagai Direktur Utama. Namun aku tidak tahu sekarang apakah pekerjaannya masih tetap sama atau berbeda, sebab aku tidak pernah menanyakan hal itu pada Ibu, dan pasti dia juga tidak tahu menahu soal ayahku sekarang. Kala itu aku masih di Jakarta, aku hanya melihat pajangan foto besar di dalam ruang kerja kantornya. Dan di bawahnya tertuliskan nama, title dan jabatan ayahku. Dan dari situlah aku mengetahui pekerjaannya. Ayahku orangnya baik dan bijaksana, ramah ke semua orang terkhusus pada kami anaknya. Seperti yang aku bilang tadi, apa pun yang anaknya mau, selalu dia penuhi. Dia juga baik ke ibuku, meski terkadang sering bertengkar hanya karena persoalan-persoalan kecil. Dia juga pernah marah, tapi tidak sering. Aku masih bisa ingat dia pernah memarahiku karena bertengkar dengan Rahayu, saat itu umurku kira-kira masih sepuluh tahun. “Minta maaf sama Rahayu!” hardik ayahku. “Tidak mau, Ayahhh,” kujawab Ayah sambil menangis. “Minta maaf, atau Ayah cubit!” katanya lagi dengan intonasi yang tinggi. “Tidak mauuu!” Aku berlari masuk kamar dengan membanting pintu. Dan aku melanjutkan tangisku dengan keras di bawah bantal guling. Saat itu aku masih kekanak-kanakan dengan umurku yang memang masih kanak. Aku tidak mau meminta maaf pada Rahayu dan hanya menangis yang aku lakukan di dalam kamarku sendiri. Kala itu juga, sangat sulit bagiku untuk mau meminta maaf. Yah, kau tahulah, bagaimana kita pada umur yang terbilang masih sangat kecil. Kalau boleh jujur, aku paling banyak kena marah daripada Rahayu oleh ayahku dulu. Terkecuali Bayu yang memang tidak pernah dimarahi oleh Ayah karena saat itu masih sangat kecil dan menjadi anak kesayangan Ayah dan Ibu. Akan tetapi aku sadar sekarang, aku wajar dimarahi jika berbuat salah. Itu adalah tugas orangtua untuk menasehati anaknya, meski memarahiku sekalipun. Itu adalah hak ayahku. Di samping itu, aku adalah anak sulung dari Ibu Cia dan Pak Fauzy. Jadi sekalipun Rahayu atau Bayu berbuat salah, maka yang lebih tua harus meminta maaf. Aku pikir begitu.  Terlepas dari itu semua, aku sebenarnya ingin berbagi cerita tentang kenapa ayahku pergi meninggalkan kami pada malam itu tanpa adanya kejelasan. Namun hingga detik ini, aku juga tidak tahu kenapa dan mengapa. Jika memang hanya karena soal ibuku yang menduga bahwa ada wanita lain dalam hidup Ayah selain dirinya, bukankah itu bisa diselesaikan dengan kepala dingin tanpa harus pergi dari rumah? Dan tanpa harus berakhir dengan sebuah pertengkaran. Atau bisa jadi dugaan ibuku itu benar? Aku juga tidak ingin membenarkan sepenuhnya. Aku tidak bisa menyimpulkan suatu hal yang belum kuketahui dengan pasti sebabnya. Aku perlu penjelasan dari kedua belah pihak. Bagaimana pun aku harus tahu segalanya, karena aku adalah  anaknya. Anak tertua mereka berdua. Namun, ketika aku menanyakan kenapa Ayah pergi malam itu pada Ibu, dia hanya bilang “Ini bukan urusanmu, Nak! Anggap saja ayahmu sudah tidak ada”. Kendati hingga saat ini Ibu belum mau terbuka padaku tentang apa yang dia duga terhadap Ayah, tapi aku harap kelak dia akan cerita segala prasangkanya itu dengan jelas dan rinci ke aku. Aku tahu apa yang Ibu rasa saat ini, mungkin penuh dengan kebencian. Aku pun terkadang begitu, membenci ayahku melebih benciku pada buah bernama Durian. Lalu untuk ayahku, aku sangat berharap kelak dapat penjelasan juga darinya kenapa dia harus pergi hingga membuat aku, Ibu dan seisi rumah turut menangis malam itu. Menjadi saksi mata kepergian Ayah tanpa ada alasan yang jelas. Izinkan aku kali ini memulai cerita dengan membawa kalian semua untuk berkhayal. Seakan-akan rangkaian peristiwa cerita dalam buku ini, terjadi pada detik ini juga. Sekali lagi, selamat masuk dalam kehidupanku yang pahit ini. Seorang anak bernama Reinhard, yang terlalu berani menyalurkan kisah hidupnya melalui bercerita dalam sebuah buku yang kelak akan diberi judul “Sebuah Penantian”. ***   
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD